Hudoyo Hupudio <[EMAIL PROTECTED]> wrote: To: [EMAIL PROTECTED],[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],[EMAIL PROTECTED],[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED] From: Hudoyo Hupudio <[EMAIL PROTECTED]> Date: Thu, 23 Mar 2006 17:57:49 +0700 Subject: [MUBI] Perlindungan Kebebasan Beragama yang Kian Payah - 11 Maret 2006
Dari: newsgroup soc.culture.indonesia Laporan Diskusi Maret: Perlindungan Kebebasan Beragama yang Kian Payah - 11 Maret 2006 From: bambu - view profile Date: Wed, Mar 22 2006 12:40 pm Email: "bambu" <bamboofl [EMAIL PROTECTED]> Groups: soc.culture.indonesia r [EMAIL PROTECTED], 21 Mar 2006 Perlindungan Kebebasan Beragama yang Kian Payah - 11 Maret 2006 Pasal 29 ayat 2 UUD'45 melindungi kebebasan setiap WNI untuk beribadah menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Tapi ironisnya kebebasan beragama di Indonesia mengalami masa-masa yang sangat suram. Pemerintah melalui perangkat hukum, lebih mengontrol kebebasan beragama ketimbang melindungnya. Demikian pula lembaga- lembaga keagamaan 'resmi' cenderung memaksakan pengertian mereka masing-masing pada masyarakat daripada mengayomi kehidupan beragama di Indonesia. Karena itu, National Integration Movement (NIM) pada hari Sabtu, 11 Maret 2006, mengadakan diskusi bulanan kebangsaan bertema : "Perlindungan Kebebasan Beragama yang Kian Payah" dengan menghadirkan Prof. Dr. Dawam Rahardjo - president The International Institute of Islamic Thoughts dan Mona Darwich - seorang Pemerhati Budaya dan Integrasi dari Libanon. Diskusi kali ini menempatkan Ahmad Yulden Erwin, seorang penulis buku dan aktivis LSM Anti Korupsi, pada kursi moderator. Prof. Dawam Rahardjo memulai pembicaraan dengan mengungkapkan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan beragama di Indonesia. Salah satunya adalah hubungan kekerasan dengan agama. Agama yang semestinya identik dengan kesejukan dan kelembutan telah berubah menjadi alasan bagi melakukan kekerasan terhadap sesama di Indonesia. Beliau menyoroti kekerasan yang terjadi pada tempat-tempat hiburan, rumah ibadah agama lain, komunitas "Lia" Eden dan kelompok Ahmadiyah, yang sebagian besar justru terjadi setelah Sholat Jumat ataupun Tablig Akbar. Ini terjadi karena khotbah-khotbah pada acara-acara tsb justru dipenuhi oleh khotbah-khotbah penuh kebencian. Apakah ini yang disebut beragama ? "Bila kita berlebih-lebihan dalam beragama, maka kita akan kehilangan keseimbangan yang berakibat gelisahnya jiwa melihat realitas yang ada di sekitar kita. Kita akan melihat segala sesuatu adalah dosa dan kesalahan dalam diri maupun sekitar kita. Ini memicu kemarahan kita, yang pada akhirnya kekerasan pada segala sesuatu yang kita anggap dosa ataupun kesalahan" tutur beliau secara singkat dalam menjelaskan hubungan antara agama dengan kekerasan. Masalah utama mengenai kebebasan beragama di Indonesia, menurut Prof. Dawam adalah (1) Tidak adanya pengertian yang benar tentang Agama, terutama oleh pemerintah. Agama didefinisikan sebagai suatu doktrin yang percaya pada Tuhan yang berpribadi, Nabi, Kitab Suci, dsb. Definisi ini jelas merupakan definisi yang diambil dari kacamata/ pandangan orang beragama Islam (atau Kristen-ed). Jadi apakah adil bila definisi ini diterapkan juga pada agama-agama lain seperti Buddha dan Konghucu? Buddha dan Konghucu tidak mengenal Tuhan yang personal, tapi mereka mengenal konsep KeTuhanan. Apakah karena hal ini, Buddha dan Konghucu tidak dapat disebut agama ? Sila pertama Pancasila sendiri jelas mengakomodasi: KeTuhanan Yang Maha Esa, bukan Percaya pada Tuhan Yang Berpribadi atau Personal. John Hick mendefinisikan agama sebagai faith atau kumpulan- kumpulan tradisi. Agama Islam misalnya banyak dipengaruhi tradisi- tradisi budaya Arab. Jadi sangatlah wajar bila Agama Islam di Indonesia, misalnya beralkulturasi dengan tradisi budaya Jawa, Sunda, Bugis, dsb. Ketika Muhammadiyah (Prof. Dawam pernah menjabat sebagai salah satu ketua dalam organisasi ini-ed) ingin melakukan purifikasi (kemurnian) ajaran Islam dari tradisi budaya (lokal) yang melekat pada agama ini, maka beliau juga mengingatkan Muhammadiyah untuk membersihkan ajaran Islam dari tradisi budaya Arab. Alasan Purifikasi ajaran Islam itu sebenarnya upaya mempromosi ajaran Islam beraliran Arab Wahabi (Arab Saudi) saja dan merepresi ajaran Islam beraliran lain. Menurut beliau, RUU APP juga merupakan suatu bentuk represi dan itu adalah kesalahan RUU ini. Seks dianggap dosa, padahal Seks adalah sumber dari kehidupan dan kreativitas. Menurut (Sigmud) Freud, bila Seks direpresi maka akan menjadi penyakit. Tapi bila id (istilah Naluri dalam bahasa psikologi-ed) mengalami sublimasi sekaligus tanpa terkendali maka manusia pun bisa menjadi gila atau bersifat agresif. Makanya id ini harus 'disirami' dengan Eros/Cinta/Al-Rahman. Jika tidak, akan ter-represif. Tapi dalam jiwa manusia, terdapat Ego atau Pusat Rasionalitas yang selalu melihat di tataran realitas, berfungsi untuk mengimbangi id tersebut. Masalahnya percaya-kah kita dengan rasionalitas manusia, dengan kemampuan manusia sendiri untuk mengontrol dirinya sendiri? Menurut paham liberal (rasionalitas) yang percaya bahwa manusia mempunyai otonomi atas dirinya sendiri, Tuhan memberikan manusia ketaqwaan, yaitu: kemampuan untuk mengontrol dirinya sendiri, seperti yang tertulis dalam Al-Quran. Agama/Kepercayaan lebih baik dikendalikan oleh Etika/Filsafat, bukan dengan Hukum karena Hukum itu bersifat represif, yang menimbulkan Rasa Takut. Kelemahan (Agama) Islam itu sendiri berasal dari anggapan diri bahwa Islam sebagai "agama langit" yang paling baik/sempurna sehingga ingin mendominasi (seperti penerapan Syariat Islam) agama-agama lain. Hal ini menimbulkan diskriminasi yang tersimpan potensi kekerasan. "Agama Langit" membenarkan klaim "eksklusifitas" karena merasa yang punya "kunci keselamatan." Semestinya, kita mempromosikan kesetaraan agama-agama dengan meniadakan istilah "agama langit dan agama bumi." Masalah ke-2 mengenai kebebasan beragama di Indonesia adalah (2) Tidak adanya pengertian bahwa kebebasan beragama itu adalah Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga tak ada otoritas apapun atau siapapun yang dapat mengintervensi keyakinan seseorang, sekalipun Pemerintah, Pemuka Agama atau MUI. Menteri Agama bukanlah Tuhan sehingga tidak sepatutnya mengatakan Ahmadiyah adalah ajaran sesat, apalagi mengusulkan aliran Ahmadiyah untuk kembali pada ajaran Islam yang murni atau mendirikan agama baru. Demikian pula Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, semestinya memahami bahwa HAM itu melekat pada manusia sejak dilahirkan di bumi, bukan pemberian dari negara atau siapapun sehingga setiap orang tidak bisa dipaksakan untuk beriman pada suatu aliran/agama tertentu yang dianggap resmi oleh pemerintah maupun pemuka agama. Hak Asasi Manusia Dalam Beragama adalah juga termasuk hak asasi untuk tidak beragama atau hak untuk menjadi murtad. Kalaupun mau beriman/beragama, hal itu tidak dapat dipaksakan dan merupakan keputusan pribadi seseorang. Justru pada masa lalu, seorang pejabat & pemimpin Islam seperti Bapak H. Agus Salim memiliki pemahaman yang lebih baik tentang HAM ketika beliau pernah menyatakan bahwa orang yang beragama dan tidak beragama punya hak hidup yang sama sebagai warganegara di Indonesia. Tapi para pejabat dan pemuka agama sekarang ini justru tidak memahami hal-hal seperti ini. Misalnya, Hak Sipil adalah HAM yang