Oleh Moh Mahfud MD
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/11/01065283/pemberhentian.pejabat.korup


Kesaksian Hamka Yandhu di Pengadilan Tipikor yang mengaku menyerahkan
uang dari Bank Indonesia kepada beberapa anggota DPR, memunculkan
desakan agar Presiden memberhentikan Paskah Suzetta dan MS Kaban
(Kompas, 31/7/2008). Pimpinan parpol yang anak buahnya terseret kasus
itu tampak ragu.

Ketua Fraksi PDI-P di DPR Tjahjo Kumolo mengatakan akan menindak tegas
anggotanya jika terbukti menerima uang haram itu. Namun, katanya,
anggota yang disebut-sebut itu mengaku tak menerima ”langsung” dari
Hamka Yandhu. Ketua Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim
Saifuddin menyatakan akan meminta klarifikasi anggotanya yang
disebut-sebut Hamka Yandhu dan akan memberhentikan jika benar menerima
uang haram itu. Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla mengatakan takkan
melindungi anggotanya dan pasti memberhentikan mereka jika telah
dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan.

Jadi, tunggu dulu sampai mereka mengaku, memberi klarifikasi, atau
sampai ada putusan pengadilan.

Tak perlu menunggu

Sebenarnya tak salah jika pimpinan partai atau Presiden bersikap
menunggu, baik menunggu pengakuan maupun menunggu putusan pengadilan.
Menunggu dapat dilihat sebagai sikap kehati-hatian sebelum mengambil
tindakan yang mungkin dapat membunuh karier dan masa depan seseorang.
Namun, dari segi lain, menunggu bisa menghambat upaya pemberantasan
korupsi.

Perlu diingat, dalam hampir semua kasus korupsi tidak ada orang yang
mau mengaku. Pengakuan biasanya baru diberikan jika sudah dipepet alat
bukti. Maka, di peradilan pidana, pengakuan tak selalu diperlukan
sebab yang dipentingkan adalah kebenaran materiil yang didukung
alat-alat bukti lain. Artalyta Suryani tetap dihukum dan dinyatakan
bersalah secara sah dan meyakinkan meski sampai akhir persidangan
bersikeras tidak mau mengaku telah menyuap.

Juga untuk mengambil tindakan atas jabatan, tak harus menunggu putusan
pengadilan. Proses peradilan bisa berlangsung lama, padahal secara
moral mereka yang masih menjabat tidak kredibel untuk terus menjabat.
Jika menunggu putusan pengadilan, proses hukum mungkin belum selesai
hingga masa jabatan orang itu berakhir.

Apalagi dengan kedudukannya, seorang pejabat dapat melakukan aneka
langkah, termasuk membeli kasus melalui judicial corruption, agar
proses hukum tak selesai-selesai, bahkan tak cukup bukti untuk
diajukan ke pengadilan. Dalam kasus ”Ayin-Urip Tri Gunawan” yang telah
divonis Pengadilan Tipikor, di Indonesia koruptor bisa membeli kasus
kepada penegak hukum.

Karena itu, untuk menindak pejabat yang ”menurut logika umum” sudah
cacat dan korup tak perlu menunggu ”pengakuan” atau ”putusan 
pengadilan.”

Landasan etik

Tindakan dapat segera diambil dengan menggunakan logika umum (common
sense) berdasarkan etika dan moral. Terhadap pejabat yang sudah
diindikasi korup secara terbukaâ€"sementara yang bersangkutan tidak
dapat memberikan alibi yang masuk akal untuk membalik logika yang
dipercaya umumâ€"dapat dijatuhi tindakan administratif tanpa harus
menunggu vonis pengadilan.

Maka, sejak tahun 2001, MPR memberi dua ketetapan, Tap No VI/MPR/2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Tap No VIII/MPR/2001 tentang
Arah dan Rekomendasi Pemberantasan KKN.

Tap No VI/MPR/2001 mengatur, pejabat publik yang terlibat kasus hukum,
membuat kebijakan yang meresahkan atau mendapat sorotan publik, harus
mau mengundurkan diri (dan dapat dimundurkan) tanpa harus dibuktikan
lebih dulu di pengadilan. Tap MPR No VIII/2001 menegaskan, pejabat
yang terlibat kasus hukum dapat dibebaskan dari jabatannya meski belum
diputus pengadilan. Ini memang terkait fatsun politik dan etika
kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya formalitas kepastian hukum.

Instrumen hukum ini dibuat berdasarkan pengalaman tentang banyaknya
pejabat korup yang tak pernah mau mengaku saat kasusnya mulai
diungkap, bahkan ikut bermain melalui judicial corruption, agar
kasusnya tidak masuk ke pengadilan.

Ketentuan itu sama sekali tidak melanggar hukum, HAM, atau asas
praduga tak bersalah yang berlaku umum. Ia merupakan ”tindakan
administratif” yang berlaku khusus bagi pejabat publik yang bermasalah
dengan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang
bersangkutan dapat segera mundur atau dimundurkan, sementara proses
hukumnya terus berjalan.

Karena itu, bagi pejabat yang kini disebut-sebut menerima uang haram
dari BI, yang menurut logika umum benar adanya, harus tahu diri untuk
segera meninggalkan jabatannya. Demi kredibilitas institusi, pimpinan
mereka pun perlu menindak mereka berdasarkan Tap MPR No VI dan VIII
Tahun 2001.

MOH MAHFUD MD Hakim Konstitusi

Kirim email ke