Abah, Curug Cikapundung anu di Maribaya kiwari masih keneh 'ngebul'? Anu pasti mah CAINA COKLAT...
Salam Abah ANOM -----Original Message----- From: yanto R.Sumantri [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, March 28, 2008 12:20 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] apa benar jaman itu sudah sogok2an ?(wasOOT : Hidup Tanpa Ijazah) A wang Terima kasih kanggo sisindiranna, dilagukeun-na nganggo kinanti atanapi pangkur ? Eh, dimana bisa beli itu buku ? Si Abah ________________________________________________________________________ > Abah, > > Mungkiwn saja Ajip akeliru, kemnungkinan itu sudah diakuinya seperti > ditulisnya di kata pengantar bukunya pada halaman 4, > > "Akhirnya saya memohon maaf kalau ternyata ingatan yang saya tulis dalam > otobiografi ini membangunkan macan tidur, tidak mustahil karena ingatan > saya keliru, tetapi mungkin karena mengenai sesuatu kejadian yang kita > alami bersama, masing-masing akan mempunyai kesan dan kenangan yang > berbeda.Yang tersaji dalam otobiografi ini adalah kesan dan ingatan yang > ada pada saya.Orang lain yang juga mengalami peristiwa yang sama dengan > saya mungkin mempunyai kesan dan ingatan yang berbeda." > > Sebenarnya sisi paling menarik dari buku ini adalah bukan soal sekolah > atau gelar, tetapi pengalaman Ajip semasa Ali Sadikin jadi gubernur DKI > (saat Ajip hampir saja diangkat jadi menteri tetapi kemudian "disikut"), > saat Ajip bersama sahabat2nya, pengalaman Ajip sebagai orang Indonesia > di Jepang, pengalaman Ajip mengamati reformasi, dan masih banyak lagi > peristiwa yang menyangkut tokoh2 yang kita kenal yang dia tulis dengan > lugas apa adanya (maka Ajip menulis di kata pengantar, mohon maaf kalau > sampai membangunkan macan tidur). Mungkin ada/banyak orang akan > tersinggung dengan tulisan Ajip ini, bisa saja nanti ada otobiografi > tandingan he2..(seperti Habibie lawan Prabowo). > > Gaya penulisan buku ini mirip puisi Sunda seperti di bawah, ditulis apa > adanya, tanpa berseni, tanpa emosi, tanpa perasaan, hanya menceritakan > fakta dan peristiwa. > > "Ngebul curug Cikapundung, > cai tiguling teu eling, > seahna ayeuh-ayeuhan, > cai mulang cai malik, > leumpang laun reureundeuheun > taya kalali kaeling" > > Hasan Mustopa (1852-1830) > > salam, > awang > > "yanto R.Sumantri" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > >> Rekan rekan > > Saya jadi tergelitik ingin memberikan > komentar mengenai orang Sunda yang uar biasa ini. > Ayip adalah manusia > angka yang mempunyai keteguhan daam memegang prinsip dalam menjalani > profesinya sebagai sastrawan. > > Tapi ada yang agak > menjadikan pertanyaan bagi Si Abah > > > Benarkah Ayip tidak > menamatkan SMA- nya , karena dia meihat PADA Masa ITU BEGITU > MUDAHNYA ORANG MENYOGOK , MENCARI BAHAN UJIAN agar dapat lulus > ? > > Saya lebih muda enam atau tujuh tahun dari Ayip , jadi kira > kira Ayip menamatkan SMA-nya pada tahun 1956 / 57 . > Setahu saya > sistim ujian SMA yang nasional sangat tertib , dan angka kelulusan tidak > pernah ada yang 100 % atau sangat jarang. > Ditempat saya di Bandung > SMA yang "terkemuka " seperti SMA III , St Aleysus pun > tidak 100 %. > Saya tidak pernah mendengar pada saat saya SMA ada > bahan ujian bocor , atau nyogok guru dsb untuk lulus > Pada saat > itu guru guru kita hormati , walaupun saya termasuk murid yang bandel , > Kepala Sekolah saya di SMP waktu itu mempunyai rumah di jaan Sultan > Tirtayasa , daerah utara yyang merupakann tempat tinggal penggede di > Bandung. Hal yang sama juga berlaku bagi Kepsek SMA II , SMAIII , jadi > waktu itu kelihatannya hidup mereka lebih dari umayan. > > Saya > tidak tahu apakah memor Ayip agak terganggu .dan agak tercampurkan antara > kejadian tempo doeloe dia dengan dengan kejadian saat ini dimana memang > sering terjadi skandal mengenai ujian nasional ? Ataukah ini hanya dialami > oleh Ayip sendiri ? > Mungkin pak Awang bisa menjawab . > > Memang "nobody is perfect . > > Si Abah > > > > > > Ada seorang putra Indonesia yang tak > punya gelar akademik sama sekali, >> bahkan ijazah SMA pun tak > punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi >> ia diangkat > sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. >> Bagaimana > bisa ? >> >> Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh > yang satu ini, bukannya >> tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada > pada masa kita hidup saat ini >> sudah jauh berbeda dengan > kesempatan yang lebar terbuka pada saat >> dahulu. Orang harus > mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka >> ia akan > sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu >> > selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada >> manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! >> > >> Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. > Tebalnya >> setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. > Meskipun tebal dan >> cetakannya bagus, harganya murah untuk buku > setebal ini, Rp 95.000 >> (bandingkan dengan buku seri Harry Potter > terakhir, Deadly Hollows, >> tebal 1008 halaman, berkertas dengan > kualitas di bawah HVS, berharga Rp >> 175.000). Saat mengetahui > harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku >> yang dicetak biasa > (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman >> kini harga > rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu >> > maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. >> Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 > ? >> >> Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di > buku ini dalam ”Ucapan >> Terimakasih”. Buku yang akan > saya ceritakan ini memang harga seharusnya >> adalah sekitar Rp > 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal >> 1364 > halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan >> penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk > dibaca >> orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. > Memang Rosihan >> Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk > memotong bukunya sampai >> menjadi maksimal 400 halaman saja, > tetapi penulisnya merasa sayang >> memotong manuskripnya yang sudah > sampai 1000 halaman, jadi ia tak >> memotongnya sama sekali, maka > akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? >> Ada sekitar 100 orang, > sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal >> Indonesia dan Manca > Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman >> sampai > birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli >> > buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang >> > sehingga >> masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide > bagus ! >> >> Baik, saya ceritakan saja buku ini. > Judulnya adalah ”Hidup Tanpa Ijazah >> : Yang Terekam dalam > Kenangan”, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, >> sastrawan dan > budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang >> dari > setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu >> agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. > Buku >> ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi > pesanan seperti >> banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan > militer (namanya >> otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, > kalau dituliskan orang >> lain ya namanya biografi). Walaupun buku > ini mulai ditulis tahun 2006, >> Ajip dapat merekam dengan cukup > detail peristiwa2 puluhan tahun >> sebelumnya sejak Ajip anak-anak, > remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, >> sampai usianya sekarang (70 > tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal >> kegiatan harian sehingga > ia bisa menuliskan kembali peristiwa >> sehari-hari puluhan tahun > ke belakang. >> >> Mengapa Ajip memberi judul buku ini > ”Hidup Tanpa Ijazah” ? Karena Ajip >> tak punya ijazah > apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum >> ujian > akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, >> tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis > (pelaku >> otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan > pengakuannya. >> Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, > master, doktor, dan >> profesor pada umumnya. >> >> > Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang >> berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa > Ajip >> keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, > otodidaknya, dan karya, >> sepak terjang, serta pengakuannya. > Dengan sikap dan kiprahnya seperti >> itu Ajip adalah manusia > langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun >> jarang yang > seperti dia. >> >> Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten > Majalengka, wilayah yang banyak >> menghasilkan genteng dan kecap > itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh >> pendidikan hanya sampai > setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa >> Jakarta, itu pun > tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari >> sekolahnya > seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya >> > berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. >> Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus > di >> sekolah, belajar bisa di mana saja. >> >> > Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran > soal-soal >> ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah > banyak untuk >> membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di > koran-koran timbul >> polemik tentang manfaat ujian. Dipertanyakan > tentang keabsahan ujian >> untuk menilai prestasi murid yang > sebenarnya. Ajip muda (16 tahun) >> berkesimpulan : orang tidak > segan melakukan perbuatan hina, membeli soal >> ujian atau menyogok > guru, demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? >> Untuk dapat > ijazah. Untuk apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa >> kerja > ? Untuk dapat hidup. Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada >> secarik kertas bernama ijazah ! Ajip terkejut sendiri dengan >> kesimpulannya. Ia saat itu telah empat tahun berkarya (Ajip > mulai >> mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi dan dimuat di > koran2 dan majalah2 >> sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14 > tahun) dan telah merasa bisa >> hidup cukup mandiri dengan > honorariumnya. Ajip bertanya, apakah seorang >> pengarang >> > membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak. >> >> Ajip > memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada selembar >> ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar > ijazah. >> Menurutnya tak ada sekolah atau universitas yang dapat > menuntunnya >> menjadi seorang pengarang yang baik, apalagi ia > punya pengalaman bahwa >> guru2 bahasa Indonesianya semasa di SMP > dan SMA harus lebih banyak >> membaca daripada dirinya. >> > >> ”Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan > kemampuanku dalam bidang >> sastra dan penulisan dengan banyak > membaca. Dan membaca tidak usah di >> sekolah. Tidak usah juga > bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal >> huruf-huruf. > Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan. >> Dalam > membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah >> > lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih > berbobot. >> Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan > menghargaiku sebagai >> pengarang. Akhirnya yang penting dalam > hidup adalah prestasi yang diakui >> oleh masyarakat. Berapa banyak > orang yang mempunyai ijazah tinggi dan >> menduduki jabatan penting > dalam masyarakat tetapi tidak pernah >> memperlihatkan prestasi > pribadi ? Mereka akan lenyap dari ingatan >> masyarakat kalau > mereka sudah pensiun atau setelah meninggal. Aku ingin >> tetap > dikenang orang walaupun aku sudah meninggalkan dunia yang fana >> > ini. Dan hal itu hanya dapat dicapai dengan berkerja keras, dengan >> mencipta >> karya yang bagus. Orang akan tetap mengingat > namaku kalau karya-karya >> yang kutulis bermutu” begitu > tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman >> 167-168. >> > >> Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis > surat >> kepada gurunya di atas kartu pos, ”saya tidak jadi > ikut ujian nasional >> karena saya akan membuktikan bahwa saya > dapat hidup tanpa ijazah” Luar >> biasa keputusan anak > remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu >> orang tuanya > di Jatiwangi. >> >> Dan puluhan tahun berikutnya adalah > puluhan tahun pembuktian bahwa Ajip >> bisa hidup tanpa ijazah. > Sebuah bakat yang ditekuni secara luar biasa >> akan berhasil luar > biasa juga. Setahun sebelum ia keluar dari SMA, buku >> pertamanya > telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun, berjudul >> > ”Tahun-Tahun Kematian” (kumpulan cerpen). Itu adalah buku > pertama yang >> mengawali sebanyak lebih dari 110 judul buku > berikutnya selama puluhan >> tahun kemudian. Ajip menulis buku-buku > baik kumpulan cerpen, kumpulan >> puisi, roman, drama, penulisan > kembali cerita rakyat, cerita wayang, >> bacaan anak-anak, kumpulan > humor, esai dan kritik, polemik, memoar, >> bunga rampai, buku > terjemahan, biografi (ada 10 halaman daftar lengkap >> karya Ajip > di buku otobiografi ini). Ajip menulis baik dalam bahasa >> Sunda > maupun bahasa Indonesia. Banyak karyanya diterjemahkan oleh >> > penerbit internasional ke dalam bahasa-bahasa asing Belanda, Cina, >> Hindi, Inggris, Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis, Rusia, Thai, > dan >> lain-lain. >> >> Sepak terjang Ajip tak > hanya dalam dunia penulisan sastra dan >> sekitarnya. Ia adalah > redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar >> (1953-1955) saat > Ajip masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi >> pemimpin > redaksi Majalah Sunda (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan >> > Cupumanik (sejak 2005). >> >> Ajip juga adalah redaktur, > pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan. Ia >> adalah seorang > redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962 mendirikan >> > Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin Penerbit >> Tjupumanik di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka > Jaya dan >> menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit > Girimukti Pusaka, >> Tahun 2000 ia mendirikan dan memimpin Penerbit > Kiblat Buku Utama di >> Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus > berjalan sampai Sekarang >> (Pustaka Jaya), ada juga yang telah > lama berhenti. >> >> Ajip juga sangat giat dalam > berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur 16 >> tahun) menjadi > anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun 1956 >> menjadi > anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 1972-1981 menjadi >> > ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada tahun 1968 >> atas prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan > Penerbit >> Indonesia (IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan Yayasan > Kebudayaan >> Rancage, sebuah yayasan yang mengapresiasi > karya-karya sastra daerah >> dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali. >> >> Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan > kehormatan. Tahun >> 1960-1962 dia adalah anggota Badan > Pertimbangan Ilmu Pengetahuan bidang >> Sastra dan Sejarah. Tahun > 1978-1980 sebagai staf ahli menteri Pendidikan >> dan Kebudayaan, > tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim Nasional, >> tahun > 1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pengembangan Buku >> > Nasional. Tahun 2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta. >> > >> Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah, > bukan sarjana, >> tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia > diangkat sebagai dosen >> luar biasa pada Fakultas Sastra > Universitas Padjadjaran di Bandung. Ajip >> pun sering diundang > memberikan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi >> di seluruh > Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai Visiting >> > Professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka, Jepang. Ajip mengajar >> di Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai Gurubesar > Luar >> Biasa pada tahun 1983-1994 di Tenri Daigaku di Tenri, Nara, > Jepang. >> Tahun 1983-1996 menjadi Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto > Sangyo Daigaku >> di Kyoto. Pensiun sebagai guru besar, Ajip pulang > ke Indonesia pada >> tahun 2003. Sekalipun Ajip berada di Jepang > selama 22 tahun, dia tetap >> menulis buku2nya dalam bahasa Sunda > dan Indonesia, tetap berhubungan >> dengan para penggiat sastra di > Tanah Air, dan tetap memantau serta >> mengelola organisasi2 yang > pernah didirikannya dari jauh. >> >> Sebagai penggiat > sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di >> berbagai > simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya mengenai >> > kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan bahasa, baik di >> tingkat daerah, nasional, regional, maupun internasional. Sebagai > orang >> yang mumpuni dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta > sebagai anggota >> dewan juri dalam menilai berbagai perlombaan > bidang sastra dan kesenian. >> >> Ajip dan organisasinya > pun beberapa kali mendapatkan dana nasional >> maupun internacional > untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun 1969-1972 >> Ajip > mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan folklor Sunda. >> Tahun 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation > untuk >> meneliti kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan > Ensiklopedi Sunda >> (telah terbit pada tahun 2000). Tahun > 1960-1994 meneliti puisi Sunda, >> dan hasilnya dituliskan dalam > tiga jilid buku dengan tabal total 1700 >> halaman (telah terbit > dua jilid). >> >> Karena dedikasinya yang total lepada > kesustraan dan kebudayaan, Ajip >> beberapa kali diganjar > penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra Nasional >> untuk kumpulan > puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk buku >> kumpulan > cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia, 1993 : Hadiah >> > Seni, 1994 : penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda > terbaik, >> 1999 : penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold > Rays with Neck >> Ribbon dari Jepang, 2003 : penghargaan Mastera > dari Brunei, 2004 : Teeuw >> Award dari Belanda. >> >> Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip. > Ia >> berkarya sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun, > menekuni >> sastra dan budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56 > tahun. >> >> Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita > bisa mengetahui bahwa >> pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan > kalangan sesama sastrawan dan >> budayawan, juga dengan banyak > tokoh dari berbagai bidang baik di >> Indonesia maupun peneliti2 > asing yang datang ke Indonesia untuk meneliti >> sastra dan budaya > Indonesia. Bagaimana pergaulan dan pandangan Ajip >> dengan tokoh2 > seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Asrul >> Sani, > Affandi, Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan masih banyak lagi bisa >> > dibaca di sini. Pengamatannya tentang kejadian2 penting yang dialami >> Indonesia entah itu pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2 > dari >> tahun2 1940-an sampai sekarang bisa dibaca juga di sini. > Ajip juga >> menceritakan pikiran dan sikapnya tentang itu semua > dan hal2 yang >> dialaminya, termasuk saat gempa Kobe di Jepang, > sebagaimana layaknya >> sebuah otobiografi. Buku otobiografi > setebal 1364 halaman ini adalah >> salah satu dari buku2 > otobiografi paling tebal yang pernah ditulis. >> >> Kata > seorang pengamat, Ajip adalah seorang langka dengan kelebihan yang >> tidak dimiliki H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio > Sastrowardojo >> (Dr. Faruk dalam Kompas 31 Mei 2003). >> > >> “Mungkin ada orang yang membaca buku ini menuduh bahwa > buku ini >> merupakan usaha Ajip untuk memamerkan kehebatannya > sebagai orang yang >> “kurang sekolah”, tetapi berhasil > mencapai prestasi internasional. Tentu >> saja tuduhan itu sukar > dibantah. Meskipun tentunya sah-sah saja bagi >> orang berprestasi > untuk memamerkan prestasinya, apalagi prestasi ini >> dicapai > melalui perjuangan dan usaha sendiri dengan kerja keras. Ajip >> > sudah merupakan seorang yang dihargai di Indonesia, dia tak akan perlu >> memamerkan diri lagi, buku ini ditulisnya lebih kepada keinginan > untuk >> mengawetkan kenangan2 dan pikiran2-nya, berbagi pengalaman > dengan orang >> lain”, begitu tulis Arief Budiman dari > Melbourne, teman karib Ajip, >> dalam kata pengantar otobiografi > ini. >> >> Satu hal yang sangat penting yang merupakan > pesan Ajip melalui buku ini >> adalah : meskipun pendidikan sangat > penting, orang bisa juga berhasil >> meskipun tidak atau kurang > sekolahnya. Ajip telah membuktikan kepada >> kita semua bahwa ia > bisa hidup dan berhasil sampai punya reputasi >> internasional > bahkan sampai menjadi gurubesar di tiga perguruan tinggi >> di luar > negeri meskipun tak punya gelar akademik apa pun, bahkan ijazah >> > SMA pun tak ia miliki, Ajip benar2 : hidup tanpa ijazah. >> >> “Ajip akan diterjang kegelisahan yang luar biasa saat ia > mandeg membaca >> dan gagap menulis” (Maman S. Mahayana dalam > Panji Mas, Februari 2003). >> >> >> >> > salam, >> awang >> >> >> > --------------------------------- >> Never miss a thing. Make > Yahoo your homepage. > > > _______________________________________________ > Nganyerikeun hate > batur hirupna mo bisa campur, ngangeunahkeun hate jalma hirupna pada > ngupama , Elmu tungtut dunya siar Ibadah kudu dilakonan. > > > > --------------------------------- > Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! > Search. _______________________________________________ Nganyerikeun hate batur hirupna mo bisa campur, ngangeunahkeun hate jalma hirupna pada ngupama , Elmu tungtut dunya siar Ibadah kudu dilakonan. -------------------------------------------------------------------------------- PIT IAGI KE-37 (BANDUNG) * acara utama: 27-28 Agustus 2008 * penerimaan abstrak: kemarin2 s/d 30 April 2008 * pengumuman penerimaan abstrak: 15 Mei 2008 * batas akhir penerimaan makalah lengkap: 15 Juli 2008 * abstrak / makalah dikirimkan ke: www.grdc.esdm.go.id/aplod username: iagi2008 password: masukdanaplod -------------------------------------------------------------------------------- PEMILU KETUA UMUM IAGI 2008-2011: * pendaftaran calon ketua: 13 Pebruari - 6 Juni 2008 * penghitungan suara: waktu PIT IAGI Ke-37 di Bandung AYO, CALONKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA!!! ----------------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id Pembayaran iuran anggota ditujukan ke: Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta No. Rek: 123 0085005314 Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bank BCA KCP. Manara Mulia No. Rekening: 255-1088580 A/n: Shinta Damayanti IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi --------------------------------------------------------------------- DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use of any information posted on IAGI mailing list. ---------------------------------------------------------------------