Penulis : Ita Siregar
Penerbit : Gradien Books
Cetakan : Pertama, Oktober 2005
Tebal : 296 hlm
Menyandang usia kepala tiga dan belum menikah, bagi perempuan Indonesia bukanlah perkara mudah. Setiap saat harus siap menebalkan telinga dan wajah oleh serbuan pertanyaan seputar jodoh dan perkawinan. Pertanyaan itu bisa datang dari mana saja : orang tua, paman, bibi, sepupu, nenek, kakek,tetangga, teman kerja, boss di kantor...Entah karena perhatian atau sekadar usil belaka.
 
Memang apa salahnya sih perempuan tiga puluh tahunan masih lajang atau malah memilih tidak menikah sekalian? Apakah dengan menikah berarti selesai semua masalah hidup?
 
Kira-kira demikian gerutuan seorang Sairara - saya pernah juga menggerutu seperti itu beberapa tahun yang lalu - lajang berumur 33 tahun, cantik, cerdas, punya pekerjaan yang bagus sebagai guru bahasa Indonesia bagi para orang asing di Jakarta. Karakternya mengingatkan kita pada tokoh di film serial TV Sex and The City.
 
Keluarga besarnya, terutama sang mama dalam usia senjanya, berharap Sairara segera mendapatkan pria pendamping hidupnya. Sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara, tinggal Sairara satu-satunya yang belum menikah. Mamanya agak konservatif dalam memilih menantu bagi anak-anaknya. Calon menantu itu mesti memenuhi beberapa kriteria : sama-sama bersuku Batak dan Kristen. Pada hal Sairara punya kriteria sendiri untuk pria ideal calon pasangan hidupnya, yaitu : seumur dengannya, berambut ikal dan bermata hitam, ibunya harus pintar memasak, tidur memakai piyama, dan bernama Daniel.
 
Agak nyentrik juga sebenarnya persyaratan tersebut. Sairara sendiri tidak yakin bakal bisa menemukan seorang pria pujaan dengan lima kriteria yang dibuatnya itu. Tapi, apa salahnya mencoba? Sukur-sukur dapat. Kalau tidak pun, tidak penasaran kerena sudah mencoba.
 
Nah, dalam upayanya mencari Daniel itu, Sairara bertemu empat orang pria menarik.
 
Pertama, Feby. Lelaki tampan dengan mata jenaka. Bersuku Sunda, muslim, dan sudah punya pacar. Kedua, Don McNutt, tampan, marinir, salah seorang muridnya. Ketiga, Edgar, tampan, kaya, cerdas, Batak, Kristen. Dan terakhir, Jeremy, putra salah seorang murid bahasa-nya yang lebih sering bicara ketus kepadanya.
 
Lho, lalu yang mana si Daniel?
 
Katanya, jodoh itu seperti rezeki dan maut. Ia bisa datang sekonyong-konyong sebelum kita sempat menduga-duganya. Dalam hidup yang fana dan serba tak sempurna ini, kita sering berjumpa dengan hal-hal mengejutkan; yang acap kali jauh panggang dari api. Tiba-tiba saja, misalnya, kita sudah jatuh cinta pada seseorang berambut kribo, pada hal dalam daftar "kekasih ideal" kriteria yang kita cantumkan adalah yang berambut lurus.
 
Just Looking for Daniel atawa Mencari Daniel ini ditulis dengan gaya chicklit yang ringan, segar, dan cerdas. Seperti banyak novel chicklit (dan teenlit) lainnya, Ita Siregar (atau penerbitnya?) memilih menggunakan judul dalam bahasa Inggris untuk novel ini. Entah untuk keren-kerenan, strategi pemasaran, atau memang merupakan "peraturan" dalam dunia per-chicklit-an.
 
Yang jelas, novel ini menyuguhkan sebuah cerita yang menghibur. Walau pun tema yang diangkat "ringan-ringan" saja, tetapi penulisnya telah menulisnya dengan serius. Ini bisa dilihat dari caranya bertutur. Meski pun banyak memakai bahasa "gaul", terutama dalam dialog, namun tidak terkesan "semau gue". Ita tetap memerhatikan pemakaian kaidah berbahasa Indonesia yang baik, benar, dan enak dibaca.
 
Untuk pembaca di Jakarta, nama-nama kafe, kedai kopi, pusat perbelanjaan, jalan-jalan, bioskop, rumah sakit, atau pun situasi yang diceritakan, pastilah merupakan hal sehari-hari yang sudah sangat akrab. Apa lagi buat pembaca cewek berusia thirty something seperti saya, keakraban itu akan semakin terasa. Bukan saja dengan nama-nama tempat tadi, tetapi terutama kepada karakter Sairara serta problem yang dihadapinya. Istilah anak nongkrong MTV : gue banget gitu loh!
 
Saya curiga, kisah Sairara ini, sedikit-banyak merupakan kisah pengalaman pribadi penulisnya. Ita Siregar, seperti Sairara, juga berprofesi pengajar bahasa selain aktif sebagai jurnalis di sebuah majalah wanita terkemuka ibu kota. Barangkali, ia pun pecandu kopi dan penikmat hujan sebagaimana Sairara. Ah..tetapi tak ada yang salah kan dengan semua itu? Boleh-boleh saja toh menulis novel berdasarkan kisah nyata? :)
 
Bisa jadi itu yang membuat Mencari Daniel asyik dinikmati sampai huruf terakhir : penjiwaan, sehingga karakter Sairara terasa begitu "hidup", akrab, bagaikan membaca kisah sahabat kita sendiri.
 
Percaya atau tidak, beberapa hari setelah menamatkan novel renyah ini, saya tak dapat menahan diri ke Starbuck demi menikmati segelas besar coklat dingin dengan krim manis yang lembut beserta sejuring kue coklat bantat gosong alias brownies bertabur chocolate chips, salah satu cemilan kesukaan Sairara. Dan terbukti memang yahud rasanya, sesuai dengan harganya. Celakanya, saya jadi ketagihan. Seminggu kemudian saya datang lagi. Tetapi, kali ini agak kecewa sebab minuman yang saya pesan tak sesuai dengan harapan saya : coklat yang dicampur entah apa. Rasanya seperti biskuit atau bubur bayi. Tapi untunglah kue keju bayamnya - saya tidak ingat namanya -enak banget!
 
Kata beberapa orang teman saya, dalam membaca buku (apa saja) yang penting kita harus merasa senang dulu pada buku itu. Kalau sebuah buku sudah membuat kita "susah" - entah karena topiknya, bahasanya, terjemahan yang buruk, dll - maka biasanya kita sudah tidak akan bisa menikmatinya lagi dan selanjutnya bukan mustahil buku tersebut kita campakkan jauh-jauh ke sudut lemari.
 
Endah Sulwesi


/*-----------------*|*------------------*\
kalo mau promosiin ni milis, minta buat yang mau join untuk kirim email kosong ke [EMAIL PROTECTED], kalo mau unsubscribe dari milis ni, sila kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED], nah kalo mau tengok-tengok kabar bisa mampir di http://klub-sastra-bentang.blogspot.com
/*-----------------*|*------------------*\




SPONSORED LINKS
Culture Culture club Organizational culture


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke