Cukup sudah...masa janji. Cukup sudah...sabar menanti.
Cukup sudah derita dialamai.....

Saya rasa seruan-seruan tersebut sangat sesuai dengan keadaan "carut -marut" 
nya politik, ekonomi, pendidikan dan pembangunan di Indonesia ini.
Sudah saatnya rakyat bertindak dan bersatu untuk meluruskan kembali Indonesai, 
demi "Kejayaan Nusa dan Bangsa" dimasa mendatang dan demi untuk anak cucu kita.
Jangan jual Indonesia kepada pihak-pihak asing lagi dan mentelantarkan 
masyarakat luas, hanya untuk kepentingan politik para pemimpin sekarang.

Seratus Tahun Kebangkitan Nasional sudah tiba, namun sedikitpun kita belum 
bangkit untuk kepentingan bangsa dan rakyat sendiri. Saat ini kepentingan hanya 
untuk pihak-pihak tertentu saja.

Salam,
Yuli

--- On Sun, 5/4/08, Rudi Hartono <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Rudi Hartono <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [Forum Pembaca KOMPAS] Belanda Tak Mengakui Kemerdekaan RI 17 
Agustus
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Date: Sunday, May 4, 2008, 1:32 PM

Tidak ada yang benar-benar berubah sejak kemerdekaan formal (17 agustus 1945) 
hingga sekarang ini. sepertinya yang berganti hanya orang-orang yang memerintah 
kita. sekarang kita diperintah oleh pejabat dari kalangan bangsa kita sendiri, 
akan tetapi perlakuan mereka terhadap rakyat tetap sama, yakni menindas. 
kemerdekaan 17 agustus hanyalah kemerdekaan formal. pengakuan kedaulatan kita 
oleh penjajah hanya dalam kesepakatan- kesepakatan formal, yang pada prakteknya 
justru sangat berbeda. setelah merdeka, sektor-sektor ekonomi yang penting 
masih dipegang oleh Belanda. kekuasaan asing terhadap sektor ekonomi kita yang 
vital, baru sedikit terguncang pada saat ada gelombang anti-imperialis yang 
sangat kuat paska KMB. tahun 1957, Serikat buruh yang bahu-membahu dengan 
politisi sayap kiri melancarkan aksi pengambil-alihan perusahaan asing 
(nasionalisasi) . pada saat yang bersamaan, Bung Karno juga menggagas beberapa 
program untuk kemandirian ekonomi kita,
 diantaranya; program
banteng, nasionalisasi, dan rencana urgensi ekonomi 1957. tetapi semuanya 
gagal. kegagalannya selain terletak pada borjuasi dalam negeri yang lemah, juga 
karena ganggung politik dan keamanan dalam bentuk sabotase yang dilancarkan 
kelompok kanan (PRRI Permesta).

Orde baru berkuasa dan seluruh harapan untuk kemerdekaan penuh pun sirna. 
harapan untuk menjadi bangsa yang besar, berdaulat, dan sejahtera dibuang ke 
tong sampah, digantikan dengan politik "menjadi bangsa kuli" dan tunduk pada 
dikte dan kepentingan asing. orde baru berkuasa dengan mengundang kembali modal 
asing. Freeport mendapat ladang emas dan tembaga di Papua, dan banyak lagi.

.....Hingga sampai sekarang ini, kita tidak pernaah benar-benar mengontrol 
kekayaan alam negeri kita. semua sektor ekonomi yang vital dikuasai oleh asing. 
pada saat rakyat diberbagai pelosok antre untuk mendapatkan minyak tanah, 
korporasi asing dengan seenaknya menampung minyak-minyak itu ditangkinya sambil 
menunggu harga minyak terus meroket dan keuntungan mereka berlipat-lipat. 
85%-90% pengelolaan migas kita dikuasai dan dijalankan oleh asing. akibatnya 
industri dalam negeri terbawa dalam situasi sulit (terancam bangkrut) akibat 
kuranganya pasaokan energi.

ayo, kita gelorakan kembali perjuangan pembebasan nasional. saatnya kita 
menyatakan "cukup sudah jadi bangsa kuli, Bangkit jadi bangsa mandiri".

Kirim email ke