Tetap saja, yang terkenal bagus adalah yang "outstanding", luar-biasa,
tak biasa, tak hanya rata-rata, di atas rata-rata. Yang bagi kebanyakan
di sebut bagussss sekali, namun bisa juga di sebut "aneh", "edan".
Kenapa menghindari sebagai orang luarbiasa, orang aneh, orang edan ?  

Luar biasa, dalam bahasa Indonesia ada yang malah negatif, misal
"sekolah luar biasa": adalah sekolah untuk orang cacat. Bukan utuk yang
"outstanding". Tak begitu ? 

Masih ada paradigma: geologi (ilmu-bumi) adalah tak semua ilmu yang ada
di bumi. Maka Ijazah, walaupun ada di bumi, adalah bukanlah cakupan
geologi. Sehingga di forum iagi ini, ijazah menjadi OOT "Out Of Topic".
Yang telah lama saya ajukan adalah: ilmu alam sebagai semua ilmu yang
ada di alam, termasuk bumi, seisinya. 

Membaca adalah yang paling membuat orang "luarbiasa". Menyitir Mas Agus
Hendratno, juga sering setiap  diskusi salamologiku, adalah "iqro". Yang
di butuhkan adalah bacaan, gambaran, tayangan yang paling efektif. Crita
fiksi, bukanlah tidak baik, namun untuk membaca alam, lebih efektif
adalah versi "ilmu", misal ilmu bumi, biologi, sejarah, ilmu ekonomi,
ilmu informasi, politik, yang semuanya adalah, mwenurutku, sebagai ilmu
alam. Semua itu adalah ilmu yang di ajarkan di universitas-universitas
negri ataupun swasta. Penyebar ilmu menjadi amat di hargai orang. Pun
hadiah tahunan, SALAM Awards 2008 telah kepada dosen universitas (Bpk.
Wartono Raharjo, Prof Mudaham Taufick Zen). 

Waktu adalah singkat. Maka bagaimana waktu bisa di pakai se-efisien
mungkin? Pengajaran bisa di rumah, sekolah, pondok-pondok, perguruan
silat, ada yang di lingkungan masyarakat. Semuanya baik, namun unified
version semua versi-versi itu, "uni-versi-tasnya", akan lebih baik.

Struktur-stratigrafi alam, struktur-stratigrafi lempeng, dengan
sinusoidal gelombang ARIF, pereodik 7x10^n meter, dimana n dari -21
hingga +28 untuk Alam. Dan Langit ke 7 yang diameter 10^322 meter. Alam
terpilah menjadi siklus pereodik itu. Basin berjarak 700 km.
Gunung-gunung, antiklin besar, sub-basin, berjarak 70 km. Lalu masih
juga ada 7 km, 700 m, dst. Benda alam berbanjar, baris, bersyaf-syaf,
dari elektron di kulit atom, antiklin, sinkline, gunung, basin, planet,
galaksi.

700 km jarak basin, misal urutan North sumatra, Central Sumatra, South
Sumatra, NW Java, JaTengTim, dst. Tidak adakah keberagaman, warna-warni
kelompok orang menyertainya ? Keberagaman (warna-warni) orang, budaya,
bahasa, pakaian, adat, biologi, tanaman, hewan, dst. Berkorelasi dengan
basin itu, maka ada budaya mulai Aceh, Sumbar, Bengkulu, Sunda,
JawaTengahTimur, Nusatenggara. 

Di setiap basin itu, dengan jarak 70 km, pun diantaranya masih akan ada
garis pemisah, putih, merah, warna-warni, ada yang hitam kelam terlihat
di struktur-stratigrafi, tempat minyak, tambang, bedakan kandungan
tanah, kandungan gene, lalu bedakan tanaman, hewan, manusia, budaya,
dst. 

Gunung-gunung yng berjarak 70km, akan bedakan gene tanah, pengaruhi
keberagaman biota, manusia, budaya. Dengan jarak yang 70 km, misalnya,
antara Utara Gunung Slamet (Tegal), dengan selatan Gunung Slamet
(Banyumas). Tidakkah keduanya mempunyai perbedaan (pun kesamaan) ? Pun
jarak 70 km, dalam satu basin JatengTim itu, ada perubahan budaya
berjarak 70 km, misal dari barat-ketimur: antara Purwakerto, Purworejo,
Jogya, Solo, Madiun, Malang, Jember, Banyuwangi, atau lagi basin
berikutnya: Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, dst. Sudah melihat
kesamaan dan perubahan budayanya belum dengan sebutan itu ? Ada
kesamaan, ada sedikit perbedaan, perbedaan berubah sedikit-demi sedikit
dengan arah dari barat-ke timur itu. Struktur mengontrol pusat-pusat
ekonomi, kelompok massa, adat, budaya, pakaian, gaya, aksen, warna
kulit, postur tubuh, dll. 

Dengan jarak 70 km, maka daerah yang tak di batasi gunung, atau laut,
maka budaya lebih seragam. Misal antar 70 km di Kalimantan, sedikit
seragam di banding 70 km di Sumatra-Jawa, Nusatenggra, Sulawesi.
Nusatenggara, Sulawesi, irian, maluku. Tak hanya di Indonesia, tapi juga
di Asia, Eropa, Amerika, afrika, yah seluruh muka bumi. Sesar-sesar
berjarak gelombang ARIF itulah, yang aktif pereodik dalam gempa,
tsunami, lindu. . 

Menurut sejarah, gelombang versus waktu, ya ada jadwal kapan banyak
gempa, ekonomi tinggi-rendah, dll. Banjir sekarang adalah ketika
keceptan perubahan parameter temperatur-curahhujan ada pada maximum di
siklus 7 th, t70 th ini. Kalau gag banyak banjir, pun saya bingung.
Namun saya tak mengira akan sejauh itu efek dampaknya ketika
setahun-duat tahun lalu saya prediksikan hal banjir ini akan terjadi
sekarang. Dimana-mana termasuk Sumatra, Jawa. Yah kupercayai, alam telah
ikuti siklus, dengan kalender yang mirip dengan modelku, sejak big bang
hingga 50 milyar tahun kedepan, kalender SALAM.

Kembali ke nasib orang menjadi luarbiasa, membaca, iqro', ijazah, maka
manusia hanyalah bisa berusaha, berdo'a, untuk mencari paling efektif
gunakan waktunya. Dan tetap saja semua nasib adalah perogratif yang
punya Alam-Buwana-Rat, bukan tergantung dari orang lain, kecuali sebatas
perantara saja. Ada yang benar-salah kalimat saya ?

Wassalam,
Maryanto.
Primbon simbah menginsirasi ini: alam yang bersyaf-syaf. Diantara gunung
ada garis putih, merah, beraneka warna, ada yang hitam kelam. Diantara
gunung ada keberagaman manusia, tanaman, hewan.

-----Original Message-----
From: Fotunadi, Didik (PTI-SOR) [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, March 27, 2008 5:19 AM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Mengikuti diskusi "hidup tanpa ijazah" menarik .. apalagi bagi kita2
yang punya anak usia mau sekolah maupun sedang sekolah..
dalam situasi terkini para orang tua dihadapkan pada banyak pilihan...
apakah mengambil sekolah formal, alam, bahkan sekolah rumah ....saya
setuju dengan mas RDP, kalo biografy Kang Ajip bisa dilihat dari sisi
extra ordinary people ... yang sukses dengan jalur berbeda dengan
rata-rata manusia kebanyakan ...dan barang tentu tidak semua orang yang
mengambil jalan berbeda akan selalu sukses ..

Kalau ditinjau dari element2 perkembangan anak, bahwa di sekolah formal,
selain matematik intelligence yang terbangun, juga social intelligence
dimana anak berkembang bersama dengan teman2 seumurnya ....belajar
menemukan diri diantara linkungan seumurnya ... dengan tetep punya risk
lebih di banding di rumah, yaitu - salah pergaulan - Kalo orangtua
mengambil pilihan sekolah rumah, dimana lebih banyak
ibu-bapak-tutor-anak ... perlu dipikirkan untuk melengkapi bagaimana
mendapatkan social intelligence supaya tidak ada shock social anak
dikemudian hari .... 

sekolah formal banyak yang bagus, cuma kadang seiring dengan cost yang
selangit ....

salam,
Didik Fotunadi



-----Original Message-----
From: Hendratno Agus [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, March 26, 2008 16:32
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan
saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya
pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul.  2
putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan
formal. SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang
tua, tanpa mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca
tulis, tata bahasa, etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa
inggris, bahasa arab, baca tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya
akan saya didik tanpa pendidikan formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan
kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan (jawabnya). 
   
  Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD -
SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran,
lihat internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk
pendidikan formal, tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal.
   
  Agus Hend
  

Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Mas Noor
Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
konvensional (akademis).
Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film "little
house of the prairie" jaman aku kecil dulu.
Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan kakak
dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada ujiannya. Di
Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling ini. Tetapi
mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.

Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang mengajar
bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya dateng
dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya sebagai bagian
dari ngobyek.
Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
homeschool bukanlah yang ideal Salam


On 3/26/08, noor syarifuddin wrote:
> untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan 
> banyak orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh 
> formalitas ijazah (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka 
> mereka ikutan ujian persamaan atau via UT.....
>
> jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan....
>
>
>
> ----- Original Message ----
> From: Rovicky Dwi Putrohari
> To: iagi-net@iagi.or.id
> Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
> Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
>
> Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering 
> kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang 
> tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii 
> kalau mleset menjadi minus "ngapain sekolah" wong billgates saja do, 
> eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
> Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal 
> bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan 
> aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa "tanpa 
> telor".
> Dunia "pendidikan" di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan 
> dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari 
> pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa

> Ijazah !!
> Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah, 
> memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
> Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap 
> harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
> Learning (belajar) not just studying (sekolah)
>
> Salam
> Rdp
>
>
> On 3/26/08, Hendratno Agus wrote:
> > Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan
> menurunkan
> > perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA...." Membaca.
> > Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati

> > diri manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. 
> > Artinya, bahwa untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya 
> > adalah "membaca" bukan mencari "ijazah" (sebagai representatif dunia
pendidikan / akademik).
> > Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates, 
> > Plato, Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina 
> > menghasilkan karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang 
> > digandrungi banyak orang dan turut meng-inspirasi berbagai konsep 
> > dan temuan yang penting untuk kemaslahatan ummat manusia dalam 
> > belantara akademik (di dalam
> kampus-kampus
> > formal) maupun belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta 
> > (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, 
> > Plato, AQ Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah 
> > terbayangkan apa yang disebut "ijazah". Ketika terjadi revolusi 
> > industri di Eropa menguat, kemudian menjalar proses kapitalisasi di 
> > berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan

> > oleh proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas
"ijazah".
> >
> > Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch 
> > Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan 
> > MAMPU
> untuk
> > "membaca" hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah, 
> > mengapa tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi 
> > perpolitikan di negara mana pun, di dunia ini.
> >
> > Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya

> > manusia diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna 
> > Iqra
> itu
> > kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian

> > kita "bisa" membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin 
> > sering kita "membaca / iqra" secara tekstual maupun secara 
> > kontekstual, maka semakin baik kita memberikan penalaran untuk 
> > berbagai sendi-sendi kehidupan
> (paling
> > tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita 
> > masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang "mau

> > dan mampu" membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di 
> > sekitar mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang 
> > relevan dengan "cara iqra-nya" bang Ayip itu.
> >
> > spirit of Iqro...
> > Agus Hendratno
> >
> >
> >
> > yudi purnama wrote:
> > "Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh 
> > masyarakat"
> >
> >
> > Bravo Ajip Rosidi.....
> > Yudi
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote:
> > > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama 
> > > sekali,
> > bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, 
> > tetapi ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di
Jepang.
> Bagaimana
> > bisa ?
> > >
> > > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, 
> > > bukannya
> tidak
> > mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini 
> > sudah jauh berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat 
> > dahulu. Orang harus mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya,
maka ia akan sukses.
> Memang
> > kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi 
> > terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, 
> > paling tidak
> menekankan
> > : no pain no gain !
> > >
> > > Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya
> setebal
> > bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan 
> > cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 
> > (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, 
> > tebal 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga

> > Rp 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, 
> > buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 
> > 200-300 halaman kini harga
> rata-ratanya
> > sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal 
> > Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana 
> > buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?
> > >
> > > Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam 
> > > "Ucapan
> > Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga 
> > seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli

> > buku setebal
> 1364
> > halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan 
> > penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk 
> > dibaca
> orang-orang
> > Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar
> menganjurkan
> > penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400
> halaman
> > saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang 
> > sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka

> > akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, 
> > sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca 
> > Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, 
> > dari ilmuwan sampai
> jenderal,
> > yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan 
> > terjadilah subsidi silang sehingga
> > > masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !
> > >
> > > Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah "Hidup Tanpa 
> > > Ijazah
> :
> > Yang Terekam dalam Kenangan", sebuah otobiografi Ajip Rosidi, 
> > sastrawan
> dan
> > budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari 
> > setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu 
> > agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. 
> > Buku ini ditulis oleh
> Ajip
> > sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan 
> > oleh
> para
> > tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis 
> > sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). 
> > Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam 
> > dengan cukup detail
> peristiwa2
> > puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, 
> > dewasa
> muda,
> > dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis
> jurnal
> > kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa 
> > sehari-hari puluhan tahun ke belakang.
> > >
> > > Mengapa Ajip memberi judul buku ini "Hidup Tanpa Ijazah" ? Karena 
> > > Ajip
> tak
> > punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum 
> > ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan 
> > sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang 
> > otodidaktis (pelaku
> otodidak)
> > tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu 
> > semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan 
> > profesor pada umumnya.
> > >
> > > Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk 
> > > yang
> > berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip 
> > keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan 
> > karya, sepak terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya

> > seperti itu Ajip adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di

> > dunia pun jarang yang seperti dia.
> > >
> > > Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak
> > menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh 
> > pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman 
> > Siswa Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja 
> > keluar dari sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai. 
> > Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak
pernah berhenti belajar.
> > Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus di

> > sekolah, belajar bisa di mana saja.
> > >
> > > Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran 
> > > soal-soal
> > ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk 
> > membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di koran-koran 
> > timbul polemik tentang manfaat ujian. Dipertanyakan tentang 
> > keabsahan ujian untuk menilai prestasi murid yang sebenarnya. Ajip 
> > muda (16 tahun) berkesimpulan : orang tidak segan melakukan 
> > perbuatan hina, membeli soal ujian atau menyogok
> guru,
> > demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? Untuk dapat ijazah. Untuk 
> > apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa kerja ? Untuk dapat 
> > hidup. Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada secarik kertas
bernama ijazah !
> Ajip
> > terkejut sendiri dengan kesimpulannya. Ia saat itu telah empat tahun

> > berkarya (Ajip mulai mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi dan 
> > dimuat di
> > koran2 dan majalah2 sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14 tahun) 
> > dan
> telah
> > merasa bisa hidup cukup mandiri dengan honorariumnya. Ajip bertanya,
> apakah
> > seorang pengarang
> > > membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak.
> > >
> > > Ajip memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada 
> > > selembar
> > ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar ijazah.
> Menurutnya
> > tak ada sekolah atau universitas yang dapat menuntunnya menjadi 
> > seorang pengarang yang baik, apalagi ia punya pengalaman bahwa guru2

> > bahasa Indonesianya semasa di SMP dan SMA harus lebih banyak membaca

> > daripada dirinya.
> > >
> > > "Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuanku dalam 
> > > bidang
> > sastra dan penulisan dengan banyak membaca. Dan membaca tidak usah 
> > di sekolah. Tidak usah juga bersekolah tinggi karena aku sudah 
> > mengenal huruf-huruf. Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari
perpustakaan.
> Dalam
> > membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah
lebar.
> Dengan
> > kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih berbobot. Kalau 
> > tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan menghargaiku sebagai
pengarang.
> Akhirnya
> > yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh
masyarakat.
> Berapa
> > banyak orang yang mempunyai ijazah tinggi dan menduduki jabatan 
> > penting dalam masyarakat tetapi tidak pernah memperlihatkan prestasi
pribadi ?
> > Mereka akan lenyap dari ingatan masyarakat kalau mereka sudah 
> > pensiun atau setelah meninggal. Aku ingin tetap dikenang orang 
> > walaupun aku sudah meninggalkan dunia yang fana ini. Dan hal itu 
> > hanya dapat dicapai dengan berkerja keras, dengan mencipta
> > > karya yang bagus. Orang akan tetap mengingat namaku kalau 
> > > karya-karya
> yang
> > kutulis bermutu" begitu tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman
> 167-168.
> > >
> > > Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis surat
> kepada
> > gurunya di atas kartu pos, "saya tidak jadi ikut ujian nasional 
> > karena
> saya
> > akan membuktikan bahwa saya dapat hidup tanpa ijazah" Luar biasa 
> > keputusan anak remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu 
> > orang tuanya di Jatiwangi.
> > >
> > > Dan puluhan tahun berikutnya adalah puluhan tahun pembuktian bahwa

> > > Ajip
> > bisa hidup tanpa ijazah. Sebuah bakat yang ditekuni secara luar 
> > biasa akan berhasil luar biasa juga. Setahun sebelum ia keluar dari 
> > SMA, buku pertamanya telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun, 
> > berjudul
> "Tahun-Tahun
> > Kematian" (kumpulan cerpen). Itu adalah buku pertama yang mengawali
> sebanyak
> > lebih dari 110 judul buku berikutnya selama puluhan tahun kemudian. 
> > Ajip menulis buku-buku baik kumpulan cerpen, kumpulan puisi, roman, 
> > drama, penulisan kembali cerita rakyat, cerita wayang, bacaan 
> > anak-anak, kumpulan humor, esai dan kritik, polemik, memoar, bunga 
> > rampai, buku terjemahan, biografi (ada 10 halaman daftar lengkap 
> > karya Ajip di buku otobiografi
> ini).
> > Ajip menulis baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Banyak

> > karyanya diterjemahkan oleh penerbit internasional ke dalam 
> > bahasa-bahasa asing Belanda, Cina, Hindi, Inggris, Jepang, Jerman, 
> > Kroasia, Prancis, Rusia, Thai, dan lain-lain.
> > >
> > > Sepak terjang Ajip tak hanya dalam dunia penulisan sastra dan
> sekitarnya.
> > Ia adalah redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955) 
> > saat
> Ajip
> > masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi pemimpin redaksi Majalah

> > Sunda (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan Cupumanik (sejak
2005).
> > >
> > > Ajip juga adalah redaktur, pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan.

> > > Ia
> > adalah seorang redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962 
> > mendirikan Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin 
> > Penerbit
> Tjupumanik
> > di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka Jaya dan 
> > menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit Girimukti 
> > Pusaka, Tahun 2000
> ia
> > mendirikan dan memimpin Penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung. Usaha

> > penerbitannya ada yang terus berjalan sampai Sekarang (Pustaka 
> > Jaya), ada juga yang telah lama berhenti.
> > >
> > > Ajip juga sangat giat dalam berorganisasi, misalnya tahun 1954 
> > > (umur 16
> > tahun) menjadi anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun 
> > 1956 menjadi anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 
> > 1972-1981 menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga 
> > dibentuk pada tahun 1968 atas prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai

> > ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan 
> > Yayasan Kebudayaan Rancage, sebuah yayasan yang mengapresiasi 
> > karya-karya sastra daerah dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.
> > >
> > > Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan kehormatan. Tahun
> 1960-1962
> > dia adalah anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan bidang Sastra

> > dan Sejarah. Tahun 1978-1980 sebagai staf ahli menteri Pendidikan 
> > dan Kebudayaan, tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim Nasional, 
> > tahun 1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pengembangan Buku
Nasional.
> > Tahun 2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta.
> > >
> > > Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah, bukan 
> > > sarjana,
> > tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia diangkat sebagai 
> > dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran di 
> > Bandung. Ajip
> pun
> > sering diundang memberikan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi 
> > di seluruh Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai 
> > Visiting
> Professor
> > pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka, Jepang. Ajip mengajar di 
> > Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai Gurubesar Luar 
> > Biasa pada
> tahun
> > 1983-1994 di Tenri Daigaku di Tenri, Nara, Jepang. Tahun 1983-1996 
> > menjadi Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto. 
> > Pensiun sebagai guru besar, Ajip pulang ke Indonesia pada tahun 
> > 2003. Sekalipun Ajip
> berada
> > di Jepang selama 22 tahun, dia tetap menulis buku2nya dalam bahasa 
> > Sunda
> dan
> > Indonesia, tetap berhubungan dengan para penggiat sastra di Tanah 
> > Air, dan tetap memantau serta mengelola organisasi2 yang pernah 
> > didirikannya dari jauh.
> > >
> > > Sebagai penggiat sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara 
> > > di
> > berbagai simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya 
> > mengenai kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan 
> > bahasa, baik di
> tingkat
> > daerah, nasional, regional, maupun internasional. Sebagai orang yang
> mumpuni
> > dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta sebagai anggota dewan 
> > juri
> dalam
> > menilai berbagai perlombaan bidang sastra dan kesenian.
> > >
> > > Ajip dan organisasinya pun beberapa kali mendapatkan dana nasional
> maupun
> > internacional untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun 1969-1972 
> > Ajip mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan folklor 
> > Sunda. Tahun
> > 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation untuk 
> > meneliti kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan Ensiklopedi Sunda 
> > (telah terbit pada tahun 2000). Tahun 1960-1994 meneliti puisi 
> > Sunda, dan hasilnya dituliskan dalam tiga jilid buku dengan tabal 
> > total 1700 halaman (telah terbit dua jilid).
> > >
> > > Karena dedikasinya yang total lepada kesustraan dan kebudayaan, 
> > > Ajip
> > beberapa kali diganjar penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra 
> > Nasional untuk kumpulan puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional 
> > untuk buku kumpulan cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia,

> > 1993 : Hadiah Seni, 1994
> :
> > penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda terbaik, 1999 :
> > penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold Rays with Neck Ribbon

> > dari Jepang, 2003 : penghargaan Mastera dari Brunei, 2004 : Teeuw 
> > Award dari Belanda.
> > >
> > > Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip. Ia
> berkarya
> > sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun, menekuni sastra

> > dan budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56 tahun.
> > >
> > > Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita bisa mengetahui bahwa
> > pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan kalangan sesama sastrawan 
> > dan budayawan, juga dengan banyak tokoh dari berbagai bidang baik di

> > Indonesia maupun peneliti2 asing yang datang ke Indonesia untuk 
> > meneliti sastra dan budaya Indonesia. Bagaimana pergaulan dan 
> > pandangan Ajip dengan tokoh2 seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, 
> > Taufik Ismail, Asrul Sani, Affandi,
> Gus
> > Dur, Nurcholish Madjid, dan masih banyak lagi bisa dibaca di sini.
> > Pengamatannya tentang kejadian2 penting yang dialami Indonesia entah

> > itu pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2 dari tahun2 
> > 1940-an sampai

=== message truncated ===

       
--------------------

--------------------------------------------------------------------------------
PIT IAGI KE-37 (BANDUNG)
* acara utama: 27-28 Agustus 2008
* penerimaan abstrak: kemarin2 s/d 30 April 2008
* pengumuman penerimaan abstrak: 15 Mei 2008
* batas akhir penerimaan makalah lengkap: 15 Juli 2008
* abstrak / makalah dikirimkan ke:
www.grdc.esdm.go.id/aplod
username: iagi2008
password: masukdanaplod

--------------------------------------------------------------------------------
PEMILU KETUA UMUM IAGI 2008-2011:
* pendaftaran calon ketua: 13 Pebruari - 6 Juni 2008
* penghitungan suara: waktu PIT IAGI Ke-37 di Bandung
AYO, CALONKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA!!!

-----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke