Ahlusunnah mengimani bahwa Allah Ta'ala di atas
Arsy-Nya dan Bagaimana memahami Kebersamaan Allah dengan makhlukNya?
 
A.
Ahlusunnah mengimani bahwa Allah Ta'ala di atas Arsy-Nya
 
Ayat-ayat
al-Qur'an yang menyatakan bahwa Allah Maha tinggi di atas ‘Arsy-Nya sangat
banyak. Diantaranya firman Allah:


Sesungguhnya
Rabb kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia beristiwa’ di atas 'Arsy… (al-A’raaf: 54 dan Yunus: 3)

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia beristiwa’ di atas 'Arsy …. (Ar-Ra'd: 2)

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam
masa, kemudian Dia beristiwa’ di atas Arsy…(al-Furqan: 59)

(Yaitu) Ar-Rahman yang beristiwa’ di atas ‘Arsy. (Thaha: 5)

..Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih
dinaikkan-Nya… (Faathir: 10)

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya
dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitungan kalian.
(as-Sajdah: 5)

Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan Maha Tingginya Allah di
atas ‘Arsy-Nya.

Dengan banyaknya ayat-ayat yang muhkamat (jelas dan
tidak tersamar) tersebut, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah sejak para Shahabat,
Tabi’in dan para pengikut mereka dari kalangan ahlul hadits mengimani dengan
yakin dan mempersaksikan bahwa Allah tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Mereka memahami
makna istiwa’ dalam bahasa Arab yaitu “Tinggi, di Atas”. Hanya saja mereka
tetap menyatakan bahwa ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya tidak sama dengan
mahluk-Nya; tidak seperti seorang raja di atas singgasananya dan tidak pula
seperti seseorang di atas kendaraannya. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan
bahwa tingginya Allah di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kemuliaan-Nya.

Dan mereka tidak mempermasalahkan bagaimana dan seperti apa istiwa’nya Allah di
atas ‘Arsy-Nya. Karena mereka meyakini bahwa dzat Allah tidak sama dengan 
mahluk-Nya,
maka mereka tidak mungkin menerangkan bagaimana istiwa’nya Allah di atas
‘Arsy-Nya. Apalagi tidak ada satu sumberpun dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang
menerangkan tentang kaifiyahnya.
 
Seperti kisah
yang terjadi pada Imam Malik sebagaimana dinukil oleh imam ash-Shabuni dalam
kitabnya Aqidatus Salaf wa ashhabul Hadits. Imam Malik ketika didatangi oleh
seseorang di majlisnya, kemudian bertanya: “Ar-Rahman ‘alal ‘Arsy istawa,
bagaimana istiwa’-Nya?”. Beliau tertunduk dan marah. Dan tidaklah beliau pernah
marah seperti marahnya ketika mendengarkan pertanyaan tersebut. Beliau pun
meneteskan butiran-butiran keringat dari dahinya; sementara para hadirin pun
terdiam dan tertunduk, semuanya menunggu apa yang akan terjadi dan apa yang
akan dikatakan oleh Imam Malik. Beberapa saat kemudian beliau pun tersadar dan
mengangkat kepalanya, seraya berkata:
 
“Tentang
bagaimananya tidak bisa diketahui dengan akal, tentang makna istiwa’ sudah
diketahui; beriman dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya (tentang 
kaifiyah)
adalah bid’ah. Dan sungguh aku khawatir bahwa engkau adalah orang yang sesat.” 


Maka orang
itupun diperintahkan untuk diusir dari majlisnya. (Aqidatus Salaf Ashabul
Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 45)

Demikianlah sikap keras para ulama ahlus sunnah terhadap pertanyaan takyif yang
tidak mungkin bisa dipikirkan dengan akal, karena masalah dzat Allah dan
sifat-sifat-Nya adalah masalah ghaib yang kita tidak mungkin dapat mengenalinya
kecuali melalui al-Qur’an dan sunnah. 

Dan para ulama ahlus sunnah pun tidak ada yang berselisih tentang istiwa’nya
Allah di atas ‘Arsy-Nya, dan ‘Arsy-Nya di atas langit. Mereka menetapkan hal
ini sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan; mengimani, membenarkan Allah
azza wa jalla dalam berita-berita yang telah disampaikan-Nya dan mengucapkan
sesuai dengan apa yang telah Allah ucapkan tentang istiwa’Nya di atas ‘ArsyNya.
Mereka melangsungkannya atas dhahir (ayat-ayat)nya dan menyerahkan tentang
kaifiyahnya kepada Allah. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin
al-Manshuri, hal.44)

Ahlus sunnah tidak pula berani menarik makna istiwa kepada makna-makna lain
yang sama sekali tidak berkaitan dengan lafadznya, seperti apa yang dilakukan
oleh ahlul bid’ah yang menarik makna “istiwa’” kepada “istaula”. Kalimat ini
bukan tafsir, bukan pula makna istiwa’, karena sama sekali tidak berkaitan
dengan lafadz maupun maknanya. Perbuatan ini termasuk tahrif yaitu mengganti
kalimat al-Qur’an dengan kalimat yang lain yang tidak saling berhubungan, baik
secara lafadz maupun secara makna.

Pantas kalau dikatakan oleh para ulama, bahwa apa yang dilakukan oleh mereka
sama persis seperti yang telah dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap kitab
mereka. Mereka mengganti kalimat 'hithah' menjadi 'hinthah'. 

Sebagaimana Allah kisahkan tentang tahrif mereka ini dalam ayat-Nya:


…dan katakanlah:
Hiththah ("Bebaskanlah kami dari dosa"), niscaya Kami ampuni
kesalahan-kesalahan kalian, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami)
kepada orang-orang yang berbuat baik". Maka orang-orang yang zalim
mengganti kalimat yang diperintahkan kepada mereka dengan kalimat lain. Sebab
itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu kehinaan dari langit, karena
mereka berbuat fasik. (al-Baqarah: 58-59)

Dijelaskan dalam tafsirnya, bahwa kaum Yahudi mengganti kalimat Hiththah
menjadi Hinthah (gandum) untuk memperolok-olok perintah Nabinya. 

Seperti inilah tahrif yang dilakukan oleh para penolak sifat terhadap kalimat
“istiwa’” yang bermakna “Tinggi di atas” dengan kalimat “istaula” yang bermakna
“menguasai” untuk menolak sifat Tinggi-nya Allah dan mendukung keyakinan batil
mereka bahwa Allah menyatu dengan hamba-Nya di alam ini. Jika kaum Yahudi
menambah huruf ‘nun’ pada Hiththah, sedangkan ahlul bid’ah menambah huruf ‘lam’
pada Istawa’.
 
Adapun ijma,
maka para sahabat, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik serta para
imam ahlussunnah telah bersepakat bahwa Allah Ta’ala berada di atas
langit-langit-Nya, di atas arsy-Nya. Ucapan-ucapan mereka sangat banyak
menunjukkan hal tersebut dengan ucapan yang tegas dan jelas. 
 
Al-Auzai
berkata,“Kami berkata -sementara para tabi’in masih banyak yang hidup-: 
Sesungguhnya
Allah -Yang Maha Tinggi penyebutan-Nya- berada di atas arsy-Nya dan kami
mengimani setiap sifat-Nya dan kami mengimani semua sifat yang disebutkan dalam
As-Sunnah.” Al-Auzai mengucapkan hal ini setelah munculnya mazhab Jahm yang
menafikan sifat-sifat Allah dan ketinggian-Nya, agar manusia mengetahui bahwa
mazhab salaf itu bertentangan dengan mazhab Jahm.
 
Abu
Al-Ma’ali Al-Juwaini pernah berkata dalam majelisnya,“Allah sudah
ada dari dahulu dan ketika itu belum ada apa-apa, dan sekarang Dia tetap
sebagaimana keadaan-Nya dahulu.” Dia mengucapkan ini untuk mengingkari sifat
istiwa` Allah di atas arsy-Nya. Maka Abu Ja’far Al-Hamdani berkata, “Tidak usah
kamu menyinggung-nyinggung tentang arsy di hadapan kami -maksudnya arsy itu
jelas ada berdasarkan wahyu-, tapi terangkanlah kepada kami tentang keharusan
yang kami rasakan dalam hati-hati kami. Tidak ada seorang pun yang mengenal
Allah yang berkata, “Ya Allah.” Kecuali dia merasakan di dalam hatinya
keharusan untuk mencari ke arah atas, tidak menoleh kekanan dan tidak pula ke
kiri. Bagaimana bisa kami menolak sesuatu yang pasti ini dari dalam hati
kami!?” Maka Abu Al-Ma’ali berteriak sambil memukul kepalanya seraya berkata,
“Al-Hamdani telah membuatku bingung, Al-Hamdani telah membuatku bingung.”
(Lihat As-Siar (18/475))

Berkata Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shabuni: “Ashhabul hadits 
meyakini dan mempersaksikan bahwa Allah di atas tujuh lapis
langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Ia sebutkan dalam kitab-Nya”. (Aqidatus
Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal.44)

Berkata Abdullah ibnul Mubarak; “Kami mengenali
Rabb kami di atas tujuh lapis langit, tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari
mahluk-Nya. Dan kami tidak berkata seperti ucapan Jahmiyah bahwa Dia ada di
sini (sambil menunjuk ke bumi)”. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul
Yamin al-Manshuri, hal. 46-47)

Berkata Muhammad bin Ishak ibnu Huzaimah: “Barangsiapa yang tidak mengatakan 
bahwa Allah azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya,
tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal
darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka
dipenggal lehernya dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar
tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai
mereka. Hartanya menjadi fa’i (pampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh
mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak
mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi yang diriwayatkan dari
Usamah bin Zaid:


Orang muslim
tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang
muslim. (HR. Bukhari Muslim) (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin
al-Manshuri, hal. 47)
 
Al-Qurthuby dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (7/219) berkata,“Tidak ada
seorang salaf pun yang mengingkari bahwa Allah beristiwa di atas Arsy-Nya secara
hakiki. Arsy dikhususkan karena ia merupakan makhluk Allah yang terbesar. Para
salaf tidak (berusaha) mengetahui cara (kaifiyyah) Allah beristiwa, karena
sifat beristiwa itu tidak bisa diketahui hakekatnya. 
 
Al-Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (7/129),“Di dalamnya
terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas Arsy, di atas langit
ketujuh sebagaimana yang ditegaskan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Itu juga
merupakan hujjah mereka terhadap orang-orang Mu’tazilah yang berkata: “[Allah
berada di mana-mana, bukan di atas Arsy]”. Dalil yang mendukung kebenaran
madzhab Ahlul Haq/Ahlis Sunnah dalam hal ini adalah firman Allah : “Ar-Rahman
beristiwa di atas Arsy” dan firman-Nya : “ Kemudian Dia beristiwa di atas
Arsy…”.
 
Imam Al-Qurthuby berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (4/162):“Jahmiyyah
terbagi menjadi 12 kelompok … (di antaranya) Al-Multaziqoh, mereka menganggap
bahwa Allah berada di mana-mana …”.
 
Shodaqoh berkata,“Saya mendengar At-Taimy berkata,“Andaikan aku ditanya
: Dimana Allah Tabaraka wa Ta’ala?, niscaya aku akan jawab: Dia di langit”.
[Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401/671)]
 
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,“Allah berada di atas langit
yang ketujuh, di atas Arsy terpisah dari makhluk-Nya. kemampuan dan ilmu-Nya
berada di mana-mana?” Beliau Jawab : “Ya, Dia berada di atas Arsy. Sedang tidak
ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu-Nya”. [Lihat Syarah I’tiqod Ahlis
Sunnah (3/401-402/674)]
 
Imam
Ahmad juga berkata, “Jika anda ingin mengetahui bahwa seorang Jahmiyyah itu
berdusta atas nama Allah, yaitu saat ia menyangka bahwa Allah berada
dimana-mana”.[Lihat Ar-Rodd ala Az-Zanadiqoh wa Al- Jahmiyyah (1/40)]
 
Dari
semua dalil-dalil, dan pernyataan ulama salaf tersebut menunjukkan bahwa Allah
beristiwa di atas Arsy (singgasana), sedang Arsy Allah berada diatas langit,
bukan dimana-mana. Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengimani
dengan keimanan yang kokoh, tanpa ragu terhadap semua dalil-dalil yang
menerangkan hal tersebut, dan menghadapinya sebagaimana ia datang, tanpa
takwil, dan tanpa menanyakan cara Allah beristiwa, atau
menyerupakannya
dengan makhluk-Nya.
 
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata,“Adapun firman Allah :
 
“Lalu
Dia beristiwa di atas Arsy”.
 
Orang-orang
memiliki pendapat yang sangat banyak dalam masalah ini, tapi sekarang bukan
saatnya kita paparkan. Dalam masalah ini kita harus mengikuti madzhab Salafush
Sholeh, seperti Imam Malik, Al-Auza’iy, Ats- Tsaury, Al-Laits bin Sa’d,
Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rohuyah, dan lainnya dari kalangan ulama-ulama
kaum muslimin baik dulu maupun sekarang. Madzhab mereka adalah menjalankan dan
memahami sifat-sifat tersebut sebagaimana ia datang, tanpa perlu dibicarakan
cara/bentuknya, atau diserupakan dengan sifat makhluk dan dihilangkan maknanya.
Sedang yang terbayang dalam benak orang-orang Musyabbih (orang yang
menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya) tersucikan dari Allah,
karena tidak ada seorang makhlukpun
yang
menyerupai-Nya [‘Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. Sedang Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat’]. Bahkan inti permasalahannya
sebagaimana
yang telah ditegaskan oleh para ulama, seperti Nu’aim
bin Hammad Al-Khuza’iy. Beliau berkata :
 
‘Barangsiapa
yang menyerupakan Allah dengan makhluk- Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa
yang menolak sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, maka ia telah kafir.
Tidak ada penyerupaan pada sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya.
Barangsiapa yang menetapkan (sifat) bagi Allah sebagaimana yang terdapat dalam
ayat-ayat yang gamblang, dan hadits-hadits shohih dengan bentuk yang sesuai
dengan kemuliaan Allah dan menyucikan segala kekurangan dari Allah, maka
sungguh ia telah menempuh jalan yang lurus”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/221)]
 
Imam
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullahberdalil atas tidak bolehnya
memerdekakan budak yang kafir untuk kaffarah dengan riwayat dari Mu’awiyah bin
Hakam, ketika ia ingin memerdekakan budak perempuan hitam sebagai kaffarah.
Maka Rasulullah pun mengujinya dengan bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Dia
menjawab: “Di langit”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Siapa Aku?” Maka budak
itu menjawab dengan mengisyaratkan dengan jarinya kepada beliau dan ke langit.
Yakni engkau adalah utusan yang di langit. Maka Rasulullah bersabda:


Merdekakanlah
dia, karena dia adalah seorang mukminah. (HSR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan
Ibnu Huzaimah).

Dengan riwayat ini Rasulullah menyatakan keislaman budak tersebut dengan
pernyataannya bahwa Allah Maha Tinggi di atas langit. Dan Imam Syafi’i berdalil
dengan hadits ini karena beliau meyakini Allah Maha Tinggi di atas ‘Arsy-Nya,
dan bahwasanya seseorang yang mengikrarkan yang demikian adalah seorang mukmin.

Tidak mungkin seorang seperti imam Syafi’I, tidak sependapat dengan hadits yang
telah diriwayatkannya. Sebagaimana telah dikisahkan dari beliau ketika pada
suatu hari beliau meriwayatkan hadits, ada seorang yang bertanya kepadanya:
“Wahai Abu Abdillah (kunyah dari Imam Syafi’I –pent.) apakah engkau sependapat
dengan hadits ini?” Maka beliau marah seraya berkata: 

Apakah engkau melihat aku (keluar) dari biara atau gereja?! Apakah engkau
melihat aku memakai pakaian orang kafir?! Bukankah engkau melihat aku berada
dalam masjid kaum muslimin, dengan pakaian kaum muslimin, menghadap kiblat kaum
muslimin? Apakah apabila aku telah meriwayatkan hadits dari Nabi kemudian aku
tidak sependapat dengannya?! (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin
al-Manshuri, hal. 47-48)
 
Ini adalah bukti
kalau imam Syafi’i tentu sependapat dengan hadits ini, bahwa seseorang
dikatakan mukmin jika mengikrarkan dan meyakini bahwa Allah Maha Tinggi di Atas
tujuh lapis langit di atas ‘Arsy-Nya.
 
Lafadz ‘naik’
yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan al-Hadits bisa berupa al-‘uruuj atau
as-Shu’uud. Seperti dalam firman Allah:
 
“ dari Allah
yang memiliki al-Ma’aarij. Malaaikat dan Ar-Ruuh naik menuju Ia “(Q.S
al-Ma’aarij:3-4).
 
Mujahid
(murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas) menafsirkan:(yang dimaksud) dzil Ma’aarij adalah
para Malaikat naik menuju Allah (Lihat dalam Shahih al-Bukhari). Dalam hadits
disebutkan:
 
“ Bergantian
menjaga kalian Malaikat malam dan Malaikat siang. Mereka berkumpul pada sholat
‘Ashr dan Sholat fajr. Kemudian naiklah malaikat yang bermalam bersama kalian,
sehingga Allah bertanya kepada mereka –dalam keadaan Dia Maha Mengetahui- Allah
berfirman: Bagaimana kalian tinggalkan hambaKu? Malaikat tersebut berkata:
“Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat, dan kami tinggalkan mereka dalam
keadaan sholat” (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
 
Ibnu
Khuzaimah menyatakan:
 
“ Di dalam
khabar (hadits) telah jelas dan shahih bahwasanya Allah ‘Azza Wa Jalla di atas
langit dan bahwasanya para Malaikat naik menujuNya dari bumi. Tidak seperti
persangkaan orang-orang Jahmiyyah dan Mu’aththilah (penolak Sifat Allah) (Lihat
Kitabut Tauhid karya Ibnu Khuzaimah halaman 381)

Wallahu a’lam.

Sumber: www.salafy.or.id yang diringkas dari berbagai artikel. 
 
 
B. Bagaimana
memahami Kebersamaan Allah dengan makhlukNya?
 
Dalam memahami
ayat-ayat tentang dekatnya Allah dengan makhluk-Nya, seringkali terjadi
kesalahan pada kaum muslimin. Kebanyakan mereka mengira bahwa ayat-ayat
tersebut bertentangan dengan dalil-dalil ‘uluw (tinggi)nya Allah di atas
‘Arsy-Nya. Seperti ayat-ayat yang menyatakan kebersamaan Allah dengan
makhluk-Nya sebagai berikut:


…Dan Dia bersama
kalian di mana saja kalian berada... (al-Hadiid: 4)

Juga ayat yang menyatakan dekatnya Allah dengan makhluk-Nya. Diantaranya Allah
berfirman:


… dan Kami lebih
dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (Qaaf: 16)

Ayat-ayat yang menyatakan Allah sebagai ilah di bumi. Seperti Ucapan Allah:


Dan Dialah ilah
di langit dan ilah di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
(az-Zukhruf: 84)

Ayat-ayat yang tersebut di atas dan yang semakna dengannya seringkali
menyebabkan sebagian kaum muslimin keliru dalam memahaminya. Sebagian diantara
mereka menyatakan “Allah ada di mana-mana”, “Allah di hati” atau “Allah menyatu
dengan makhluk-Nya”, seperti ucapan Jahm bin Sofwan -pencetus aliran
Jahmiyah:”Allah di segala sesuatu, bersama setiap sesuatu”. Hingga akhirnya
mereka menentang sekian banyak ayat dan hadits yang menyatakan tingginya Allah
di atas seluruh makhluk-Nya. 

Bantahan dan
penjelasannya


A. Kebersamaan (Ma'iyyah) Allah
 
Secara bahasa
makna ma’iyyah (kebersamaan) tidak mesti bermakna bersatu dalam satu tempat,
tetapi bermakna kebersamaan secara mutlak, apakah bersama-sama dalam satu
amalan yang sama di tempat yang berbeda atau bersama dalam artian mengawasi
atau memperhatikan dan lain-lain. Maka ma’iyyah Allah harus ditafsirkan sesuai
dengan dlahir ayatnya masing-masing. (Lihat ucapan Syaikh Utsaimin dalam
Qawa’idul Mutsla hal. 103). 

Maka ayat-ayat tentang tentang kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya, sama
sekali tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menyatakan tingginya Dzat Allah
di atas seluruh makhluk-Nya. Hal itu karena bagi Allah semuanya dekat, karena
Allah Maha Besar, Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui, bahkan
mengetahui bisikan-bisikan yang masih ada dalam dada. 

Kalau kita perhatikan lebih lanjut ayat-ayat di atas secara lengkap, akan
terlihat kalau ayat-ayat tersebut berbicara tentang ilmu, pendengaran,
penglihatan, atau dukungan dan pembelaan Allah. Diantaranya:


1. Kebersamaan dengan ilmu-Nya
 
Seperti Ucapan
Allah:


Dialah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia beristiwa’ di atas
'arsy. Dia Maha Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya; apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia
bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang
kalian kerjakan. (al-Hadiid: 4)

Imam Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya tentang ayat di atas, maka beliau
menjawab: “Dia bersama kalian yakni dengan ilmunya” (diriwayatkan oleh Baihaqi
dengan sanad yang Hasan dalam kitab Asma’ wa sifat, hal. 341)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Dlahir ayat ini menunjukkan bahwa makna
ma’iyyah yang sesuai dengan konteksnya adalah memperhatikan, menyaksikan,
menjaga, dan mengetahui tentang kalian. Inilah maksud perkataan salaf: ‘Bersama
mereka dengan ilmu-Nya’. Dan ini adalah dlahir ayat dan hakikatnya (bukan
ta’wil –pent.) (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juz V hal. 103) 

Faedah lain dalam ayat ini adalah tidak adanya pertentangan antara tinggi
(‘uluw)nya Allah di atas ‘Arsy dan kebersamaan (ma’iyyah)-Nya dengan
makhluk-Nya, karena dalam ayat ini kedua-duanya disebutkan bersama-sama. 

Berkata Ibnul Qayyim: “Dalam ayat ini Allah menghabarkan bahwa diri-Nya tinggi
di atas ‘Arsy-Nya, dan sekaligus menyatakan bersama makhluk-Nya, melihat dan
memperhatikan amalan mereka dari atas ‘Arsy-Nya. Seperti dalam hadits: (“Allah
di atas ‘Arsy-Nya melihat apa yang kalian kerjakan”). Maka ‘uluw-Nya Allah
tidak bertentangan dengan ma’iyyahnya; dan maiyahnya tidak membatalkan
‘uluwnya. Kedua-duanya adalah benar”. (Mukhtashar Shawa’iq al-Mursalah, hal.
410).

Demikian pula ayat berikut menunjukkan ilmu Allah:


Tidakkah kamu
perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di
bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang
keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah
yang keenamnya. Dan tidak ada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari
itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.
Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah
mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
(al-Mujadalah: 7)


2. Kebersamaan dengan makna mendengar dan melihat
 
Seperti dalam
firman-Nya:


Allah
berfirman:"Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu
berdua, Aku mendengar dan melihat". (Thaha: 46)

Demikian pula ayat Allah:


Allah berfirman:
"Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu
berdua dengan membawa ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Kami bersama kalian
mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan). (asy-Syu’ara: 15)


3. Kebersamaan dengan makna dukungan dan pembelaan
 
Allah berfirman:


Janganlah kalian
lemah dan minta damai padahal kalianlah yang di atas dan Allah pun bersama
kalian. Dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amal kalian.
(Muhammad: 35).

Dan juga ayat Allah:


(Ingatlah),
ketika Rabb-mu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama
kalian. Maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman".
Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir. Maka
penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.…
(al-Anfaal: 12)


B. Kedekatan Allah
 
Demikian pula
dengan ayat-ayat yang menunjukkan kedekatan Allah dengan makhluk-Nya, bermakna
dekat dengan ilmunya, mendengarkan doa dan mengabulkannya atau bermakna
malaikat-malaikat yang diperintahkan-Nya. Dengan tidak menafikan dekatnya Allah
secara Dzat-Nya.


Walaupun kita
meyakini tingginya Allah di atas ‘Arsy-Nya, tetapi bagi Allah semuanya dekat,
karena besarnya Dzat Allah. Dunia dan seisinya serta langit di sisi-Nya tidak
lebih seperti biji khardalah (partikel terkecil). Tentu saja secara Dzat-Nya
Allah sangat dekat dengan hamba-Nya.


1. Dekat dengan makna Maha Mengetahui, Maha
Mendengar do’a dan mengabulkan
 
Dan apabila
hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah
dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon
kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(al-Baqarah: 186)


Dan firman-Nya:


Dan kepada
Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah
Allah, sekali-kali tidak ada bagimu ilah selain Dia. Dia telah menciptakan
kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah
ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Rabb-ku amat dekat
lagi memperkenankan (do'a hamba-Nya)." (Huud: 61)


2. Dekat dengan makna para malaikat yang
diperintahkan-Nya
 
Seperti
firman-Nya


Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya,
dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qaaf: 16)


Syaikh Utsaimin
menyatakan bahwa makna ‘dekat’ pada kalimat di atas adalah dengan para malaikat
yang diperintahkan-Nya. Karena ini berkaitan dengan ayat selanjutnya: 


Tidak ada satu
ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir. (Qaaf: 18) (Lihat Qawa’idul Mutsla, Syaikh Utsaimin)


Demikian pula
dalam firman-Nya:


Dan Kami lebih
dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat. (al-Waqiaah:85)


Makna
‘kedekatan’ dalam ayat ini adalah berkaitan dengan kematian ketika mendatangi
seseorang. Maka yang dimaksud adalah para malaikat yang diperintahkan-Nya.
Karena ayat sebelumnya membahas tentang kematian, yang tentunya Allah
memerintahkan kepada malaikat pencabut nyawa. Jadi, yang dimaksud ‘dekat’ di
sini adalah malaikat yang diperintahkan-Nya. 

Dan sering dalam al-Qur'an disebutkan apa yang dilakukan oleh para malaikat
dengan ‘kami’ karena mereka melakukan semua apa yang diperintahkan oleh Allah.
Maka Allah nisbatkan apa yang mereka lakukan kepada diri-Nya. (Lihat Qawa’idul
Mutsla, Syaikh Utsaimin, hal. 120) 


C. Allah sebagai ilah di bumi
 
Adapun ayat-ayat
yang menyatakan Allah sebagai ilah di bumi maka bermakna diibadahi di langit
dan di bumi. Seperti ayat Allah:


Dan Dialah ilah
di langit dan ilah di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
(az-Zukhruf: 84)

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih, bahwa Qatadah berkata
tentang ayat ini: “Dialah yang diibadahi di langit dan di bumi”.

Adapun ayat lainnya dalam surat al-An’aam: 3:


Dan Dialah Allah
di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa
yang kalian lahirkan; dan mengetahui apa yang kalian usahakan. (al-An’aam: 3)


Sebagian para
ulama membacanya dengan waqaf (berhenti) pada kalimat “fis samaawati’, sehingga
bermakna “Dialah Allah yang di langit”. Kemudian memulai membaca dari ‘fil
ardli ya’lamu sirrakum…’ sehingga bermakna “Dan Dia di bumi maha Mengetahui apa
yang kamu usahakan”. 

Sedangkan sebagian yang lain membacanya dengan waqaf pada kalimat ‘fil ardli’,
sehingga bermakna “Dialah Allah di langit dan di bumi”. Maka dengan bacaan
kedua ini kita katakan seperti pada ayat di atas, bahwa Allah adalah sesembahan
yang diibadahi oleh penduduk langit dan penduduk bumi. Hal ini sama sekali
tidak menunjukkan Dzat Allah menyatu dengan makhluk atau berada di bumi bersama
makhluk-Nya. 


Wallahu a’lam


Sumber:
www.salafy.or.id

-- 
Anda menerima E-Mail ini karena Anda tergabung dalam  Google Groups yaitu 
"Media Muslim Group". (Group Situs  http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com). Kirim artikel, pendapat/opini, informasi dan 
lain-lainnya ke mediamusliminfo@googlegroups.com
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perhatian: Setiap Content ataupun Tulisan yang ada pada email ini bukanlah 
menggambarkan http://www.mediamuslim.info karena hal tersebut merupakan 
apresiasi setiap members groups yang tidak mungkin kami perhatian 
satu-per-satu. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Keterangan lebih lanjut kunjungi 
http://groups.google.com/group/mediamusliminfo
Dan jangan lupa kunjungi http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com

Kirim email ke