Anda terdaftar dengan alamat: arch...@mail-archive.com

e-JEMMi -- Kebajikan Bukan Milik Kita
No.51, Vol.15, Desember 2012

SEKILAS ISI
RENUNGAN MISI: KEBAJIKAN BUKAN MILIK KITA (YOHANES 3:16)
KESAKSIAN NATAL: KAMAR YANG KOSONG
SUMBER MISI: YAYASAN MERCY INDONESIA

Shalom,

Adakalanya peristiwa dalam kehidupan membuat kita mengambil keputusan untuk 
"menutupi" cahaya yang kita miliki dari Kristus. Peristiwa-peristiwa yang 
menyisakan luka dalam hidup, sering kali mengaburkan pesan Allah untuk menjadi 
terang bagi dunia. Kita lebih memilih untuk menenggelamkan hidup dalam 
keterlukaan: menutup diri terhadap kebaikan orang lain dan juga tidak 
menyampaikan kebaikan kepada orang lain. Tetapi, tentu saja bukan demikian 
maksud ujian yang diizinkan Tuhan untuk kita hadapi. Mungkin kita pernah 
mengalami kepahitan hidup seperti yang terjadi pada tokoh dalam kesaksian 
berikut ini. Kiranya kesaksian ini dapat membuat kita mengambil keputusan yang 
benar, saat menghadapi masa-masa sulit dalam hidup kita. Selamat membaca.

Redaksi Tamu e-JEMMi,
Berlian Sri Marmadi
< http://misi.sabda.org/ >


RENUNGAN MISI: KEBAJIKAN BUKAN MILIK KITA (YOHANES 3:16)

Dulu, saya adalah seorang tahanan dengan masa hukuman yang lama di suatu negara 
Komunis. Saya memunyai teman sesama tahanan, sejumlah besar mantan hakim dan 
jaksa penuntut, yang dihukum karena mereka pernah, suatu kali, mengadili 
orang-orang Komunis. Para hakim dan jaksa penuntut yang dulu menjatuhkan 
hukuman, sekarang mereka sendiri merasakan kerasnya kehidupan penjara. Mereka 
semua mengatakan bahwa seandainya mereka menjadi hakim lagi, mereka tidak akan 
pernah menjatuhkan hukuman berat yang mereka pernah jatuhkan sebelumnya. Mereka 
tidak pernah menyadari sebelumnya bahwa tertulis lima tahun hukuman penjara di 
atas kertas, tidaklah sama dengan lima tahun di balik terali besi. Tidak ada 
seorang pun yang mau menghabiskan lima tahun di dalam penjara. Tuhan membuat 
setiap hari dalam penjara berbeda dan setiap menit dari setiap hari memunyai 
penderitaannya sendiri. Pengalaman dalam menderita, mengubah pandangan 
seseorang atas pertanyaan akan penghukuman.

Di balik Yesus dan penderitaan gereja-Nya, ada Bapa yang mengurbankan Putra 
satu-satunya bagi keselamatan kita.

Apakah dibenarkan mengurbankan seseorang yang tidak bersalah demi keselamatan 
bagi para pelaku dosa? Berdasarkan standar manusia -- tidak! Kami tidak mau 
memikirkan seorang yang benar, yang berkuasa untuk mencegah, akan tetapi 
membiarkan putranya dicambuk, diludahi, dan disalibkan dengan tujuan untuk 
menyelamatkan para penjahat dari hukuman yang sangat layak mereka terima. Allah 
itu benar, tetapi Ia memunyai kebajikannya sendiri, yang mana kita serupa 
dengan-Nya oleh iman. Hanya dengan melakukan yang demikian, hanya dengan 
memikirkan Allah yang benar yang menurut standar kita, tidak boleh seperti itu, 
dapatkah kita menangkap bahwa Allah menganggap para pendosa dibenarkan, yang 
menurut standar dunia layak menerima penghukuman?

Kita tidak dapat mengerti jalan Allah, tetapi kita tahu dari firman-Nya bahwa 
Ia melakukannya karena Kasih. Kasih membebaskan kita dari dosa. Kasih selalu 
berarti bebas.

Di Macedo -- orang-orang Rumania, mereka tidak memiliki dalam bahasa mereka 
kata "mengasihi", mereka lebih menggunakan kata "memilih". Allah tidak hanya 
mengasihimu, Ia "memilih"mu dengan pilihan-Nya yang berkuasa. Ia memilih untuk 
memilikimu. Semua penolakanmu akan menjadi sia-sia.

Ia mengasihimu dalam pengertian tertinggi dari kata "kasih", yang artinya 
adalah menginginkan seseorang, bahkan jika menginginkan seseorang itu berakibat 
pada kematian. Oleh karena itu, kasih-Nya tidak dapat diekspresikan dengan arti 
lainnya, selain kematian yang menyakitkan -- Golgota.

Diambil dari:
Judul buletin: Kasih Dalam Perbuatan, September-Oktober 2009
Penulis: Richard Wurmbrand
Penerbit: Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya
Halaman: 2


KESAKSIAN NATAL: KAMAR YANG KOSONG

Bagi kami, kamar itu merupakan kamar yang nyaman karena kami mengubahnya dari 
kamar yang pengap dan gelap, karena sebelum kami pindah ke daerah pertanian di 
lembah ini, kami belum pernah memiliki kamar khusus untuk menerima tamu.

Suami saya dan saya senang menjamu tamu-tamu yang berkunjung. Kedua anak kami 
yang tertua sudah menikah dan pindah, tetapi ketiga anak perempuan asuh kami 
tetap membuat suasana rumah kami hidup dan gembira.

Hari itu, tanggal 30 April, adalah hari yang indah. Warna-warna musim semi 
menyemarakkan suasana seluruh lembah. Pohon dogwood (pohon yang bunganya 
berwarna putih atau merah pada awal musim semi) dan redbud (pohon yang bunganya 
kecil berwarna merah muda) memperkaya aneka warna lereng gunung. Perasaan saya 
melimpah dengan kebahagiaan dan kepuasan, sewaktu mencium suami saya sebelum 
saya berangkat kerja ke kota. Dua jam kemudian, di meja saya di ruang 
pengadilan, mereka menyampaikan sebuah catatan: "Suami Anda mendapat serangan 
jantung yang dapat menyebabkan kematian."

Betapa seringnya saya melihat musibah yang menimpa orang lain dan dengan 
sedikit bangga saya menghibur mereka. Namun, tidak ada lagi keindahan yang 
tersisa pada musim semi itu yang dapat menghibur saya. Perasaan sedih yang 
mendalam menguasai saya sampai beberapa minggu berikutnya. Kematian suami saya 
seakan-akan ikut melumpuhkan sebagian dari diri saya dan mengubah segalanya. 
Tanah pertanian yang semula begitu berarti bagi kami telah dijual setelah 
dilelang. Tidak ada yang tersisa, kecuali rumah tempat tinggal dan saya tahu 
rumah itu menjadi milik saya, hanya untuk sementara saja.

Pada saat itulah, saya mulai merasa takut dan iman saya mulai goyah. Di luar, 
musim semi berganti dengan musim panas, tetapi dalam diri saya terdapat dinding 
es yang memisahkan saya dengan Tuhan dan teman-teman saya. Saya berusaha 
memulihkan hubungan saya dengan Tuhan, supaya saya memperoleh penghiburan dan 
kelegaan, tetapi sia-sia. Sekarang, setelah melihat ke belakang, saya tahu 
sebabnya; doa-doa saya selalu diakhiri dengan pernyataan, "Mengapa, Tuhan? 
Mengapa saya?"

Pada saat-saat seperti itu, saya sama sekali tidak menginginkan penghiburan 
dari siapa pun. Saya hanya ingin menyendiri dan "menjilati luka saya". Karena 
itu, saya menolak kasih dan pertolongan yang ditawarkan teman-teman saya. Dan 
karena itu juga, saya menutup pintu yang menuju ke kamar khusus untuk tamu, 
yang merupakan hasil kerja keras Bob dan saya, sehingga kamar itu menjadi 
nyaman untuk dihuni. Kamar itu tetap tertutup sepanjang musim panas; sekarang 
tidak ada lagi tamu yang meramaikan rumah kami. Saya tidak dapat menghilangkan 
kesedihan yang saya rasakan.

Saya mencoba mengatakan kepada Tuhan bahwa saya percaya Ia mengetahui yang 
terbaik. Tetapi, sebenarnya saya tidak bersungguh-sungguh mengatakannya -- saya 
sama sekali tidak dapat melihat apa yang terbaik dari semua pengalaman ini.

Tanpa terasa bulan Desember sudah tiba. Biasanya, Natal merupakan masa liburan 
yang paling berarti bagi keluarga kami. Ada suatu kegembiraan tersendiri 
sewaktu menebang pohon cemara yang kami tanam, aroma kayu yang khas menyebar ke 
seluruh rumah. Kami memaksa, merencanakan, dan menyediakan segala keperluan 
untuk Natal, seperti yang biasa dilakukan orang-orang di daerah pegunungan.

Tetapi, sekarang rasanya saya tidak sanggup memikirkan Natal. Bahkan, saya 
mengusulkan kepada ketiga anak perempuan asuh saya, supaya kami tidak 
menyiapkan pohon Natal tahun itu. Tetapi, usul saya menyebabkan mereka menangis 
dan mereka berjanji akan mempersiapkan semuanya, asalkan saya setuju. Jadi, 
akhirnya saya mengalah. Mereka juga minta ditemani ke perayaan Natal yang 
diadakan oleh komisi wanita gereja kami di rumah pendeta, dua mil di atas 
lembah. Meskipun enggan, saya memaksakan diri juga, demi mereka. Waktu salju 
mulai turun, saya berpura-pura mengatakan, "Apabila kalian memang harus pergi, 
saya rasa kita tinggal menyerahkan kepada Tuhan. Mungkin dengan persneling yang 
rendah, kita bisa sampai ke sana."

Perjalanan kami lancar dan anak-anak sangat gembira di sana. Tetapi, kehangatan 
tersebut tidak berhasil mencairkan hati saya yang membeku. Pesta itu selesai 
lebih cepat karena salju turun semakin lebat. Ketika kami hendak pulang, 
terdengar ketukan yang keras di pintu. Ketika nyonya rumah membukanya, tampak 
seorang pria muda berperawakan tinggi, wajahnya muram, sebagian tertutup salju.

"Mobil kami mogok sewaktu mendaki ke arah pegunungan," katanya, "Dan hanya 
cahaya lampu rumah ini yang kami lihat; jadi kami menyimpang ke sini."

Pada waktu itulah, saya melihat seorang wanita muda di belakang pria itu, 
wajahnya pucat ketakutan. Setelah kami mengajak mereka masuk, menawarkan kopi 
dan makanan, saya baru tahu wanita itu sedang hamil tua.

Pria itu baru pulang bertugas dari Vietnam dan sedang dalam perjalanan menuju 
posnya yang baru di California Utara, setelah menjemput istrinya di Minnesota. 
Berkali-kali ia mengatakan kepada kami bahwa semua barang yang mereka miliki 
ada di dalam mobil. Ia takut kalau-kalau terjadi sesuatu bila ditinggalkan 
begitu saja.

Salah seorang wanita anggota gereja kami menelepon seorang pria yang tinggal di 
dekat gunung, yang memiliki truk pengangkut. Ia menceritakan keadaan pasangan 
muda itu, dan pria itu berjanji untuk mencoba menarik mobil mereka ke sebuah 
garasi, yang jaraknya kira-kira enam belas mil dari tempat itu.

Ketika saya menuju dapur untuk menambah kopi, saya mendengar salah seorang 
wanita berkata, "Di mana mereka menginap malam ini?"

Waktu wanita itu berbicara, ia menoleh dan memandang ke arah saya. Saya tidak 
pernah melupakan bagaimana ia memerhatikan wajah saya. Suasana tiba-tiba 
menjadi hening, tetapi apa yang disampaikannya begitu jelas dan nyata. Mereka 
tidak mengharapkan pertolongan dari saya. Bukankah saya sudah menutup diri, 
bahkan terhadap teman-teman terdekat saya selama berbulan-bulan? Mereka tahu 
mereka tidak bisa meminta saya untuk membantu.

Padahal, saya adalah satu-satunya orang yang masih memunyai kamar kosong untuk 
pasangan muda itu -- kalau saja saya bersedia. Yang lainnya berkumpul bersama 
anak-anak atau teman-teman untuk merayakan Natal, dan rumah mereka memang tidak 
bisa lagi menampung pasangan muda itu. Tidak ada tempat, pikir saya.

Lalu, pada saat itu juga, Tuhan berbicara kepada saya. Dan saya tahu, untuk 
pertama kalinya sejak suami saya meninggal, hubungan saya dengan Dia sudah 
pulih kembali.

Malam ini, seperti malam yang terjadi beberapa abad yang lalu -- seorang pria 
muda dan istrinya yang akan melahirkan sangat memerlukan bantuan. Dan meskipun 
kota ini bukan Betlehem, bukankah saya sudah bertindak seperti penjaga 
penginapan yang menolak mereka dengan alasan "tidak ada tempat"? Padahal saya 
memunyai kamar untuk tamu. Memang kamar itu gelap dan sudah ditutup, tetapi 
sekarang hari Natal. Pasti Tuhan yang telah menuntun kedua tamu ini dari 
ancaman badai.

Hati saya kembali bergairah menatap kehidupan ketika saya mengiringi mereka ke 
dalam mobil, dan ketika saya berpaling meneriakkan "Selamat Natal" kepada 
teman-teman saya. Lalu, kami pulang ke rumah menembus salju yang turun dengan 
lebat. Kami seakan-akan berjalan menembus ke dalam kartu Natal yang indah, 
sewaktu sinar lampu mobil menerangi deretan pohon cemara yang tertutup salju di 
sepanjang jalan sempit yang kami lalui.

"Di mana-mana, malam ini adalah hari Natal, di mana-mana," kata-kata itu terus 
membahana dalam benak saya. Kegembiraan saya meluap-luap waktu membayangkan 
kamar yang siap menyambut kedua tamu kami, dan betapa senangnya kami memberi 
mereka tumpangan. Setelah kami sampai di rumah, saya segera membuka pintu yang 
menuju kamar tamu dan menyalakan lampunya. Saya melihat senyum pertama mulai 
merekah di wajah mereka, perasaan yang lega karena mereka memperoleh tempat 
yang aman, bebas dari badai, dan rasa cemas.

Tetapi sebenarnya, sayalah yang mendapat berkat karena pada waktu yang sama, 
saya sudah membuka pintu yang lain, pintu hati saya. Sambil berjalan, saya 
menyalakan lampu setiap ruangan di rumah saya, seakan-akan hendak memindahkan 
sebagian cahaya kasih Allah yang membanjiri diri saya ke dalam ruangan-ruangan 
yang suram dan tidak terawat selama ini.

Traktor salju sudah membersihkan jalan dari timbunan salju pada malam itu, 
sehingga mereka dapat segera melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Tetapi, 
suasana yang ramai dan ceria masih terus berlanjut di rumah kami setelah Natal.

Pada bulan Januari, ada sepucuk surat dari kedua tamu itu. "Kami tidak akan 
pernah melupakan kebaikan Anda, dan juga kamar yang sangat nyaman dan 
menyenangkan itu. Ini foto bayi perempuan kami yang ada dalam rahim saya pada 
malam bersalju di gunung itu. Kami hanya dapat melihat secercah cahaya, tetapi 
cahaya itu telah mengantar kami kepada Anda."

Sewaktu membaca surat itu, air mata saya menitik karena bahagia dan sambil 
menundukkan kepala saya berbisik, "Secercah cahaya bagi mereka, Tuhan Yesus, 
tetapi bagi saya seberkas cahaya yang terang, yang membuka hati saya supaya 
Engkau masuk dan menyembuhkan kesedihan saya."

"Tolonglah Tuhan, supaya setiap Natal dapat mendatangkan berkat seperti Natal 
saat itu."

Diambil dari:
Judul buku: Kisah Nyata Seputar Natal
Penulis: Betty Banner
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung
Halaman: 27 -- 31


SUMBER MISI: YAYASAN MERCY INDONESIA
==> www.imercy.org

Mercy Indonesia merupakan website dari Yayasan Mercy Indonesia. Awalnya, 
Yayasan ini didirikan oleh Paulus dan Marliesye Wiratno pada 10 Mei 2001, untuk 
menampung anak-anak yatim piatu korban kerusuhan di Timor Timur. Namun, seiring 
berjalannya waktu, yayasan ini terbuka untuk menampung anak-anak yatim piatu 
dari daerah lain juga.

untuk melihat gambaran lebih jelas tentang yayasan ini, Pengunjung bisa 
mengaksesnya di menu Who We Are. Selain itu, ada pula halaman Children 
Sponsorships yang berisi informasi beasiswa sekolah, untuk anak-anak yang 
diasuh oleh Yayasan Mercy Indonesia. Di dalamnya terdapat alasan mengapa 
anak-anak ini memerlukan beasiswa, jumlah biaya yang dibutuhkan setiap anak, 
nomer rekening Bank. Pengunjung yang tergerak untuk menolong pun dapat memilih 
anak yang akan disponsori dalam situs ini. Panti asuhan yang dimiliki oleh 
Yayasan Mercy Indonesia tersebar di beberapa wilayah Indonesia seperti Atambua, 
Denpasar, Singaraja, Soe, Waikabubak, Teluk Dalam, Malinau, Medan, Sorong, 
Salatiga, dan Rote. Selain melayani anak-anak yatim piatu, ada pula pelayanan 
House of Mercy Development Center yang bertujuan untuk memberdayakan para 
perempuan, dengan cara memberikan pelatihan keterampilan dan bimbingan rohani. 
(YCN)


"ONE REVEALED TRUTH FROM THE BIBLE IS WORTH MORE THEN ALL THE WISDOM OF MEN"


Kontak: < jemmi(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti dan Yosua Setyo Yudo
Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/misi >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >

Kirim email ke