Mengkaji Peran Bung Karno pada 30 September 1965

Oleh Julius Pour

 

 

Senin, 03 Oktober 2005 - Wisma Yaso, Jakarta, Jumat pagi, 1 Oktober 1965. Bung Karno menghabiskan sarapannya sendirian. Istrinya, Ratna Sari Dewi, berada di kamar tidur. Bahkan, sampai saat suaminya berangkat ke Istana, Dewi tidak pernah keluar. Dengan demikian, Bung Karno, yang mungkin tidak tega untuk mengusik istrinya, terpaksa hanya pamit dengan meninggalkan sepucuk surat.

 

Lambert Giebels dalam buku bertajuk De Stille Genocide, De fatale gebeurtenissen yang terbit pertengahan tahun 2005, dengan cermat melukiskan suasana pada hari-hari panjang tahun 1965, ketika sekelompok perwira militer Angkatan Darat dengan dukungan massa komunis berusaha merebut kekuasaan dan akhirnya malah menyeret rontoknya kekuasaan Presiden Soekarno.

 

Apakah Bung Karno terlibat? Bagaimana peran DN Aidit bersama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpinnya? Siapa di balik Letnan Kolonel (Inf) Untung Samsuri, tokoh yang secara terbuka menyebut dirinya Komandan Gerakan 30 September serta menculik enam jenderal Angkatan Darat? Mengapa Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto berhasil memulihkan situasi dan bahkan akhirnya tampil menggantikan Bung Karno?

 

Bahan perdebatan sengit

 

Selama 40 tahun terakhir rentetan pertanyaan di atas menjadi perdebatan sengit dan spekulasi tidak pernah ada habisnya. Giebels, kelahiran tahun 1935, bekas anggota parlemen Belanda sekaligus doktor ilmu sejarah, pernah tinggal lama di Indonesia. Antara tahun 1970-an dan 1980-an dia menjadi konsultan di Departemen Pekerjaan Umum serta ikut menyusun pengembangan kota Jakarta. Rasa cintanya kepada Indonesia dia tuangkan dalam sejumlah buku. Sosok Bung Karno sangat akrab di mata Giebels karena tahun lalu dia juga telah menerbitkan biografi mengenai presiden pertama Republik Indonesia itu.

 

Berbagai langkah yang dilakukan Bung Karno, ketika krisis politik sebagai akibat aksi G30S, dengan mendadak menyergap serta menggoyang kekuasaannya, menunjukkan banyak sekali kecurigaan. Semisal dengan pidatonya pada 30 September malam di Istora Senayan.

 

Bung Karno mendadak meninggalkan panggung sekitar sepuluh menit, kemudian tampil lagi dan melanjutkan pidatonya dengan mengutip kisah Bharatayudha. Adegan ketika Arjuna ragu-ragu maju perang melawan Kurawa, dan Kresna memberi nasihat. Bahwa kewajiban utama seorang ksatria adalah membasmi musuh. Mengapa Bung Karno tiba-tiba mengutip kisah perang yang malam itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan acara pertemuan ahli teknik? Apakah ini isyarat kepada Untung, yang malam itu dalam posisi sebagai Komandan Yon I Tjakrabirawara dan mengawal Bung Karno juga hadir di Senayan, agar segera bergerak menyelamatkan revolusi?

 

Untuk melengkapi bukunya, Gibels mengkaji serta menggali bahan dari segala macam sumber. Dia juga mewawancarai sejumlah pelaku pada drama berdarah 30 September 1965 yang nantinya menyeret kematian sangat mengenaskan kepada lebih dari setengah juta jiwa massa komunis dan mereka yang sekadar dianggap komunis.

 

Tokoh yang ikut memberikan keterangan kepada Giebels antara lain Soebandrio, Omar Dani, AH Nasution, Megawati, Hartini, Saelan, A Latief, Mochtar Lubis, dan Hoegeng, sehingga analisisnya bisa cukup berimbang. Sayangnya, tidak ada tokoh PKI yang sempat dia hubungi. Namun, beragam publikasi PKI, baik pada masa sebelum maupun setelah peristiwa G30S, banyak yang dia kutip.

 

Apa peran Soeharto?

 

Kolonel Latief dengan tegas menuduh Soeharto terlibat dalam peristiwa G30S. Tetapi Gibels, yang sempat mewawancarai Latief, menyebutkan bahwa Latief tidak mempunyai bukti jelas untuk bisa mengaitkan Soeharto. Bahwa kisah akan ada aksi dari sekelompok perwira muda untuk mem-bersih-kan revolusi, sebuah informasi waktu itu sudah menjadi bahan pengetahuan umum.

 

Bahkan Bung Karno sendiri juga sudah tahu karena Omar Dani, dengan mengutip sumber intelijen Angkatan Udara, pada tanggal 29 September telah melaporkan mengenai adanya perasaan tidak puas dari sejumlah perwira muda Angkatan Darat dan kemungkinan mereka melakukan langkah nekat. Persoalannya, kapan mereka bergerak dan berapa luas dukungannya?

 

Pada sisi lain, Bung Karno, yang sedang terobsesi oleh rumusan kebijakannya, Ganyang Malaysia, juga sedang tidak puas dengan kinerja sejumlah jenderalnya. Masalah tersebut semakin diperburuk karena impiannya untuk membentuk Kabinet Nasakom masih belum berhasil akibat munculnya tentangan dari para pendukungnya sendiri. Tentu saja, dalam posisi semacam itu, mungkin sekali Bung Karno lantas mengeluh dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi kemudian mewacanakan kepada para pembantu dekatnya keinginan untuk membersihkan revolusi.

 

Berbagai fakta serta keterangan baru menjadikan karya Gibels yang akan segera diedarkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno, menarik untuk disimak. Semisal, Bung Karno ternyata punya anak dengan nama Totok Suryawan, lahir di Nuerenberg, Jerman, Agustus 1966.

Juga mengenai siapa perumus sebenarnya dari Surat Perintah 11 Maret dan tentang Prof Dr Mahar Mardjono yang kehilangan catatan medis kesehatan Bung Karno selama dia berada dalam tahanan. Termasuk kenyataan, sesungguhnya pada September 1965 Bung Karno justru sedang merencanakan perjalanan rahasia ke Meksiko.

 

Buku Gibels ditulis degan sikap tidak memihak. Dia tidak menyanjung begitu saja semua langkah Bung Karno, tetapi juga tidak menyangkal peran Soeharto.

 

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/03/humaniora/2092814.htm

 

 

 

Giebels, L.J. - De stille genocide

De fatale gebeurtenissen rond de val van de Indonesische president Soekarno. Op 30 september en 1 oktober 1965 vond in Indonesië een couppoging plaats, waarbij zes generaals werden vermoord. De mislukte coup werd gevolgd door een massaslachting onder communisten en vermeende communisten die naar schatting een half miljoen Indonesiërs het leven kostte, terwijl tienduizenden zonder vorm van proces jarenlang in gevangenschap verdwenen. De fatale gebeurtenissen begeleidden de val van president Soekarno en de machtsovername door generaal Soeharto. Beschrijving van de oorzaken van de couppoging, het verloop van de gebeurtenissen en de vérgaande gevolgen die de mislukte coup heeft gehad voor Indonesië en voor de twee hoofdrolspelers Soekarno en Soeharto. De auteur heeft voor deze grondige analyse van de grootste tragedie uit de Indonesische geschiedenis gebruikgemaakt van talrijke interviews met betrokkenen en getuigen, van officiële stukken en van archiefmateriaal en literatuur.

 

Auteur

Giebels, L.J.

Titel

De stille genocide

Ondertitel

De fatale gebeurtenissen rond de val van de Indonesiche president Soekarno

Onderwerp

Politiek

Genre (NUR)

Geschiedenis algemeen

Druk

1

Uitgegeven in

Amsterdam

Mediatype

Boek

Bindwijze

Paperback

Aantal pagina's

303

Geilllustreerd

Ja

Afmetingen

200 x 125 x 29

Gewicht

363 gr.

Taal

Nederlands

Uitgever

Prometheus Groep

Op voorraad winkel:

Ja, Venestraat, Herengracht, Breestraat

Levertijd

3 tot 4 werkdagen

Publicatiedatum

09-2005

ISBN

9035128710

Prijs

€ 21.95

 


How much free photo storage do you get? Store your holiday snaps for FREE with Yahoo! Photos. Get Yahoo! Photos

JAKER(Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat)
***************************************
sekretariat:
JL.Tebet Timur Dalam IID No.10 Jakarta Selatan 12820 Indonesia
telp/fax: +62218292842
email:<[EMAIL PROTECTED]>

People's Cultural Network
"Semua orang adalah seniman,setiap tempat adalah panggung!"




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke