Oleh Andika Hadinata http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/20/opini/3838190.htm =======================
Ada kabar gembira untuk negeri kita dari ajang APEC di Sydney (8-9 September 2007). Australia memberikan bantuan 30 juta dollar Australia untuk pengelolaan hutan Kalimantan. Bantuan juga didapat dari AS. Presiden Bush memberikan 20 juta dollar AS yang berasal dari pajak warga Amerika untuk dipergunakan dalam mengatasi penggundulan hutan di negeri kita (Kompas, 9/9). Negara maju setiap tahun memang menyiapkan bantuan 100 juta dollar AS hingga 500 juta dollar AS per 1 juta hektar hutan bagi negara yang melestarikan hutannya. Bantuan-bantuan tersebut di satu sisi patut disyukuri. Tingkat kesadaran negara-negara maju akan lingkungan, seperti pemanasan bumi, sudah lebih tinggi sehingga soal uang untuk pelestarian hutan di negara-negara tropis seperti Indonesia bukan menjadi masalah lagi. Seperti diketahui, hutan tropis kita merupakan paru-paru bagi dunia dan negeri kita kini menjadi negara pembuang emisi terbesar ketiga setelah AS dan China. Di sisi lain, bantuan-bantuan itu seharusnya membuat kita malu meskipun urat malu kita konon sudah putus. Mengapa malu? Masalahnya, di dalam negeri, kepedulian dan komitmen kita pada lingkungan masih rendah. Lihat saja, praktik pembalakan liar dan perusakan hutan menjadi-jadi. Menurut Greenpeace, 70 persen hutan kita sudah musnah. Keserakahan para cukong hutan yang berkolusi dengan aparat atau birokrat kita adalah penyebab utama. Kepunahan dan kerusakan itu menjadi bukti bahwa komitmen kita untuk menjaga lingkungan sebenarnya masih sering lip service. Bahkan jika dikaji lebih dalam, ada paradoks yang getir di balik besarnya bantuan asing untuk lingkungan kita. Pasalnya, pemerintah, yang paling bertanggung jawab untuk melestarikan lingkungan, agaknya hanya senang mendapat bantuan dari mancanegara. Di dalam negeri, anggaran untuk pengelolaan lingkungan yang dipatok sendiri oleh pemerintah justru begitu rendah. Bayangkan besar anggaran lingkungan hanya 0,9 persen dari total APBN kita yang mencapai Rp 650 triliun. Ini jumlah terendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Bandingkan dengan China yang anggaran pengelolaan lingkungan mencapai 6 persen atau Vietnam yang 5 persen dari APBN mereka. Kecilnya anggaran jelas membuktikan, sesungguhnya persoalan lingkungan di Tanah Air masih disepelekan atau dianaktirikan. Yang mengecewakan, kadang masalah lingkungan pun menjadi bagian dari politik pencitraan. Apa tidak kelewatan jika anggaran untuk lingkungan harus dikalahkan oleh besarnya anggaran untuk kunjungan dinas, "kunker", atau yang lain? Kecilnya anggaran untuk pengelolaan lingkungan juga menunjukkan bahwa para penguasa, baik di tingkat pusat maupun di daerah, sebenarnya tak punya visi lingkungan hidup sama sekali. Mengingat mereka tak punya visi atau visinya keliru, Jadi tak pernah ada kebijakan konkret guna mencegah kerusakan lingkungan hidup. Malah seperti sudah disebutkan di atas, mereka tega berkolusi dengan cukong hutan atau pengusaha nakal untuk mengeksploitasi alam. Akibatnya kerusakan lingkungan hidup di negeri ini kian parah. Dalam buku Small is Beautiful, EF Schumacher sudah mengingatkan "Manusia modern tidak menghayati kehidupannya sebagai bagian dari alam, tetapi sebagai kekuatan luar yang menguasai dan menaklukkan alam. Manusia berbicara soal perjuangan melawan alam karena dia lupa bahwa seandainya menang dalam perjuangan itu, sesungguhnya dia juga berada di pihak yang kalah". Memang besarnya anggaran bukan tolok ukur satu-satunya untuk mengetahui tinggi rendahnya komitmen lingkungan. Banyak penduduk asli dengan kearifan lokalnya atau orang biasa yang tak pernah terekspos media diam-diam malah berkarya nyata menjaga lingkungan meski tidak punya uang sama sekali. Dalam aras negara, anggaran lingkungan yang memadai jelas amat diperlukan, seperti untuk reboisasi dan kebun raya. Para warga asli tersebut bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk tidak menyepelekan lagi masalah lingkungan. Armstrong, seorang astronot Amerika, pernah ditanya perasaannya saat melayang-layang di luar angkasa dan bagaimana kesannya saat melihat bola Bumi. Apa katanya? "Tiba-tiba menyembul perasaan sentimentil, betapa bola itu menjadi satu-satunya tempat bagi manusia untuk hidup. Seharusnya setiap penghuni mencintai apa yang ada di Bumi dengan penuh rasa syukur kepada sang Pencipta." Andika Hadinata Rohaniwan; Aktivis Lingkungan, Tinggal di Roma-Italia