Menyelamatkan NKRI dari Bali Hari-hari terakhir ini perjuangan masyarakat Bali dalam menghadang RUU Antipornografi dan Pornoaksi (APP) memasuki sebuah dimensi yang jauh lebih mulia daripada sekadar sebuah gerakan politik biasa. Apa yang awalnya diniatkan sebagai upaya untuk menghentikan sebuah produk hukum yang dinilai cacat dari berbagai segi, kini dimaknai sebagai sebuah perjuangan luhur untuk menyelamatkan sesuatu yang lebih luhur, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ============== Perlawanan yang pada awalnya lebih banyak didorong keinginan untuk menyelamatkan kepentingan Bali -- kepentingan politis, kultural maupun ekonomi -- kini telah mamurti menjadi sebuah perlawanan yang didorong keinginan untuk menyelamatkan kepentingan negara bangsa Indonesia. Pergeseran paradigma ini tentunya tidak terlepas dari berbagai dinamika internal dan eksternal yang mendampingi jalannya proses penolakan tersebut. Pergeseran paradigma ini dipicu oleh munculnya gelombang kesadaran baru bahwa potensi bahaya RUU APP sesungguhnya tidaklah terletak pada pasal-pasalnya, tetapi pada semangat yang dikandungnya. Berbagai perdebatan dan pembahasan intelektual yang secara intensif dilakukan para tokoh gerakan perlawanan terhadap RUU APP pada akhirnya menyadarkan mereka bahwa pasal-pasal RUU APP tersebut sesungguhnya hanyalah kulit permukaan dari sebuah semangat untuk melakukan perubahan mendasar pada cara kita berbangsa dan bernegara. Semangat utama RUU APP adalah semangat untuk menjadikan agama tertentu -- moralitas berdasarkan dogma agama tertentu tepatnya -- sebagai kompas dalam pembuatan serta penegakan hukum nasional. Dengan merujuk pada dekadensi moralitas bangsa sebagai alasan utama, para penyusun RUU APP berupaya menjadikan kode-kode moral religius sebagai jalan keluar utama dan dengan demikian, membuka pintu lebar-lebar bagi dominasi agama atas negara. Padahal, negara modern mana pun akan berupaya sekuat mungkin untuk menghindari terjadinya dominasi agama atas negara. Sebabnya, dominasi sebuah agama tertentu atas negara pasti akan menyebabkan terjadinya alienasi serta subjugasi atas agama-agama lainnya. Padahal, alienasi yang terjadi karena perbedaan kepercayaan, cepat atau lambat akan menyebabkan sebuah konflik, baik konflik horizontal maupun vertikal, dan pasti akan berujung pada disintegrasi negara. Sejarah dunia dipenuhi dengan berbagai cerita nyata tentang negara-negara yang punah karena disintegrasi yang dipicu oleh alienasi berbasis religius. Contoh paling kontemporer adalah apa yang terjadi di Eropa Timur, saat alienasi dan subjugasi berdasarkan etnis dan kepercayaan religius melahirkan chaos politik dan genocide berdarah yang membuat wilayah itu pecah berkeping-keping. Proses itu kemudian dikenal sebagai Balkanisasi. Kolumnis tetap Bali Post Minggu, Aridus, dengan nakal mengaitkan proses itu dengan nama depan Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale sebagai penanda ''mistik'' bahwa RUU APP adalah kabar buruk bagi masa depan NKRI. Alienasi dan subjugasi adalah dua hal yang jelas-jelas berada dalam posisi berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar NKRI sebagaimana yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa. Pancasila, UUD 1945 serta Bhineka Tunggal Ika jelas-jelas menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang berketuhanan, namun bukanlah sebuah negara yang diatur atau berlandaskan pada ajaran agama tertentu. Sebaliknya, ketiga kontrak politik historis itu secara terang dan gamblang menegaskan bahwa negara bangsa Indonesia menjamin kebebasan beragama serta menghormati keragaman kekayaan budaya serta kepercayaan religius yang dianut masing-masing suku bangsanya. Negara bangsa Indonesia secara faktual mengakui adanya sebuah agama mayoritas, tetapi tidak pernah memberi ruang bagi terjadinya dominasi agama mayoritas terhadap negara. Uniknya, sebagian besar pemeluk agama mayoritas tersebut pun tampaknya memang tidak menginginkan terjadinya perkawinan politik antara agama dengan negara. Buktinya, sepanjang sejarah republik ini pemilihan umum (pemilu) selalu dimenangkan oleh partai-partai dengan ideologi nasionalis-sekuler, mulai dari PNI, Golkar hingga PDI Perjuangan. Fakta ini penting untuk menunjukkan bahwa RUU APP ini pun pastilah tidak mencerminkan keinginan dari seluruh pemeluk agama mayoritas di Indonesia. Karena yang melandasi RUU ini adalah semangat dan kepentingan dogmatis religius yang bertentangan dengan semangat dasar NKRI, yang toleran, terbuka dan menghormati beragam tradisi, maka tidak penting lagi apakah sejumlah pasal dalam RUU APP ini akan direvisi atau tidak. Oleh karena itulah, masyarakat Bali secara teguh hati menolak keseluruhan isi RUU APP, versi lama mau pun revisi. Selama semangat yang dikandungnya tetap sama, masyarakat Bali akan tetap menolak RUU APP, bahkan jika RUU ini berganti nama menjadi RUU Perlindungan Bali, misalnya. Teriakan ''Merdeka'' yang dilontarkan Ketua KNPI Bali Indriawan Karna serta somasi dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang menuduh masyarakat Bali merongrong NKRI, makin menyentakkan masyarakat Bali bahwa apa yang dipertaruhkan dalam perjuangan melawan RUU APP adalah jauh lebih besar dan mendasar daripada Bali semata. Pemimpin Kelompok Media Bali Post (KMB) Satria Naradha merupakan salah satu tokoh yang paling awal melihat terjadinya perubahan paradigma perjuangan rakyat Bali. Saat bertemu dengan sejumlah anggota Pansus RUU APP awal Maret lalu, Satria Naradha menegaskan paradigma baru itu dalam kalimat yang sublime. ''Bali tidak akan pernah mengkhianati NKRI. Bali akan melawan hingga titik darah terakhir setiap kelompok yang berupaya mengubah prinsip-prinsip dasar NKRI, yang menghormati keragaman budaya dan tradisi keagamaan masyarakat Indonesia. Kalau Jakarta dan Aceh ingin berkhianat (dengan menerapkan aturan-aturan yang berlawanan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika) maka silakan saja mereka keluar dari Republik ini. Bali akan tetap mempertahankan Republik ini,'' tegasnya. Jelas terlihat bahwa Satria Naradha telah memandang perjuangan melawan RUU APP sebagai perjuangan untuk nindihin NKRI, untuk menyelamatkan Republik. Hal senada kemudian diungkapkan pula oleh Ketua Komponen Rakyat Bali (KRB) I Gusti Ngurah Harta ketika menanggapi somasi MMI. ''Kami memandang bahwa perlawanan terhadap RUU APP ini adalah ekspresi pembelaan rakyat Bali terhadap Pancasila, UUD 1945 serta Bhineka Tunggal Ika. Justru pihak-pihak, seperti MMI, yang berupaya memaksakan kebenaran moralnya pada seluruh bangsa Indonesia, adalah pihak-pihak yang sedang merongrong dan mencoba mengubah NKRI menjadi negara yang didominasi oleh moralitas dogmatis satu kelompok tertentu saja,'' tegasnya. Dalam perspektif seperti ini, masyarakat Bali sesungguhnya sedang mengambil sebuah peran historis yang teramat besar. Pulau kecil yang dihuni oleh pemeluk agama minoritas ini secara sadar dan berani memproklamasikan dirinya sebagai benteng pertahanan NKRI dalam melawan gelombang besar fundamentalisme religius yang sedang berupaya mengubah Republik menjadi hak miliknya sendiri. Ketika Satria Naradha menyerahkan dua buah bendera Merah Putih kepada delegasi Pansus RUU APP, sesungguhnya ia secara simbolik sedang menyuarakan rindu-dendam masyarakat Bali pada Nusantara yang sejati. ''Semoga kedua bendera ini dapat mengingatkan para anggota Pansus tentang nilai-nilai sakral apa yang disimbolkan oleh Sang Saka Dwi Warna,'' ujarnya. Masyarakat Bali hanya ingin mengingatkan bahwa Merah Putih sejatinya mewakili pengorbanan para pendiri bangsa saat memerdekakan negara ini. Para pendiri bangsa itu, para pejuang-pahlawan itu, tidak hanya berasal dari satu suku atau satu agama tertentu saja. NKRI didirikan oleh kekuatan bersama patriot Nusantara dan seyogianya harus tetap menjadi milik bersama semua manusia Indonesia. * juniarta
Click: http://www.mediacare.biz or http://mediacare.blogspot.com or http://indonesiana.multiply.com Mailing List: http://www.yahoogroups.com/group/mediacare/join --------------------------------- Blab-away for as little as 1ยข/min. Make PC-to-Phone Calls using Yahoo! Messenger with Voice. [Non-text portions of this message have been removed] Quotes : "Religion is a set of social and political institutions and spirituality is a private pursuit which may or may not take place in a church setting." - D. Patrick Miller - Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://asia.groups.yahoo.com/group/mayapadaprana/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://asia.docs.yahoo.com/info/terms