Kisut Liputan Kusut Jalanan Masai Monorail Jurnalisme adalah sebuah keberpihakan kepada warga. Indikasi pemberitaan tidak berpihak warga, Monorail di antaranya. JUMAT, 6 Maret 2009 menjelang ibadah Jumat. Acap saban minggu saya lakukan, berjalan kaki lebih sekilo ke Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Ada surau yang dekat rumah, tetapi umumnya khatib di Sunda Kelapa, berceramah berkonten paten. Sebagaimana pernah saya tulis tahun silam, berjalan-jalan di pagelaran pedagang kaki lima di halaman masjid menjadi pengalaman tersendiri, menjadi magnit lain di pusat kota di kawasan pemukiman elit Jakarta. Warung sate, soto Padang, lengkap dengan makanan Padang, serta sate ayam, ketoprak, tongseng, cincau, eh duren, es campur, gorengan, hingga rujak tersedia di pelataran jalan. Masuk ke halaman dalam, aneka pedagang mulai dari ikat pinggang, celana dalam, hingga celana panjang. Saya melihat-lihat pantalon berlabel DKNY, berbahan katun, yang di Mall bisa berbandrol ratusan ribu, di sana Rp 35 ribu saja. Ada pula jam kiloan buatan Cina, rata-rata Rp 15 ribu sebuah. Dua bulan lalu saya membeli anakan tanaman Anthurium Cobra sudah sejengkal tingginya. Di toko kembang bisa Rp 350 ribu, tak kurang, di pelataran masjid itu saya bayar Rp 70 ribu. Di penjual jam, saya selalu berhenti mengamati jam bekas. Dulu saya pernah menemukan merek Titoni, berpindah ke tangan saya dengan membayar Rp 25 ribu. Bagi penggemar batu akik, pelataran Sunda Kelapa itu surga. Kalah murah bila dibanding membeli ke kawasan pertama di bilangan Jatinegara, Jakarta Sealatan. Usai shalat, kemeriahan menjadi-jadi. Teriakan suara pedagang mempromosikan jualan kian meninggi. Terik mentari meningkahi hari. Beragam suara pedagang terdengar. Murah-murah. Obral-obral. Dari dialeg pedagang, kebanyakan penjual memang dari Minang. Seorang ibu berjualan t-shirt, kental sekali beraksen Padang. Keringat mengucur dari wajahnya, di saat mengembalikan uang. Dulu di masjid Al-azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan kemeriahan macam itu juga ada. Bahkan di Istiqlal, yang menjadi Lanmark Masjid Indonesia, juga sama. Tetapi di kedua masjid itu, kini tidak ada lagi pedagang asongan. Sehingga, keberadaan Sunda Kelapa yang di daerah elit, memang seakan bertolak belakang dengan kondisi para pedagang. Itulah uniknya Sunda Kelapa. Persis di sebuah warung sate Padang, saya menemui Anizar M. Jasmine, sosok mantan fotografer majalah Tempo, yang kini sudah pensiun sejak 6 tahun lalu. Wajahnya mulai terlihat tua. Facebook telah mempertemukan kami untuk mendiskusikan beragam hal berkait media. Anizar yang sehari-hari kini juga memilih mengerjakan apa saja di sektor informal, termasuk dari menempel ban sepeda anak tetangga. Kejernihan hati terpancar ikhlas di wajahnya. Banyak cerita yang ia ungkap kepada saya, soal bagaimana membersihkan hati di saat menjadi wartawan, terutama menghindari amplop. Ia menyebut isteri seorang konglomerat yang kediamannya dekat dari Masjid Sunda Kelapa. Saya pernah diberi amplop lumayan. Namun ke sekretariat rerdaksi saya laporkan, untuk kemudian dikembalikan dengan ucapan tarima kasih resmi dari kantor. Keesokan paginya, saya di telepon ibu itu, semula ia kecewa, tetapi setelah saya jelaskan ibu itu simpatik, kemudian hari malah bisa berteman, ujar Anizar. Paparan Anizar itu kini barang langka. Terlebih di banyak daerah. Menerima sesuatu dari sumber berita sudah macam makanan sehari-hari. Bahkan dengan jurnalis seakan menjadi profesi terbuka, bukan saja menerima amplop, bahkan ada pula kecenderungan meminta memaksa sumber berita meberi uang. Dari kenyataan demikianlah media kebanyakan, menjadi sulit independen. Apalagi menerbitkan media, juga membutuhkan biaya besar. Akibatnya total football, kami asumsikan 98% media tidak lagi independen dalam kebjikan redaksi, termasuk televisi di Indonesia kini. Kami kian prihatian, kini banyak pula penerbitan yang menyaru independen, tetapi menjual kapling halaman yang disebut isi, yang sesungguhnya macam promosi seseorang atau sesuatu. Imbalannya tentu lebih besar dari amplop. Tidak jernih lagi di mana pagar api, pembatas bisnis dan ruang redaksi. Lebih parah ada juga penerbitan cetak yang terjangkit ke dalam reportase copy paste, ujar Anizar. Kemalasan melakukan reportase, verifikasi ke lapangan, kembali membuat liputan mahasiswa Indonesia yang melompat dari lantai 4 di Nanyang Univesity di Singapura kemudian pah-poh. Ada yang menulis sebelum meloncat ia menyayat urat nadi tangan. Perihal itu sama dengan absurdnya liputan awal ditemukannya Adamair yang jatuh di Sulawesi Selatan, awal 2007, semula di daratan, lengkap dengan riancian reportase penemuan penumpang selamat dan reruntuhan. Entah dari mana karangan itu terjadi. Fakta yang acap terkarang entah dari mana itu, tersiar seakan profesional. Jangan pula ditanya pertanggung jawaban konten terhadap publik. Kamis malam saya menyimak liputan televisi soal Kyai yang menikahi anak 12 tahun, yang akan dibawa ke pengadilan. Liputan justeru beralih ke soal soal nikah siri. Inti masalah ihwal etis dan tidak mendidik, bukan hukum nikah siri. Esensi pelanggaran hak anak yang 12 tahun diperisteri, dan itu telah dipersoalkan komunitas peduli anak, justeru tidak mengemuka. Urusan esensi melebar kulit ke mana-mana. Selama ini saya menduga, eboh batu Ponari yang bisa mengobati terjadi, karena media televisi lebih deman kepada gossip, meruyak sesak pengunjung yang datang, dari pada melakukan peran mendidik warga . Frekuensi penyiaran adalah juga hak milik ranah publik, oleh lembaga penyiaran peran itu seakan dilupakan. Gossip bergaya infotainment lebih dipentingkan, terbawa aras rating. KAMIS, 5 Maret petang hujan lebat di DKI Jakarta. Di berbagai ruas jalan terjadi macet luar biasa. Pukul 15.30, di bilangan Rasuna Said ke arah Mampang sudah tak bergerak. Untungnya saya berjalan berlawanan arah. Setiba saya di rumah saya simak runing text di sebuah saluran teve: terowongan Jl. Casablanca, Jakarta Selatan, air setinggi 60 cm. Bisa dibayangkan kemacetan di sana. Momonitor radio, hal yang sama, berita kemcatan menggila. Sudah sejak lama pula saya menulis, bahwa Bus Transjakarta dengan Busway, sulit bisa mampu menyelesaikan urusan tranportasi kota. Setidaknya sudah 3 kali saya mereportase perihal pelayanan dan sistem tiket sebagai sumber korupsi. Kamis, 5 Maret itu, dari bilangan Pondok Indah Mall, saya menumpang Transjakarta, jalur 8 arah Harmoni, Jakarta Pusat. Halte masih bersih. Naik bis, juga masih baru, ada ruas lantainya yang diberi aksen macam amplas hijau, agar penumpang tak licin langkahnya. Ada 6 buah televisi flat yang memutar video berulang-ulang. Sayangnya konten video satu saja. Yakni tentang grup usaha kelompok Lorena. Ada corporate profil, badan usaha, jaringan dan berbagai unit usaha. Kendati cat bis ini abu-abu sebagaimana patron Transjakarta, tetapi ada kode LRN di pojok badan bis, yakni singakatan Lorena. Itu artinya bis ini disediakan oleh kelompok usaha Lorena yang dikerjasama oparasikan dengan PT Transjakarta. Bus dengan AC yang nyaman, tetapi membuat saya sangat terganggu bahwa Presiden Direktut Lorena, selain terlihat mempimpin rapat dan memberikan pengarahan dan bercakap ke penonton di teve yangh ditayangkan berulang-ulang, ada pula iklannya sebagai Caleg DPR-RI untuk partai tertentu. Itu artinya sebuah indikasi memerangkap publik naik ke bus publik itu dipaksa menonton: satu iklan partai saja. Saya juga sudah dua kali menulis Monorail. Dalam tulisan Monorail Taat Rel, Dialog Dodol dan Birokrasi di: http://presstalk.info.2402.masterwebnet.com/tajuk/detail.php?no=216 (silakan baca menjadi pelengkap utama tulisan ini) Dalam tulisan itu, saya deskripsikan bagaimana sesungguhnya proyek yang dapat memberi solusi kemacetan bagi Jakarta itu kemudian seakan terhenti. Di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan saja kini ada sekitar 80 batang tiang monorail yang terbengkalai, belum pula di daerah lain. Saya mengambil analogi pembuatan dodol warga Betawi di dalam tulisan itu: ihwal beras ketan yang merasa lebih penting. Santan kelapa tak ketinggalan, gula merah tak mau kalah. Ujung-ujungnya yang mengaku raja dodol, ingin menguasai proyek. Kompas, 3 Maret 2009, halaman 25 menuliskan dengan judul Kasus Monorel Bukti Kecerobohon Pemprov. Judul itu diangkat dari opini Milatia Kusuma Mukmin, anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Badan-badan adhoc MTI demikian sudah seharusnya keberpihakannya kepada publik, karena dibayar negara untuk kepntingan publik. Seharusnya badan macam ini bisa menggelar sidang terbuka kepada publik; benar tidaknya proyek monotail, dijalankan dengan benar atau korup, apakah jauh lebih efisien atau tidak, mengatasi macet atau tidak? Toh pelaksana di lapangan kini malah lebih dihargai bangsa lain, dapat proyek Monorail Mekah-Jedah, bernilai lebih dari US $ 4 miliar. Di negeri sendiri mereka terombang-ambing? Celakannya, MTI tidak melakukan verifikasi. Juga audit BPKP, terindikasi dipelintir pengertiannya. Padahal dari sisi sejarah, harusnya dilihat bagaimana sosok enjiner muda Indonesia yang ingin berbuat bagi infrastruktur kota, juga bagaimana sang Dirut PT Jakarta Monorail, Ruslan Diwirjo, sosok jujur dan terbukti berprestasi di kala masih menjadi Dirjen di Departemen Pekerjaan Umum dulu. Makanya, saya menempatkan pemberitaan monorail setara dengan tulisan-tulisan masa silam, sama dengan pemberitaan sepihak ihwal PT IPTN, pembuat pesawat, termasuk ihwal PT Texmaco Enjinering, yang mampu bikin mobil bagus dan panser dan murah, sama dengan situasi pembodohan terhadap mengatakan laut Indonesia tidak beryodium, sehingga perlu impor garam 1,5 juta ton setahun, sama dengan pembodohan pemberitaan ihwal puyer yang tak tahu juntrungan. Nah, dalam situasi media, wartawan, media mainstream bekerja di ranah macam obrolan saya dan Nizar mantan wartawan Tempo usai Jumatan tadi, memang ujung-ujungnya menegakkan keberpihakan kepada warga menjadi mutlak - - bukankah itu menjadi elemen kedua jurnalisme di buku The Element of Journalism? Premis jernih ihwal Jakarta Monorail sesungguhnya ada kepentingan bisnis besar yang ingin mengalahkan kepentingan publik. Nah badan macam MTI yang harusnya independen dan media yang sepantasnya berpihak ke warga bergerak.. Sehingga proyek yang seharusnya tidak bermasalah, seakan-akan dibuat kusut-masai. Dan sansailah warga DKI Jakarta, seakan tersandra tak memiliki solusi transportasi memadai. Karenanya kini dengan adanya citizen reporter, bahkan publik biasa, dapat memverifikasi inti masalah yang ada, bisa menuliskan agar kita terhindar dari sandra kepentingan sekelompok usaha. Termasuk mendesak Gubernur DKI untuk jujur kepada publik, bukalah inti masalah sebenarnya ke publik, jangan berlindung dari ketakutan tekanan sepihak kelompok tertentu, lalu kita semua sebagai warga korbannya. Naif benar bila bangsa hanya diobok-obok oleh satu manusia yang berusaha digdaya, tetapi merugikan kita semua. Ciumlah itu wahai media mainstream, agar hidup kita tidak sansai *** Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com
[Non-text portions of this message have been removed]