Catatan laluta:
 
"... sepanjang setahun pula mereka berkesempatan menguji kemampuan: apakah pemerintah ini akan sekadar lewat atau mesti dicatat dengan layak dalam lintasan sejarah demokratisasi Indonesia..." [Uraian lengkap, silahkan baca "Setahun Tertatih Mengelola Krisis" oleh Eep Saefuloh Fatah] Juga kusajikan Ekspresi dan Refleksi diri penyair Fadjar Sitepu berjudul "Angka Seratus Hari".
 
La Luta Continua!
 
***

Kolom Eep Saefuloh Fatah

Setahun Tertatih Mengelola Krisis


Rabu, 19 Oktober 2005

 

TEMPO Interaktif, : Beruntunglah pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla (SBY-Kalla). Sepanjang setahun usianya, mereka dipaksa menghadapi berbagai jenis krisis, dari bencana alam, wabah penyakit, hingga krisis ekonomi-sosial yang tak mudah.

Maka, sepanjang setahun pula mereka berkesempatan menguji kemampuan: apakah pemerintah ini akan sekadar lewat atau mesti dicatat dengan layak dalam lintasan sejarah demokratisasi Indonesia.

Pemerintah yang terbukti hanya bisa bekerja ala kadarnya di tengah krisis adalah pemerintah yang tak laik dicatat. Begitu pula pemerintah yang terbukti sekadar sukses mengelola keadaan normal. Mereka sejatinya sekadar lewat.

Setidaknya begitulah menurut Walter Bagehot, penulis Inggris yang bisa memadukan dua kualitas yang jarang bertemu: ekonom tekun dan esais hebat.

Dalam karya klasiknya, The English Constitution (1867), ia menulis bahwa kualitas mumpuni, keinginan luar biasa, energi hebat, dan ketekunan tingkat tinggi adalah persyaratan mengelola krisis besar. Berbagai kualitas itu tak diperlukan dan sejatinya beristirahat dalam keadaan biasa, di zaman normal.

Maka bencana dan krisis yang datang selama tahun pertama pemerintahan SBY-Kalla sesungguhnya dapat dipandang sebagai semacam "berkah". Pemerintah pertama sepanjang sejarah Indonesia yang dibentuk melalui pemilihan langsung ini pun serta-merta diuji untuk memperlihatkan kualitas mereka yang terbaik pada tahun pertama usianya. Lalu mengapa kekecewaan menjadi nada yang agak umum dalam penilaian atas hasil ujian ini?

Dari sekian banyak sumber kekecewaan terhadap pemerintah SBY-Kalla, dua sumber utama layak disebut. Pertama, pemerintah sejauh ini gagal membuktikan bahwa mereka berhasil menguasai senjata yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis serta tahu persis bagaimana menggunakan senjata itu. Kedua, pemerintah tampaknya tak terlalu berhasil memadukan komunikasi dengan kredibilitas dan kepercayaan.

Senjata dan pelatuk

Don Luchessi dalam sekuel Godfather III mengatakan, "Finance is a gun and politics is knowing when you have to pull the trigger" ("Keuangan adalah sebuah senjata dan politik adalah tahu kapan Anda mesti menarik pelatuknya").

Persoalan pemerintah SBY-Kalla persis di situ: mereka tak mampu merebut dan menguasai senjata itu, atau ketika senjata tersebut sebetulnya bisa mereka rebut, ternyata mereka tak selalu tahu kapan mesti menarik pelatuknya.

Pemerintah SBY-Kalla memang tak pernah dimanjakan keadaan. Sejak awal masa pemerintahannya, bukan hanya bencana alam yang senang berkunjung dan menguji mereka, tapi juga kesulitan ekonomi, moneter, finansial, dan fiskal sekaligus.

Maka, di tengah harga minyak dunia yang terus membubung tinggi dan rupiah yang rentan-tak-stabil, pemerintah mau tak mau terkepung oleh krisis energi dan krisis finansial. Pemerintah terancam "tak punya uang" atau, meminjam Luchessi, terancam tak punya senjata.

Ketika krisis moneter sempat memuncak di tengah krisis energi yang cenderung "permanen", pada awal hingga pertengahan Agustus lalu, Bank Indonesia sempat mengeluarkan beberapa langkah yang cukup menolong. Sang senjata dapat direbut.

Lalu Presiden SBY mengeluarkan --apa yang ia sebut sebagai-- "Paket Kebijakan Ekonomi" (31/8/2005). Ternyata yang diumumkan adalah satu paket "kebijakan" (dengan tanda kutip) yang sumir, terlalu umum, dan sama sekali tak menyentuh masalah dan penyelesaian jangka pendek yang meyakinkan. Kekecewaan yang merebak waktu itu sebetulnya berhulu pada satu sumber: pemerintah ternyata tak tahu kapan mereka mesti menarik pelatuk.

Setelah genap setahun bekerja, semakin hari semakin terlihat bahwa pemerintah sebetulnya punya visi besar ke depan. Tapi mereka tak cukup profesional dan tak cukup kompeten mengatasi berbagai persoalan jangka pendek, terutama krisis keuangan, secara segera.

Mereka belum terbukti mampu merancang, menjalankan, dan mengevaluasi kebijakan yang matang yang secara politik mampu meminimalkan atau memproporsionalkan ongkos sosial-ekonomi yang mesti dikeluarkan masyarakat.

Komunikasi, kredibilitas, kepercayaan

Syukurnya, pemerintah sejauh ini terlihat percaya diri. Ini tentu wajar mengingat kuat dan besarnya legitimasi yang mereka miliki. Tapi legitimasi adalah semacam deposit yang diperlukan untuk membiayai pembentukan efektivitas.

Manakala deposit yang besar ini dibelanjakan secara tak terencana, tak proporsional, dan tak layak, efektivitas jadi tak terbangun. Akibat lanjutannya, pemerintahan akan kehabisan deposit legitimasi yang dimilikinya.

Sepanjang satu tahun ini, dalam jangka pendek, pemerintah SBY-Kalla menggunakan komunikasi sebagai perlengkapan utama untuk menyelamatkan diri dari inefektivitas serta dari grafik turun popularitas dan dukungan publik.

Sejauh yang saya amati, di luar banyak aspek persoalan yang sudah dibahas para pengamat, satu persoalan genting dan penting adalah tak tersambungkannya upaya komunikasi itu dengan kebutuhan memperbaiki kredibilitas dan kepercayaan secara segera.

Komunikasi lebih banyak digunakan untuk komunikasi itu sendiri. Ia belum banyak digunakan untuk menyokong langkah-langkah jangka pendek yang menyentak kesadaran publik bahwa pemerintah memang sedang berbuat sesuatu yang besar dengan hasil yang layak ditunggu. Komunikasi semacam ini justru tak akan menolong perbaikan kredibilitas dan kepercayaan. Ia justru bisa berfungsi sebaliknya.

Begitulah, di satu sisi, pemerintah berkomunikasi mengenai perlunya penghematan energi, perlunya semua pihak bersabar dan berkorban, mendesak semua pihak agar memecahkan masalah-masalah terdekat sesegera mungkin, serta mengajak menghadapi keadaan sulit dengan cara baru dan tepat.

Tapi, di sisi lain, pemerintah sendiri menjalankan kebijakan penghematan energi yang sangat artifisial, tidak menunjukkan kesediaan berkorban (misalnya dengan memotong gaji presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, dan wali kota sebesar 25 persen selama satu tahun serta membatalkan gaji ke-13 bagi mereka), tak sigap dan tak matang dalam penanganan korupsi di berbagai departemen dan kementerian negara yang jelas ada di depan mata, serta terbukti kurang kreatif dalam menggunakan cara baru dan tepat dalam mengelola berbagai kebijakan.

Komunikasi semacam itu menghasilkan efek negatif ganda: tak membangunkan kredibilitas dan kepercayaan secara segera sekaligus menggerus deposit legitimasi pemerintahan secara perlahan. Yang diperlukan ke depan adalah membangun komunikasi yang layak sebagai bagian dari ketersediaan langkah dan kebijakan yang layak, bukan berkomunikasi untuk menutupi ketidaktersediaan langkah dan kebijakan yang layak.

Eep Saefulloh Fatah
Peneliti Senior Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia

 

***


ANGKA  SERATUS HARI
----------------------------------------
 
Bekerja tertutup selama seratus hari
lindungi menteri korupsi
selama seratus hari
yang bergemetaran
hanyalah  ikan ikan teri
yang kakap tenang tenang
lanjangkan kaki
tak ada bahaya bagi diri sendiri
 
Janji seratus hari presiden
mengapa kau percayai
selagi tonggak kuasa
masih dijalan cendana
apapun yang terjadi
janji janji tak mungkin ditepati.
 
Alasan mujarab
negeri lagi musibah
Aceh lagi menderita
demi persatuan bangsa
jangan jamah presiden pemimpin bangsa
oh, minta ampun
seratus hari
bukan hari hari perkasa dan sakti
janji janjiku ”sementara”
tak bisa kutepati.
 
Fadjar Sitepu
Swedia, Januari 2005
 
 
***



Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65click: http://www.progind.net/  
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/


Yahoo! FareChase - Search multiple travel sites in one click.

JAKER(Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat)
***************************************
sekretariat:
JL.Tebet Timur Dalam IID No.10 Jakarta Selatan 12820 Indonesia
telp/fax: +62218292842
email:<[EMAIL PROTECTED]>

People's Cultural Network
"Semua orang adalah seniman,setiap tempat adalah panggung!"




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke