Date: Thu, 14 Oct 1999 11:36:13 +0700
To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
From: "Daniel H.T." <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [Kuli Tinta] Soal Sistem Pemilihan Presiden

>Saya hendak berkomentar tentang beberapa hal seputar pemilihan presiden
>dalam SU MPR:
>
>Tentang voting. Dalam proses pemilihan presiden, sistem voting memang
>relatif lebih baik daripada sistem musyawarah-mufakat. Namun kehendak untuk
>melaksanakannya secara tutup adalah tidak fair. Terutama terhadap rakyat.
>Alasan voting tertutup, katanya karena berdasar budaya sungkan, terasa
>mengada-ada. Seharusnya para anggota MPR itu lebih sungkan kepada rakyat
>yang diwakilinya, yang ingin tahu bagaimana sikap (pilihan) mereka dalam
>proses voting tersebut secara transparan. Jadi, voting harus dilakukan
>secara terbuka, agar seluruh rakyat bisa mengetahui dan menilai bagaimana
>sikap masing-masing dari wakil mereka di sana.   Mengapa harus
>"rahasia-rahasiaan" terhadap rakyat yang diwakilinya?

Memang sudah tidak waktunya budaya sungkan-sungkanan, mengada-ada, tidak
sesuai ini itu lah, bla bla bla, wong tadi malam menginterupsi Presiden aja
tidak sungkan, masak milih Presiden sungkan??

>Tentang voting bertahap. Misalnya, kalau capres yang terdiri dari A, B, dan
>C masing-masing memperoleh 25%, 35%, dan 40%, maka seharusnya capres C yang
>dinyatakan menang. Tidak perlu harus meraih 50% + 1. Ini konsekuensi dari
>pemilihan capres yang lebih dari dua.  Tetapi, sesuai usulan voting
>bertahap, maka C tidak bisa dinyatakan menang, tetapi harus diadu kembali
>dengan B (35%), agar tercapai 50% + 1.  Dengan cara ini, berarti para
>anggota MPR yang semula memilih A (yang kalah), "dipaksa" harus memilih
>ulang (antara B atau C).  Padahal mungkin saja baik B, maupun C tidak
>sesuai dengan mereka. Tetapi karena semata-mata harus memenuhi "target" 50%
>+ 1, mereka "terpaksa" memilih. Yang seharusnya terjadi, mereka yang
>pilihannya kalah suara harus bisa menerimanya dengan sportif.

Kelemahan dari mekanisme voting yang sebelum-sebelumnya mana pernah
dipakai...? Mestinya ya begitu, meskipun hanya mendapat 40% suara namun hal
itu sudah merupakan mayoritas dari 3 calon, jangan memakai standar dua
calon (50% + 1) dong, kan aneh...

>Tentang kewajiban menyampaikan visi dan program bagi setiap capres. Apabila
>ini dikaitkan dengan proses kampanye sampai dengan pemilu yang telah
>berlalu, maka kewajiban penyampaian visi dan program capres untuk dinilai
>oleh anggota-anggota MPR, terkesan mementahkan kembali semua yang sudah
>dilakukan semasa itu. Bukankah sewaktu kampanye tempo hari, masing-masing
>parpol sudah menyampaikan visi dan programnya, yang tentu saja menjadi visi
>dan program capres yang bersangkutan juga? 
>
>Jadi, walaupun mungkin secara detail tidak mengerti tentang visi dan
>program tersebut, kebanyakan rakyat memilih parpol berikut capresnya itu
>karena percaya akan apa yang akan dilakukan oleh parpol pilihannya itu jika
>keluar sebagai pemenang pemilu (memerintah). Di sini, sesungguhnya rakyat
>secara tidak langsung telah memberi penilaian terhadap visi dan program

>masing-masing parpol dengan capresnya itu. Kenapa penilaian itu harus
>"diulang" lagi dalam SU MPR?. Seolah-olah penilaian rakyat dalam pemilu itu
>tidak dianggap, sehingga MPR harus memilih dan menilai kembali.
>
>Jika begitu, pemilu itu sebenarnya untuk apa?
>
>Kalau antara penyampaian pada masa kampanye dengan di depan SU MPR dinilai
>berbeda, lalu untuk apa penyampaian di masa kampanye?

Hal ini merupakan kelemahan dari sistem pemilu Indonesia. Sistem pemilihan
yang masih tidak langsung membawa konsekuensi pemilihan parpol untuk
kemudian parpol tersebut 'bertarung' di ajang sidang MPR, namun demikian
perubahan-perubahan yang terjadi juga menyebabkan munculnya keinginan
rakyat yaitu mengasosiasikan parpol dengan seorang tokoh (calon) presiden
sehingga diharapkan apabila parpol tersebut memenangkan Pemilu maka
otomatis tokoh yang bersangkutan menjadi pimpinan Pemerintahan alias
Presiden. Namun juga harus diperhatikan bahwa selama masa kampanye yang
menyampaikan visi dan program adalah parpol, BUKAN capres, dan bahwa selama
masa kampanye tidak ada satu parpol pun yang telah secara resmi mencalonkan
seseorang sebagai capres, sehingga tidak dapat dipastikan bahwa visi dan
program parpol otomatis menjadi visi dan program dari capres yang kemudian
dicalonkan.

Pemilu untuk apa? Ya untuk memilih parpol kan, atau ternyata selama ini
rakyat memilih PDI-P karena ada Mega, bukan karena PDI-Pnya sendiri? Kalau
memang begitu ya ndak tahu lagi, saya sendiri sampai lupa memilih, saking
asyiknya menjadi pemantau.....

>Apabila konsekuen dengan komitmen bahwa yang terbaik bagi rakyat adalah
>memilih presiden secara langsung, maka seharusnya dalam pemilu kali ini
>semangat tersebut sudah bisa diterapkan. Tidak perlu menunggu sampai pemilu
>yang akan dating. Yakni, parpol yang memenangkan pemilu, diberi kesempatan
>memerintah negara ini. Logikanya, rakyat menentukan pilihannya terhadap
>suatu parpol juga tidak lepas dari melihat siapa yang dicalonkan parpol
>tersebut sebagai presiden. Berilah kesempatan kepada parpol pemenang pemilu
>untuk memerintah. Apabila dalam proses pemerintahannya dianggap tidak
>mampu, bukankah sudah ada MPR  yang berwenang meminta pertanggungjawaban
>presiden, dan bilamana perlu mencabut mandatnya?

"Seharusnya", memang betul, cuman yah, sudah terjadi kan? Pilihan yang
mungkin dilakukan ya adalah mempersiapkan sistem Pemilu berikutnya yang
langsung memilih calon Presiden, jadi tidak seperti yang lalu-lalu,
contohnya seperti di AS dimana parpol tetap menjadi sarana partisipasi dan
perwakilan politik namun apabila sudah saatnya kampanye langsung dilakukan
oleh calon presiden yang diajukan. Untuk saat ini, karena masih terikat
dengan sistem pemilu sekarang ya nggak bisa langsung potong kompas dong.
Sekali lagi, saat kampanye tidak ada parpol yang sudah resmi mencalonkan
seseorang menjadi calon presiden, semuanya hanya harapan dan keinginan dan
sinyal-sinyal tersirat. Jadi menurut saya kurang tepat kalau rakyat memilih
parpol karena tidak lepas dari siapa yang dicalonkan parpol yang
bersangkutan sebagai presiden, wong belum ada calon kok. Selain itu, selama
UUD 45 masih berupa apa adanya, belum ditambah atau dikurangi (atau
diganti), kriteria "dianggap tidak mampu" itu harus jelas, meminta
pertanggungjawaban Presiden dan bilamana perlu mencabut mandatnya tidak
bisa dilakukan seenaknya. Kalau perlu DPR membuat UU yang secara khusus
mengatur Presiden sebab selama ini belum ada satu pun produk hukum yang
mengatur Presiden kecuali dalam Bab III UUD 45, sementara lembaga-lembaga
negara lainnya sudah diatur oleh UU....


>Dalam konteks ini capres yang pandai bicara, belum tentu dalam prakteknya
>bisa sama baik dengan apa yang keluar dari mulutnya itu. Jangan-jangan
>semua hanya retorika lagi. Contohnya sudah ada, yakni presiden Soeharto
>yang sangat pandai berotorika yang muluk-muluk, tetapi dalam prakteknya
>kita sama tahu. Demikian pula dengan Habibie. Yang penting kita paham
>bagaimana dengan track record dari masing-masing capres itu. 

Silence is golden...? Kalau saya bilang Soeharto itu malah nggak banyak
bicara, cuman sepak terjangnya dahsyat rekkk....waktu dia masih berkuasa
siapa yang berani ngelawan? Bedakan dengan Habibie, banyak bicara namun
dilawaaan terus, dikit-dikit didemo, diprotes, dimarahin, diomelin,
dipisuhi, diledek-ledek, dsb dst dll....yang penting memang soal track
record, cuman yah, namanya juga politik, kalau ada sedikit "tinta
merah"-nya kan nggak apa-apa toh?

>Dalam sistem yang akan datang selain pemilihan presiden secara langsung,
>juga pengajuan capres oleh setiap parpol harus menjadi satu paket dengan
>cawapres. Jadi, sejak semula setiap parpol sudah harus mengajukan capres
>dan cawapresnya sekaligus. Hal ini untuk bisa memenuhi kriteria presiden
>bisa bekerja sama dengan wapres.

Saya sangat setuju dengan yang satu ini. Selain memenuhi kriteria bisa
bekerja sama, rakyat juga diberi semacam alternatif andaikata dalam masa
bakti Presiden terjadi sesuatu sehingga Wakilnya yang naik, jadi baik
Presiden maupun Wakilnya sama-sama merupakan orang yang disetujui untuk
memerintah. Tambahan lagi, untuk Wakil Presiden mungkin untuk selanjutnya
diperluas tugas dan wewenangnya, jangan cuman jadi hiasan atau figuran
doang euy....


Wassalam,

Paladin A.
ICQ 50753984




______________________________________________________________________
Untuk bergabung atau keluar dari Milis, silakan LAKUKAN SENDIRI 
dengan mengirim e-mail kosong ke alamat;
Bergabung: [EMAIL PROTECTED]
Keluar: [EMAIL PROTECTED]

Sambut MASA DEPAN BARU Indonesia!










Kirim email ke