Pidato Politik
Pimpinan
Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja

Nomor:
266/PI/KP-PRP/e/VIII/10

(Disampaikan
pada saat HUT RI ke-65, 17 Agustus 2010)










“5
Setan Dunia Musuh Demokrasi Rakyat Pekerja”






Mari
Kibarkan Panji-panji Perang, Lawan Sampai Menang!










Jakarta,
17 Agustus 2010




        
Terbanglah
garudaku,
Singkirkanlah
kutu-kutu di sayapmu,
Berkibarlah
benderaku,
Jangan
ragu dan jangan malu,
Bahwa
sesungguhnya kita mampu
(“Bangunlah
Putra-putri Pertiwi”, Iwan
Fals)




Kawan-kawan
seperjuangan,
        Hari
ini kita mengenang kembali Proklamasi Kemerdekaan RI dalam umur 65
tahun. Waktu melangkah terus, bangsa Indonesia masih jatuh bangun
dalam membangun demokrasi. Model demokrasi seperti apa yang dicari
oleh Indonesia? Jika menurut konsepsi umum, Indonesia pernah
bereksperimen dengan demokrasi parlementer/liberal (1950-1959),
demokrasi terpimpin (1959-1966), dan demokrasi Pancasila di bawah
Jenderal Soeharto (1966-1998). Kemudian, pada saat ini di bawah
Jenderal SBY-Boediono, Indonesia melangkah pada model demokrasi yang
menggunakan pemilihan langsung presiden, gubernur, bupati, dan
walikota sebagai mekanisme yang disebut demokratis. Namun, eksperimen
model demokrasi selama eksistensi kemerdekaan Indonesia ada, seperti
bangunan tanpa fondasi yang ambruk disikat gempa tanpa meninggalkan
internalisasi pengetahuan dan tradisi yang demokratis.
        Sebagai
rakyat pekerja yang setia membayar pajak negara, pada kesempatan ini,
mari kita blejeti model-model demokrasi —yang telah disebutkan itu—
yang dicangkokkan di negeri ini sejak 17 Agustus 1945, yang terbukti
mengalienasikan (mengasingkan) rakyat pekerja dengan relasi-relasi
sosial-budayanya terhadap kontrol ekonomi-politik negara.




Kawan-kawan
seperjuangan,
        Mengapa
eksperimen demokrasi dalam sejarah Indonesia merdeka tak
menginternalisasikan suatu pengetahuan dan tradisi, baik dalam
tatanan pemerintahan maupun relasi dalam berkehidupan bersama sebagai
rakyat Indonesia? Mengapa makin lama rakyat pekerja makin merasa tak
betah hidup di tanah air sendiri sebagai satu ikatan bangsa yang
multi-etnik dan multi-agama, yang di dalamnya terdapat relasi sosial
oleh karena perbedaan gender maupun perbedaan kelas? Mengapa rakyat
pekerja teralienasi dari model-model demokrasi yang pernah dilahirkan
maupun yang sedang dipraktekkan, selama 65 tahun Indonesia merdeka?
Jawabannya hanya satu kalimat: Karena konsepsi demokrasi kita
merupakan musyawarah mufakat dengan “5 Setan Dunia”, untuk
menyingkirkan, mengucilkan, “membunuh” rakyat pekerja dari
kehidupannya yang layak. Siapa “5 Setan Dunia” itu? Ialah
Neoliberalisme, Kolonialisme, Imperialisme, Patriarkisme, dan
Fundamentalisme (NEKOLIMPATFU).




Kawan-kawan
seperjuangan,
        
Secara kesejarahan, Indonesia adalah negara bangsa yang lahir dari
kolonialisme. Kolonialisme telah menjajah sekitar 4 abad lamanya dan
berganti-ganti alih kekuasaan dari VOC (perusahaan multinasional
pertama di dunia), Hindia Belanda, Inggris, Jepang, sampai kemudian
Indonesia mempunyai peluang mendeklarasikan kemerdekaannya di tengah
kecamuk Perang Dunia II. Secara formal Soekarno-Hatta —atas desakan
pemuda revolusioner— mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945, tetapi masyarakat internasional baru mengakuinya pada
1949. Sedangkan dari perspektif Belanda, baru mengakui kedaulatan
kemerdekaan Indonesia pada Oktober 2005. Ini artinya apa? Dari aspek
ekonomi, kepentingan Belanda menjajah Indonesia pada mulanya bukan
untuk kepentingan politik dan militer, melainkan untuk kepentingan
dagang (bisnis). VOC bukan sama dengan pemerintah Belanda, melainkan
konsorsium 6 kamar dagang (investasi) di Belanda. Sehingga
kolonialisme di Indonesia berwatak mencari peruntungan dagang dengan
memonopoli komoditi hasil bumi sejak rempah-rempah, kayu cendana,
beras, kopi, tembakau hingga tambang, laut, hutan, dan lain-lain.
Maka terang sudah, disain kolonisasi atas Indonesia hanya menjadikan
negeri ini sebagai sumber bahan baku sekaligus pasar           
—sebagai teritorial untuk memutar kapital modal internasional.
        Kemerdekaan
yang dideklarasikan pada saat itu merupakan gagasan, agar Indonesia
tidak lagi menjadi sumber bahan baku dan pasar bagi kepentingan
korporasi perusahaan internasional. Syaratnya, secara domestik harus
berdikari untuk mengurus dirinya sendiri dari campur tangan kekuatan
korporasi modal internasional yang kemudian disebut kaum imperialis.
Secara politik, berarti Indonesia harus menciptakan demokrasi yang
memberikan kedaualtan kepada rakyat pekerja untuk menentukan sendiri
bentuk struktur ekonominya yang tak berwatak kolonial. 

        Tetapi,
rupanya tak semudah Soekarno membaca teks proklamasi di Lapangan
Ikada pada 17 Agustus 1945. Sebab, tak lama sesudah itu, pemerintah
Indonesia yang merdeka mengadakan transaksi utang kepada imperialisme
—karena sebuah kenyataan penguasaan modal terpusat di tangan
imperialis, dan Indonesia berada dalam struktur ketergantungan mantan
negara jajahan kepada penguasa modal internasional. Sudah barang
tentu ada konsekuensinya. Yang terpenting adalah penyusunan model
pemerintahan yang tetap dapat melanggengkan kepentingan imperialis
atas kekayaan dan tenaga kerja di Indonesia. Itulah sebabnya,
bangunan demokrasi di Indonesia selalu mengalami kecelakaan, yang
alhasil, malahan hanya menjadikan rakyat pekerja sebagai objek
pemberi suara kepada pemimpin yang pro-imperialis. Namun, tekad untuk
mengusir imperialisme —terutama dari gerakan rakyat pekerja—
santer bergelora sebagai aksi massa yang signifikan mengambil alih
aset kolonial antara 1957-1964. Ibu Emi Sukemi, seorang kader Sarikat
Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) dan Gerwani dari Garut,
merupakan contoh kader perempuan yang pada usia 24 tahun telah
memimpin pengambilalihan perkebunan kolonial di sana untuk menjadi
aset nasional. Inilah yang dikenal dengan gerakan nasionalisasi aset
kolonial, meskipun pemerintah Soekarno belum berhasil menyentuh
kelompok perusahaan minyak. Maka bangunan demokrasi liberal dan
terpimpin rapuh oleh konflik kepentingan dari dalam negeri, terutama
antara yang pro-imperialis versus anti-imperialis.
        Ketika
demokrasi Pancasila merupakan model yang dibangun pemerintahan
Soeharto, sesungguhnya yang terjadi adalah menganulir gagasan
proklamasi 17 Agustus 1945. Kenyataannya, atas nama krisis
ekonomi-politik sejak 1963-1965, organisasi imperialis IMF mendisain
pembangunan Indonesia untuk keluar dari krisis dengan biaya utang.
Syaratnya, gerakan rakyat pekerja yang anti-imperialis harus dibabat
habis melalui peristiwa genosida terutama antara Oktober 1965-1968 di
seluruh Indonesia. Tujuannya agar kepentingan imperialis dan
kegiatannya menguras bahan baku, mengeksploitasi tenaga kerja,
pendirian pabrik-pabrik, dan mensosialisaskan ideologi konsumtif di
Indonesia, tak ada yang mengganggu-gugat.  Sehingga demokrasi
Pancasila itu sendiri sebenarnya hanyalah sebuah nama, yang
substansinya merupakan disain imperialisme. 

        Baik
kolonialisme maupun imperialisme melekat di dalamnya watak patriarki.
Artinya apa kawan-kawan? Persisnya, kolonialisme dan imperialisme
sama-sama menciptakan sistem untuk menjadikan perempuan sebagai objek
seksual, sebagai budak-kuli-buruh yang tenaganya dieksploitasi, baik
untuk proses produksi maupun reproduksi sosial (keberlangsungan
masyarakat), dan membiarkan kekerasan fisik dan seksual sebagai
bagian dari metode penundukan dirinya. Sistem per-nyai-an
telah diciptakan sejak masa VOC sampai Hindia Belanda. Mulanya tak
resmi, kemudian diresmikan. Hal ini dalam kepentingan agar  laki-laki
kolonial yang bujang maupun meninggalkan isterinya di Belanda, mulai
dari pejabat, pengusaha, administratur, tentara, yang berada di
koloni Hindia Belanda tetap terpenuhi kebutuhan seksualnya. Para
perempuan pribumi yang dipekerjakan sebagai babu seringkali
juga dijadikan pelayan seksual laki-laki kolonial. Sistem perbudakan
tenaga dan seksual semacam ini berlanjut ke masa kolonisasi Jepang,
yang disebut jugun ianfu. 





Kawan-kawan
seperjuangan,
        Perjuangan
gerakan mahasiswa yang didukung rakyat pekerja yang berpuncak
mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998, telah ditelikung habis-habisan
oleh elit borjuasi nasional. Cita-cita kita terhadap demokrasi yang
didisain dan dibangun oleh rakyat pekerja telah dibekukan melalui
euforia pemilu caleg dan pilkada. Kita disodori dengan ilusi
reformasi untuk mengawal transisi politik menuju konsolidasi
demokrasi, dengan ciri-ciri adanya keterbukaan partisipasi
masyarakat, demiliterisasi, peranan partai politik yang meluas, dan
liberalisasi ekonomi. Namun yang sebenar-benarnya adalah pembangunan
demokrasi Indonesia sesuai dengan konsepsi demokrasi neoliberal. 

        Apakah
demokrasi neoliberal? Prinsip neoliberalisme adalah
menghilangkan aspek negara menjadi pasar investasi dan perdagangan
bagi kepentingan korporasi perusahaan-perusahaan transnasional.
Imperialisme membutuhkan Indonesia sebagai sumber bahan baku, dan
kemudian dipercanggih oleh sistem neoliberal yang melakukan proses
penjajahan Indonesia melalui intervensi perundang-undangan. Maka,
demokrasi yang harus dibangun di negeri ini adalah yang membuka
peluang modal transnasional (supranasional) mempunyai otoritas
kekuasaan secara ekonomi politik dan sosial-budaya di Indonesia.
Penyelenggara negara yang dipilih rakyat melalui pemilihan langsung
baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, tidak memiliki
otoritas kekuasaan untuk mengelola aset dan memimpin rakyatnya menuju
kesejahteraan. Pengambilan kebijakan di tingkat nasional-daerah
berelasi kelindan dengan kepentingan modal transnasional.
Inilah keadaan negara yang disebut oleh William I. Robinson dengan
sebutan Transnational State, di mana demokrasi yang
berlangsung di negeri kita saat ini, sesungguhnya, mengantar
Indonesia menuju Transnational State. Pejabat negara kita
berkolaborasi secara politik dengan kepentingan modal internasional,
antara lain melalui G-20, Asia-Europa Meeting Forum, dan sebagainya.
Sedangkan secara ekonomi, melalui forum-forum IMF, Bank Dunia, WTO,
dan bank-bank lainnya.
        Dalam
koridor inilah, kita sekarang mengerti bahwa revisi UU Penanaman
Modal Asing (PMA), disusul oleh penyusunan UU Minerba, UU
Kelistrikan, UU Kelautan, dan lain-lain, adalah dalam kerangka
menjadikan Indonesia sebagai Transnational State
yang dipimpin oleh corpocracy (rezim perusahaan-perusahaan
transnasional). Adapun keterbukaan politik yang mengilusikan eksisnya
demokrasi di Indonesia, merupakan pintu masuk neoliberalisme
mengkonsolidasikan agenda-agenda penjajahannya. Otonomi daerah
merupakan pemekaran kekuasaan untuk mencegah sentralisasi kekuasaan,
sedangkan pemekaran wilayah merupakan upaya untuk menata kembali
kapling-kapling penjarahan bahan baku tambang, laut, hutan,
perkebunan, dan penciptaan kawasan industri merupakan pembangunan
teritorial yang tak punya ikatan dengan peraturan nasional. Maka,
tepatlah, bila kita memberi nama model demokrasi yang berjalan saat
ini adalah demokrasi neoliberal. 

        Pada
saat yang sama, kita menghadapi fundamentalisme yang mengatasnamakan
kepentingan identitas agama. Perempuan telah diatur dengan segala
rambu-rambu kesopanan. Budaya pelarangan, pengharaman, pembubaran
pertemuan masyarakat, dan lain-lain tampak dibiarkan berkembang
membabi buta. Kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama (milisi)
dibiarkan mengumbar metode kekerasan untuk melakukan teror dan
intimidasi kepada kelompok masyarakat yang dipandang haram dan
terlarang. Buruh, petani, nelayan, pedagang kaki lima, dan lain-lain,
yang seluruhnya ini merupakan komponen rakyat pekerja menjadi sasaran
pertama aksi-aksi kekerasan kelompok milisi hampir di seluruh
Indonesia. Kemana penyelenggara negara yang seharusnya melindungi
rakyatnya? Rupanya mereka membiarkan terjadinya genosida terjadi
hingga rakyat pekerja mengalami kematian ekonomi-politik.
                
Kawan-kawan
seperjuangan,
        Terang
sudah. Dalam usianya yang ke 65 tahun, tepat pada 17 Agustus 2010,
teks Proklamasi yang dahulu dibacakan Soekarno tinggal kenangan.
Pada usianya yang ke 65 tahun, negeri kita sudah dijajah kembali.
Sedangkan para ahli ekonomi, ahli politik, dan ahli-ahli lainnya di
Indonesia masih mempercayai ilusi, bahwa Indonesia telah mencapai
konsolidasi demokrasi. Tampaklah pula, neoliberalisme memproduksi
fundamentalisme untuk menakut-nakuti rakyat pekerja agar tunduk tanpa
perlawanan. Terang sudah, patriarkisme bersemayam dalam
neoliberalisme dan fundamentalisme untuk menjadikan tubuh perempuan
sebagai budak seksual, budak konsumen yang konsumtif, dan diperbudak
tenaganya. Namun kepada kaum perempuan pula proses survival
(keberlangsungan) hidup keluarga dan masyarakat yang seharusnya
ditanggung neoliberalisme, malahan dibebankan kepada mereka.
        Inilah
jahatnya “5 Setan Dunia”, yaitu NEKOLIMPATFU
(Neoliberalisme, Kolonialisme, Imperialisme, Patriarkisme, dan
Fundamentalisme), yang menjadi musuh Rakyat Pekerja.
Tak ada pilihan lain bagi rakyat pekerja selain harus tetap berjuang
untuk hidup dan menang, melalui persatuan organisasi buruh,
organisasi petani, organisasi nelayan, organisasi pedagang kaki lima,
organisasi perempuan; dan juga dengan organisasi yang bertujuan
pembebasan rakyat pekerja di seluruh dunia untuk membangun
unifikasi Sosialis secra nasional maupun internasional.
        Untuk
itu kami menyerukan satu tindakan, satu tujuan, dan satu tekad untuk
mengibarkan panji-panji perang melawan “5 Setan Dunia” menuju
pembebasan dan kekuasaan rakyat pekerja. Kita bangun Sosialisme di
bawah kontrok rakayt pekerja.

        Jangan
pernah lelah memperjuangkan Sosialisme.











Sosialisme,
Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!

Sosialisme,
Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global!

Bersatu,
Bangun Partai Kelas Pekerja!





                
                        
                        
                        
                                
                                        Jakarta,
                                        17 Agustus 2010
                                        Komite
                                        Pusat
                                        Perhimpunan
                                        Rakyat Pekerja
                                        (KP-PRP)
                                
                        
                        
                                
                                        Ketua
                                        Nasional
                                
                                
                                        Sekretaris
                                        Jenderal
                                
                        
                        
                                
                                        


                                        
                                        ttd.
                                        (Anwar
                                        Ma'ruf)
                                
                                
                                        


                                        
                                        ttd.
                                        (Rendro
                                        Prayogo)
                                
                        
                
        








#yiv772990184 #yiv772990184yiv582017315 filtered {margin:0.79in;}#yiv772990184 
#yiv772990184yiv582017315 P {margin-bottom:0.08in;}-->___*****___Sosialisme 
Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global!
Bersatu Bangun Partai  Kelas Pekerja!

Komite Pusat
Perhimpunan Rakyat
 Pekerja
(KP PRP)
JL Cikoko Barat IV No. 13 RT 04/RW 05, Pancoran, Jakarta Selatan 12770 
Phone/Fax: (021) 798-2566
Email: komite.pu...@prp-indonesia.org / prppu...@yahoo.com
Website: www.prp-indonesia.org







[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke