MENGAPA AMBON RUSUH LAGI ?
`````````````````````````````````````````````````````
Guno Tri Tjahjoko* Dua puluh enam meninggal dunia, seratus duapuluh lima luka-luka dan puluhan rumah terbakar demikian laporan SCTV pada tanggal 27 April 2004. Ambon yang sudah damai selama satu tahun dikejutkan dengan kerusuhan pada hari minggu 25 April 2004 bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun RMS. Peristiwa peringatan hari ulang tahun RMS dipusatkan di rumah Alex Manuputty yang merupakan ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM). FKM mengklaim diri sebagai penerus ideologi RMS
yang menghendaki kedaulatan bagi Maluku Selatan dan keluar dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Munculnya gerakan FKM bermula dari konflik Ambon yang
tidak dapat diselesaikan oleh Pemerintah (1999-2002). Mereka kecewa dengan
sikap Pemerintah yang tidak tegas menegakan hukum. Berdasarkan kekecewaan
terhadap Pemerintah, mereka ‘membonceng’ ideologi RMS. Tampaknya kemunculan FKM
tidak sendirian, karena sebelumnya sudah ada kelompok fundamental yang kecewa
terhadap lemahnya penegakan hukum di Ambon.
Pihak aparat keamanan dalam mengatasi gerakan separatis tersebut menyita 51 bendera RMS dan menangkap 22 orang tokoh FKM (SCTV, 25 April 2004). Penangkapan dilakukan terhadap tokoh FKM untuk diproses secara hukum, namun ironi kerusuhan terjadi setelah penangkapan tsb. Anggota FKM tidak bisa menerima penangkapan pimpinan mereka dan melampiaskan kemarahan dengan turun ke jalan, tetapi mereka di hadang oleh kelompok yang menamakan diri pembela NKRI (SCTV, 26 April 2004). Dari peristiwa kerusuhan Minggu berdarah tersebut, kemudian media lokal maupun nasional mengangkat headline dan mengutuk tindakan FKM. Seolah tidak ada berita lain selain mencari kambing hitam dari kerusuhan tsb. Tentu penulis sepakat bahwa gerakan separatis harus ditindak secara tegas berdasar hukum yang berlaku. Tindakan separatis merupakan pengkhianatan terhadap NKRI. Apapun alasan gerakan separatis mereka bukan berhadapan dengan aparat keamanan saja, tapi dengan seluruh rakyat Indonesia. Tulisan ini mencoba mengkritisi kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada kerusuhan minggu berdarah tsb. Pertama, gerakan separatis seperti FKM jelas bertentangan dengan UU yang berlaku di Indonesia. Pihak aparat keamanan sudah tahu siapa tokoh dan dalang pelaku pengibaran bendera RMS, karena setiap tahun diperingati. Mengapa aparat penegak hukum dan keamanan tidak menindak tegas anggota dan tokoh FKM sejak dini ? Ke dua, pengibaran bendera dilakukan di rumah
ketua FKM yang notebene tidak ada di rumah. Pertanyaan yang perlu diajukan ialah mengapa Alex Manuputty tidak
ditangkap dan dideportasi ke Indonesia ? Mengapa Alex Manuputty dengan santai
dapat meninggalkan Indonesia tanpa pengawalan yang ketat ?
Ke tiga, tokoh pengibaran bendera (Moses Tuanakota)
sekretaris FKM dan pengikutnya sudah ditangkap oleh aparat keamanan, mengapa
kerusuhan bisa merebak ke Talake dan sekitarnya ? Secara rasional seharusnya
penangkapan tokoh kunci dari suatu gerakan akan melumpuhkan gerakan, namun yang
terjadi justru sebaliknya.
Penangkapan Moses Tuanakota dan pengikutnya, justru
menimbulkan gelombang protes pro dan kontra dari masyarakat, yang memicu
kerusuhan. Ke empat, pada saat peristiwa penangkapan Moses Tuanakota , sejumlah
massa yang tidak diketahui darimana asalnya berkumpul di Talake, Mardika,
Batu Merah dan Waihong,. Kemudian massa terbagi dalam dua kelompok yang
mengatasnamakan kelompok NKRI dan FKM. Massa tersebut bercampur baur sehingga
sulit mengenali anggota FKM dan kelompok yang pro NKRI.
Pertanyaannya ialah siapa yang menggerakan kelompok
FKM dan NKRI untuk turun ke jalan dengan spontan ? Siapa yang melempar batu
terlebih dahulu ? Siapa yang menembak warga sipil dan aparat ? Siapa yang
menggunakan senjata tajam untuk menciderai sipil ? Dari 26 korban yang
meninggal sebagian besar mereka terkena tembakan. Kematian dalam suatu
bentrokan yang ‘aneh’ ini tidak mungkin terjadi tanpa suatu rekayasa yang
matang. Dari temuan peluru di tubuh korban dapat diindikasi apakah peluru
tersebut terdaftar atau tidak.
Permasalahannya ialah sejak konflik Ambon 1999,
masyarakat Ambon sudah terbiasa dengan penggunaan senjata dan memilikinya.
Kemungkinan yang lain ialah aparat melepaskan tembakan ke kerumunan massa. Kalau
hal ini dilakukan, maka hal ini menyalahi prosedur keamanan, sebab sipil tidak
bersenjata, mengapa aparat menggunakan senjata ?
Kemungkinan yang lain ialah ke dua kelompok
tersebut dimasuki ‘penembak misterius’, sehingga terjadi korban manusia. Asumsi
bahwa sipil tidak bersenjata dalam demo pro dan kontra tersebut dibenarkan
dengan jatuhnya 125 korban luka-luka. Luka – luka diakibatkan oleh lemparan
batu, bacokan atau benturan benda keras. Penembak misterius semakin menjadi
kenyataan ketika pada 27 April 2004 2 anggota Brimob yang baru
datang dari Jakarta (25 April 2004) tertembak.
Ke lima, bentrokan antar dua kelompok
tersebut merebak dengan pembakaran dan perusakan puluhan rumah. Upaya pembakaran
rumah dan fasilitas umum merupakan ‘kejanggalan’ dalam budaya Ambon.
Budaya Ambon bukan membakar rumah atau fasilitas,
tetapi secara jantan pribadi berhadapan dangan penantang. Sebelum konflik
1999 hampir setiap hari terjadi kasus perkelahian di Ambon, namun tidak pernah
membakar rumah atau fasilitas umum. Fenomena pembakaran rumah apalagi tempat
ibadah sangat dihindari oleh orang Ambon.
Dari ke lima kejanggalan tersebut, apa yang dapat kita analisa sehingga kita mendapatkan wacana yang jernih dan obyektif. Analisa saya yang pertama ialah kerusuhan minggu
berdarah tidak bisa dipisahkan dari konflik elit politik nasional. Ketika elit
politik mengusung isu calon Presiden dan wakil Presiden 2004, maka telah
terjadi konflik vertikal. Hal ini semakin mengkristal ketika Golkar
menggunguli PDIP dalam Pemilu 2004 (KPU, 26 April 2004). Dengan demikian secara
nasional telah terjadi pergeseran paradigma dan konstelasi politik.
Pergeseran dan perubahan tersebut tampaknya bias ke
Maluku. Pada Pemilu 1999 PDIP unggul di Ambon secara signifikan, namun Pemilu
2004 sebaliknya. Kemenangan Golkar di luar Jawa sangat signifikan, khususnya di
Maluku.
Perubahan paradigma tersebut bermakna pergulatan antar elit nasional dan lokal. Pergulatan antar elit nasional tentang siapa yang ‘berkuasa’ menjadi Presiden biasnya d berdampak ke tataran lokal. Apalagi konflik antar elit tersebut sangat rawan, karena 17 partai politik peserta Pemilu 2004 menolak hasil Pemilu. Alasan penolakan aliansi 17 Parpol ialah banyaknya kecurangan dan kinerja KPU yang merugikan partai politik. Kecurangan pendaftaran peserta, money politic,
mencuri start kampanye, penggunaan fasilitas negara, penghitungan suara dan
lambatnya kerja KPU merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Kalau 17
parpol ini menolak hasil Pemilu, pertanyaannya ialah apakah akan ada Pemilu
Presiden dan wakil Presiden 2004 ? Penolakan 17 Parpol tersebut tampaknya
mengerucut menjadi isu konflik ideologis. Dalam konteks ini momen pengibaran
bendera RMS oleh Moses Tuanakota (FKM) hanya merupakan kritalisasi isu utama
dari penguasa yang mencari dukungan rakyat. Hipotesa ini dibuktikan dengan
pengiriman secara cepat 2 SSK Brimob dan 1 SSK dari Kostrad.
Pertanyaannya ialah seberapa banyak kekuatan FKM ?
Apakah Kepolisan Ambon tidak bisa mengatasi FKM yang hanya berjumlah tidak
kurang dari 300 orang ? Sudah bukan rahasia lagi bagi rakyat Ambon bahwa
pengiriman aparat yahg berlebihan tidak akan menjadikan Ambon damai. Hal ini
dibuktikan dengan tanpa aparat keamanan desa Wayame selama dua tahun aman,
padahal eskalasi konflik Ambon semakin tinggi.
Pengiriman aparat satu sisi untuk mewujudkan
keamanan, tapi sisi lain juga merupakan ‘proyek’ dari pejabat untuk bargaining.
Siapapun yang akan menjadi Presiden 2004 kerusuhan Ambon merupakan batu uji.
Apakah hasil Pemilu Presiden 2004 dapat mengatasi kerusuhan dan mewujudkan
masyarakat Ambon yang damai dan sejahtera ? Jadi konflik antar elit di Jakarta
yang tidak terkendali akan dapat memicu kerusuhan sosial yang semakin meluas di
masyarakat. Siapa yang bertanggungjawab atas kerusuhan sosial ? Siapa yang
diuntungkan dengan adanya kerusuhan sosial ?
Analisa ke dua dari kerusuhan minggu berdarah tersebut ialah dimana peran Alex Manuputty ? Menurut kabar Alex Manuputty berada di Amerika, apa peran Amerika dalam hal ini ? Bukankah tokoh-tokoh RMS hengkang ke Belanda 1950 ? Tampaknya ada semacam konspirasi internasional yang patut kita waspadai. Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa sebuah perkelahian berubah menjadi kerusuhan massa yang cenderung anarkis dan menjadi ‘perang’ kecil merupakan pelemahan wibawa dari pemerintah (Band. Carl von Clausewitz). Konspirasi internasional tersebut berupaya dengan
cara halus melemahkan wibawa Pemerintah dengan pelemahan sendi-sendi agama,
etnis dan budaya dengan merekayasa konflik horisontal. Kalau aparat
keamanan tidak bisa mengatasi kerusuhan, maka semakin jatuh wibawa Pemerintah.
Dengan demikian konspirasi internasional akan leluasa menguasai dan mendikte
Pemerintah. Kepentingan konspirasi internasional di Ambon sangat besar, yang
selama ini tidak ada media yang melansir. Media lokal dan nasional hanya
terjebak dengan isu agama, etnis dan ideologi. Masyarakat lupa ada kepentingan
konspirasi internasional yang berkehendak penguasaan seluruh sumber daya alam
Maluku.
Maluku sangat berpotensi sebagai penghasil
rempah-rempah, mineral, hasil hutan, potensi laut dan gas bumi. Lima tahun
terakhir ditemukan sumber minyak bumi di Seram, dimana investor asing
menanamkan modalnya. Konflik horisontal akan menguntungkan negara adi kuasa,
karena harga tanah murah, masyarakat tidak lagi mau memiliki tanah di Maluku.
Selain itu dua tahun terakhir di beberapa daerah Maluku ditemukan zat
radioaktif. Penemuan zat radioaktif di daerah ini membenarkan hipotesa
kepentingan negara adi kuasa untuk menguasainya.
Secara geografis Maluku merupakan pertemuan dua benua, dua samudra dimana perdagangan dunia dilakukan. Oleh karena letaknya yang sangat strategis, maka Maluku menjadi incaran konspirasi internasional sebagai basis keamanan dalam menyongsong perdagangan pasar bebas (2020). Memperhatikan strategisnya posisi Maluku pada masa depan, maka kelompok fundamental menghadang lajunya kapitalisme barat dengan perjuangan bertopeng etnis dan agama . Ke dua analisa tersebut perlu dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan solusi yang tepat. Masyarakat Ambon sudah jenuh dengan kerusuhan. Mereka ingin hidup damai dan hidup normal. Mereka ingin bekerja, sekolah dan berbisnis dengan nyaman dan aman. Ternyata masalah Ambon tidaklah sesederhana seperti yang kita bayangkan. Ada banyak kepentingan yang bermain di Ambon, namun selalu kambing hitamnya agama,. etnis dan sekarang FKM. Ambon adalah bagian dari aset bangsa, apa yang
terjadi di sana juga merupakan kepiluan kita. Ratap tangis anak dan ibu yang
kehilangan suami juga ratap tangis kita sebagai saudara sebangsa. Jangan
biarkan gendang sudah selesai ditabuh, namun orang Ambon masih menari
‘kerusuhan’. Semoga tarian ‘baku bae’ yang sudah dirajut berabad-abad
dibudayakan kembali. Gandong la mari gandong, mari jua ale e . Beta mau bilang
ale, katong dua satu gandong. Hidup ade deng kaka sungguh manis lawang e. Ale
rasa beta rasa katong dua satu gandong .
* Anggota Tim Independen untuk Rekonsiliasi
Ambon dan anggota Tim Pemberdayaan Masyarakat Pasca Konflik- Maluku Utara.
Pengamat Sosial Politik dan kandidat Doktor pada Ilmu Sosial Politik UGM. Ketua
FKK Jogjakarta.
|