body { font:x-small georgia;} body { border-style:none; background:white; 
margin:3px; padding:0; }Nasib Para Kuli di Pelabuhan  Tanjung Priok
 
    function Big(me)  {  me.width *= 1.700; me.height *= 1.700;  }  function 
Small(me)  {  me.width /= 1.700; me.height /= 1.700;  }             
KOMPAS/WISNU  WIDIANTORO / Kompas Images  
Buruh angkut barang di pelabuhan penumpang Tanjung Priok, Jakarta Utara,  antre 
untuk memasukkan barang ke dalam kapal Lambelu, Jumat (25/4).  

Senin, 5  Mei 2008 | 01:15 WIB  Pascal Bin Saju
 Hidup serba sulit sebagai buruh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.  
Bahkan menurut Ahmad Ridwan (46), ibaratnya hidup enggan, mati tak mau. Tanjung 
 Priok adalah gula bagi para eksportir, importir, pengusaha, maupun oknum 
aparat.  Namun tidak bagi buruh. Meski berperan besar, tetapi buruh tetap  
terpinggirkan.
 Menjadi buruh berarti hidup melarat karena memang sangat miskin. Tidak ada  
yang bisa diharapkan untuk hari esok. ”Bekerja hari ini hanya untuk dimakan 
hari  ini. Kalaupun besok masih ada napas, belum tentu juga bisa dapat uang,” 
ujar  Ahmad, yang sudah delapan tahun sebagai kuli di terminal penumpang 
Tanjung  Priok.
 Ayah dua anak ini merupakan bagian dari sebuah komunitas buruh dalam  
organisasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM). Jumlahnya mencapai 3.568 orang, 
dan  jumlah itu belum termasuk buruh liar. Buruh tersebar di setiap perusahaan  
bongkar muat atau PBM, terminal operator, terminal peti kemas, serta di 
terminal  penumpang.
 Pekerjaan buruh itu umumnya adalah memindahkan barang dengan cara dipanggul  
atau ditarik, baik dari kapal ke darat maupun dari lapangan penyimpanan ke  
gudang. Meski jenis pekerjaannya hanya satu, tetapi barang yang mereka tangani  
bisa mencapai ratusan jenis. Barang yang mereka tangani mulai dari besi  
batangan, tiang besi atau kayu, pupuk, semen, gula, beras, tekstil atau 
pakaian,  hingga barang-barang elektronik.
 Seperti Ahmad di terminal penumpang pada siang itu. Tangan kanannya menyeret  
sebuah karung besar. Tangan kirinya memegang kantong kecil di pundaknya.  
Keringat bercucuran di wajahnya.
 Dengan setengah berlari, dia mendekati Hasan (41) dan Misan Yadi (39),  
rekannya yang juga kerepotan memikul barang ke kapal Dobon Solo.
 Suasana tampak hiruk pikuk. Pada saat itu, Ahmad, Hasan, dan Misan memang  
tengah memikul dan menarik barang upahan seorang calon penumpang tujuan Papua 
ke  kapal. ”Kami bertiga diupah Rp 45.000 untuk menarik barang-barang itu.  
Masing-masing mendapat Rp 15.000. Lumayan,” kata Ahmad dan Hasan.
 Ahmad, ayah dari tiga anak yang masih kecil-kecil itu, mengatakan bahwa  
dirinya sebenarnya sudah tidak kuat bekerja karena sering sakit-sakitan.
 ”Saya kalau memikul beban paling tinggi seberat 40-50 kilogram. Kalau sudah  
lebih dari itu, saya seret saja. Selama delapan tahun bekerja seperti ini, saya 
 sering sakit,” katanya.
 Dia mengaku terlambat menikah. ”Saya menikah pada usia 40 tahun. Saya harus  
bekerja demi tiga anak itu. Hal paling berat yang selalu mengganggu pikiran 
saya  adalah tentang masa depan mereka,” kata pria asal Lampung ini.
 Masa depan anak-anaknya tidak jelas karena dia tidak punya tabungan, tidak  
punya tanah dan rumah. Dia tinggal di rumah kontrakan sejak delapan tahun lalu, 
 dengan biaya Rp 250.000 per bulan.
 Tiga hari seminggu
 Sama seperti Hasan dan Misan, Ahmad bekerja tiga hari dalam seminggu. ”Kami  
bekerja tiga hari seminggu, yakni setiap Senin, Selasa, dan Jumat. Pada  
hari-hari itu biasanya ada kapal penumpnag yang datang dan pergi. Setiap hari  
bisa membawa pulang Rp 25.000 hingga Rp 40.000,” katanya.
 Konflik antara tuntutan perut keluarga dan rendahnya penghasilan sebagai  
buruh juga dialami Munajat (32), seorang buruh asal Banten. ”Kadang-kadang saya 
 hanya dapat Rp 15.000 dalam sehari. Cukup tidak cukup, uang itu 
dicukup-cukupin.  Saya sering kali hanya bisa makan mi rebus atau mi goreng 
dalam sehari,”  katanya.
 Setiap hari, mereka memberikan iuran sebagai anggota TKBM sebesar Rp 5.000.  
Dari uang itu, buruh bisa mendapat rompi atau baju seragam berwarna kuning  
dengan tulisan TKBM. ”Pada saat buruh sakit, atau anggota keluarga buruh itu  
sakit, memang organisasi juga membantu biaya pengobatan,” kata mereka.
 Buruh lainnya, Karna (34), lebih berat lagi. Karna menjadi kuli semen, beton,  
tiang panjang, pupuk, gula, serta beras. Dalam seminggu hanya tiga hari kerja.  
Setiap hari bisa mengantongi Rp 40.000-Rp 60.000. Dia menjadi buruh 
menggantikan  ayahnya yang sudah tua.
 Ayah dari empat anak ini mengatakan, karena hanya bekerja tiga hari, dan  
empat hari lainnya tidak bekerja, penghasilan selama tiga hari itu jelas jauh  
dari kebutuhan. Untuk mengisi hari-hari libur itu, dia bekerja sebagai tukang  
ojek.
 ”Saya hidup tekor terus setiap hari karena banyak utang kepada tetangga,”  
katanya.
 Dia berharap nasib para buruh bongkar muat ini bisa di- perhatikan  
pemerintah. ”Kerja seperti kita ini risikonya nyawa,” tutur Karna, warga  
Kompleks UKA, Koja, Jakarta Utara.
 Hal senada disampaikan Samlawi 45, Harim 35, Rahmat 40, dan Oom (56), tenaga  
kerja bongkar muat lainnya. Mereka berharap, ke depan, pemerintah memerhatikan  
nasib kesejahteraan dan jaminan kesehatan untuk buruh bongkar muat.
 ”Saya hanya bisa membawa uang ke rumah sekitar Rp 25.000 per hari,” kata  
Rahmat.
 Meski Rahmat bisa mengantongi uang hingga Rp 40.000 per hari kerja, tetapi  
itu tidak diterimanya utuh. Banyak potongan karena harus melunasi utang pas  
untuk masuk pelabuhan dan makan sehari dua kali.
 Pelabuhan Tanjung Priok adalah pelabuhan dengan lalu lintas barang untuk  
pasar lokal dan ekspor yang terpadat. Namun, buruh tetap tidak pernah  
diuntungkan dari aktivitas tersebut. Buruh tetap saja harus memeras keringat  
lebih agar bisa bertahan di tengah impitan kenaikan harga.


       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke