Perspektif Baru Hubungan Indonesia-Jepang function Big(me) { me.width *= 1.700; me.height *= 1.700; } function Small(me) { me.width /= 1.700; me.height /= 1.700; } THOMDEAN / Kompas Images Rabu, 30 April 2008 | 01:48 WIB Meta Sekar Puji Astuti Tahun 2008, terhitung sejak 20 Januari 1958 hingga 19 Desember 2008, dicanangkan oleh Pemerintah Jepang dan Indonesia sebagai tahun peringatan hubungan diplomatik Indonesia-Jepang ke-50. Tahun ini disebut-sebut sebagai tahun emas hubungan Indonesia-Jepang. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hubungan ini dihitung sejak 1958? Apakah signifikansinya? Sejak kapankah interaksi dan hubungan kedua bangsa ini mulai dilakukan? Apakah hubungan kedua negara ini layak diberikan predikat hubungan emas? Usia peringatan ke-50 tahun hubungan Indonesia-Jepang merupakan perhitungan yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian perdamaian kedua negara sehingga tercatat jalinan diplomatik secara resmi. Hubungan usia emas atau 50 tahun kedua negara ini lebih cenderung bersifat politis dan hubungan state to state. Menurut catatan Fa Hsien, interaksi masyarakat Indonesia-Jepang kemungkinan telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu (Frei, 1992; Meta, 2008). Sebelum abad ke-19, hubungan dan interaksi kedua bangsa, meskipun Jepang masuk pada periode isolasi negara, tak pernah putus hubungan dengan adanya perdagangan VOC dan Jepang (Meta, 2008). Fakta menunjukkan interaksi masyarakat Jepang dan masyarakat Indonesia telah melampaui masa perjalanan lebih dari 50 tahun. Menurut penelitian William B Horton, seorang peneliti dari Michigan University, Amerika Serikat, jumlah penelitian dan publikasi baru hasil karya peneliti Indonesia mengenai sejarah hubungan Indonesia-Jepang di Indonesia selama 15 tahun terhitung sejak tahun 1990-an sangatlah minim. Ia mengambil contoh jumlah tema skripsi di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada di tahun 1990-an. Terdapat beberapa tema skripsi mengenai hubungan Indonesia-Jepang walaupun dalam jumlah tidak terlalu signifikan. Meski hubungan sejarah Indonesia-Jepang memiliki hubungan istimewa, topik ini bukan pilihan favorit para peneliti Indonesia. Topik juga banyak didominasi sejarah pendudukan. Cendekiawan Indonesia memang lebih banyak mengekspos masa-masa kegelapan (darkness) dan dualitas kekuasaan militer Jepang di Indonesia (Goto, 2003). Zaman toko Jepang Dari sekian publikasi hubungan sejarah Indonesia-Jepang yang masih minim, jarang sekali diekspos secara khusus interaksi masyarakat Jepang di Hindia Belanda pada masa prapendudukan militer Jepang. Meskipun beberapa gelintir peneliti Indonesia sudah meneliti topik ini, jumlah publikasinya masih bisa dihitung dengan jari. Beberapa alasan utama mengapa masa ini kurang diminati peneliti Indonesia karena antara lain kendala bahasa (penguasaan bahasa Jepang). Kedua, pandangan umum masyarakat Indonesia, termasuk para cendekiawan, menganggap tokoh orang-orang Jepang identik dengan mata-mata yang dipekerjakan oleh Pemerintah Jepang (Meta, 2008). Padahal, menurut Aiko Kurasawa, ahli sejarah perubahan sosial Indonesia dari Universitas Keio, kisah-kisah orang-orang Jepang di zaman ini merupakan kisah dramatis dan sangat menarik untuk disimak. Masa toko Jepang di Indonesia dimulai dengan kedatangan Karayuki-san yang diikuti pedagang kelontong, termasuk pedagang pikulan. Mereka biasanya laki-laki muda Jepang. Pedagang-pedagang ini di kemudian hari sukses mendirikan toko-toko Jepang di pelosok Indonesia beserta jaringannya. Beberapa perusahaan dan bank besar di Jepang juga terlibat. Keuletan mereka dalam melakukan bisnis di pelosok Indonesia patut dijadikan contoh kegigihan mengarungi kehidupan. Sayangnya, oleh Pemerintah Jepang, komunitas Jepang ini kemudian dipulangkan ke negaranya secara resmi dan bertahap. Beberapa tokoh di antaranya kembali dipekerjakan pemerintah pendudukan Jepang untuk membantu pemerintahan militer. Sejak tahun 1942, komunitas ini bisa dikatakan menghilang di bumi Nusantara tanpa bekas yang berarti. Belajar dari kentang dan kopi Kentang dalam bahasa Jepang disebut jagaimo. Asal kata jagaimo adalah jagarata no imo atau kalau diartikan berarti imo atau umbi dari Jakarta. Kopi dalam bahasa Jepang disebut dengan koohii. Menurut perkiraan para ahli, biji kopi di Jepang didatangkan pertama kali dari tanah Jawa (juga di Amerika Serikat). Kata koohii diperkirakan berasal dari kata koffiee, dari bahasa Belanda. Di masa sekarang ini masyarakat Jepang dikenal sebagai penikmat dan peminum kopi fanatik. Kentang juga sering menjadi bahan utama hidangan keluarga yang sering disajikan, misalnya nikujaga. Meskipun merupakan benda sederhana dan biasa, kopi dan kentang sebenarnya mempunyai nilai historis yang tinggi dalam ikatan jalinan antarbangsa Indonesia-Jepang. Studi mengenai hubungan antarmasyarakat atau people to people Jepang dan Indonesia tampaknya perlu digali lebih dalam lagi. Dengan demikian, masyarakat Jepang maupun Indonesia dapat saling berbagi pengalaman serta belajar hingga diharapkan dapat dicapai hubungan yang bersifat saling memahami. Beberapa acara perayaan seremonial sehubungan dengan peringatan hubungan diplomatik Indonesia-Jepang telah dan akan digelar baik di Jepang maupun di Indonesia. Kedatangan anggota keluarga kekaisaran Jepang, Pangeran Akishino dan istri, ke Indonesia termasuk salah satu acara menandai peringatan akbar ini. Meski demikian, perayaan hubungan persahabatan kedua bangsa bisa dilakukan secara sederhana, dari benda-benda sederhana, kisah-kisah sederhana, tidak melulu dengan perayaan bersifat seremonial yang mewah dan megah. Meta Sekar Puji Astuti Dosen FIB Unhas; Sekretaris Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang Sulawesi Selatan http://www.kompas. com/kompascetak. php/read/ xml/2008/ 04/30/01480754/ pers
KPSBI-HISTORIA Phone: (021) 7044-7220, Mobile: 0818-0807-3636 [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED] http://kpsbi-historia.blogdrive.com --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. [Non-text portions of this message have been removed]