Hemat saya, masalah ini bukan semata-mata pada ranah akademis, tetapi sudah pada wilayah politik yang erat kaitannya dengan kondisi psiko sosial masyarakat kita yang masih traumatik terhadap berbagai peristiwa masa lalu di tanah air.
Dalam kaitannya dengan TAP MPR yang masih tetap eksis tentang pelarangan suatu ideologi, maka sulit bagi kalangan yang menginginkan hadirnya kembali ideologi yang diusungnya,eksis kembali di NKRI. Dalam kaitannya dengan trauma masyarakat, sulit pula bagi penyelenggara negara mengabaikan potensi konflik yang lebih luas lagi lebih2 pada level global, ideologi komunis sudah merupakan noda hitam dalam peradaban manusia. Dalam kondisi ini, sebenarnya ruang kajian ilmiah, masih dimungkinkan pada penjelasan TAP MPR, selanjutnya, yang menyebutkan bolehnya wacana ini didiskusikan di lingkup terbatas, dalam hal ini lingkup akademis. Pada wacana globalpun, sensor negara, bahkan regionalpun tetap ada. Coba anda pakai lambang2 Nazi di Jerman, misalnya. Atau coba anda me'launching' issue2 yang bersifat 'anti semit' pada tataran publik melalui media barat misalnya., walaupun seakademis apapun, di negara super demokratispun, sensor terhadap hal serupa tetap eksis. Lagi pula, sasaran tembakpun tidak bisa hanya diarahkan pada CIA saja. Apa tidak mungkin (ini belum banyak dibahas para penagamat politik - mungkin tidak ada tradisi seperti CIA misalnya bisa mebongkar file rahasianya setelah 30 tahun) KGB, agen rahasia Cina (apa namanya ya?), bahkan Mossad pun, misalnya tidak bermain di sini?. Secara fisikpun fakta perebutan hegemoni ini terekam dalam sejarah. Bagaimana pada jaman Orla, persenjataan ABRI lebih banyak berasal dari Blok Komunis (Sovyet dan RRC). Saya waktu kecil, masih SD, hafal nama2 pesawat kebanggan AURI seperti MIG 17, 19, 21, Tupolev (TU)-16 - dsb. yang kala itu negara jiranpun sangat ketinggalan dari kita. Wah, lucunya nostalgia SD, sewaktu kita latihan bahaya udara, di sekolah, murid2 harus bertiarap menuju lubang persembunyian, yang bujurnya masih nungging, langsung digebuk Pak Guru.... Tentu saja para pendukung, atau yang pro terhadap kebijakan penyelenggara negara ini, mengkhawatirkan dampak dari bahaya laten, yang walaupun dikatakan potensinya kecil, lebih2 melihat pada skala global, tapi trauma ini bukan pekerjaan mudah menghilangkannya. Kalau kita berandai-andai, dari pergumulan para dalang ini, jika ternyata kaum 'Kurawa' yang menang, apakah ada jaminan mereka tidak melakukan 'Killing Field' sebagaimana terjadi di negara jiran? Sejarah hendaknya memberi manfaat kepada kita bagaimana memilih dalang yang benar2 'Manteb' memelihara keseimbangan 'Jagat Loh Jinawi' yang 'Tata Tentrem Karto Rahardjo', bukan dalang yang membela Buto Ijo, Buto Cakil , Dasamuka dsb. Kalau sekarang ini, hemat saya dalangnya penyokong Lesmana Mandra Kumara, yang kurang berani berlaga, penuh keraguan bertindak, membiarkan Buto Setamuka merambah hutan Wanamerta, Gunung Rajabrana dan Pulau NusaKencana. Belajar sejarah mudah, termasuk membanding-bandingkan versi sejarah, yang sulit adalah belajar dari sejarah. Manusia yang tidak pernah mau belajar dari keledai, niscaya terantuk batu untuk ke tiga kalinya! Salam Agus Sutoto ======================================================================== ====================== KORAN TEMPO Rabu, 3 Oktober 2007 Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Yunan Yusuf menyatakan buku sejarah mengandung banyak muatan politik. Karena itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo hingga kini belum menandatangani draf penilaian. "Sampai saat ini masih dipertimbangkan oleh Pak Menteri'" kata Yunan kepada Tempo kemarin. Seusai peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti dua hari lalu, Bambang mengungkapkan pemerintah akan segera mengeluarkan buku sejarah baru menggantikan buku sejarah sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang telah ditarik dari peredaran. Sebelumnya, pemerintah menarik buku sejarah yang tidak mencantumkan kata "PKI" di belakang Gerakan 30 September. Penghilangan kata itu dinilai sebagai penyembunyian fakta. Yunan mengungkapkan penilaian terhadap sekitar 300 buku sejarah telah dilakukan sejak November 2006 hingga Mei 2007. Dari jumlah itu, hanya 50 buku yang lulus penilaian BSNP. Padahal untuk mata pelajaran lain, buku yang lulus penilaian mencapai sekitar 90 persen. Buku sejarah yang tak lulus penilaian, antara lain, karena mengandung muatan-muatan memecah belah bangsa, dan dan isinya Membuat siswa tak bisa membedakan peristiwa sejarah yang sesungguhnya terjadi dengan keterlibatan PKI di dalamnya. Selain itu, buku sejarah yang gagal tak menyebutkan monumen lubang buaya, "Padahal monumen-monumen lain disebut," kata Yunan. Dengan nada kesal ia juga menyebut buku sejarah yang diproduksi penerbit tertentu sepeti sengaja membuat kepanjangan ABRI menjadi"Aku Bantai Rakyat Indonesia". BSNP, dia melanjutkan menilai buku sejarah berdasarkan empat domain penilaian,, yaitu kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan grafik."Jika semuanya lulus, buku layak cetak." Dihubungi terpisah, ketua Ikatan Penerbit Indonedsia Setia Dharma Madjid mengungkapkan buku sejarah dari penerbit teleh dinilai oleh BSNP. Jika penilaian selesai, penerbit akan segera mencetak buku sejarah baru sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. ======================================================================== ==== -----Original Message----- From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, October 01, 2007 8:39 AM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Renungan 30 September Pahlawan dan penjahat dapat "dibuat" dengan sebuah skenario penulisan sejarah. Kalau kita mengamati pergerakan dan aksi dalam sebuah perperangan politik, jangan terlalu mudah mengambil kesimpulan si A jahat lalu si B pahlawan, dan si C hanya korban. Kalau ingin tahu hal-hal seperti ini coba tengok filem DEPARTED. Disana anda akan mengerti suatu saat sesorang yang telah mati dibunuh akan "terlihat berjasa" dan seseorang terkesan jahat sebenarnya menyelamatkan tetapi menjadi penjahat karena "kalah" dalam peperangan. Nuansa-nuansa penilaian penjahat - pahlawan terlalu mudah muncul dalam sebuah uraian sejarah selama ini. Sejarah yang baik bukan yang menemukan penjahat atau pahlawan, sejarah yang baik adalah yang menjelaskan apa yang terjadi. seadanya ! Good history is not talking about right or wrong, but just what happened ! RDP On 10/1/07, Taufik Manan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Forward tulisan dari Maruli Tobing, mengenai CIA dalam sejarah Indonesia , > yang dimuat dalam Kompas, 9/2/2001. Saya ambil dari milis lainnya. > > Buat yang udah pernah baca, enggak ada salahnya baca lagi biar inget. Buat > yang belum baca, ya sekarang saatnya baca tuk membuka wawasan. > > Selamat membaca dan semoga keprihatinan kita tidak berlanjut lagi di masa > depan. > > > > ================================================================= > > Kompas, Jumat, 9 Februari 2001 > > __________ > > > > Perang Urat Saraf yang Mematikan > > > > MENJELANG bulan Oktober 1965, mendung menyelimuti Jakarta. Di sana-sini > orang berbisik, mencari tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Tidak > satu pun bisa menjawabnya, karena memang tidak satu pun tahu apa > sesungguhnya yang sedang terjadi. Hanya firasat sosial yang bergetar > mengisyaratkan kita akan memasuki tahap genting. > > > ======================deleted=============