--- On Tue, 3/10/09, Arif Muljadi <mari...@yahoo.com> wrote:

> Mas Bango, terima kasih atas uraian mengenai JUB. Saya
> pikir, saya mengerti apa yang dimaksudkan JUB di sini, tapi
> tampaknya mas Bango belum melihat keberatan saya atas
> definisi JUB ini. Begini, sekarang kita lihat Tahap 2. Di
> situ disebutkan bahwa JUB adalah Rp 1900. Saya amat
> keberatan dengan penyebutan Rp 1900 sebagai JUB. Lha, pada
> Tahap 2 ini 'kan uang yang BENAR2 UANG cuma Rp 1000,
> mengapa bisa dikatakan JUB Rp 1900? Kalau yang Rp 1900 ini
> disebut JUPP, yakni Jumlah Uang yang berPutar-Putar, saya
> setuju! Yang Rp 900 itu 'kan bisa disebut sebagai uang
> fiktif. Kalau untuk Rp 1900 mau tetap digunakan istilah JUB,
> sebaiknya dibuat istilah lain misalnya Jumlah Uang Efektif.
> Jadi, boleh saja disebut JUB adalah Rp 1900, tetapi harus
> disebutkan juga bahwa JUE-nya hanya sebesar Rp 1000 dan yang
> Rp 900 adalah JUF (Jumlah Uang Fiktif). Ketika Bank 1
> meminjamkan yang Rp 900 ke B, maka uang A yang Rp 900 itu
> hilang keefektifannya, diganti oleh Rp 900 yang sedang di
> tangan B. Jadi, mau diputar-puar bagaimanapun juga, total
> JUE itu ya tetap Rp 1000,... sederhana saja dan masuk akal
> 'kan? 

Mas Arif, monggolah panjenengan keberatan. Realitasnya, selama perbankan 
berkerja seperti yang sekarang ini, ya mekanisme yang seperti itu yang terjadi. 
Oleh karena itu, di dalam ekonomi moneter ada istilah uang inti/base money/high 
power money yakni yang asli uang Rp. 1.000 itu. Nah, perbankan memiliki 
kemampuan untuk melipatkan uang ini lewat mekanisme penciptakan kredit. Apapun, 
yang menciptakan daya beli dus permintaan agregat di pasar riil, adalah JUB 
seperti yang saya jelaskan. Pelipatan ini sifatnya tidak pasti, oleh karena itu 
melahirkan masalah manajemen JUB, agar permintaan agregate terjaga dan 
harga-harga stabil, apapun standar moneter (uang) yang dipakai.

> Sekarang, saya mengerti mengapa bos BI digaji begitu besar.
> Yakni karena harus menangani sistem keuangan yang sedemikian
> rupa dibuat (atau dibuat-buat, lebih tepatnya) rumit
> berputar-putar seperti uang itu sendiri. Padahal sih, ya
> sederhana saja sebenarnya. Kalau kita berdiri lantas
> berputar-putar, 'kan kita jadi pusing sendiri. Nah,
> kalau uang diputar-putar seperti itu, dari bank ke peminjam
> ke bank lagi ke peminjam yang lain, dst, tetapi tidak
> dibedakan mana uang beneran dan mana uang
> "fiktif", ya nggak heran kalau kita juga jadi
> pusing sendiri dengan yang namanya multiplier, serta
> usaha-usaha menstabilkan uang beredar dengan SBI, dsb., ya
> nggak? :-)

Mmmm ... gimana ya mas Arif, itu realitas, bukan fiktif. Ya seperti itulah 
bekerjanya perekonomian modern kita. Proses perputaran uang, masuk bank sebagai 
simpanan (deposit) dan keluar sebagai kredit, kan tidak dibuat-buat, terjadi 
karena dinamika perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Sekali 
lagi, JUB itu definisi bermacam-macam mas, tujuannya ya membedakan seperti yang 
mas Arif maui itu.

Soal standar emas dan perak sendiri implementasinya tidak selalu harus uang 
dibuat dari emas atau perak, bisa juga uang kertas dijamin dengan emas atau 
perak, misalnya Rp. 100.000 dijamin dengan emas 1 gram 22 karat. Sistem ini 
memang pernah dipakai, kemudian diganti dengan standar kepercayaan. Nah, banyak 
analisis yang menyatakan ini kerjaan orang Yahudi untuk menguasai dunia. Untuk 
soal yang terakhir ini, silahkan dikunyah-kunyah sendiri.

Akhirnya, jika kita ingin menghadirkan Standar Emas dan Perak sebagai solusi, 
kita mesti mengerti mana yang terselesaikan mana yang tidak.


Salam hangat
B. Samparan


      

Kirim email ke