*Bertauhid dengan Makna yang Seutuhnya*


Tauhid merupakan landasan terpenting dalam agama para rasul dan poros utama
dakwah mereka. Dan Allah Ta’ala berfirman,



Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
(segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dalam keadaan dia ridho)”
(An-Nahl : 36)



Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya : “Bahwasanya tidak ada ilah (yang hak) melainkan Aku, maka
beribadahlah kalian semua kepada-Ku” (Al-Anbiya’ : 25)



Tauhid adalah masalah yang paling penting dalam Islam. Tauhid adalah
satu-satunya garis pemisah yang membedakan antara muslim dan kafir. Dengan
tauhid, jiwa, harta, dan kehormatan seorang hamba diharamkan (wajib
dijaga/dilindungi). Maka dari itu, tauhid merupakan kewajiban pertama atas
setiap hamba.



Tauhid adalah meyakini bahwa Allah-lah satu-satu Pencipta, Penguasa, dan
Pengatur seluruh alam, Allah sebagai satu-satunya yang berhak dan pantas
diibadahi, dan hanya Allah sajalah yang memiliki nama-nama yang indah dan
sifat-sifat kesempurnaan, tidak serupa dengan sifat-sifat
makhluk-makhluk-Nya. Ringkasnya, tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam
rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan shifat-Nya.



Tauhid akan terwujud dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat kemudian
menjalankan segala konsekuensinya. Konsep tauhid dengan tiga jenisnya di
atas, telah sempurna sejak pertama kali Islam diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur`anul
Karim dan As-Sunnah.



Oleh karena itu, Al-Imam ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al-’Ukbari
rahimahullah  (wafat tahun 387 H) dalam karya besar beliau yang berjudul
Al-Ibanah al-Kubra, mengatakan:



“Bahwa dasar iman kepada Allah yang wajib atas makhluk (manusia dan jin)
untuk meyakininya dalam menetapkan keimanan kepada-Nya, ada tiga hal:



*Pertama*: Seorang hamba harus meyakini Rububiyyah-Nya, yang dengan itu dia
menjadi berbeda dengan atheis yang tidak menetapkan adanya pencipta.



*Kedua*: Seorang hamba harus meyakini Wahdaniyyah-Nya (Uluhiyyah-Nya), yang
dengan itu dia menjadi berbeda dengan orang-orang musyrik yang mengakui
sang Pencipta namun menyekutukan-Nya dengan mempersembahkan ibadah kepada
selain-Nya.



*Ketiga*: Meyakini bahwa Dia (Allah) bersifat dengan sifat-sifat
(kesempurnaan) yang Dia mesti bersifat dengannya, berupa sifat Ilmu,
Qudrah, Hikmah, dan semua sifat yang Dia menyifati diri dengannya dalam
kitab-Nya.”



Jadi, tidaklah benar anggapan sebagian orang bahwa pada abad ke-8 hijriah
Ibnu Taimiyyah memunculkan teori baru pembagian tauhid menjadi tiga. Atau
sebagian orang yang melemparkan tuduhan tersebut kepada Muhammad bin ‘Abdil
Wahhab. Sungguh semua itu tidak berdasar sama sekali.



Tauhid dengan tiga jenisnya di atas, merupakan satu kesatuan yang utuh.
Tidak boleh mengimani salah satunya saja dan mengingkari yang lain. Maka
seseorang yang meyakini Allah sebagai Pencipta alam semesta, Pemberi rizki,
namun meyakini bahwa ibadah tidak harus ditujukan kepada Allah saja dan
boleh ditujukan kepada selain Allah. Maka orang ini belum bertauhid,
walaupun meyakini Allah sebagai Pencipta, Penguasa, dan Pengatur jagat raya
ini.



Karena kaum musyrikin arab, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
diutus oleh Allah kepada mereka, ternyata juga meyakini bahwa Allah adalah
Pencipta, Penguasa, dan Pengatur jagad raya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman tentang mereka,



“Kalau kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi, serta mengatur matahari dan bulan?’ Niscaya mereka akan menjawab,
“Allah.” Maka bagaimanakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang
benar).“(al-’Ankabut : 61)



Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi,
atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Niscaya mereka akan
menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertaqwa
kepada-Nya?” (Yunus : 31)



“Tidaklah beriman kebanyakan mereka, kecuali mereka itu musyrikin.” (Yusuf
: 106)



Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Termasuk
keimanan mereka adalah, apabila ditanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang
menciptakan langit? Siapakah yang menciptakan bumi? Dan siapakah yang
menciptakan gunung-gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’ . Namun mereka
adalah musyrikin. (lihat Tafsir ath-Thabari, no. 19954).



Al-Imam ‘Ikrimah rahimahullah  mengatakan, … Maka itulah iman mereka kepada
Allah. Namun mereka beribadah kepada selain-Nya. (lihat Tafsir ath-Thabari,
no. 19955).



Al-Imam Ibnu Katsir, setelah menukilkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas di atas,
mengatakan dalam kitab Tafsirnya, “Itu juga pendapat  Mujahid, ‘Atha’,
‘Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah, adh-Dhahhak, dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam.”



Hikmah yang bisa diambil di sini adalah, bahwa berdasarkan keterangan
ayat-ayat di atas, bangsa ‘arab Quraisy yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam diutus kepada mereka dihukumi belum bertauhid meskipun mereka
mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Penguasa, Pemberi rizki, dan Pengatur
alam semesta.



Mereka masih berstatus sebagai musyrik dan kafir, karena mereka menolak
untuk menujukan peribadatan mereka hanya kepada Allah satu-satunya. Dengan
kata lain, karena mereka menolak Tauhid al-Uluhiyyah.



Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka,



“Sesungguhnya mereka apabila dikatakan kepada mereka ‘La ilaaha illallah’
(bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah) maka mereka pun
menyombongkan diri. Seraya mengatakan, “Akankah kami meninggalkan ilah-ilah
(yang kami ibadah) karena (ajakan) penyair gila (yakni Nabi Muhammad)??”
Padahal dia (Muhammad) datang membawa al-Haq (kebenaran) dan membenarkan
para rasul.”  (ash-Shaffat : 35-37)



“Apakah dia (Muhammad) hendak mengajak untuk menjadikan ilah-ilah (yang
banyak ini) menjadi satu ilah saja (yakni Allah saja). Maka sungguh ini
adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (Shad : 5)



al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang makna ayat tersebut
dalam tafsirnya, “Apakah dia (Muhammad) meyakini bahwa yang diibadahi hanya
satu saja, tidak ada ilah (yang diibadahi) kecuali hanya Dia (Allah
Ta’ala)?!” Demikianlah kaum musyrikin mengingkari seruan tersebut – semoga
Allah menjelekkan mereka – dan sangat terheran-heran dari ajakan
meninggalkan kesyirikan kepada Allah. Karena mereka mewarisi dari nenek
moyangnya ajaran peribadatan kepada berhala, dan itu benar-benar merasuk
dalam hati sanubari mereka. Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdakwah kepada mereka untuk menanggalkan semua keyakinan itu dari
hati mereka dan beliau mengajak mereka untuk mengesakan Allah dalam
wahdaniyyah-Nya, maka mereka menggangap ini sebagai perkara besar dan
mereka sangat terheran-heran dengannya.”



Mungkin timbul pertanyaan, jika mereka meyakini bahwa pencipta dan penguasa
serta pengatur alam semesta ini adalah Allah, lantas apa keyakinan mereka
terhadap berhala-berhala tersebut? Kenapa mereka menyembahnya?



Jawabannya, sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta’ala



“Mereka mengibadahi selain Allah sesuatu yang tidak memberikan mudharat
(bahaya) kepada mereka dan tidak pula memberikan manfaat kepada mereka,
dengan mengatakan “Ini adalah para pemberi syafa’at (perantara/penolong)
untuk kami di sisi Allah.”



Di sinilah letak kesyirikan kaum musyrikin Arab, yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada mereka.



Mereka tidak meyakini bahwa berhala-berhala itu sebagai pencipta dan
penguasa serta pemberi rizki. Namun mereka mengibadahi berhala-berhala itu
– yang merupakan perwujudan orang-orang shalih – di samping beribadah
kepada Allah,dengan keyakinan bahwa orang-orang shalih yang dimonumenkan
dalam bentuk berhala itu akan memberikan manfaat kepada mereka berupa
syafa’at di sisi Allah, yaitu sebagai perantara. Sehingga mereka berdo’a,
bertawakkal, beristighatsah kepada berhala-berhala tersebut dengan
keyakinan bahwa mereka mampu menyampaikan segala yang diinginkan kepada
Allah. Di samping juga memberikan sesajiandan sembelihan kepadanya,
denganmengharapkan barokah, rezki, dan lain sebagainya. Tujuannyaadalah
mendekatkan diri kepada Allah. Demikian keyakinan mereka. Inilah kesyirikan
dalam peribadatan. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah
mereka dalam lanjutan firman-Nya pada ayat tersebut,



“Katakan : Apakah kamu akan memberitakan kepada Allah sesuatu yang tidak
Allah ketahui (yakni tidak ada) baik di langit maupun di bumi? Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Yunus : 8)



Demikianlah sekelumit sajian tentang urgensi memahami dan menerapkan tauhid
dengan makna yang seutuhnya.Semoga Allah senantiasa meneguhkan jiwa kita di
atas tauhid yang seutuhnya dan menjauhkan kita dari kesyirikan dan segala
cabangnya. Aamiin.



Sumber:
http://buletin-alilmu.net/2014/10/13/bertauhid-dengan-makna-yang-seutuhnya/

-- 
-- 
Anda menerima E-Mail ini karena Anda tergabung dalam  Google Groups yaitu 
"Media Muslim Group". Kirim artikel, pendapat/opini, informasi dan lain-lainnya 
ke mediamusliminfo@googlegroups.com
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perhatian: Setiap Content ataupun Tulisan yang ada pada email ini bukanlah 
menggambarkan http://www.mediamuslim.info karena hal tersebut merupakan 
apresiasi setiap members groups yang tidak mungkin kami perhatian 
satu-per-satu. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Keterangan lebih lanjut kunjungi 
http://groups.google.com/group/mediamusliminfo
Dan jangan lupa kunjungi http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com
--- 
You received this message because you are subscribed to the Google Groups 
"MediaMuslimINFO Group" group.
To unsubscribe from this group and stop receiving emails from it, send an email 
to mediamusliminfo+unsubscr...@googlegroups.com.
For more options, visit https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke