~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
    Layanan Informasi Aktual
         [EMAIL PROTECTED]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Artikel Lepas: Rabu 24 Maret 2004
 
PEMILU ANTARA PERTIMBANGAN
RASIONAL DAN EMOSIONAL
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Oleh: Drs. Kris Nugroho, MA.*

Dalam tahun 2004 ini ada agenda besar yang akan diambil bangsa Indonesia. Agenda pertama 5 April 2004 akan diselenggarakan pemilihan umum rakyat yang akan memilih wakil-wakil partai politik yang diharapkan akan mewakili aspirasi rakyat sebagai anggota DPR, DPR Propinsi, DPR Kabupaten/Kota serta memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili suara independen non partisan dari tiap-tiap propinsi di Indonesia. Tiap propinsi akan diwakili 4 anggota DPD yang duduk di DPR bersama-sama wakil-wakil partai yang terpilih dalam pemilu tersebut.

Agenda kedua, pada 5 Juli dan 20 September 2004, rakyat untuk pertama kali dalam sejarah politik Indonesia akan memilih paket pasangan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden ini akan dilakukan dalam dua tahapan/penyaringan. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh dukungan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPR atau 20 % dari suara sah secara nasional. Sedangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kurang dari batasan tersebut dinyatakan gugur.

Prinsip pemilu adalah bagian dari proses kehidupan politik yang normal dalam negara yang demokratis. Sebagai bagian dari sarana demokrasi, pemilu diletakkan sebagai mekanisme untuk terciptanya pergantian kekuasn politik secara wajar, stabil dan melembaga sesuai konstitusi. Sedangkan yang menjadi pelaku pemilu adalah semua warga negara yang secara sah ditetapkan oleh konstitusi. Dalam pemilu warga dapat mengexpresikan hak suaranya baik berupa hak pilih maupun hak untuk tidak memilih.

Sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki proses dan kualitas kehidupan demokrasi di negeri ini, pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden ini patut mendapat dukungan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bukan saja fungsi pemilu adalah untuk memilih wakil-wakil rakyat dan atau pemimpin nasional yang berlegitimasi, tetapi juga karena pemilu itu sendiri secara substansial membawa pesan moral agar rakyat memilih wakil-wakil rakyat yang memiliki hati nurani untuk memahami dan mengambil tindakan atas penderitaan rakyat selama ini.

Sebagai bagian dari demokrasi, pemilu itu sendiri bukan tujuan akhir, tetapi alat untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan akan membawa perbaikan kebaikan bagi nasib seluruh masa depan bangsa, termasuk umat Kristiani.

Umat Kristiani di Indonesia tentu dihadapkan pada permasalahan yang kompleks menyang dua agenda politik bangsa ini. Sebagai bagian yang ikut memiliki tanah air Indonesia, umat Kristiani bukanlah umat “kos-kosan”. Umat Kristiani adalah pemilik sah 100% negeri ini sebagaimana yang lain. Umat Kristiani langsung atau tak langsung juga menjadi subyek dan obyek peristiwa-peristiwa politik di negeri ini. Juga kehidupan sehari-hari kita dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa baik yang berdimensi politis maupun non politis.

Sebagai warga sah di negeri ini, kita terlibat seperti membayar pajak, taat hukum, punya semangat patriotis dan nasionalis dan di atas ini semua kita berhak menuntut dan mendapatkan “imbalan” berupa rasa aman, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran, keadilan serta perlindungan atas hak-hak dasar kita sebagai warga politik di tanah air sendiri. Dalam bahasa ilmu politik, kita memilih wakil rakyat karena kita percaya bahwa mereka akan “membantu dan memperjuangkan” kebaikan bersama (common good) yang dibutuhkan rakyat tanpa terkecuali.

Konkritnya, pada pemilu mendatang, umat Kristiani dihadapkan pada persoalan dasar yaitu bukan sekedar memilih calon wakil-wakil partai politik dan figur pemimpin nasional, tetapi bagaimana kita bisa melihat dan diyakinkan bahwa semangat untuk memperjuangkan "common good" hadir dalam diri calon wakil-wakil rakyat kita mendatang?

Juga bagaimana kita melihat hadirnya calon wakil-wakil rakyat yang memenuhi unsur common good, bermoral, tidak berjiwa penyamun harta rakyat, tidak “busuk” dalam pikiran dan tindakan? Apakah kita memilih partai yang membawa simbol emosional Kristen? Atau, apakah kita memilih partai lain, tapi punya kecocokan dengan kepentingan politik Kristen?

Memilih partai apa dan siapa dalam negeri dimana dalam sejarahnya para wakil rakyat lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya serta berbuat korup tidaklahCalon wakil rakyat yang mewakili partaipun tidak kita kenal, begitu pula komitmen moral dan politik  bagaikan embun pagi hari; pagi diucapkan, siang hari hilang terbawa angin kepentingan pribadi, kelompok dan perbuatan korup lainnya. Ibaratnya, pada pemilu nanti kita memilih yang kurang baik dari kumpulan yang terjelek. Artinya, idealisme kita sisihkan karena realitas politik saat ini tak memungkinkan lahirnya calon-calon wakil rakyat yang berkualitas dan berdedikasi tinggi.

Melihat beragamnya partai politik (24 parpol) yang akan berkompetisi dalam memperebutkan suara pemilih, maka pertimbangan-pertimbangan rasional dalam menjatuhkan pilihan kepada partai politik merupakan suatu keniscayaan. Dari 24 partai politik tersebut, spektrum ideologi kepartaian mereka adalah Nasionalis, Religius-Nasionalis, Islam, Sosial demokrasi, Pancasila dan Kristen. Relevansi pertarungan ideologi politik tersebut intensitasnya sangat tergantung pada perkembangan konflik menjelang pemilu legislatif dan presiden mendatang.

Dampak pluralisme pilihan politik ini tentu akan menghadirkan bangunan hasil pemilu yang marginal secara politik. Artinya tidak ada partai politik yang memang mayoritas. Karena itu akan muncul 3 (tiga) model koalisi strategis-ideologis antar partai.  Pertama, koalisi strategis-ideologi partai yang berbasis ideologi (relatif) sama), misal, gabungan parpol islam dengan isi islam atau nasionalis-nasionalis. Kedua, koalisi partai lintas ideologi partai, bisa nasionalis dengan religius-nasionalis. Ketiga, koalisi partai dari kubu religius atau nasionalis dengan elite/partai yang mengusung kepentingan militer.

Berikutnya, kompetisi politik pasca pemilu legislatif akan mengerucut pada pertarungan dalam pemilihan presiden/wakil presiden dimana bangunan peta politik hasil pemilu legislatif menjadi sangat krusial sebagai modal koalisi strategik antar kekuatan politik. Faktor lain tak kalah penting adalah koalisi strategis ini harus memperhitungkan aspek psikologi politik masa pemilih, stigmatisasi politik dan isu agama. Kekuatan politik yang mampu mengolah ketiga isu ini menjadi sumber kekuatan politik aktual setidaknya akan mampu meraih dukungan yang besar dalam pemilu presiden dan wakil presiden mendatang.

Karena pemilu adalah sebuah keputusan untuk menjatuhkan pilihan, yaitu baik keputusan untuk memilih maupun untuk tidak memilih, maka keputusan tersebut haruslah dilandaskan pada pengharapan iman akan adanya kebaikan-kebaikan dalam negeri ini di masa mendatang.

Dengan demikian, sebagai umat Kristiani, kita memiliki kewajiban rohani untuk berhadap dalam doa akan adanya perbaikan dan kebaikan di negeri ini. Dengan demikian, pemilu mendatang kita tempatkan sebagai sebuah ekspektasi dan sekaligus pilihan iman akan adanya dan hadirnya sebuah negeri yang terberkati dalam damai.

 *Penulis adalah Dosen Fisip Unair

Kirim email ke