sudah dimasukkan dalam Konstitusi, seperti HAM Beragama sudah tertuang dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD'45. Jika telah menjadi Hak Sipil, maka Negara melalui pemerintah yang berkuasa, mempunyai kewajiban untuk memproteksi Hak Sipil warganya, bukan malah mengaturnya. Bila pemerintah tidak memproteksinya atau membiarkan penganiayaan yang terjadi dalam masyarakat karena masalah agama, maka hal ini dapat dianggap melanggar dan disebut CRIME by Omission. Jadi kelompok Ahmadiyah dan komunitas Eden pun sepantasnya dilindungi oleh pemerintah, bukan malah dibiarkan untuk dibantai oleh kelompok masyarakat lain atau dipenjarakan seperti Lia Aminuddin. Contohnya dalam kasus Ahmadiyah di Lombok. Kelompok Ahmadiyah bukan hanya dibiarkan oleh Pemda setempat, dianiaya dan diusir oleh masyarakat yang tidak se-aliran, tapi juga ditolak untuk pindah dan hidup damai di tempat lain di Lombok. Mau kemana lagi mereka tinggal ? Ini adalah pelanggaran HAM besar yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa. Maka sangat wajar, bila kelompok Ahmadiyah mengajukan permohonan suaka politik pada negara lain. Dan bila permohonan suaka politik itu dikabulkan, celakalah Indonesia. President SBY sendiri sangat tidak mengerti masalah Hak Kebebasan Beragama ini ketika membiarkan masalah Ahmadiyah diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Bila ada masyarakat yang mengadu biarkanlah pengadilan yang menentukannya. Pertanyaan-nya: Apakah Pengadilan berhak mengadili keyakinan seseorang ? Tentu saja tidak bisa. Dalam kasus komunitas "Eden," pemerintah mengatakan bahwa evakuasi paksa yang mereka lakukan adalah dalam rangka menyelamatkan Lia "Eden" dan pengikut-pengikut-nya dari amukan massa. "Tapi bila istilahnya Evakuasi, kenapa bukannya ditempatkan ke tempat yang aman, tapi malah dipenjara ?" seru Prof. Dawam mengungkapkan kebingungannya. Lia "Eden" dimasukan bersama 35 orang lainnya dalam suatu sel penjara kecil yang di tengah-tengahnya terdapat WC yang kotor dan bau. Ketika menolak memberikan uang kepada sipir penjara maupun napi lainnya karena tidak sesuai dengan kata hatinya, maka Lia "Eden" pun mendapat kekerasan dari mereka sampai akhirnya beliau menawarkan jasa pemijatan pada para napi teman satu selnya. Para napi pun akhirnya tergugah hati mereka dan mereka berbalik bingung kenapa seorang seperti Lia "Eden" harus meringkuk dalam penjara yang sempit seperti mereka. Negara (pemerintah-ed) tidak boleh bersikap menghakimi mana agama yang benar dan mana yang sesat. Seorang Negarawan atau pemimpin yang mewakili negara seharusnya menganggap semua agama itu benar dan mengakomodasi kepentingan semua agama di negara itu. Jadi tidak sepatutnya bila seorang Ketua MPR, misalnya mengklaim agama yang dianutnya adalah agama yang paling benar. Dalam sesi tanya-jawab, beberapa peserta diskusi dari UIN- Ciputat bertanya tentang Pluralisme. Apa yang terjadi dengan identitas agama dalam Pluralisme ? Apakah seorang Pluralis bisa menjadi fanatik dengan paham Pluralisme sendiri ? Prof. Dawam menjawab bahwa justru dalam Pluralisme, identitas tiap agama diakui, dipertahankan, dan dihormati. Tapi dalam Pluralisme seharusnya tidak ada agama yang dominan atau pengklaiman kebenaran mutlak atau ekslusif dari suatu kelompok/orang tertentu kemudian memaksakan klaim kebenaran itu pada orang lain. Pluralisme pun sangat kontradiktif dengan Fanatisme sehingga tak mungkin terjadi seorang yang pluralis (inklusif-ed) menjadi fanatis pada konsep pluralisme-nya. Beliau pun menambahkan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya sudah sangat pluralis. Masalahnya para intelektual dan ulama-ulama (pemuka agama-ed) ini yang tidak bener sehingga jadi kacau. Sudah waktunya kita berpindah dari ortodoksi menjadi ortopraksi. Ortodoksi itu adalah tentang mengklaim kebenaran. Jadi bila kita masing-masing mengklaim kebenaran, maka terjadilah konflik. Tapi bila kita berlomba- lomba berbuat kebaikan, pasti rukun. Maka marilah kita mengklaim kebenaran kita itu dengan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya. Mona Darwich tak pernah ingat atau tahu kenapa dirinya dilahirkan dan dibesarkan di Libanon. Biarpun hidup dalam keluarga muslim yang taat, keluarganya selalu turut merayakan hari Natal bersama para tetangga lain yang beragama kristen. Pohon Natal di hari Natal adalah hal biasa yang terdapat dalam rumahnya. Demikian pula salah seorang pamannya selalu saja ada yang menjadi Santa Klaus di hari kelahiran Yesus Kristus itu. Padahal banyak paman-paman Mona menjadi Mufti (Ulama Besar) di negaranya dan juga di negara tetangganya, Republik Syria. Setiap sore, sejak kecil, Mona sering diajak mengucapkan doa yang berasal dari Kitab Al-quran oleh neneknya. Setiap pagi, Mona pun berdoa "Bapa Kami" dalam bahasa Arab di sekolah "Greek Christian School." Mona sempat mengucapkan doa "Bapa Kami" dalam bahasa Arab di acara kali ini dengan hikmat. Karena bersekolah di sekolah kristen, maka Mona lebih sering menghabiskan masa kecilnya di dalam gereja, tapi seingat-nya, Ia tidak pernah merasa menemukan Tuhan baik di gereja maupun di mesjid. Justru dia menemukan Tuhan dalam kebaikan (Kindness). Libanon adalah negara kecil di timur tengah dan saat itu merupakan negara yang paling progresif dalam menerima perbedaan antar agama (pluralisme) di antara negara-negara timur tengah lainnya. Karena hal itulah, Libanon menjadi negara yang damai, rukun dan makmur perekonomiannya. Kemudian ada rencana untuk memecah belah Libanon dan memisahkan masyarakatnya menurut agamanya masing-masing. Dalam waktu yang singkat, bermunculan lah para pemuka agama yang vokal, baik dari Islam maupun Kristen, yang mulai mempromosikan klaim kebenaran agama mereka masing-masing (Ekslusifitas). Para pemuka agama ini pun mulai mendikte masyarakat mana yang benar dan mana yang tidak benar serta menebar kebencian pada kelompok agama lain, tentu saja dengan dukungan ayat-ayat dari Kitab Suci mereka masing-masing. Semua ini mencapai puncaknya pada tahun 1975, ketika terjadi perang saudara antar agama secara fisik sampai tahun 1991, yang memisahkan masyarakat Kristen dan Islam di Libanon selama 16 tahun. Pada masa 'perang agama' itu, cara yang paling efektif untuk mengidentifikasi mana kawan dan mana lawan adalah dengan memeriksa KTP, karena di KTP Libanon saat itu ada Kolom Agama. Setelah 16 tahun hidup menderita dalam perang saudara dan ongkos ratus ribu nyawa melayang, secara tiba-tiba masyarakat menyadari betapa tidak bergunanya Kolom Agama dalam KTP, maka kemudian masyarakat melalui beberapa orang intelektual membuat petisi dan mulai me-lobby Menteri Dalam Negeri untuk menghapuskan Kolom Agama dalam KTP mereka. Kemudian President melihat petisi dan mendengarkan dari penasihat dan bawahan- nya, serta akhirnya mengambil keputusan untuk menghapus Kolom Agama di KTP mereka. "It's a difficult task, but worthy" kata Mona yang sempat bingung ketika ditanya apa agamanya oleh Polisi di Jakarta ketika melaporkan kehilangan laptop-nya. "Apa hubungannya agama dengan kehilangan laptop ?" tanya Mona kala itu. Mona pun sempat me-riset beberapa negara-negara tetangga di Timur Tengah, seperti Iran, Iraq, Yemen, Oman, UEA, Kuwaiti dan negara-negara di Afrika Utara, seperti Mesir dan Maroko, ternyata tak ada satu pun dari negara-negara itu yang mencantumkan Kolom Agama dalam KTP mereka. Hanya Arab Saudi, yang masih mencantumkan Kolom Agama dalam KTP mereka. Padahal di negara itu, walaupun terdapat komunitas Yahudi dan Kristen, 100% Kolom Agama di KTP warganya adalah Islam. Orang-orang non-muslim di Arab Saudi tidak punya dan tidak diakui haknya sebagai warga negara selayaknya orang-orang muslim. Prof. Dawam Rahardjo pun menegaskan bahwa kolom agama yang ada di KTP adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM. Ini dengan mudah dan jelas ditemukan di Indonesia pada para pemeluk Konghucu dan aliran kepercayaan yang ingin mengurus KTP maupun melakukan Surat Pernikahan. Di Ambon dan Poso, seperti di Libanon, kolom Agama digunakan untuk mengidentifikasi lawan untuk dibantai. Di kantor-kantor pemerintahan, kolom Agama digunakan untuk diskriminasi penerimaan dan pengangkatan bawahan. Melihat kenyataan seperti ini, beliau melihat tidak ada gunanya sama-sekali pencantuman kolom Agama pada KTP, kecuali untuk mendiskriminasikan orang lain. Maka itu beliau akan menjadi orang pertama yang mendukung penghapusan kolom Agama di KTP. Di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, Mona melihat bagaimana masyarakat mampu mengapresiasikan semua agama-agama Timur Tengah, sehingga terjadi perpaduan peradaban yang kaya akan seni dan budaya keaneka-ragamannya. Khususnya, dia sangat mencintai kehidupan di Indonesia karena kehangatan dan keramah-tamahan masyarakat. Tapi dia pun melihat adanya skenario sama yang pernah terjadi di negaranya, sedang terjadi di Indonesia. Klaim-klaim kebenaran yang ekslusif mulai disiarkan oleh pemuka-pemuka Agama dan hal ini mengingatkan dirinya pada apa yang terjadi pada negaranya, Libanon, tepat sebelum tahun 1975. Bapak Anand Krishna memuji keberanian Prof. Dawam Rahardjo dalam memperjuangkan kebenaran dan pluralisme di Indonesia. "Banyak orang yang tahu kebenaran tapi tak berani mengungkapkan kebenaran. Itu tak ada gunanya" sahut beliau sambil bercerita bahwa Hitler bisa demikian kejam karena orang-orang baik pada jaman itu diam saja ketika Hitler berbuat ketidakadilan. Beliau pun bercerita tentang sebuah kisah menarik yang baru saja beliau baca dari "introduction" sebuah buku mengenai "Savistri." Di tahun 1560-an, dalam masyarakat muslim di Iran, terbit sebuah terjemahan injil dalam bahasa persia. Orang-orang muslim Iran pada jaman itu tidak menunjukan keberatan mereka. Bahkan pada masa itu, ada kuil Hindu dan vihara Buddha di Iran. Pada tahun yang sama, dalam masyarakat Eropa, diterbitkan terjemahan Injil dalam bahasa Inggris. Penerjemahnya dibakar. Dilihat dari perbandingan ini, pada saat itu, masyarakat di Arab masih jauh lebih beradab dan apresiatif dibandingkan masyarakat di Eropa. Memang telah terjadi pembodohan luar biasa dalam masyarakat Arab bila dikaitkan dengan jumlah terjemahan buku berbahasa asing ke bahasa Arab dalam kurun waktu 700 tahun terakhir ini sama dengan jumlah terjemahan buku berbahasa Inggris dan bahasa-bahasa lain ke bahasa Spanyol dalam kurun waktu 1 tahun. Dari buku-buku lain, beliau mendapatkan gambaran bahwa Arab sampai tahun 600-700-an memiliki cara berpikir yang maju dan wawasan yang sangat progresif. Bahkan ada referensinya bahwa pada jaman Ali bin Thalib, Ali mempekerjakan orang-orang India dan mempersilakan pekerjanya untuk membangun kuil Hindu. Anehnya, referensi-referensi seperti ini tidak pernah diungkapkan oleh para ulama-ulama. Masalah definisi agama pun, beliau sependapat dengan Prof. Dawam bahwa tidak boleh seorang/lembaga manapun yang bisa memutuskan apakah suatu aliran/kepercayaan lain adalah suatu agama resmi atau bukan. Bagi beliau, salamullah pun adalah agama. Bahkan di Amerika barangkali, setiap tahun pasti bertambah jumlah agama yang muncul dan terdaftar. Orang berkulit hitam di sana mulai berpikir untuk mengadopsi sebuah agama asal mereka di Afrika, yang merupakan kombinasi antara Islam dan Kristen, yaitu Krislam. Bapak Anand Krishna setuju dengan Prof. Dawam tentang Fanatisme dan Pluralisme. Ke-2 paham ini jelas berbeda sekali satu dengan lainnya. Fanatisme terkonsentrasi pada satu arah, sedangkan Pluralisme tidak terfokus pada arah manapun. Jadi tidak mungkin seorang inklusif berpaham fanatis. Beliau pun membantah anggapan bahwa setiap agama pasti mengklaim kebenaran ekslusif, karena misalnya, bila Hindu disebut agama (atau falsafah hidup), maka agama Hindu tidak pernah mengajarkan klaim kebenaran ekslusif bagi umatnya. Krishna mengatakan di Bhagavan Gita : "jalan manapun yang kau tempuh kau akan menemukan-Ku." Klaim kebenaran adalah sumber perpecahan dan konflik. Ini yang harus kita hindari. "Apalagi bila sudah mempelajari agama lain tapi masih mengklaim kebenaran, itu goblok, tapi masih ok karena orang goblok masih bisa diajarkan" kata beliau, "tapi yang lebih berbahaya adalah bila mengklaim kebenaran tapi tidak mau mempelajari agama lain, itu kekerasan. Itu kejahatan." "Ada seorang teman datang ke sini dan memberitahukan kita bahwa dia telah mendirikan Jaringan Kafir Liberal. Maka saya menambahkan sebaris kalimat di kartu namanya : 'Kami juga menerima orang-orang beriman sebagai anggota'." canda Bapak Anand Krishna. Tapi ada syair yang luar biasa dari Savistri, yang mengatakan bahwa bila ingin menjadi kafir, jadilah kafir yang sejati. Savistri adalah seorang pesajak sufi yang luar biasa dan dikagumi oleh banyak sufi di India. Jadi bagi seorang Savistri, orang kafir yang sejati itu telah memasang hijab, menutup diri begitu rapat terhadap segala sesuatu yang membeda- bedakan sehingga di dalam tabir pun dia melihat Allah. Ini pun pemahaman Islam. Demikian pula ajaran-ajaran sufistik peninggalan Hazrat Inayat Khan pun adalah pemahaman Islam. Pemahaman Islam bukanlah hanya pemahaman Wahabi ataupun pemahaman yang diajarkan dalam Pesantren Gontor. Hal ini yang harus kita sadari. Jangan sampai kita terjebak ke dalam perangkap label agama semata. Pada segmen terakhir acara ini, akhirnya, disepakati oleh para peserta, pembicara serta panitia acara diskusi ini untuk menindak lanjuti usulan penghapusan kolom agama dalam KTP secara nyata dengan menandatangai sebuah petisi yang nantinya akan diajukan kepada president melalui Menteri Dalam Negeri. Ada yang berminat ikut menandatangani petisi ini ? Silakan hubungi: National Integration Movement Kompleks Ruko Golden Fatmawati, Jl. RS Fatmawati, Blok J/35 Lt. 3, 12420, Jakarta Selatan, Tel./Fax.021-7669618 Email: n [EMAIL PROTECTED] Website: www.nationalintegrationmovement.org dilaporkan oleh Joehanes Situs Buddhis Kalyanadhammo selalu hadir dengan bahan bacaan yang OKE punya buat anda. Akses saja di http://www.Kalyanadhammo.net atau http://welcome.to/bbcid Ingin ikut berdiskusi..? kirimkan email anda ke [EMAIL PROTECTED] --------------------------------- YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "mubi" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. --------------------------------- --------------------------------- New Yahoo! Messenger with Voice. Call regular phones from your PC for low, low rates. --------------------------------- New Yahoo! Messenger with Voice. Call regular phones from your PC for low, low rates. [Non-text portions of this message have been removed] Quotes : "Religion is a set of social and political institutions and spirituality is a private pursuit which may or may not take place in a church setting." - D. Patrick Miller - Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://asia.groups.yahoo.com/group/mayapadaprana/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://asia.docs.yahoo.com/info/terms