Kita semua prihatin, kalau melihat angka segitu menguap atau tersulap. Saya yang awam sering bertanya-tanya secara sederhana,

Apakah biaya comdev/ CSR dari oil kumpeni selama ini dimasukkan bagian dari CR? ataukah bagian dari "zakat/ infaq/ sodaqoh" dari keuntungan perusahaan yang telah memperoleh keuntungan dari usaha migas.

Memulai dari yang kecil-kecil di lingkungan usaha migas / PSC, bisa jadi "tidak memasukkan pembiayaan comdev/ CSR sebagai bagian CR". Semoga Pemerintah berani memberlakukan aturan ini, dana-dana Comdev..., harusnya adalah bagian dari keuntungan produksi migas dari PSC.

 

salam, agus hendratno (wong kampus)


--- On Fri, 6/20/08, Agus Budiluhur <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Agus Budiluhur <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak
To: iagi-net@iagi.or.id
Date: Friday, June 20, 2008, 3:20 AM

Noor,

Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap???

Salam,

-abl-

2008/6/19 noor syarifuddin <[EMAIL PROTECTED]>:

Mas Firman yang penuh semangat,

Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang nantinya akan berujung ke CR.

Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan : apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini....(MDT point, OFA, logging suite, log interpretation, seismic reprocessing, perbanyakan dokumen dll). Mari kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Dari hal kecil ini kita mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini.

 

 

salam,
NSy

----- Original Message ----
From: Firman Gea <[EMAIL PROTECTED]>
To: "iagi-net@iagi.or.id" <iagi-net@iagi.or.id>
Sent: Friday, June 20, 2008 8:53:10 AM
Subject: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak

Dear Pejabat BP MIGAS yang membaca, mohon diteruskan ke yang berwenang,

Bagaimana tanggapan pejabat BP MIGAS tentang hal ini? Apa tindak lanjutnya? Penyempurnaan sistem pengawasan dan approval Cost Recovery? Atau bahkan penghapusan sistem tersebut? Apapun lah metode perbaikannya, saya yang bodoh ini cuma menghimbau Bapak-bapak pejabat yang pintar-pintar dan terbukti pintar untuk dengan konsistensi dan memperhitungkan hati nurani segera memperbaiki hal ini. Rp. 40 trilyun, Pak!! Kalau Bapak-bapak butuh yang muda-muda dan fresh untuk berpikir dan bertindak tegas, Bapak tinggal cari saja insinyur-insinyur muda yang siap untuk itu, di setiap pelosok negeri ini.

Stop kebocoran uang rakyat dari sistem Cost Recovery, sekarang juga!!!

Salam,

Firman Fauzi – geologist muda, siap digaji besar yang wajar untuk ditempatkan di posisi pengawasan approval Cost Recovery, and I'm not the only one, Sir.

 

Penerimaan Minyak Berpotensi Dikorupsi Rp 228,096 Triliun
Arin Widiyanti - detikFinance

GB
Tambang MInyak (ist)

 

Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan potensi penyelewengan dalam penerimaan minyak selama tahun 2000-2007 sebesar Rp 228,096 triliun.

Hal tersebut disampaikan Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas dalam jumpa pers di Kantor ICW Jalan Kalibata Timur IVD, Jakarta, Kamis (19/6/2008).

Angka itu timbul dari data resmi perminyakan dari Departemen ESDM selama 2000-2007. Dari data itu pendapatan yang disimpangkan indikasinya sebesar Rp 194,097 triliun ditambah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kontrak Kontraktor Kerja Sama minyak (KKSS) pada semester I-2006, semester I-2007 dan semester II-2007 dengan temuan cost recovery yang tidak perlu dibayarkan sebesar Rp 39,999 triliun.

Dari angka itu sebesar Rp 6 triliun merupakan angka cost recovery yang layak, dengan kata lain mengurangi pendapatan negara dari minyak sebesar Rp 34 triliun.

Firdaus mengatakan apabila pihak BP Migas merasa janggal akan temuan ini dia menantang BP Migas untuk membuka data penerimaan minyak yang dimilikinya secara head to head dengan ICW sehingga data penerimaan minyak menjadi transparan.

"Temuan ini akan dibawa ke KPK sebagai bahan investigasi KPK apakah ada indikasi korupsi dalam pengelolaan minyak karena apabila penyimpangan ini tidak ditegakkan maka saya yakin seperti sekolah gratis, dan jaminan kesehatan gratis tidak akan teralisasi. Negara terlalu dirugikan dengan penyimpangan ini," ujarnya.

Dia meminta pemerintah untuk meninjau ulang regulasi dan otoritas BP Migas dalam  pengelolaan minyak dan gas apakah telah melakukan pengawasan dengan benar.

Tak lupa dia juga meminta pelaksanaan audit investigasi penerimaan minyak secara menyeluruh.

"Riset ini bisa merupakan shock theraphy. Indonesia selalu dirugikan dengan cost recovery yang tidak erlu dibayarkan kepada pengusaha minyak," ujarnya.

Hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005-2007 dimana ditemukan penerimaan migas yang tidak dicatat dan dibelanjakan tanpa melalui APBN senilai Rp 120,329 triliun.
( ddn / qom )

 




Kirim email ke