Mengenal
Ketinggian Allah

Allah yang
menciptakan kita mewajibkan kita untuk mengetahui di mana Dia, sehingga kita
dapat menghadap kepada-Nya dengan hati, do'a dan shalat kita. Orang yang tidak
tahu di mana Tuhannya akan selalu sesat dan tidak akan mengetahui bagaimana
cara beribadah yang benar. Sifat atas atau tinggi yang dimiliki Allah atas
makhluk-Nya tidak berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lainnya sebagaimana
yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti
"mendengar", "melihat", "berbicara",
"turun" dan lain-lain.
 
'Aqidah para 'ulama salaf yang shalih dan golongan
yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai keyakinan yang sesuai
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tanpa ta`wiil (menggeser makna yang asal 
ke makna yang lain), ta'thiil (meniadakan seluruh atau sebagian sifat-sifat 
Allah), takyiif (menanyakan hakekat sifat-sifat Allah) dan tasybiih (menyamakan 
Allah dengan makhluk-Nya). Hal ini berdasarkan firman Allah:
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuuraa:11)
 
Sifat-sifat
Allah ini antara lain sifat atas atau tinggi tadi mengikuti Dzat Allah. Oleh
karena itu iman kepada sifat-sifat Allah tersebut juga wajib sebagaimana juga
iman kepada Dzat Allah.
 
Al-Imam Malik
ketika ditanya tentang makna istiwa` dalam firman Allah: "Ar-Rahman (Yang
Maha Pengasih) bersemayam di atas 'Arsy." (Thaahaa:5)
Beliau menjawab: "Istiwa` itu sudah diketahui maknanya, yaitu
"tinggi". Sedangkan bagaimananya, tidak diketahui. Beriman dengannya
adalah wajib dan menanyakannya adalah bid'ah."
 
Perhatikanlah
jawaban Al-Imam Malik tersebut yang menetapkan bahwa iman kepada istiwa` itu
wajib diketahui oleh setiap muslim. Tetapi bagaimana tingginya Allah itu hanya
Allah saja yang mengetahui. Orang yang mengingkari sifat Allah yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur`an dan Hadits -antara lain sifat ketinggian Allah yang
mutlak dan Allah di atas langit- maka orang itu berarti telah mengingkari ayat
Al-Qur`an dan Hadits yang menetapkan adanya sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat
tersebut meliputi sifat-sifat kesempurnaan, keluhuran dan keagungan yang tidak 
boleh
diingkari oleh siapa pun.
 
Ada sekelompok
'ulama yang datang belakangan yang sudah terpengaruh oleh filsafat yang merusak
'aqidah Islam, berusaha untuk mena`wilkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan
dengan sifat Allah, sehingga mereka menghilangkan sifat-sifat Allah yang
sempurna dari Dzat-Nya. Mereka bertentangan dengan metode 'ulama salaf yang
lebih selamat, lebih tahu dan lebih kuat argumentasinya. Alangkah indahnya
pendapat yang mengatakan:
segala kebaikan itu terdapat dalam mengikuti jejak 'ulama salaf dan
segala keburukan itu terdapat dalam bid'ahnya orang-orang khalaf (yang
menyelisihi salaf).

Kesimpulan Mengenai Sifat-sifat Allah
 
Beriman kepada
seluruh sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan Hadits adalah
wajib. Tidak boleh membeda-bedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang
lain, sehingga kita hanya mau beriman kepada sifat yang satu dan ingkar kepada
sifat yang lain. Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha
Melihat, dan percaya bahwa mendengar dan melihatnya Allah tidak sama dengan
mendengar dan melihatnya makhluk, maka ia juga harus percaya bahwa Allah itu
tinggi di atas langit dengan cara dan sifat yang sesuai dengan keagungan Allah
dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat tingginya itu adalah
sifat yang sempurna bagi Allah. Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah
dalam Kitab-Nya dan sabda-sabda Rasulullah. Fithrah dan cara berfikir yang
sehat juga mendukung kenyataan tersebut.

Allah Berada di atas 'Arsy
 
Al-Qur`an,
hadits shahih dan fithrah yang bersih serta cara berfikir yang sehat adalah
dalil-dalil yang qath'i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas
'Arsy. Dalil-dalil tersebut adalah:
 
1. Firman Allah
Ta'ala:
 
"Allah Yang
Maha Pengasih itu beristiwa` di atas 'Arsy." (Thaahaa:5) Keterangan bahwa
Allah bersemayam di atas 'Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: Al-A'raaf:54,
Yuunus:3, Ar-Ra'd:2, Thaahaa:5, Al-Furqaan:59, As-Sajdah:4 dan Al-Hadiid:4.
 
Para tabi'in
menafsirkan istiwa` dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam
hadits Al-Bukhariy, yang merupakan bantahan terhadap orang yang mena`wilkan
istiwa` dengan istaula (menguasai). (Lihat Syarh Al-'Aqiidah Al-Waasithiyyah,
Asy-Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah Al-Ma'aarif) 
 
2. "Apakah
kalian merasa aman terhadap "Yang di langit" bahwa Dia akan
menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?" (Al-Mulk:16)
 
Menurut Ibnu
'Abbas yang dimaksud dengan "Yang di langit" adalah Allah seperti
disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauziy.
 
3. "Mereka
takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka." (An-Nahl:50)
 
4. Firman Allah
tentang Nabi 'Isa: "Tetapi (yang sebenarnya), Allah mengangkatnya
kepada-Nya." (An-Nisaa:158)
 
Maksudnya Allah
menaikkan Nabi 'Isa ke langit.
 
5. "Dan
Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi."
(Al-An'aam:3)
 
Ibnu Katsir
mengomentari ayat ini sebagai berikut: "Para ahli tafsir sepakat bahwa
kita tidak akan mengucapkan seperti ucapannya Jahmiyyah (golongan yang sesat)
yang mengatakan bahwa Allah itu berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari
ucapan mereka terebut."
 
Adapun firman
Allah: "Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada."
(Al-Hadiid:4), maka yang dimaksud adalah Allah itu selalu bersama kita, dalam
artian mendengar dan melihat kita, seperti diterangkan dalam tafsir Ibnu Katsir
dan Jalalain.
 
6. Rasulullah
mi'raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk
melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun 'alaih)
 
7. Rasulullah
bersabda: "Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh
Allah yang ada di langit?" (Muttafaqun 'alaih)
 
8. Rasulullah
bersabda: "Sayangilah orang-orang yang ada di bumi maka Yang di langit
(yaitu Allah) akan menyayangi kalian." (HR. At-Tirmidziy)
 
9. Abu Bakr
Ash-Shiddiq berkata: "Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di
atas langit, Ia hidup dan tidak mati." (Riwayat Ad-Darimiy dalam Ar-Radd
'alal Jahmiyyah)
 
10. 'Abdullah
Ibnul Mubarak pernah ditanya: "Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?"
Maka beliau menjawab: "Tuhan kita di atas langit, di atas 'Arsy, berbeda
dengan makhluk-Nya." Maksudnya Dzat Allah berada di atas 'Arsy, berbeda
dan berpisah dengan makhluk-Nya dan keadaannya di atas 'Arsy tersebut tidak
sama dengan makhluk.
 
11. Al-Imam Abu
Hanifah menulis kitab kecil berjudul "Sesungguhnya Allah itu di atas
'Arsy." Beliau menerangkan hal itu seperti dalam kitabnya "Al-'Ilm
wal Muta'allim."
 
12. Seseorang
yang tengah shalat berucap di dalam sujudnya: "Subhaana Rabbiyal
A'laa" (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi).
 
13. Seseorang
ketika berdo'a juga mengangkat kedua tangannya dan menadahkannya ke langit.
 
14. Anak kecil
ketika ditanya: "Di mana Allah?", niscaya mereka akan segera menjawab
berdasarkan fithrah mereka yang masih bersih bahwa Allah berada di atas langit.
 
15. Hewan buruan
seperti kijang dan lainnya ketika hendak dibidik/dibunuh oleh sang pemburu,
menengadahkan kepalanya ke langit meminta kepada Rabb-nya yang ada di atas
langit agar menyelamatkannya. Hal ini menunjukkan bahwa hewan tersebut tahu
bahwa Rabb-nya di atas langit. Demikian juga hewan-hewan yang lainnya
mengetahui bahwa Rabb mereka berada di atas langit. Kalau ada orang yang masih
belum mengetahui di mana Rabb-nya maka dia lebih hina dan lebih rendah daripada
hewan.
 
16. Akal yang
sehat juga mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas langit. Seandainya
Allah berada di setiap tempat, niscaya Rasulullah pernah menerangkan dan 
mengajarkan
kepada para shahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat berarti Allah juga
di tempat-tempat yang najis dan kotor. Maha Suci Allah dari anggapan itu.

Kisah Seorang Wanita Penggembala
 
Di antara dalil
yang menunjukkan bahwa Allah di atas langit adalah kisah seorang budak wanita
penggembala. Kisahnya adalah sebagai berikut:
 
Dari Mu'awiyyah
bin Al-Hakam As-Sulamiy berkata: "Dulu aku mempunyai seorang budak wanita
yang menggembalakan kambing-kambingku di daerah Uhud dan Jawwaaniyyah.
 
Suatu hari aku
menengoknya, tiba-tiba ada seekor serigala membawa pergi salah satu kambingnya.
Sedangkan aku adalah seorang laki-laki dari Bani Adam. Aku bisa marah
sebagaimana orang lain pun bisa marah. Maka aku pun memukulnya sekali.
 
Kemudian aku
mendatangi Rasulullah, maka beliau menganggap besar perbuatan yang telah
kulakukan.
 
Aku berkata:
"Wahai Rasulullah, apakah aku merdekakan saja dia?" Beliau menjawab:
"Bawa dia kepadaku!"
 
Maka setelah
budak wanita tersebut dibawa ke hadapan beliau, beliau bertanya kepadanya:
"Di mana Allah?" Dia menjawab: "Di atas langit." Beliau
bertanya lagi: "Siapa aku?" Budak itu pun menjawab: "Engkau
adalah Utusan Allah."
 
Setelah
mendengar jawaban tersebut, beliau bersabda: "Merdekakan dia, karena dia
adalah seorang wanita yang beriman." (HR. Muslim no.537)
 
Dari hadits dan kisah tersebut, kita bisa mengambil
beberapa faidah, di antaranya:
 
1. Adalah
kebiasaan para shahabat ketika menghadapi suatu permasalahan meskipun kecil,
selalu merujuk kepada Rasulullah agar mereka mengetahui bagaimana hukum Allah
di dalam permasalahan tersebut.
 
2. Wajibnya
berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah
Ta'ala: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sampai
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa`:65)
 
3. Pengingkaran
Rasulullah terhadap shahabat tersebut yang memukul budaknya dan beliau
menganggapnya sebagai perkara besar.
 
4. Memerdekakan
budak hanya boleh dilakukan terhadap budak yang beriman, bukan budak yang
kafir. Karena Rasulullah menguji budak tadi dan ketika beliau mengetahui bahwa
budak itu beriman, beliau memerintahkan untuk memerdekakannya. Jadi seandainya
dia kafir, beliau tidak akan memerintahkan hal tersebut.
 
5. Kewajiban
bertanya tentang tauhid, di antaranya tentang tingginya Allah di atas
'Arsy-Nya. Mengetahui hal ini adalah wajib.
 
6.
Disyari'atkannya memberikan pertanyaan: "Di mana Allah?". Hal ini
adalah sunnah karena Rasulullah juga menanyakannya. Hal ini juga sebagai
bantahan terhadap orang yang mengatakan: "Tidak boleh bertanya di mana
Allah!"
 
7. Disyari'atkannya
(bahkan wajib untuk) menjawab bahwa Allah ada di langit (yaitu di atas langit).
Karena Nabi membenarkan jawaban budak tadi dan juga karena sesuainya jawaban
tersebut dengan Al-Qur`an yang mengatakan: "Apakah kalian merasa aman
terhadap "Yang di langit" bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi
bersama kalian?" (Al-Mulk:16)
 
Yang dimaksud
dengan "Yang di langit" adalah Allah, sebagaimana yang ditafsirkan
oleh Ibnu 'Abbas. Sedangkan makna fis samaa` (di langit) adalah 'alas samaa`
(di atas langit).
 
8. Benarnya
keimanan dapat terwujud dengan adanya persaksian terhadap Muhammad dengan
risalah beliau.
 
9. Keyakinan
bahwa Allah ada di atas langit adalah bukti yang menunjukkan benarnya keimanan
dan keyakinan ini harus ada pada setiap orang yang beriman.
 
10. Hadits ini
merupakan bantahan terhadap kesalahan orang yang mengatakan bahwa Allah ada di
setiap tempat dengan Dzat-Nya, sedangkan yang benar adalah Allah bersama kita
dengan ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya.
 
11. Permintaan
Rasulullah agar budak itu dibawa ke hadapan beliau sehingga beliau dapat
mengujinya menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib, yaitu
keimanan budak tersebut. Hal ini sebagai bantahan terhadap golongan shufi yang
mengatakan bahwa Rasulullah mengetahui perkara ghaib.
 
