Pak Zul, Ijinkan saya berkomentar, maaf bila terkesan menggurui, karena bukan maksud saya. Perjuangan emansipasi kaum homo (gay, lesbi) secara hukum sipil sudah dimulai sejak 150 tahun yll oleh seorang ahli hukum, kalau tidak salah dari Kota Hildesheim, Jerman, tapi semasa hidupnya ia tidak berhasil. Bahkan kuatnya tekanan masyarakat, ada yang mengungsi ke Bali dan kemudian dikenal sebagai guru lukis , awal lukisan aliran Bali. Saya rasa di negara lain perjuangan mereka lebih enteng karena sistim konstitusinya yang merupakan sejarah panjang menuju negara sekuler, pemisahan antara agama dan negara. Sejarah ketata negaraan kita berbeda, dan karenanya mungkin memerlukan 150 tahun lagi atau lebih lama atau lebih singkat, wallahualam. Di negara kita perkawinan adalah perkawinan sipil dan sekaligus berhimpitan dengan perkawinan agama.Kalau di negara lain, hanya perkawinan sipil saja, sehingga membuka kemungkinan perkawinan homo (semula dengan perjanjian dibawah tangan). Kalau mereka mau juga perkawinan agama dan diberkati gereja, hanya beberapa gereja saja yang mau menyelenggarakan. Artinya ini bukan perkara sederhana, solusi dari persoalan yang sudah ribuan tahun , bukan tiba tiba harus terpecahkan, apalagi dengan provokasi dan proaktif. Ini menyangkut persoalan yuridis, sosiologis dan filosofis (etika). Contoh persolan yang berdekatan, baru baru ini saya baca koran Tangsel Pos, memberitakan seorang artis dengan bangga mengungkapkan berencana ingin punya anak tanpa perkawinan. Berita ini menurut saya juga suatu provokasi, suatu proaktif dari media, nilai yang dianutnya berbeda dengan masyarakat kebanyakan, karena kesannya media sependapat dengan artis tersebut karena dimuat beritanya (proaktif mempromosikannya). Nilai saya berbeda dengan koran tersebut, - walau saya toleran- ia tidak perlu memberitakan ruang prive tersebut, terkesan kekurangan berita dan hasilnya dapat kontra produktif , pelanggan jadi tahu misi yang dibawa media tersebut, karena medianya mempromosikan secara halus (wacana paksaan psikologis) agar orang lain mengikuti tren tersebut, gadis punya anak. Walau secara sosiologis ini suatu realitas. Namun menurut saya perbuatan mempromosikan itu dapat dikategorikan melanggar hukum, terutama melanggar hak anak, karena seorang anak berhak dilahirkan dalam orang tua yang komplit (ayah dan ibu) atau masih hidup artinya bila seorang ibu (single) ingin punya anak dan ia memesan sperma profesor yang sudah meninggal, ini tidak bisa dipertanggung jawabkan secara etika dan karenanya hukum juga tidak meligitimasi hal tersebut dan menegaskan etika yang ada. Karena hukum atau konstitusi hendak melindungi institusi keluarga, atau institusi perkawinan sebagai lembaga primer terpenting bagi negara (aspek konservatif dari negara). Bermacam cara pemerintah agar pasangan hidup bersama diluar nikah untuk segera memasuki rumah tangga (kawin resmi), misalnya dengan pajak bagi single tarifnya jauh lebih tinggi dari yang sudah berkeluarga atau memberikan tunjangan anak. Di Eropa yang sex bebas, pasangan yang hidup bersama tanpa surat nikah mereka tidak mau punya anak, karena statusnya masih single, mereka baru punya anak kalau sudah kawin secara sipil, kecuali yang kecelakaan atau kesepaktan. Artinya kalau masih pacaran (belum ada kesepakatan punya anak) tidak boleh curi curian , hamil diam diam, artinya melanggar kesepakatan, dapat dituntut perbuatan melanggar hukum. Sebab ayah dibebankan beban biaya anak secara paksa dari Kantor Perlindungan Anak, dapat berdalih, bahwa pasangannya melanggar kesepakatan. Dalam rangka nilai nilai konservatif ini pula bayi tabung di Eropa hanya dimungkinkan dari orang yang masih hidup dan konsekwensinya si penyumbang bibit (laki laki) harus turut bertanggung jawab terhadap biaya hidup anak, terlepas ada atau tidak perkawinan. Artinya perkembangan di Eropa anak luar kawin tetap menjadi tanggung jawab ayah yang membibitkannya dan berhak mewaris dari ayah alamnya, walaupun ia bersaing dengan anak dalam perkawinan. Di Eropa bayi tabung dari orang yang masih ada /hidup masih dapat tantangan dari partai hijau (alternatif), karena bagi partai ini hubungan/permainan cinta/sex tidak bisa direduksi atau diganti dengan jarum suntik atau skala tabung, kerena tidak memanusiakan manusia. Karena ada sistim sosial, bagi orang tua yang tidak mau atau tidak bisa punya anak, dapat dipulihkan dari orang tua yang mau punya anak lebih dari dua, sebagai tanggung jawab pada sistim solidaritas sosial. (Sistim Asuransi Sosial sangat tergantung kepada rasio yang bekerja dan yang tidak bekerja, karenanya faktor jumlah anak sangat menopang sistim ini). Jadi pertanggung jawaban hukum seorang ayah di Eropa bukan lagi berdasarkan perkawinan, tapi berdasarkan darah. Dengan demikian bagi club homo bukan bebas mengadopsi anak, karena bisa saja ia punya anak alam dari perkawinannya yang gagal atau hasil dari kumpul diluar nikah. Bagi pasangan hetero soal adopsi tidak sederhana yang dibayangkan, harus ada pengamatan dari dinas sosial selama waktu tertentu dan kestabilan hubungan. Janggal menurut saya bila seorang artis single yang mampu secara materi, ingin punya anak luar kawin (beda perlakuan bila terjadi karena kecelakaan), tanpa persetujuan pasangannya, karena tidak fair kalau punya anak diam diam dari yang membibitkannya, bertentangan dengan hak anak untuk mengetahui akan asal usulnya, siapa nama ayah biologisnya. Menurut saya persoalannya tidak sesederhana, seperti yang diungkapkan pak Zul. Tapi solutif konsep "pachwork family", keluarga pesanan yang dijahit sesuai ukuran/nilai yang dianut, saya no comment. Solutif untuk suasana Indonesia bagi club homo (maaf saya gak gunakan istilah kaum/golongan homo), yang pernah saya adviskan pada klien saya seperti yang digambarkan oleh "pachwork family", hidup bersama laki laki atau perempuan dewasa yang tidak terikat perkawinan dengan menanda tangani perjanjian persekutuan perdata atau firma, atau mendirikan Perseroan Terbatas atau Perkumpulan untuk dua orang dimuka notaris, sebagai pengukuhan trust dan care mereka bersama, dibuat dokumen saling mewaris atau mewasiat satu sama lain dimuka notaris, terhadap perawatan dan harta benda kepada siapa yang hidup terlama.
Atau bila klien saya merasa kurang pas saya mengadviskan untuk forum shopping di luar negeri yang sudah melegalkan, karena hubungan tersebut bersifat exclusiv, seperti halnya banyak dilakukan solusi buat perkawinan campuran (antar agama) yang juga masih exclusif, maka dilakukan perkawinan sipil di luar negeri (misal Singapura, Malaysia, Timor Leste, Australia), kemudian dicatatkan di KBRI setempat dan kemudian didaftarkan di Catatan Sipil setempat tempat dimisilinya. Jadi menghindar dari perkawinan agama, yang kalau dilakukan didalam negeri. Menurut saya ini bukan pelanggaran hukum dan/atau ham. Kalau ditelisik satu persatu banyak pelanggaran ham atau hukum yang didiamkan orang, sudah sejak lama didiamkan sehingga menjadi kebiasaan. Misalnya perbuatan developer yang mengisolir warga kampung, perbuatan mengajarkan agama lain kepada anak didik pada institusi sekunder (sekolah) berbeda dari agama yang dianut oleh orang tua mereka dan banyak lagi, yang bila kita list daftarnya akan panjang. Pada hal aturannya sudah jelas. Maaf agak panjang dan bila tidak berkenan, terima kasih atas kesabaran membacanya. Salam Rizal S. Gueci, Pembina Yayasan Uni-lengkong Pelangi Integralistik Pro Lingkungan dan Perlindungan dan Kesejahteraan Anak --- On Sun, 7/18/10, Zulkifli <zulk_...@yahoo.com> wrote: From: Zulkifli <zulk_...@yahoo.com> Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: Perkawinan sejenis sekarang legal di Argentina?(* To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com Date: Sunday, July 18, 2010, 7:44 PM Karena di sini ada FPI yang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dari Negara tentu saja orang Indonesia tidak BODOH mau mengumumkan perkawinan mereka yang tidak disetujui oleh agama para anggota FPI. Yang saya lihat, kawin sejenis itu bukanlah suatu malapetaka alih-alih berkah buat orang miskin karena pasangan ini mau tidak mau harus mengangkat anak. Anak-anak mereka sudah banyak yang dapat menyelesaikan kuliah yang tidak mungkin kalau mereka tidak dipungut oleh pasangan sejenis. Masalah perkawinan sejenis dilarang oleh Yang Mahakuasa itu adalah masalah mereka karena merekalah yang nanti akan menjalani hukuman yang diperuntukkan buat mereka. Kita yang "normal" ini sebaiknyalah menyerahkan masalah ini kepada Sang Pencipta, karena pada dasarnya mereka juga tidak mau diciptakan sebagai bencong, banci, homo, hombreng, atau apalah namanya karena mereka juga telah berusaha untuk "normal" tetapi tetap saja gagal. Ada seorang kawan yang disuguhi berkali-kali dengan perempuan cantik yang bisa langsung "dipakainya" tetapi dalam benaknya dia tetap memikirkan agar perempuan yang dipekukannya itu berkumis dan sedikit berotot sehingga otot khusus yang ada di selangkannya itu tidak juga bisa mekar. Kasihan bukan?????? Bencong atau homo itu bukanlah hal yang bisa berjangkit seperti sifilis; berpuluh tahun bergabung dengan kelompok mereka tidak akan membuat kita (setidaknya saya) untuk ikut-ikutan dengan kesukaan mereka sebagaimana kita tidak akan pernah ikut-ikutan menjadi perokok sekalipun asap rokok kita hirup setiap detik di kantor atau di tempat-tempat umum. Masalah suka laki atau perempuan itu takubahnya seperti masalah suka-tidaknya seseorang dengan makananan yang lebih nikmat dari ayam, sapi, yaitu pete. Saya suka pete (bahkan saya sudah menanam jenis pete yang belum ada di DKI ini yaitu mangir, jering, jengkol Lampung, kabau, habo (Tap.Sel) yang jauh lebih bau daripada pete; sekarang sedang berbuah), sementara sebagian besar orang tidak. Kongres persatuan psikiater juga telah lama manfatwakan bahwa masalah suka bagian depan atau belakang itu tidak lain daripada masalah kesukaan dan BUKAN PENYAKIT. Marilah kita berdoa semoga tidak seorang pun dari lingkungan kita yang mendapat cobaan yang sangat dahsyat ini. Amin. Salam, Zul --- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Lasma siregar <las032...@...> wrote: > > Perkawinan sejenis sekarang legal di Argentina?(* > > Sejak jamannya Adam dan Hawa di taman Firdaus tempo doeloe > yang namanya suami istri (perkawinan) adalah antara lelaki > dan perempuan! > > Kemudian hadirlah apa yang namanya "free love and free sex" > atau kumpul kebo dan sebagainya. > > Kemudian disusul dengan sexual liberation, gay dan lesbian > plus transexual dan sebagainya! > > Kini di Argentina (dan berbagai tempat lainnya) sudah jadi > resmi (legal) perkawinan antara umat sejenis! > > Laki-laki dengan laki-laki, OK dan bisa mengadopsi anak! > Perempuan dengan perempuan juga OK dan bisa punya anak lewat > laki-laki yang menyumbangkan "bibit"nya. > > Argentina ini majoritas beragama Katolik penduduknya, gereja > sama sekali menolak perkawinan sejenis ini! > Tapi Madonna dkk (wong Argentina) bilang YES, WE CAN! Mau apa > gereja? > > Siapa tahu disuatu waktu nanti ada yang bilang bahwa perkawinan > antara human (orang) dengan non-human (orangutan) juga legal, > bagaimana ini? > > Kan definisinya perkawinan adalah antara Romeo dan Juliet, > bukannya antara Romeo dan John atau Paul? > > Perkawinan adalah antara Rama dan Shinta, bukannya antara Shinta > dan Suzanna atau Inem, bukankah begitu, membingungkan? > > Inilah bahayanya kalau kita ini mau hidup semaunya tanpa ada > aturan, tata terbit, adat istiadat, UUD, hukum agama dan sekuler! > > Apakah mungkin apa yang terjadi di Argentina bisa juga terjadi > di Indonesia? > Mudah-mudahan tidaklah, bisa ngamuk MUI dan berbagai front pembela > yang ini atau yang itu! :=)) > > (* Sumber berita Radio BBC dan Internet 16/7/10 > > Salam > Las > [Non-text portions of this message have been removed]