Ada dua atau tiga perusahaaan nasional yang berani mengambil daerah frontier 
yang sulit di Indonesia Timur (yang perusahaan2 besar pun "takut"). Hanya, 
memang pemenuhan komitmennya tak berjalan mulus. Dan, ada yang mengambil blok 
di cekungan matang, tetapi daerah ini sulit. Pemenuhan komitmen perusahaan ini 
pun tak mulus. 
 
Apakah mereka memang berani atau tidak tahu risiko sebenarnya ? Atau, mereka 
mau menjadi pemilik sementara saja alias nanti dijual lagi ? Tidak tahu, yang 
jelas pengambilan blok2 risiko tinggi ini tiga tahun lalu cukup mengagetkan.
 
Eksplorasi lahan frontier harus didukung semua pihak, kalau tidak, kita akan 
berjalan di tempat dalam jumlah cekungan berproduksi. Tahun 1985, saat kita 
mencantumkan Indonesia punya 60 cekungan (IAGI, 1985), kita punya 14 cekungan 
berproduksi. Sekarang, angka itu masih sama juga walaupun kadang2 disebutkan 15 
cekungan berproduksi (plus Bone karena lapangan2 gas di Sengkang sudah 
berproduksi dari sejak akhir 1990-an).
 
salam,
awang
 
----- Original Message -----
From: "Bambang P. Istadi" 
To: 
Sent: Tuesday, November 01, 2005 4:48 AM
Subject: RE: [iagi-net-l] Cadangan Minyak, Statistik dan Strategi


Beberapa kata2 kunci yang dilontarkan Paulus sebenarnya menarik untuk
disimak, yaitu soal ke-"nekat"-an dan "agresif". Untuk kasus Indonesia,
kita sangat bergantung pada investor asing untuk bereksplorasi untuk
menemukan cadangan2 baru, padahal kita tahu jumlah mereka tidak banyak
dan semakin berkurang. Lihat saja OGJ200 yang me-ranking perusahaan
minyak berbasis di US yang publicly traded, berdasarkan asset, revenue,
net income, stockholder equity, CapEx dll perusahaan2 tersebut. Laporan
tahunan ini bermula dari OGJ400, lalu menjadi OGJ300 pada tahun 1991.
Ditahun 1996 namanya menjadi OGJ200, sesuai dengan jumlah perusahaan.
Ditahun 2001 listnya berkurang menjadi 197 perusahaan, sedangkan
perusahaan US sebenarnya hanya 154. Apa yang terjadi? Banyak diantara
perusahaan minyak tersebut saling merger dan saling akuisisi,... Exxon
dengan Mobil, Conoco dengan Phillips, Total dengan Fina dan Elf, Unocal
dicaplok, Lasmo hilang. Padahal perusahaan2 sedang dan kecil tersebut
sebelumnya betul2 explorer, eg. Unocal dengan program deep water
Mahakan-nya, sedangkan mungkin saja setelah diambil ChevronTexaco
strateginya beda. Yang jelas perusahaan2 besar sekarang LEBIH BANYAK
dan LEBIH SENANG MAIN PORTFOLIO dan kurang tertarik dengan frontier
exploration meskipun "size of the prize" bisa besar sekali. Mereka
lebih tertarik dengan metrics dan berbagai indikator statistik demi
me-maximize share holder value. Managemen dan komando perusahaan juga
lebih banyak dipegang accountants, laywers, MBA, engineers dll., dan
mungkin sedikit yang dipegang geologist dengan intuisi sebagai
explorationist.

Kalau kita hanya bertumpu pada investor perusahaan2 besar ini,
konsekuensinya yaa yang sudah dipaparkan Paulus, cadangan yang ditemukan
kecil, konsentrasinya pada didaerah mature dengan strategi step out
exploration atau exploration tail dari development program. Yang
dikejar sudah jelas, naikkan produksi selagi harga minyak tinggi, dan
bisa saja karena mereka berpegang pada statistik yang menunjukkan bahwa
reserve dunia masih cukup untuk 56 tahun lagi, tapi kapasitas produksi
yang kecil. Sehingga program explorasinya kurang "agresif".

Pertanyaannya adalah: bagaimana menyiasati agar ada yang mau melakukan
frontier exploration agar jumlah basin yang sudah berproduksi di
Indonesia bertambah?? IAGI sebenarnya punya kiat2 juga, karena kalau
hanya bertumpu pada memperbaiki fiscal terms, untuk daerah2 frontier
sebenarnya sudah cukup menarik,...

Wass.w.w.
Bambang Istadi,... Sekalian mau minta maaf lahir dan bathin, Selamat
hari Raya Idul Fitri 1426 H.




                
---------------------------------
 Yahoo! FareChase - Search multiple travel sites in one click.  

Kirim email ke