Sebagai bahan pembanding analisis Bung Mawardi dan Bung Yap, berikut saya forward analisis dari seorang teman di diskusi sara. Ketiga analisis ini agak berbeda dengan analisis para pakar yang sering muncul di media masa. Dalam hal ini, saya mempunyai pendapat yang berbeda diantara mereka. Bagi saya justru kendali itu dipegang oleh interseksi antara Golkar dan ICMI. Kini, satu-satunya kekuatan yang mungkin merekatkan kekuatan partai-partai Islam (di luar PKB) ke dalam Poros Tengah hanya ICMI. Seperti kita telah mengetahui bahwa Gus Dur agak alergi sejak awal dengan ICMI. Itulah sebabnya, terobosan untuk menjagokan Gus Dur itu mengikuti teori Bubur Panas yang saya dengar pertama kali justru dari AR sendiri dalam sebuah perjalanan ke JKT secara kebetulan. Teori itu ia sebut untuk menjelaskan fenomena maraknya KKN dan konglomerat di Indonesia yang berciri dekat dengan kekuasaan. Menurut AR, teori Bubur Panas menjelaskan bahwa kalau orang makan Bubur Panas pasti akan mulai dari pinggir yang dingin. Namun itu terlalu lama dan tidak efektif. Oleh karena itu, langsung makan yang di tengah meskipun panas adalah cara yang paling efektif. Mempengaruhi PKB melalui para Santri Sarungan yang dipinggir apalagi Muhaimin, Agil, Matori, atau Kofifah jelas tidak akan efektif atau bahkan kemungkinan besar gagal. Kini, setelah Gus Dur terpegang maka yang lain mulai "nggregeli" atau kehilangan pegangan. Namun demikian, Pencalonan Gus Dur itu justru memecah Poros Tengah dalam pencalonan Presiden. Sebagian dari mereka jelas lebih berpihak kepada BJH. Inilah mungkin yang dimaksud sebagai blunder oleh Bung Peristiwa E. Pemunculan tiga calon itu seperti telah dilkalkulasi oleh Bung Yap memang akan membuat masing-masing Calon tidak akan memenuhi 351 suara. Invisible hand jelas diharapkan untuk memenangkan salah satu. Disamping itu, kelemahan pemeriintahan BJH membuat interseksi itu juga menjadi faktor penentu yang tidak bisa memaksakan permainan zero sum games. Apalagi Prof Harun dalam Dibalik Berita SCTV dengan tegas mengatakan dan menegaskan berulangkali bahwa kekuasaan BJH sebagai Presiden telah melampaui wewenang MPR dalam penawaran opsi kepada Timtim. Disampig itu, dialog di SCTV sore ini antara Umar Juoro dan Sinambela juga menjadi puzzle informasi mengenai kemungkiinan perpecahan pencalonan BJH di tubuh Golkar. Oleh karena itu, kolaborasi harus dilakukan dan, lagi, peluang itu hanya mungkin di Poros Tengah, UD, dan UG yang direkat oleh ICMI yang memiliki tradisi organisasi militan. Saya teringat ucapan Departmen Of Foreign Affairs nya Bung Yap(DFA) yang mengatakan bahwa kekuatan Poros Tengah dan Golkar akan semakin solid bila calonya Mega dan Habibie. Apa yang mungin membuat mereka semakin solid? Tujuan reformasi atau negara ini? Rapat ICMI yang dijurubicarai oleh Parni Hardi mengenai BJH sebagai calon terbaik menjadi sebuah indikator. Mungkin, faktor-faktor inilah yang menjadi dasar optimisme AM Saefudin mengenai kemenangan Habibie sebagai Presiden. Golkar tidak mungkin bisa memenangkan BJH sendirian, namun ICMI seperti hasil putusan rapatnya tidak mungkin pula untuk melicinkan jalan BJH ke kursi RI 1 tanpa Golkar. Perpecahan suara di tubuh Golkar besar kemungkinan sudah diperhitungkan dan oleh karena itu perlu ditambal oleh kekuatan lain yang mungkin direkat yaitu Poros Tengah, UD, dan UG. Oleh karena itu, seandainya BJH nanti menduduki RI - 1 maka itu merupakan kepandaian ICMI dan Golkar. Dengan realita politik seperti itu, saya melihat bahwa siapapun diantara Mega dan Habibie yang akan naik ke RI -1 mungkin akan memunculkan ketidakseimbangan (unstable equilibrium). Mungkin karena alasan itu, Gus Dur tetap ngotot untuk tetap mencalonkan diri sebagai Capres dan tidak akan mengundurkan diri seperti diperkirakan banyak orang. Bagi pendukung Mega kemunculan Gus Dur tidak begitu menyengat karena Gus Dur selama ini dikenal dekat dengan Mega (KKG sudah mulai menyiratkan), sedang bagi pendukung Habibie kemunculan Gus Dur juga tidak menyengat karena PDIP lebih ditengarai sebagai kelompok abangan, dan bagi yang ABH atau Asal Bukan Habibie (seperti Edi Sudradjat) kemunculan Gus Dur telah memenuhi keinginan mereka. Masihkan kita berharap kemunculan invisible hand? salam ез ----- Original Message ----- From: Pristiwa E. <[EMAIL PROTECTED]> To: Multiple recipients of list <[EMAIL PROTECTED]> Sent: 08 October 1999 04:17 Subject: Blunder Poros Tengah Menarik juga mencermati SU-MPR yang rupanya makin seru! Disini terlihat kepiawaian politik tingkat tinggi, dan sepertinya juga ada pengaruh 'invisible-hand'. Entah intuisi saya benar atau tidak, rasanya kesempatan Megawati untuk menjadi Presiden RI ke-4 belum pernah sebesar sekarang ini. Soal jadi atau tidaknya, saya tidak tahu. Alasannya simpel, dengan tidak adanya mayoritas tunggal maka SU-MPR mau tidak mau akan menjadi ajang pembagian kekuasaan para peraih suara-suara besar di Pemilu. Dan entah disadari atau tidak, inilah yang sedang terjadi. Amin Rais dari poros tengah (alias poros ABM/'Asal Bukan Mega') sudah dapat kursi ketua MPR. Lalu Akbar Tanjung sudah dipersilahkan PDI-P untuk menduduki kursi ketua DPR. Rupanya ini strategi tingkat tinggi dari PDI-P. Akibat dari manuver itu sekarang posisi strategis yang tertinggal hanyalah kursi Presiden, yang mau tidak mau paling pantas diberikan kepada PDI-P. Habibi rasanya nggak usah dibahas, kemungkinan akan keok pada saat pertanggungjawaban. Beban kasus Bank Bali dan Timor-Timur akan sulit diatasi, belum lagi kasus Soeharto. Lalu bagaimana dengan Gus Dur? Sudah bukan rahasia kalau dalam hal politik Gus Dur sulit dipegang langkah dan ucapannya. Kemungkinan besar dia akan mundur beberapa saat sebelum pemilihan presiden, sama seperti ketika pemilihan calon ketua MPR. Ini bukan tanpa alasan yang kuat. Gus Dur menyadari benar realitas yang ada. Dengan kearifannya tentu Gus Dur dapat mengetahui bahwa rakyat kebanyakan akan sulit memahami kenyataan politik yang terjadi jika tidak satupun posisi strategis yang ada dipegang oleh PDI-P (yang secara de-facto sesungguhnya adalah pemenang Pemilu). Jika itu yang terjadi maka di mata rakyat yang terlihat adalah kelicikan dan kerakusan para elit politik. Juga Gus Dur tentunya sadar apa yang akan terjadi dalam masa pemerintahannya jika PDI-P berbalik menjadi oposisi yang sangat efektif akibat rasa sakit hati atas pengkhianatan politik yang mereka alami. Ini situasi yang amat tidak menguntungkan bagi seluruh bangsa, banyak hal buruk yang dapat terjadi. Terlepas dari begitu kuatnya dukungan dari poros tengah, dan belakangan juga dari PKB sendiri, Gus Dus tidak akan sulit dan sungkan-sungkan untuk mengatakan 'tidak'. Kemungkinan besar Gus Dur menyadari betul kalau posisinya yang paling baik saat ini adalah menjadi ketua DPA untuk mengangkat kembali wibawa lembaga tersebut setelah sekian lama diketuai oleh dakocan (Sudomo) dan badut (Baramuli). Saya rasa untuk saat ini tidak ada orang yang layak untuk menjadi ketua DPA selain Gus Dur. Jadi sekarang yang siap-siap menyesali keadaan adalah kelompok poros tengah. Setelah berbagai usaha dan isu-isu yang dilontarkan gagal, kemungkinan besar kepiawaian dan kelicikan mereka dalam arena SU-MPR masih tidak cukup untuk menjegal Megawati. Dari sudut etika politik, mereka tidak bisa berbuat apa-apa jika Megawati menjadi presiden, karena pembagian kekuasaan yang terjadi sudah cukup baik. Salam, Pristiwa E. ----------- ______________________________________________________________________ Untuk bergabung atau keluar dari Milis, silakan LAKUKAN SENDIRI dengan mengirim e-mail kosong ke alamat; Bergabung: [EMAIL PROTECTED] Keluar: [EMAIL PROTECTED] Sambut MASA DEPAN BARU Indonesia!