Pak Awang & Anggota milis yth,

Mumpung hampir Idul Fitri, saya ucapkan Selamat merayakan Idul Fitri,
mohon maaf lahir dan bathin kepada rekan-rekan yang akan merayakan
Idul Fitri 2 hari lagi.

Pak Awang, terima kasih banyak atas pencerahannya. Diskusinya saya
perpanjang sedikit lagi.

Bohacs et al (2005) membahas panjang lebar tentang produksi, destruksi
dan (dilution) batuan induk. Makalah ini dapat diambil dari link
berikut kalau seandainya ada yang berminat:
http://www.geology.wisc.edu/~carroll/publications/pdf/Bohacs%20et%20al.,%202005.pdf

Saya sependapat dengan poin Pak Awang tentang perlunya sedimentation
rate/burial rate yang optimum agar batuan induk dapat terawetkan.
Namun, mengenai threshold-nya, kelihatannya belum ada kesepakatan atas
threshold optimum rate ini di antara beberapa peneliti.

Ibach (1982) mungkin menyatakan 21 m/my, tetapi kita tahu bahwa dalam
waktu 1 juta tahun atau beberapa ribu tahun saja, sedimentasi tidak
berlangsung secara konstan dan kontinyu, ada proses erosi dan saat
hiatus serta tidak hanya melibatkan material klastik. Variasi
sedimentation rate dan burial efficiency bisa terjadi dalam kurun
waktu yang lebih pendek. Kita tidak tahu pasti, apakah preservasi
batuan induk lebih dikontrol oleh proses sedimentasi dalam kurun waktu
ribuan tahun atau memang dalam jutaan tahun.

Berkenaan dengan efek sedimentation rate pada TOC, ada periset yang
lebih suka menggunakan threshold 60 cm/ky (Betts dan Holland 1991).
Angka ini saya kutip dari makalah yang saya cantumkan di atas. Di
makalah tersebut, dikatakan pula bahwa dilution dapat juga terjadi
secara biogenik (pembentukan silika dan karbonat).

Jika kita mengasumsikan data threshold dari Ibach (1982) atau Betts
dan Holland (1991) dapat kita jadikan patokan, perlu kita pikirkan
metode yang pas untuk melakukan perhitungan sedimentation rate di
cekungan baru tanpa data umur yang memadai. Kemudian berhubung
sedimentasi di sebuah depresi terjadi secara 3 dimensi, lokasi
pengukuran/perhitungan sedimentation rate yang berbeda dapat
memberikan hasil perhitungan yang berbeda pula. Demikian pula
posisinya secara stratigrafi (proximal atau distal). Akhirnya, ada
peluang nanti hasil perhitungan sedimentation rate menunjukkan lateral
variation dan mungkin ada bagian yang lebih dari threshold dan bagian
yang berada di bawah threshold di dalam sebuah depresi.

Setelah selesai mengukur sedimentation rate-pun, kita masih harus
mengetahui berapa suplai material organik ke depocentre karena
ternyata, suplai material organik yang tinggi membuat efek
sedimentation rate tinggi terhadap kandungan TOC menjadi lebih tidak
signifikan dibandingkan dengan suplai material organik yang rendah.
Schwarzkopf (1993 - makalah di Marine & Petroleum Geology, thanks to
Oom Bosman) melakukan pemodelan untuk memprediksi kandungan material
organik di batuan induk silisiklastik laut dangkal (marine shelf)
dengan mempertimbangkan primary productivity/suplai material organik,
kedalaman air, sedimentation rate dan kandungan oksigen di dasar laut.

Dengan mengombinasikan keempat faktor di atas, Schwarzkopf
menunjukkan, untuk kasus OMS (Organic material supply) paling rendah,
yaitu 10-30 gram Carbon/m2/year, kondisi oxic bottom water, water
depth 800-1000 m dan sedimentation rate paling tinggi yaitu 90-110
m/my, average TOC yang terbentuk adalah 0.5%. Contoh ini adalah kasus
paling ekstrim yang saya ambil dari hasil penelitian Scwharzkopf
(1993). Jika sedimentation rate sama, yaitu 90-110 m/my, tapi water
depth hanya 100-300 m, maka rerata TOC yang didapatkan adalah 1.1%.
TOC 1.1% ini seharusnya sudah lumayan untuk batuan induk, walaupun
mungkin orang lebih suka membaca TOC di atas 2%. Sayang sekali
penelitian Schwarzkopf ini bukan pada batuan induk lakustrin, batuan
induk yang menjadi model untuk cekungan Makassar Utara dan Selatan.

