Lucu juga pertanyaan bapak... :)

Slama ini, strategi seperti itu slalu berhasil menaikkan citranya pak..
'Dia' memang berkomunikasi tidak dengan bapak2 ibu2 yang sangat kritis di FPK 
ini.. Tapi dengan pemilihnya yang masyarakat awam yang lebih banyak jumlahnya 
itu...

Salam,
Jen Nugraha




-----Original Message-----
From: lanogan ginting <olano...@yahoo.com>
Sender: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Date: Mon, 16 Aug 2010 12:34:50 
To: <Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com>
Reply-To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Subject: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Pembiaran Negara (Indonesia ini mau dibawa 
ke mana?)

Mau tanya, ada ngga siy President negara lain yang suka cengeng mengeluh curhat 
kepada rakyatnya? Cengeng koq bisa jadi jenderal ya...untung tidak lagi perang, 
kalau lagi perang dan ketangkep musuh, jangan2 semua informasi markasnya bisa 
dikasi tahu karena takut diancam musuh. Cengegng siy...

--- On Fri, 8/13/10, Satrio Arismunandar <satrioarismunan...@yahoo.com> wrote:

From: Satrio Arismunandar <satrioarismunan...@yahoo.com>
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Pembiaran Negara (Indonesia ini mau dibawa ke 
mana?)
�



Pembiaran Negara

Jumat, 13 Agustus 2010 | 1:59 WIB

 

Editorial



Di negeri ini, berbagai

persoalan rakyat sepertinya tak kunjung selesai: kenaikan harga-harga kebutuhan

pokok, kekerasan yang terus merebak, gangguan terhadap kebebasan berkeyakinan,

kemiskinan. Pemberitaan mengenai penderitaan rakyat di seluruh pelosok negeri

hadir dihadapan kita, silih berganti. Situasi ini sangat kontras dengan

syarat-syarat kemajuan yang kita punyai, misalnya sumber daya alam, gotong

royong, dan lain sebagainya. Krisis multidimensi adalah kata yang tepat untuk

melukiskan keadaan negara saat ini. Dan kita sedang memasuki suatu fase yang

disebut ‘nation and character destruction’.

Sementara itu, tidak terasa, bahwa republik ini akan berusia 65 tahun sejak

diproklamirkan pad tanggal 17 agustus 1945. Dibandingkan dengan cita-cita

proklamasi, situasi sekarang ini sudah sangat jauh bertolak belakang. Dalam

pembukaan UUD 1945 jelas-jelas disebutkan tujuan dan arah negara ini dibentuk,

yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial.

Namun, setelah berpuluh-puluh tahun hidup berbangsa dan bernegara, negara

tidak lagi melindungi tumpah darah Indonesia. Negara-negara benar-benar absen

dalam kehidupan real rakyat sehari-hari; golongan minoritas ditindas, TKI/TKW

disiksa di luar negeri, rakyat dirampas tanahnya, buruh menuntut kesejahteraan,

dan lain sebagainya. Apakah itu tujuan dari negara hasil proklamasi kemerdekaan

17 Agustus 1945?

Bagaimana kita bisa menamakan seorang anak yang katanya sudah dewasa, kalau

kenyataannya dia masih disuap oleh ibunya. Begitu pula dengan sebuah bangsa yang

dikatakan merdeka, namun sebagaian besar rakyatnya masih terjajah secara fisik

dan fikirannya. Negara hasil proklamasi 17 Agustus 1945 sedang berusaha

dilikuidasi oleh neo-kolonialisme, yang dibantu oleh agen-agen politik dan

ekonominya di dalam negeri.

Pemerintah kita, meskipun dipilih secara rutin melalui pemilu oleh rakyat,

namun mereka tidak pernah bekerja untuk kepentingan nasional dan seluruh rakyat;

sebaliknya, pemerintah kita justru memilih bekerjasama dengan kepentingan

kapitalisme global.

Akibatnya, kendatipun kita disebut negara merdeka, namun kebijakan ekonomi

dan politik kita dikendalikan dari luar. Sudah begitu, semua produk kebijakan

politik pemerintah ini tidak pernah melindungi dan mensejahterakan rakyat, malah

mendorong eksploitasi dan penindasan yang tiada taranya; UU nomor 25 tahun 2007

tentang Penanaman Modal, UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UU

nomor 22 tahun 2001 mengenai Migas, dan masih banyak lagi.

Dapat disimpulkan, bahwa kita sedang mengalami “kevakuman” kepemimpinan

nasional, tidak ada pemerintah yang benar-benar bisa memerintah. Tokoh legenda

kuno Jepang, Toyotomi Hideyoshi, pernah berkata; “jadilah seorang pemimpin,

bukan atasan”. Menurutnya, seorang pemimpin harus berani memasuki masalah,

mengambil langkah, dan memutuskan sebuah solusi. Jangalah seorang pemimpin

melakukan pembiaran, melakukan curhat, dan hobby menyampaikan perkataan yang

tidak jujur kepada rakyat.

Presiden SBY kurang memahami pesan Hideyoshi di atas. Ada banyak pihak yang

mengeluh dengan gaya kepemimpinan presiden SBY, yang terlihat sangat lamban,

kurang tegas, dan terlalu mudah untuk mengeluh di hadapan rakyat. Jika seorang

pemimpin keseringan mengeluh, maka bagaimana dia bisa menyakinkan rakyat untuk

maju?

Tentu saja, mau tidak mau kita harus memilih diantara dua pilihan;

melanjutkan cita-cita negara hasil proklamasi 17 Agustus 1945, ataukah memilih

untuk menjadi bangsa yang terombang-ambing,-bangsa kuli di antara

bangsa-bangsa.

Akhirnya, menutup editorial ini, kami kembali menegaskan perkataan Bung

Karno; kita bertujuan bernegara untuk satu windu saja, kita bertujuan bernegara

untuk seribu windu lamanya. Bernegara untuk selama-lamanya. Sekali merdeka,

tetap

merdeka!]



[Non-text portions of this message have been removed]





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke