Tasawwuf dan Sufisme

Maulana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani
Islamic Educational Center, Fremont, California
27 Januari 2003

Suhbat [dimulai dengan pendahuluan oleh Professor Muhammad Ahmad ] Kemudian Maulana Syaikh Hisyam : Saya datang sebagai pendengar. A'uudzu billahi minasy syaithanirrajiim Bismillahirrahmanirrahim, Nawaytul arba'iin, Nawaytul I'tikaaf, Nawaytul khalwa, Nawaytul uzla, Nawaytus suluuk, Nawaytul riyadhah lillahi ta'ala al-`azhiim fii hadzal masjid

Suatu kehormatan bagi saya untuk datang dan mendengar nasihat tadi, bukan suatu kuliah, tapi suatu nasihat dari Professor tentang cinta pada Sayyidina Muhammad e. Saya benar-benar datang hanya untuk mendengar. Saya tidak merasa bahwa saya perlu untuk menambahkan apa pun, karena ketika kecintaan pada Nabi saw muncul dan datang, kita pasti merasa terbakar dalam cinta itu. Jadi, saya tidak tahu lagi apa yang mesti dikatakan, dan jika saya berbicara maka akan memakan banyak waktu. Berapa menit kalian ingin saya untuk bicara? [60 (menit), atau sepanjang malam… beberapa orang telah datang dari Sacramento!] Ok, hanya untuk 15, 20 menit.

"Ya Sayyidi ya Rasulallah." Baru saja saya mendengar apa yang ada dalam nasihat yang telah diberikan oleh Professor. Oleh Prof. Dr.Muhammad Qadri tentang perlunya mencintai Nabi e. Tak perlu untuk mengucapkan Professor, atau doktor, Muhammad Ahmad k adalah cukup untuk suatu kehormatan. Alhamdulillah. Adalah suatu fakhr (kesombongan) untuk memberi nama setelah Sayyidina Muhammad saw. Kita bukan Wahabi, yang bangga dengan kertas yang kita peroleh dari universitas. Siapa yang peduli akan itu? Saya mendengar bahwa saat permulaan, saat majelis ini dimulai, hanya ada dua orang yang datang dan mendengar. Setelah itu, secara perlahan jumlahnya bertambah dan kita sekarang melihat ratusan orang di sini.

Hal ini menunjukkan bahwa kalian berada di jalan yang lurus. Saya berada di Houston kemarin dan saya memberikan nasihat di Masjid Ghawts A'zham. Dan masya Allah, begitu banyak orang dari Thariqat Al-Qadiriyyah mengundang saya ke acara besar itu dan kalian pun bisa merasakan perasaan yang sama akan kecintaan kepada Nabi saw. Kini, untuk mencintai Nabi saw adalah sesuatu yang harus kita rasakan dalam hati kita. Jika kita tidak merasakannya dan tidak mengetahuinya dan tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya, maka cinta itu hanyalah ada di lidah.

Itulah kenapa Syaikh Muhammad Ahmad Qadiri , menyebutkan suatu hadits Nabi saw, "la yu'minu ahadakum hatta akuunu ahabba ilaykum min waalidihi wa aalihi wa an-naasi ajma'iin." Yang berarti, "Kalian tidak akan mencapai iman sejati sampai kalian mencintaiku; kalian harus mencintaiku lebih dari kalian mencintai orang tua kalian, diri kalian sendiri dan anak-anak kalian serta seluruh manusia."

Jika kita melihat pada diri kita hari ini, jika anak kita sakit dan kalian harus membawanya ke rumah sakit, kehidupan kalian akan terganggu. Kalian tak dapat tidur satu jam pun tanpa adanya perasaan, "Anakku" atau "Putriku." Kalian terus mengatakan pada diri kalian, "Putraku," atau "Putriku". Kalian memiliki perasaan ini untuk menjaga putra atau putri kalian. Hal ini adalah timbangan atau ukuran sederhana yang dapat kita pakai untuk melihat diri kita sendiri. Sudahkah kecintaan pada Nabi saw seperti kecintaan dalam hati kita pada anak-anak kita atau belum? Jika kecintaan seperti itu belum ada, dan saya yakin belum ada, maka kita pun harus meningkatkannya.

Itulah mengapa Syaikh Muhammad Ahmad juga menyebutkan ayat, "Qul in kuntum tuhibbun Allah fat-tabi'uunii yuhbibkumullah wa yaghfir lakum dzunuubakum, wallohu Ghafuurur Rahiim" Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah , ikutilah aku, niscaya Allah swt mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'" [3:31]

Bukanlah Nabi saw yang mengatakannya–adalah Allah yang berfirman, "Ya Muhammad saw, katakan pada mereka, `Jika kau mencintai Allah , maka ikutilah aku, Allah akan mencintaimu.'" Untuk siapakah ayat itu? Untuk setiap orang, untuk Sahabat. Saya mencintai Nabi saya harap dan setiap orang mencintai Nabi. Dan para Sahabat mencintai Nabi . Maka bagaimanakah saya akan mencintai Nabi saw jika saya perlu untuk melihat beliau dan mengikuti beliau? Bagaimanakah saya mengikuti beliau jika saya tidak melihat jejak langkah beliau? Maka, para Sahabat melihat jejak langkah Nabi saw dan beliau menunjukkan pada mereka akan hakikat bagaimana mengikuti (ittiba', penerj.). Beliau membawa mereka dengan tangannya dan mereka pun bergerak, beliau membimbing mereka.

Tapi, ayat Qur'an Suci itu adalah bagi seluruh Ummah, dari awal hingga akhir. Ada suatu makna tersembunyi di sini. Nabi selalu bersama Sahabat untuk membimbing mereka. Itu berarti kehadiran beliau saw mestilah wujud di semua zaman bagi semua orang, bagi semua manusia untuk diikuti. "Wa'lamuu anna fiikum Rasulallah." –"Dan ketahuilah bahwa Nabi adalah berada dalam dirimu." [49:7]. Allah tidak mengatakan bahwa beliau "baynakum", "di antara kamu", tapi Ia berfirman, "Fiikum" – "di dalam dirimu." Quran suci sangat halus dan teliti dalam setiap huruf dan kalimatnya. Jika Nabi berada dalam diri kita, maka kemudian Allah mengatakan pada kita di sini, "lalu di manakah dia sekarang?"

Saya sedang mendengarkan suatu contoh ini [sambil menyentuh mikrofon]. Apakah kalian mendengarkannya? [ya]. Mengapa kalian mendengarnya? Itulah suara. Sentuhan tadi menciptakan suatu suara yang memiliki suatu panjang gelombang tertentu dan gelombang ini bergerak keseluruh ruang, ke seluruh alam semesta dan tak pernah lenyap. Mereka yang tahu akan fisika, engineering, tahu tentang ini. Gelombang tadi bergerak melalui ruang, sehingga ketika saya menyentuh (mikrofon), gelombang tadi bergerak melalui ruang – jika kalian memiliki receiver (penerima) kalian dapat mendengarnya dan jika kalian tidak memilikinya, kalian tak dapat mendengarnya.

Kita sedang mendengarkan dari era milliaran tahun yang lalu, suara-suara yang datang dari alam semesta, karena kita memiliki receiver-receiver yang besar (teleskop radio-red.). Kita mampu mendengarkan sesuatu, tetapi kita tetap tak mampu mendengar yang lain, ini tak mungkin. Setiap suara mestilah terdengar jika kalian memiliki peralatan yang tepat, karena gelombang-gelombang itu bergerak di segenap alam ini. Saat Sayyidina Muhammad saw membaca Al Quran suci, gelombang itu terus hidup dan ia tidak lenyap. Kalian bisa pula memahaminya dari titik pandang Fisika. Maka, jika suara itu di sana, mengapa kita tak mampu mendengarnya? Karena ada yang salah dengan peralatan kita. [subhanAllah, hayyak Allah wa jamaalakAllah wa.`afakalla]

Ada sesuatu yang salah. Bagaimana pula dengan hadits, "ma zaala `abdii yataqarraba ilayya bin-nawaafil hatta uhibbah. Fa idza ahbabtahu kuntu sam'ahul ladzii yasma'u bihi wa basharahul ladzii yubsiru bihi, wa yadahul ladzii yubtishu bihi wa lisanahul ladzii
yatakallama bih." "Hamba-Ku tidaklah berhenti mendekati-Ku melalui ibadah sunnah (nawafil) hingga Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan tangannya yang dengannya ia bertindak dan lisannya yang dengannya ia berbicara."

Seorang hamba mendekat dengan ibadah sunnah sampai Aku mencintainya, sebagaimana Syaikh Muhammad Ahmad Mahmud Qadiri, [menambahkan bahwa] berkata bahwa cinta pada Sayyidina Muhammad saw adalah penting. Para Sahabat, dari kecintaan kepada Nabi itu, mereka benar-benar mendengar pada Nabi , dan berkata, "Ya, Wahai Rasulallah , kami terima apa pun yang kau ucapkan." Para Munafiqiin mencoba untuk membuat keragu-raguan. Tapi, para sahabat berkata, "na'am Sadaqta Ya Rasulallah!" pada malam Mi'raj. Tapi, cinta itulah yang penting. Cinta itu datang bukan melalui kewajiban, tapi Ia berfirman, "maa zaala `abdii yataqarraba ilayya bin nawaafil hatta uhibbah." – melalui ibadah dan amalan sunnah.

Apakah kewajiban itu dalam Quran, datang dari langit atau Nabi saw melakukannya sendiri karena kecintaan? Karena kecintaanlah Nabi melakukannya. Kewajiban (Faraidh), adalah sesuatu yang harus kalian lakukan, kalian dipaksa, jika tidak kalian masuk ke jahannam. Itu adalah suatu kewajiban, kalian tak dapat mencapai cinta Allah Idengannya. Adapun Ibadah Sunnah, ada suatu jalan untuk menghindarinya, karena sekalipun kalian tidak melakukannya kalian akan tetap masuk surga.

Tapi, kalian tidak akan berada dalam situasi seperti yang disebut dalam haditst tadi. Itu berarti jika seorang hamba mencintai-Ku melalui Muhammad saw, dengan sarana Nawafil, `ibadah sunnah, maka Aku akan mencintainya, ini adalah suatu hubungan timbal balik. Ini haruslah dimulai dari diri kalian lebih dulu, karena Allah swt memang sudah mencintai hamba-Nya. Tapi, diri kalianlah yang harus memasukkan steker, kawat kabel kalian dan membuat hubungan itu dari sisi kalian.

Lalu apa yang terjadi? Hadist itu berlanjut, "kuntu sam'ahul ladzii yasma'u bih" Itu bermakna, "Aku akan memberinya penerima (receiver) khusus untuk mendengar, hingga ia mampu mendengar apa yang hanya bisa didengar wali." Aku akan memberinya apa yang tak dapat didengar orang? Apa yang tak dapat didengar oleh orang-orang? Kau tak dapat mendengar, ia tak dapat mendengar, kalian akan mendengar suara yang orang tak dapat mendengarnya karena mereka tak memiliki `pembukaan' itu dalam telinga-telinga mereka. Ia akan memberi kalian apa-apa yang berasal dari sifat as-Sami', sebagaimana Sariya mendengarkan suara Sayyidina `Umar ra dari Syam. "Wahai Sariya ! Jaga gunung itu," dari Madinah ke Syam.

Sariya mampu mendengarnya. Sayyidina `Umar ra mampu mendengar dan melihat. Jadi, Sariya memiliki audio voice saja. Sedangkan Sayyidina `Umar ra memiliki baik video maupun audio. Itulah teknologi yang ada sejak 1400 tahun lampau, sejak zaman Nabi saw. Kemudian haditsnya berlanjut, "Aku akan berikan padanya penglihatan yang Ia dapat gunakan untuk melihat dengannya, Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia dapat melihat." Pada saat itulah, kalian akan memiliki audio, video, dan TV. Saat itulah, kemudian, kalian akan mampu melihat Nabi saw bagaimana beliau bergerak, bagaimana beliau berbicara, bagaimana beliau bertindak, maka kalian pun bisa mengikutinya. Jika kalian tak mampu melihat hal-hal tersebut, maka ikutilah mereka yang mampu melihatnya. Tak setiap orang mampu melakukannya, hanya sedikit yang mampu melakukannya, hanya awliya' (kekasih Allah ) yang mampu melakukannya, seperti Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani .

Bahkan kalian menyebut Ibn Taymiyya, saya tidak suka untuk menyebutnya tapi untuk menunjukkan pada Wahabis bahwa guru mereka pun adalah seorang pelayan di pintu Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani .Ibn Taymiyya memuji Sayyidna `Abdul Qadir Al-Jailani k dalam bukunya Fatawa ibn Taymiyya.Saat itulah kalian memiliki audio dan video, dan itulah yang memberikan pada kita makna bahwa Nabi saw selalu hadir, melihat diri kalian dan melihat apa yang kalian lakukan. Dan jika kalian cerdas, kalian akan mampu melihatnya. Dan jika kalian tidak mampu, maka ikutilah mereka yang mampu. Itulah perintah yang ada dalam suatu hadits, "In kuntum tsalatsah, fa-amiru ahadakum." – "Jika kalian bertiga, maka jadikan seseorang sebagai pemimpin kalian."

Amir itu tidak boleh buta, dia tidak boleh seseorang yang bukan intelektual. Dia haruslah seseorang yang dapat melihat jejak langkah Nabi saw. Saya mendengar cerita ini dari Syaikh saya dan ayah beliau dan kakek beliau adalah berasal dari Thariqat Qadiri. Beliau melakukan khalwat penuh di maqam Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani selama setahun penuh.

Seorang wanita membawa anak laki-lakinya kepada Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani k dan berkata, "Ya Sayyidii, aku tahu bahwa Anda adalah Ghawts, dan aku tahu demi kehormatan dari Nabi saw, engkau memberi." Wanita itu adalah seorang wanita yang miskin dan ia selalu menghadiri suhbat (asosiasi), dan ia akan melihat seluruh murid, pengikut, menghadiri suhbat dan dzikir. Dan di hadapan setiap orang ada seekor ayam dan mereka makan.

Wanita itu berkata pada dirinya sendiri, "Alhamdulillah, aku miskin dan Sayyidina `Abdul Qadir k kaya baik di dunia maupun di akhirat. Aku akan berikan anakku untuk duduk di sana. Setidaknya ia akan makan di pagi dan malam hari." Ia berkata, "Aku ingin anakku menjadi muridmu." Beliau menerimanya. Anak itu adalah seorang anak yang berbadan cukup gemuk. Beliau menyuruh seorang murid, Muhammad Ahmad, "Kirimkan dia ke basement dan berikan padanya awrad untuk khalwat. Dan berikan baginya sekerat roti dan minyak zaitun untuk makan setiap hari."

Wanita tadi datang setelah satu bulan dan berpikir bahwa anak laki-lakinya pasti makan ayam. Kemudian ia melihat para murid duduk dan makan ayam dengan adab yang baik. Wanita itu bertanya pada Syaikh tentang anaknya. Beliau menjawab, "Ia sedang di ruang bawah tanah memakan makanan yang istimewa." Wanita itu senang, karena ia berpikir bahwa kalau para murid saja sedang makan ayam, pastilah anaknya sedang makan sapi.

Dia turun ke bawah dan melihat anak laki-lakinya – dia tampak sangat kurus. Tapi, dia sedang duduk, membaca doa, berdzikir, dan cahaya tengah memancar dari wajahnya. Wanita itu mendatanginya dan berkata, "Apa ini?" Ia menjawab, "Itulah yang aku makan, sekerat roti." Wanita itu mendatangi Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani k, "Aku membawa anakku untuk bersamamu." Saat wanita itu berbicara sang Syaikh memerintahkan para muridnya, "Makan." Setiap murid memakan ayam di hadapannya masing-masing, bukan potongan-potongan, tapi seluruh ayam, beserta tulang-tulangnya. Kemudian beliau berkata pada wanita itu, "Jika kau ingin anakmu mencapai suatu level untuk dapat memakan ayam beserta tulang-tulangnya, maka ia harus lebih dahulu menjalani tarbiyya – pelatihan." Tarbiyya itu adalah untuk membina dan melatih ego, yang merupakan hal paling sulit. Itulah yang diperlukan.

Saya datang ke sini hanya untuk mendengarkan kalian. Akhir dari suhbat Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani .Fatihah.Allahumma salli 'ala Sayyidina Muhammadin nabi al-ummi wa 'ala Alihi wa Sahbihi wa sallim.

wa min Allah at Tawfiq


Brings words and photos together (easily) with
PhotoMail - it's free and works with Yahoo! Mail.

Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke