http://www.utankayu.org/in/index.cfm?action=detail&cat=news&id=18
Tadarus Ramadan tentang Al-Ghazali Senin 1 Oktober 2007, rangkaian Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Komunitas Utan Kayu telah usai. Tadarus pada tahun ini mengulas pemikiran Al-Ghazaliseorang pemikir Islam termasyhur pada abad ke-11 Masehi yang dijuluki sebagai hujjatul Islam (Argumentasi Islam). Diskusi kemaren ditutup presentasi dari Prof. Dr. KH Said Aqiel Siraj, ketua PBNU, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer dari guru besar UIN Syarif Hidayatullah dan Dr. Abd Moqsith Ghazali dari Jaringan Islam Liberal. Mereka bertiga membahas kitab Al-Ghazali yang paling terkenal Ihya Ulûmiddin. Bagi Aqiel Siraj, kitab Ihya adalah proyek harmonisasi antara ilmu fikih, teologi dan tasauf. Di sinilah letak kepiawaian Al-Ghazali, apabila sebelum era Al-Ghazali, tiga kelompok tersebut saling menyerang bahkan tak jarang mengafirkan, namun di tangan Al-Ghazali tiga aliran tersebut dipadukan sebagai pendorong manusia untuk bergegas menjawab panggilan Tuhan. Dan Al-Ghazali adalah sosok yang sangat rindu pada pertemuan dengan Tuhannya. Dalam diskusi tersebut, Goenawan Mohamad juga menyumbangkan salah satu esainya tentang Al-Ghazali yang berjudul Al-Ghazali dan Kepastian. Esai tersebut melacak bagaimana Al-Ghazali mencari kepastian dalam pengetahuan. Goenawan Mohamad mencatat pergulatan hidup Al-Ghazali. Di akhir abad ke-11 itu, Al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan menjauhi tiga hal: kedekatangan dengan kekuasaan politik, pengangung-agungan hukum agama, dan kontroversi tentang kebenaran. Bagi Goenawan Mohamad, Al-Ghazali, sebagai seorang sufi, dapat mengklaim bahwa dalam yakin itulah terdapat kepastian yang dicarinya. Ia menunjukkan bahwa filsafat tak dapat membawanya ke sana. Seperti dikatakannya dalam prakata pertama Tahafut, tak ada yang tetap dan ajeg dalam posisi para filosof yang ditelaahnya. Seandainya teori metafisik mereka secara nalar dapat membawa kita yakin sebagaimana pengetahuan aritmatik mereka, kata al-Ghazali tentang lawan-lawannya itu, mereka tak akan berbeda di antara mereka sendiri dalam persoalan-persoalan metafisik. Tak perlu dikatakan lagi rasanya, bahwa al-Ghazali bukan pemikir dari zaman ini dan dengan kesadaran itulah ia kita ikuti. Jika dibaca sekarang, statemen di atas -- yang kita tahu tak semestinya ditujukan buat filsafat, karena filsafat tak lagi terkait dengan klaim kesahihan ilmu-ilmu pasti -- lebih merupakan kesalah-fahaman akhir abad ke-11. Imam Ghazali adalah pemikir Muslim yang disegani. Ia dikenal bukan hanya sebagai sufi, melainkan juga teolog, ushûli (ahli ushul fiqh), faqîh (ahli fiqh), pakar logika (manthiq) bahkan filosof. Ia menulis ratusan buku, di antaranya Ihya` Ulum al-Din, Minhaj al-`Abidin, al-Iqtishad fi al-Itiqad, tahafut al-Falasifah, Mihak al-Nazhar fi al-Manthiq, al-Mustashfa min `Ilm al-Ushul. Atas karya-karyanya ini, di samping mendapatkan pujian, al-Ghazali menuai kritik. Dalam Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal (JIL) tahun ini, tiga buah karya Al-Ghazali telah dibedah, Tahafut al-Falasifah (Keruwetan Para Filosuf) Selasa, 18 September dengan narasumber: Zainun Kamal, Luthfi Assyaukanie, dan Mulyadikertanegara, Faysal al-Tafriqah Baynal Islam wal Zandaqah, Selasa 25 September dengan narasumber: KH Husein Muhammad, Nanang Tahqiq, dan Novriantoni dan terakhir Ihyâ Ulûmiddin. Bagi anda yang ingin membaca tulisan Goenawan Mohamad tentang Al-Ghazali dan Kepastian silakan kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] --------------------------------- Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out. [Non-text portions of this message have been removed]