Hari ini Minggu 30 September 2007. Kalau sepuluh tahun yang lalu dan 
selebihnya, bendera Merah Putih mesti dipasang setengah tiang di depan rumah 
dan besok dipasang setiang penuh. Kalau sepuluh tahun yang lalu dan selebihnya, 
nanti malam pasti ada pemutaran film "Pengkhianatan G30S/PKI", film yang sudah 
berkali-kali saya tonton, film panjang yang menegangkan, film panjang yang 
bagus sekali, film panjang yang sarat dengan kejahatan PKI dan heroisme 
Soeharto, Kostrad, dan RPKAD.
   
  Era Reformasi terjadi setelah Pak Harto mengundurkan diri. Bendera Merah 
Putih setengah tiang dan setiang penuh tak lagi wajib dipasang di depan rumah 
pada setiap 30 September dan 1 Oktober. Tak ada lagi pemutaran film 
"Pengkhianatan G30S/PKI. Dan, terjadilah kontroversi dalam sejarah seputar G30S 
(Gerakan Tiga Puluh September itu). Siapa dalang sesungguhnya ? Kontroversi 
terjadi karena buku-buku yang membahasnya mulai bermunculan pada era Reformasi 
ini. Buku2 seperti ini tak mungkin bisa saya baca pada era Soeharto jadi 
presiden RI sebab pasti akan dilarang sebelum dicetak diperbanyak. Semua 
kontroversi ini menyimpulkan beberapa hal buat saya : ada sesuatu yang 
ditutup-tutupi dalam sejarah, ada sesuatu yang dibelokkan dalam sejarah, ada 
sesuatu yang direkayasa dalam sejarah. Film "Pengkhianatan G30S/PKI" mungkin 
juga hasil rekayasa sejarah, atau pembelokan sejarah, atau penutupan sejarah, 
diputar untuk semacam sarana indoktrinasi masyarakat.
   
  Saya belajar sejarah di SMP-SMA (1977-1983) dengan kurikulum 1975. Saya 
diajarkan bahwa PKI adalah dalang G30S yang membunuh tujuh pahlawan revolusi 
pada malam 30 September 1965 dan dini hari 1 Oktober 1965 lalu segera berhasil 
ditumpas dengan sangat cepat oleh Soeharto dan RPKAD. Maka gerakan ini disebut 
G30S/PKI. Tetapi,  tak pernah diajarkan dan tak pernah ada di buku pelajaran 
sejarah  bahwa akibat tujuh pahlawan revolusi yang dibunuh PKI itu telah 
terjadi pembantaian massal atas orang2 yang diduga anggota atau simpatisan PKI 
di mana-mana. Paling sedikit setengah juta orang Indonesia dibantai mati oleh 
bangsanya sendiri, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Siapa yang 
membantainya ? Angkatan darat dan ormas2 anti PKI.
   
  Benarkah PKI adalah dalang G30S ? Di situlah kontroversinya. Di bawah ada 
kutipan wawancara Suara Merdeka dengan Dr. Asvi Warman Adam, ahli sejarah dari 
LIPI yang banyak meneliti kontroversi ini.
   
  Yang membingungkan, Kurikulum 2004 mencopot PKI dari G30S berdasarkan masukan 
dari para ahli sejarah sebab makin banyak bukti dan hasil penelitian bahwa 
dalang G30S bukan PKI atau bukan PKI sebagai partai tetapi oknum2 PKI, atau 
bisa Soeharto, atau CIA/Inggris/Australia, dll. Multi tafsir, maka tak benar 
langsung menuduh PKI sebagai dalangnya. Ini memang kenyataan sejarah, bahwa ada 
rekayasa politik dan pertarungan/persaingan politik/kekuasaan menjelang G30S. 
Jadi, jangan membodohi anak didik dengan versi yang belum tentu benar. Jadi, 
namakan saja G30S sampai nanti ada kejelasannya. Sejarah kan terus berkembang. 
Begitulah kira2 masukan para sejarawan yang diterima oleh Tim Kurikulum 2004 
sehingga mencopot PKI dari G30S menjadi G30S saja. Buku2 sejarah untuk SMP dan 
SMA pun dicetak dengan mencantumkan G30S. Tetapi, kemudian Kurikulum TSP 
(tingkat satuan pendidikan) 2006 mencantumkan kembali PKI pada G30S menjadi 
G30S/PKI. Nah, membingungkan ! 
   
  Berbekal Kurikulum 2006 dan SK Menteri Pendidikan Nasional tentang itu, maka 
aparat Kejaksaan memburu buku2 sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang hanya 
menyebut G30S dalam tragedi 30 September 1965 itu lalu membakarnya. Dalam dua 
tahun ini telah puluhan ribu buku dari banyak penerbit dibakar. Guru, anak 
didik, penerbit, dan orang tua kebingungan. Berapa besar kerugian karena ini ? 
   
  Minggu lalu, 25 September 2007, aparat Kejaksaan Negeri Bekasi memusnahkan 
1468 buku sejarah untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK dari berbagai penerbit yang 
menurut mereka mengajarkan sejarah yang tak sesuai fakta, yaitu hanya 
mencantumkan G30S dan bukan G30S/PKI (berita di Bisnis Jakarta 26 September 
2007 hal. 3). 
   
  Gayung bersambut. Para ahli sejarah dan para penerbit akan memperkarakan 
Kejaksaan dan Depdiknas ke pengadilan atas kasus pembakaran buku2 ini. Para 
penerbit beralasan bahwa buku2 itu ditulis sesuai Kurikulum 2004 dari Depdiknas 
sendiri yang hanya mencantumkan G30S; sedangkan para ahli sejarah beralasan 
bahwa dalang G30S belum tentu PKI.
   
  Begitulah cerita carut-marut di negeri tercinta ini. Ada yang berusaha 
menegakkan fakta, ada yang berusaha tetap mempertahankan kekaburan fakta. Kasus 
G30S, siapa pun dalangnya tak boleh terulang lagi di negeri tercinta ini. 
Apakah kita ingin lagi melihat saudara-saudara kita sendiri terkapar mandi 
darah dibantai tetangganya, apakah kita ingin lagi melihat sungai menjadi merah 
oleh darah puluhan mayat yang dibantai ? Kesalahpahaman, pemahaman buta, 
dendam, dan pemutarbalikan fakta telah mendorong sesama bangsa kita telah 
saling membunuh sampai menewaskan 1/2 - 3 juta orang ! Jangan sampai terulang 
lagi. Melihat begini, bukan G30S-nya sendiri yang mengerikan, tetapi efek 
sesudah G30S itu.
   
  salam prihatin,
  awang
   
  Lampiran : 
   
  Wawancara Suara Merdeka dengan Dr. Asvi Warman Adam -LIPI (8 Oktober 2006)
   
  Dalang G30S Tidak Tunggal
   
  SALAH satu peneliti mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sejarah 
pergolakan Gerakan 30 September adalah Dr Asvi Warman Adam. Karena itu, 
peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini sangat layak 
dilibatkan dalam perbincangan mengenai penghapusan istilah PKI dari Gerakan 30 
September/PKI dalam buku sejarah Indonesia terkini. Bahkan bukan tidak mungkin 
pria yang menceburkan diri dalam penelitian mengenai pergolakan 1965-1966 ini 
memunculkan fakta-fakta baru mengenai kontroversi yang tak tuntas-tuntas itu. 
Apa pendapat dia tentang berbagai buku yang dikaitkan dengan PKI? Berikut 
petikan perbincangan dengan doktor lulusan Prancis ini di Perumahan Poris-TVRI 
kawasan Pondok Gede, Kota Bekasi. Dalam buku pelajaran sejarah ada penghilangan 
kata PKI dari G30S/PKI. Apa komentar Anda?
   
  Saya melihat yang dilakukan penyusun buku sejarah ini sebagai hal positif. 
Positif dalam artian tidak ada lagi monotafsir yang dipaksakan. Dengan 
pengajaran multitafsir ini akan menumbuhkan daya kritis siswa. Bisa muncul 
diskusi-diskusi tentang peristiwa tragedi 1965 itu. 
   
  Sebagaimana diketahui pada Kurikulum 1994 maupun 1999 memang selalu ditulis 
G30S PKI untuk menyebut gerakan itu. Pada era reformasi -yang dimulai pada 
pelengseran Soeharto, banyak bermunculan buku yang mengulas tentang peristiwa 
berdarah tahun 1965-1966 dalam berbagai versi. Buku-buku itu sebenarnya sudah 
muncul saat era Orde Baru, tapi langsung dilarang, karena dinilai akan 
mengganggu versi tunggal dari penguasa.
   
  Pada 1995, terbit Di Bawah Bayang PKI. Buku ini bukan bercerita tentang PKI, 
tetapi menguraikan berbagai versi tentang PKI dan kaitannya dengan 
peristiwa-peristiwa di Tanah Air termasuk peristiwa 1965. Buku itu dilarang 
Kejaksaan Agung. Pada waktu itu pokoknya segala sesuatu yang mengancam versi 
tunggal pemerintah yang mengatakan bahwa PKI adalah dalang G30S akan dilarang. 
   
  Kemunculan berbagai versi itu menjadikan pakar-pakar di pusat kurikulum 
mengakomodasi temuan mereka. Penghilangan kata PKI pada G30S itu saya rasa 
lebih netral dan objektif, karena pada kenyataannya memang berkembang berbagai 
versi. Ada yang menyatakan ada keterlibatan unsur luar seperti CIA dan Dinas 
Rahasia Inggris, Ada yang beranggapan gerakan itu dilakukan PKI atau Soeharto 
dengan kudeta merangkak. Juga Soekarno dan sebagainya. 
   
  Sekarang tinggal kita lihat saja mana dari versi-versi itu yang argumennya 
lebih kuat. Bukan khayalan belaka. Juga kredibilitas saksi sejarahnya.
   
  Apakah penghilangan kata PKI ini bermaksud untuk tidak lagi menganggap para 
jenderal yang terbunuh sebagai korban peristiwa makar?
   
  Ini sama sekali tidak berkaitan dengan upaya mengecilkan para Pahlawan 
Revolusi. Ini hanya bertujuan untuk mengenalkan kepada siswa dan masyarakat 
tentang ada banyak tafsir serta berbagai dampak besar yang terjadi setelah 
peristiwa itu.
   
  Yang perlu kita pahami adalah tragedi 1965 itu adalah peristiwa sedemikian 
kompleks yang berakibat pada konflik horizontal yang memakan korban begitu 
besar dalam sejarah negeri ini. Bukan sekadar peristiwa 30 September hingga 1 
Oktober saat pada hari-hari itu terbunuh para jenderal dan perwira Angkatan 
Darat. Coba kita ingat lagi mengenai serangkaian pembunuhan masal di Jawa 
Tengah dan Jawa Timur. Ada data yang menyebutkan sampai lebih dari setengah 
juta orang terbunuh. Hal ini perlu diketahui para siswa sehingga mereka sadar 
bahwa kejadian seperti itu tidak boleh terjadi lagi pada bangsa Indonesia. 
   
  Sebagai sejarawan, apa tafsir Anda tentang peristiwa G30S?
   
  Saya sudah mempelajari berbagai versi tentang G30S. Saya lebih cenderung 
memandang peristiwa itu sebagai tragedi yang begitu kompleks sehingga saya 
lebih sependapat dengan Bung Karno. 
   
  Dalam Pidato Nawaksara, kata Bung Karno, dalang G30S tidak tunggal. Tidak 
mungkin kalau satu kelompok saja yang melakukan. Ada berbagai pihak yang 
bermain di situ. Bung Karno menyebutkan ada pimpinan PKI yang kebablasan 
keblinger, sehingga bertindak tidak sebagaimana mestinya. Ada unsur Nekolim 
(Amerika dan Inggris) melaui dinas rahasia, dan ada oknum yang tidak 
bertanggung jawab. Sayang Bung Karno tidak menyebutkan secara jelas siapa-siapa 
saja yang dimaksud sebagai oknum yang tidak bertanggung jawab. Dia hanya 
memberikan garis besar. 
   
  Saat ini juga muncul tulisan dari orang-orang berhaluan komunis. Orang-orang 
komunis bahkan menjadi pahlawan baru. Bagaimana Anda melihat fenomena seperti 
ini? 
   
  Wajar saja, karena saat ini kesempatan untuk itu terbuka memang demikian 
luas. Namun kalau sampai mereka menjadi pahlawan baru, saya tidak melihatnya 
sampai sejauh itu. Semua masih tetap positif karena mereka hanya menuliskan 
penderitaan saat ditindas oleh rezim Orde Baru dan tentang penderitaan mereka 
dan keluarga setelah 1 Oktober 1965. Selebihnya mereka juga bermaksud membuka 
borok rezim Orde Baru yang menginjak-injak hak asasi manusia. 
   
  Ini positif sebagai pengetahuan. Setidaknya masyarakat tahu bagaimana tentang 
pembuangan orang-orang PKI ke Pulau Buru. Juga bagaimana anak-anak PKI harus 
menanggung dosa ayahnya dengan perlakukan negara yang diskriminatif. 
   
  Semua itu perlu bagi kita. Sayang saat ini belum ada orang-orang yang menulis 
sebaliknya.
   
  Menulis tentang apa?
   
  Lo, kita kan juga mengetahui setelah melakukan pemberontakan dan perbuatan 
kejam terhadap negara dan rakyat Indonesia lewat pemberontakan di Madiun 1948, 
PKI pada tahun 60-an juga sering melakukan perbuatan tidak terpuji. PKI juga 
sering melakukan perbuatan atau menghasut rakyat untuk melakukan perbuatan 
kekerasan. 
   
  Coba kita lihat saat PKI sering menggalang aksi massa untuk melaksanakan 
program land reform. Bagaimana mereka menggerakkan massa untuk mengambil 
tanah-tanah milik tuan tanah kaya yang kata mereka nanti akan diserahkan kepada 
negara untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada rakyat. 
   
  Dalam pelaksanaannya, PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) begitu berlebihan 
dan agresif sehingga sampai menimbulkan konflik dan akhirnya memakan korban. 
Konflik horizontal yang sering terjadi saat itu adalah sengketa antara 
orang-orang kiri dengan Islam. Tanah-tanah luas itu adalah milik kiai-kiai. 
Jadi pada awalnya orang-orang PKI-lah yang lewat provokasi sering menimbulkan 
konflik horizontal. 
   
  Coba kita lihat juga konflik kebudayaan. Bagaimana konflik antara Lekra dan 
Manikebu. Jadi di dalam berbagai bidang aksi-aksi yang dilakukan PKI dan 
segenap onderbouw sudah menumbuhkan benih-benih kebencian.
   
  Karena itu setelah 1 Oktober, yaitu titik balik PKI dari begitu powerfull 
menjadi lemah dan tercerai-berai, terjadilah aksi pembalasan dari 
lawan-lawannya. Saya beranggapan berbagai kekerasan yang dilakukan PKI itu 
sebenarnya sudah mendapatkan balasan hukuman luar biasa antara 1965-1966 
tersebut. 
   
  Karena itu seharusnya Soeharto sebagai pemegang tampuk kendali saat itu 
segera menggelar rujuk nasional pada 1966 setelah pembantaian orang-orang PKI 
selesai. Atau minimal pada 1967. Jadi tidak ada tragedi kemanusiaan 
berkepanjangan. Sayang oleh Soeharto isu PKI dan bahaya laten komunis terus 
menerus dikembangkan agar bisa dijadikan kambing hitam atas segala persoalan. 
Jadi rezim Orba menggunakan sejarah untuk dijadikan sebagai alat teror negara. 
   
  Menuduh orang-orang yang kritis terhadap pemerintah sebagai PKI adalah alat 
pukul efektif yang dilakukan pemerintah masa lalu. 
   
  Saat ini sudah tidak ada lagi perintah pengibaran bendera setengah tiang pada 
30 September. Apa ini bisa dikatakan kita sudah melupakan peristiwa di balik 
tanggal tersebut?
   
  Saya rasa ini adalah respons masyarakat yang biasa saja, setelah segalanya 
menjadi terbuka. Dan pemerintah juga membaca hal sama. Kalau dulu kan setiap 30 
September dikibarkan setengah tiang lalu pada 1 Oktober satu tiang penuh. Pada 
tanggal itu di Jakarta ada pembunuhan terhadap enam Jenderal, satu perwira, dan 
satu polisi. Di Yogyakarta ada pembunuhan terhadap dua perwira. Jadi, ada 10 
korban jiwa. Tapi dalam hitungan 2-3 bulan setelah itu terjadilah pembantaian 
besar-besaran. Jadi bila adil mungkin pengibaran benderanya sampai tiga bulan 
penuh. Jadi janganlah melihat satu peristiwa itu dalam kacamata yang sempit. 
   
  Mengenai pengibaran bendera pada 30 September tersebut memang jauh berbeda 
dari menjelang tanggal 17 Agustus. Tanpa dikomando pun rakyat baik di desa 
maupun di kota akan menaikkan bendera dan menggelar serangkaian acara. Selain 
nuansanya kebahagiaan, juga tafsir tunggal kemerdekaan kita 17 Agustus mengena 
tepat di seluruh rakyat Indonesia. Atau tidak ada yang merasa dirugikan atau 
dimanipulasi.
   
  Dari penelitian sejarah yang Anda lakukan, apakah bangsa Indonesia bisa 
dikatakan sebagai bangsa pemaaf?
   
  Agak sulit untuk mengatakan secara pasti apakah bangsa kita ini pemaaf atau 
tidak. Tapi saya pribadi menilai kalau masyarakat kita adalah masyarakat yang 
umumnya pemaaf. Menurut saya, yang berusaha untuk membangkitkan luka masa lalu, 
mengingatkan kembali dendam adalah ulah segelitir elite saja. 
   
  Para pengikut PKI kini juga sudah tua. Rata-rata sudah berusia 70 atau 80-an. 
Anak-anak mereka juga sudah mempunyai kepentingan yang bermacam-macam, sehingga 
mungkin sangat sedikit yang mencoba menghidupkan kembali ideologi komunis. 
Selain itu ideologi komunis juga sudah ambruk di negeri asalnya, Rusia. 
Kalaupun tersisa di Vietnam dan RRC, itu pun karena ada kepentingannya. Mereka 
tidak ingin terjadi perubahan yang terlalu cepat sehingga menimbulkan masalah 
besar seperti di Rusia dan negara Eropa Timur. Sudah saatnya kita berdamai 
dengan sejarah sehingga tidak mudah terprovokasi segelintir elite yang ingin 
mencari keuntungan politis di balik itu semua. 
   
  Bagaimana komentar Anda tentang Intelijen Kejaksaan Agung yang meneliti buku 
pelajaran sejarah terkait penghilangan kata PKI?
   
  Saya setuju kalau Kejakgung melarang buku-buku yang sangat meresahkan. 
Menurut saya yang tergolong meresahkan itu misalnya buku yang mengajarkan 
ajaran yang menyimpang dari agama. Kan ada buku seolah ajaran Islam, tapi 
isinya adalah ajaran yang justru sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Tapi 
kalau buku-buku pelajaran yang menyajikan berbagai versi tentang peristiwa 
bersejarah, saya rasa jangan dilarang. Buku ini kan tidak sepihak sehingga baik 
untuk menumbuhkan budaya berdikusi dan berpikir kritis. Serahkan saja urusan 
ini kepada Depdiknas. Kejakgung kan banyak tugas untuk memberantas korupsi. 
(Hartono Harimurti-35)
   
  (Suara Merdeka, 8 Oktober 2006)
     
   


       
---------------------------------
Boardwalk for $500? In 2007? Ha! 
Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy) at Yahoo! Games.

Kirim email ke