Wallaahu A'lam.
 
Diringkas dari
kitab Taujiihaat Islaamiyyah li Ishlaahil Fard wal Mujtama' dan Kaifa Nurabbii
Aulaadanaa karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu dengan beberapa tambahan.

Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ (www.salafy.or.id)
 
Keterangan tambahan:
 
Beriman
kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita harus memenuhi syarat-syarat
yaitu:
1. Menerima lafadz dengan maknanya secara dhahir.
2. Tanpa tahrif (penyimpangan makna).
3. Tanpa ta’thil (penolakan sebagian maupun keseluruhan).
4. Tanpa tafwidh (tidak mau menerjemahkannya secara dhahir dengan alasan
menyerahkannya kepada Allah).
5. Tanpa tasybih atau tamtsil, yaitu tidak menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya.
6. Tanpa Takyif, yaitu tidak menanyakan seperti apa dan bagaimananya.
 
Berikut ini
nukilan beberapa Imam Ahlus Sunnah dalam masalah ini :
 
A. DARI SAHABAT:
 
Berkata Abu
Bakar Ash-Shiddiq : “Wahai manusia jika Muhammad adalah Ilah (sembahan) yang
kalian sembah maka sungguh Muhammad telah meninggal. Akan tetapi jika Ilah
kalian adalah Allah Yang di langit maka Ilah kalian tidak mati kemudian beliau
membaca ayat :
 
“Muhammad itu
tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang 
(murtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali ‘Imran : 144)
 
Lihat : Ar-Rodd
‘Alal Jamhiah hal. 44-45 no. 78 dan berkata Az-Dzahaby di kitab Al-‘Uluw hal.
62 ini hadits shohih.
 
Perkataan para
sahabat seluruhnya : Berkata Adi bin ‘Umairoh radhiyallahu ‘anhu : “Saya keluar
hijrah kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian ia
menyebutkan kisah yang panjang kemudian dalam kisahnya itu dia mengatakan :
“Maka tiba-tiba beliau dan yang bersamanya (para shahabat), mereka bersujud di
atas wajah-wajah mereka, dan mereka yakin bahwa Ilah mareka di atas langit maka
sayapun masuk Islam dan mengikuti beliau”. (Ijtimaul Juyusy : 90)
 
B. DARI TABI’IN :
 
Berkata
Al-Auza’iy : “Kami berkata sedangkan para Tabi’in masih banyak tersebar :
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi Penyebutan-Nya berada di atas ‘Arsy-Nya
dan kami beriman terhadap apa yang datang dari sunnah berupa sifat-sifat-Nya”.
(Al-Uluw hal. 102, Ijtima‘ hal. 96, Fathul Bary 12/4-6 dan Al-Asma` Wash shifat
karya Al-Baihaqy 2/150)
 
C. PERKATAAN IMAM EMPAT :
 
Berkata Abu Hanifah :
 
“Siapa yang
mengatakan : Saya tidak mengetahui Rabbku apakah Dia di langit atau di bumi,
maka dia kafir, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
 
“(Rabb) Yang
Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
 
dan Arsy-Nya di
atas tujuh langit”. Maka Abu Muti’ Al-Hakam bin Abdillah Al-Balkhy mengatakan
kepada beliau : “(Bagaimana hukumnya) Apabila ada yang mengatakan bahwa Allah
di atas Arsy istiwa` akan tetapi dia mengatakan bahwasanya saya tidak
mengetahui apakah Arsy itu di langit atau di bumi ?”, beliau mengatakan : “Dia
kafir sebab ia mengingkari akan keberadaannya di atas langit, karena
sesungguhnya Allah Ta’ala berada di atas tempat yang paling tinggi dan Dia
dimintai (do’a) dari atas dan bukan dari bawah”. (Lihat : Al-Fiqhul Akbar
riwayat Abu Muthi’ hal. 40-44, Al-‘Uluw hal. 101-102 dan Mukhtashor Al-‘Uluw
hal. 126)
 
Berkata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah setelah membawakan atsar ini : “Pada perkataan Abu Hanifah
-di sisi para shahabatnya- yang masyhur ini (terkandung pengertian) bahwa ia
mengkafirkan orang yang tawaqquf (tidak menentukan sikap) yaitu orang yang
mengatakan : “Saya tidak mengetahui Rabbku apakah di langit atau di bumi”, maka
bagaimanalagi (hukumnya) terhadap oyang yang menentang yang menafikannya
(menolak Allah ada di atas langit) dan mengatakan : “(Allah) tidak ada di atas
langit atau (dia mengatakan bahwa Allah) tidak ada di bumi dan tidak pula ada
di atas langit???”, (Beliau) berhujjah atas kekafirannya dengan firman Allah :
 
“(Rabb) Yang
Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
 
beliau berkata :
“Dan Arsy-Nya di atas tujuh langitNya”.”
 
Perkataan Imam Malik bin Anas :
 
Dari Yahya bin
Yahya, beliau berkata : “Ketika kami berada di sisi Malik bin Anas maka datang
seorang laki-laki kemudian dia mengatakan : “Wahai Abu ‘Abdillah (kunyah Imam
Malik)
 
“(Rabb) Yang
Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
 
bagaimana
istiwa` ?”. Maka Imam Malik menundukan kepalanya sampai beliau bercucuran
keringat kemudian beliau mengatakan : “Istiwa` itu dipahami, kaifiyatnya
(bagaimananya) tidak diketahui sedangkan beriman dengannya wajib dan bertanya
tentangnya adalah bid’ah, dan saya tidak melihatmu kecuali seorang mubtadi’.”.
Maka Imam Malik memerintahkan agar orang itu dikeluarkan.” Lihat : Syarh Ushul
I’tiqod Ahlissunnah 2/398, Al-Asma` wa Ash-Shifat karya Al-Baihaqy 2/150-151,
Ar-Rod ‘Alal Jahmiyah karya Ad-Darimy hal. 33 dan Al-‘Uluw hal. 102 dan
selainnya.
 
Berkata Imam Syafi’iy :
 
Perkara dalam
sunnah yang saya berada diatasnya dan yang saya melihat sahabat-sahabat kami
yaitu para ahli hadits yang saya lihat dan saya mengambil (hadits) dari mereka
seperti : Sufyan dan Malik dan selain keduanya (yaitu) : Berikrar dengan
syahadat bahwa tidak ada Ilah yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad
adalah Rasul Allah dan bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya di atas langit,
mendekat kepada hamba-Nya sesuai kehendak-Nya dan bahwa Allah turun ke langit
dunia sesuai dengan kehendak-Nya. (Ijtima`ul Juyusy hal. 122 dan Mukhtasur
‘Uluw hal. 176)
 
Adapun Imam
Ahmad maka beliau ini dikenal dan tersohor dalam membela madzhab yang haq ini,
bahkan beliau mengarang suatu kitab yang agung (yaitu) Ar-Rodd ‘Alal Jahmiyah
waz-Zanadiqoh.
 
Perkataan Abul Hasan
Al-Asy’ary rahimahullah dalam kitabnya Ikhtilaful Mushollin wa Maqalatul
Islamiyyin hal. 16 : “…Perkataan Ahlus Sunnah dan Ashabul hadits secara ringkas
adalah Pengikraran terhadap Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya,
Rasul-Rasul-Nya dan apa-apa yang datang dari Allah dan apa-apa yang diriwayatkan
Ats-Tsiqot (rawi-rawi terpercaya) dari Rasulullah, mereka tidak menolak
sedikitpun dari hal tersebut bahwa Allah itu Satu, Esa, Sendiri, Maha Tegak,
tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia …, dan bahwa Allah di atas
Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya Ta’ala :
 
“(Rabb) Yang
Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)”
 
(Lihat juga
Ikhtilaf Ahlil Qiblat fil ‘Arsy hal. 211 dan Al-Ibanah Fii Usulid Diyanah).
 
Sumber: 
http://al-atsariyyah.com/perkataan-para-ulama-tentang-keberadaan-allah.html#more-3257

-- 
Anda menerima E-Mail ini karena Anda tergabung dalam  Google Groups yaitu 
"Media Muslim Group". (Group Situs  http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com). Kirim artikel, pendapat/opini, informasi dan 
lain-lainnya ke mediamusliminfo@googlegroups.com
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perhatian: Setiap Content ataupun Tulisan yang ada pada email ini bukanlah 
menggambarkan http://www.mediamuslim.info karena hal tersebut merupakan 
apresiasi setiap members groups yang tidak mungkin kami perhatian 
satu-per-satu. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Keterangan lebih lanjut kunjungi 
http://groups.google.com/group/mediamusliminfo
Dan jangan lupa kunjungi http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com

Kirim email ke