Kembali ke perbandingan stretching factor cekungan Makassar Selatan vs
Makassar Utara dan implikasinya pada organic richness kedua cekungan,
tanpa angka, tanpa pengukuran/perhitungan, agak sulit membayangkan
skenario stretching factor yang relatif tinggi vs relatif rendah,
sedimentation rate yang relatif tinggi untuk cekungan Makassar Utara
sehingga membuat proses dilution lebih aktif dan membuat material
organik tidak terpreservasi, tapi sedimen synrift ini juga harus tipis
sehingga tidak termatangkan pada saat rifting sedang aktif; sedangkan
di cekungan Makassar Selatan sedimentation rate rendah seiring
stretching factor yang lebih kecil dan ada suplai material organik
yang baik untuk cekungan Makassar Selatan.

Rate of rifting yang berbeda pada dua cekungan yang bersebelahan
berarti perlu ada kompensasi berupa transform fault. Perlu kita
pikirkan, apakah memang Adang Fault Zone itu dulu adalah transform
fault antara cekungan Makassar Utara dan Selatan.

Jika skenario yang hendak dibentuk adalah untuk mengakomodasi
keberadaan danau di cekungan Makassar Selatan dan danau tidak sempat
berkembang di cekungan Makassar Utara, mungkin kita bisa membuat
skenario lain tanpa perlu meng-invoke stretching factor yang berbeda
sehingga tampak menjadi signifcant factor yang menentukan kekayaan
material organik. Skenario alternatif bisa seperti demikian: rifting
membuka dari utara dan marine inundation lebih duluan tiba ke Makassar
Utara, lalu secara kebetulan sejak awal cekungan Makassar Utara ini
posisinya sudah distal, dekat dengan laut lepas; kemudian rifting
terus merambat ke selatan, eh ternyata menjelang akhir fase rifting,
Makassar Utara sudah kadung menjadi lautan lepas, kemudian ke arah
selatan ada transisi dari laut ke darat dan lebih ke selatan lagi,
kita mendapatkan lacustrine depositional setting.

Mungkin akan bermanfaat jika saya kutipkan beberapa angka stretching
factor cekungan lain. Viking Graben di North Sea sana menurut beberapa
makalah memiliki beta factor 1.4 hingga 1.6 dan Jurassic rifting ini
menghasilkan basin starvation. Jika kita ambil contoh cekungan yang
mungkin dulu juga terbentuk di wilayah beriklim tropis, Gulf of
Thailand dan Malay Basin, kedua wilayah ini memiliki beta factor di
atas 2. Untuk cekungan Pattani, crustal stretching factornya adalah
2.35 (Allen dan Allen, 1990), namun peneliti lain yang juga mengukur
Beta factor Pattani Basin mendapatkan Beta 1.3 di basin margin hingga
2.8 di basin centre (Bustin & Chonchawalit, 2010). Malay Basin konon
katanya memiliki Beta Factor "hingga 2.3" (Madon & Watts, 1998 - tapi
saya tidak berhasil menemukan makalahnya karena tidak punya akses ke
jurnal Basin Research).

Pattani Trough cukup prolific, terutama gas prolific. Di makalah yang
sedang dipersiapkan oleh Morley (unpublished atau mungkin sudah
dipublish, saya tidak tahu), ada sebuah penampang geologi yang
melintasi cekungan Pattani. Saya lihat bagian synrift cekungan ini
memiliki ketebalan maksimal sekitar 4-5 km dan umur yang ditunjukkan
adalah Early Oligocene-Eocene hingga Late Oligocene-Miocene. Lokasi
penampang geologi ini kemungkinan besar berada di bagian tengah
Pattani Trough. Kalau kita asumsikan rifting terjadi pada 40 hingga 20
juta tahun yang lalu dan ketebalan sedimen synrift hanya 4 km, maka
4000 m (tanpa dekompaksi) dibagi 20 menghasilkan sedimentation rate
sebesar 200 m/my.

Di bagian utara Pattani Trough, penampang geologi lain menunjukkan
ketebalan sedimen synrift sebesar 2.5 km. Jika kita asumsikan durasi
rifting sama dengan yang di tengah cekungan (20 my) dan dengan
menggunakan perhitungan sederhana yang saya lakukan sebelumnya, kita
akan dapatkan sedimentation rate 125 m/my.

Penampang stratigrafi cekungan Pattani menunjukkan ada "lacustrine
facies" di bagian synrift section terutama di bagian atas Sequence I
(bagian late synrift, transisi ke early post-rift). Terlepas dari
lacustrine depositional settingnya tidak sama persis dengan Lake
Tanganyika saat ini, lacustrine shale di Pattani Trough ini masih
menjadi salah satu batuan induk di cekungan tersebut (Jardin, 1997 -
Paper IPA).

Nah, bagaimana dengan Makassar Utara vs Makassar Selatan dan di mana
posisinya jika dibandingkan dengan Pattani Trough? Sayang sekali saya
tidak punya data untuk memberikan komentar lebih banyak.

Demikian sumbangan diskusi dari saya, mudah-mudahan berkenan.

Salam,
mnw

2011/8/26 Awang Satyana <awangsaty...@yahoo.com>:
> Minarwan & rekan2,
>
> Terima kasih atas sumbangan pemikiran Minarwan atas diskusi ini.
>
> Yang saya jadikan kasus hubungan antara rate of rifting dan rate of 
> sedimentation rate adalah Makassar Strait yang sejak pembentukan riftingnya 
> dan pengisiannya oleh sedimen berlokasi di iklim tropis, sehingga rate of 
> sedimentation-nya memang tinggi seiring rate of rifting Makassar Strait 
> sebelah utara yang tinggi. Di tempat-tempat lain yang nontropis, seperti yang 
> ditulis oleh Minarwan, saya sependapat bahwa rate of rifting yang tinggi tak 
> mesti diikuti rate of sedimentation yang tinggi. Rate of rifting yang tinggi 
> hanya akan menyediakan space of accommodation yang tinggi, basin fill-nya 
> tentu bergantung kepada provenance di sekitarnya, seperti yang saya tuliskan 
> sebelumnya, bisa terjadi basin starvation bila provenance minimal, atau 
> sedimentation rate yang tinggi bila provenance melimpah.
>
> Kemiringan atau kelandaian bounding faults sebagai faktor yang berpengaruh 
> kepada volume space of accommodation saat rifting terjadi, seperti yang 
> dipublikasi Lambiase dan Morley (1999) saya meyakininya juga; dan saya juga 
> sudah melihat exercise kasusnya pada Makassar Strait bagian utara dan 
> selatan; kebetulan Chris Morley (PTTEP) memperlihatkannya saat ia melakukan 
> studi struktur dan tektonik wilayah ini di South Mandar dan Malunda 
> (unpublished).
>
> Sedimentation rate pada rate tertentu betul justru akan meningkatkan 
> kandungan organik, seperti telah diteliti oleh Johnson dan Ibach (1982) - 
> kurvanya dapat dilihat juga di buku Richard Selley (1985): Essentials of 
> Petroleum Geology; tetapi bila terlalu tinggi justru kemudian akan mengurangi 
> kandungan organiknya karena faktor dilution. Minarwan mengambil kasus Delta 
> Mahakam, katakanlah jenis sedimen source rocks-nya silty shale karena 
> merupakan reworked dari deltaic coals. Menurut Johnson dan Ibach (1982), 
> kekayaan organiknya akan mengaya seiring sedimentation rate meningkat, dan 
> paling optimum, seperti yang telah saya tulis, adalah sekitar 21 m/my; 
> kemudian bila terus meningkat, maka justru akan terjadi antiklimaks, kemudian 
> kandungan organiknya akan makin berkurang seiring makin meningkatnya 
> sedimentation rate.
>
> Maka yang terbaik adalah lakukan saja analisis sedimentation rate di area 
> depresi di mana kita menduga di situlah source beds-nya tersimpan. Tak semua 
> depresi itu kitchen; jangan terlalu menyederhanakan analisis source dalam 
> analisis petroleum system.
>
> Gorontalo Basin jangan diasumsikan hanya menerima sedimen molassic dari 
> lithic, volkaniklastik, metamorf, ofiolit dari tinggian-tinggian di 
> sekitarnya. Betul itu memang terjadi, tetapi hanya di fase terakhir di Late 
> Neogen. Sebelumnya, di Paleogen dan Mesozoic, Gorontalo Basin sangat 
> berpotensi mempunyai sources sebaik Paleogen sources di circum-Sundaland 
> basins, juga sebaik sources Aulstraloid Mesozoics. Gorontalo Basin adalah 
> basin yang kompleks dengan poly-history tektonic dan stratigrafinya. Molassic 
> sediments-nya hanya menjadi burial seds buat mematangkan sources Paleogen dan 
> Mesozoics-nya.
>
> Masalah overmaturity di Selat Makassar (bagian utara) saya tak sependapat. 
> Saya justru berpendapat sebaliknya, cool basin. Heat-flow memang berpengaruh 
> kepada pematangan source, tetapi gradient geothermal lebih disebabkan 
> konduktivitas termal sedimen penimbunya daripada heatflow. Saat rifting 
> Paleogen (Eosen-Oligosen), memang heatflow tinggi di area ini karena terjadi 
> upwelling mantle plume yang sekaligus meretakkan kerak benua di wilayah ini. 
> Tetapi saat itu sedimen hanya tipis. Setelah itu, karena rifting Makassar 
> Strait gagal membuka terus menjadi sea-floor spreading, yang terjadi justru 
> thermal cooling sepanjang Neogen; downwelling mantle plume. yang di permukaan 
> dimanifestasikan dalam bentuk sagging yang sangat besar, dan terus sagging 
> sampai sekarang sehingga kedalaman lautnya di tengah Selat Makassar >2500 
> meter. Sedimen burialnya tipis, juga ada efek cooling dari kolom air laut 
> yang harus diperhitungkan. Semua itu akan membuat bahwa yang namanya
>  overmaturity sulit dipercaya terjadi di Makassar Strait sebelah utara.
>
> Pendapat saya di atas nampaknya sesuai dengan hasil analisis FIV (fluid 
> inclusion volatile) dan analisis gas di sebuah sumur penemuan -nonekonomis 
> yang dilakukan salah satu operator di wilayah ini. FIV menunjukkan bahwa 
> generasi petroleum di wilayah ini baru saja terjadi (Resen) dan analisis gas 
> yang ada menunjukkan: biogenic (!). Generasi petroleum Resen menunjukkan 
> ketidakmungkinan suatu overmaturity. Kehadiran biogenic gas di satu sumur 
> bisa menunjukkan thermal history 'cool'.
>
> Banyak konsep yang dibangun sebelumnya di area ini ternyata harus banyak 
> dilakukan revisi. Begitulah sisi West Sulawesi Offshore, mari kita ikuti saja 
> terus kemajuan eksplorasi di wilayah ini dan kita lakukan berbagai analisis 
> dan evaluasi serta sinergikan konsep2nya.
>
> salam,
> Awang
>

-- 
- when one teaches, two learn -
http://www.geotutor.tk
http://www.linkedin.com/in/minarwan

--------------------------------------------------------------------------------
PP-IAGI 2008-2011:
ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
* 2 sekretariat (Jkt & Bdg), 5 departemen, banyak biro...
--------------------------------------------------------------------------------
Ayo siapkan diri....!!!!!
Hadirilah Joint Convention Makassar (JCM), HAGI-IAGI, Sulawesi, 26-29
September 2011
-----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id

For topics not directly related to Geology, users are advised to post the email 
to: o...@iagi.or.id

Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI or 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke