“Ahok dan Identitas Agama”


Oleh: Dr. Adian Husaini



MENYUSUL pengumuman janji kemerdekaan bagi Indonesia dari Perdana Menteri
Jepang Kuniaki Koiso, 7 September 1944, maka pada 12-14 Oktober 1945,
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), yang merupakan perhimpunan
organisasi-organisasi Islam utama di Indonesia, menggelar rapat, dengan
keputusan: bahwa (1) kemerdekaan Indonesia berarti kemerdekaan kaum
Muslimin Indonesia, (2) kemerdekaan Indonesia adalah satu syarat penting
guna tercapainya kemerdekaan umat Islam Indonesia, untuk menjalankan
syariat agamanya dengan semestinya.



Berita rencana kemerdekaan Indonesia juga mendapat sambutan khusus dari
Muhammad Amin al-Husaini, mantan mufti Masjid al-Aqsha, Jerusalem, yang
ketika itu tinggal di Jerman. Amin al-Husaini mengirimkan surat kepada PM
Jepang Koiso melalui Dubesnya di Jerman. Dikatakannya, bahwa sekalian kaum
Muslimin di dunia sungguh-sungguh memperhatikan benar-benar nasib Indonesia
yang mempunyai penduduk kaum Muslimin lebih dari 60 juta itu. Surat Amin
al-Husaini itu dijawab oleh Syekh Hasyim Asy’ari, pemimpin tertinggi
Masyumi, dengan surat sebagai berikut:



“Atas perhatian tuan dan seluruh alam Islam tentang janji Indonesia
merdeka, Majelis Syuro Muslimin Indonesia, atas nama kaum Muslimin
se-Indonesia, menyatakan terimakasih. Assyukru walhamdulilah. Guna
kepentingan Islam kami lebih perhebatkan perjuangan kami disamping Dai
Nippon sampai kemenangan akhir tercapai. Moga-moga pula perjuangan tuan
untuk kemerdekaan negeri Palestina dan negeri-negeri Arab lainnya tercapai.
Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Hasjim Asj’ari.”



Sementara itu, Imam Amin al-Islami, imam masjid Tokyo, seperti ditulis
dalam berita Domei 18 Oktober 1944, menyatakan: “Di seluruh dunia,
Indonesia terkenal sebagai Negara Islam. Amanat mufti besar Amin al-Husaini
yang turut bergembira dengan perkenan Indonesia merdeka di kemudian hari,
jelas menunjukkan bahwa Indonesia merdeka merupakan salah satu soko guru
yang kuat guna kemajuan umat Islam. Kemerdekaan Indonesia yang juga berarti
kemedekaan kaum Muslimin, sudah tentu saja sangat menggembirakan kita
sekalian.



Mudah-mudahan umat Islam bekerja segiat-giatnya guna melaksanakan Islam
Indonesia, akan bekerja sekemerdekaan Indonesia yang sebenar-benarnya yang
penuh diliputi perdamaian dan kemakmuran sebagai Negara Islam yang pertama
di Asia Timur Raya.” (Lihat, H. Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid
Hasjim, (Jakarta: Mizan, 2011), hlm. 381-385.).



Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), 13 Juli
1945, setelah diterimanya naskah Piagam Jakarta dari Penitia Sembilan, KH
Wahid Hasjim Mengajukan dua usul. Pertama, pada pasal 4 Rancangan UUD,
ditambah kata-kata “yang beragama Islam”. Jadi, bunyi selengkapnya pasal 4
ayat 2 adalah: “Yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang
Indonesia asli yang beragama Islam.”



Kiai Wahid Hasjim berargumen: “Buat masyarakat Islam penting sekali
perhubungan antara pemerintah dan masyarakat… jika Presiden orang Islam,
maka perintah-perintah berbau Islam dan akan besar pengaruhnya.”



Usul kedua KH Wahid Hasjim adalah, agar ditetapkan: “Agama Negara ialah
agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain
untuk…. dan sebagainya.” Menurutnya, hal itu terkait erat dengan pembelaan.
“Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat,
karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi
agama.”



Kiai Wahid Hasjim akhirnya rela menanggalkan usulannya demi tercapainya
kompromi dalam sidang BPUPK. Tapi, buah pemikirannya itu masih tetap
tercatat dalam tinta emas sejarah Indonesia. Bagaimana pun, menyongsong
kemerdekaan RI, umat Islam Indonesia menunjukkan kegairahan yang luar
biasa. Mereka ingin mewujudkan sebuah negara berdasarkan Islam. Itu
tercermin dalam pidato dan pernyataan tokoh-tokoh Islam yang duduk dalam
BPUPK. Bahkan, tokoh-tokoh yang dikenal bukan dari kalangan nasionalis
Islam, pun mendukung prinsip-prinsip keagamaan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.



Dalam sidang BPUPK hari pertama, 29 Mei 1945, Muhammad Yamin – yang sering
digolongkan ke dalam tokoh nasionalis sekular – menyebutkan bahwa
“Peradaban Indonesia mempunyai Ketuhanan Yang Maha Esa.” Yamin menyebut
“Dasar-dasar Yang Tiga”, yaitu: Permusyawaratan (Quran) – mufakat (adat),
Perwakilan (adat) dan Kebijaksanaan (rationalisme). Dalam usulan berupa
poin-poin – tanpa penjelasan – Yamin juga mencatat: “Kepala Negara,
pemerintah daerah dan pemerintahan persekutuan desa (nagari, marga, dll),
dipilih secara timur dalam permusyawaratan yang disusun secara rakyat.
Pemerintahan Syariah.”



Dalam sidang BPUPK, 31 Mei 1945, Mr. Soepomo mendukung gagasan “negara
berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Soepomo mengusulkan suatu
bentuk “Negara nasional yang bersatu”, yang dia uraikan sebagai berikut:
“Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa Negara itu akan
bersifat “a religieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka Negara demikian itu dan hendaknya
Negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga
oleh agama Islam.



Tokoh Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo, berpidato: “Jika Negara
Indonesia tidak bersendi agama Islam, kalau-kalau sampai penduduk yang
terbanyak itu bersikap dingin terhadap negara. Sebab, umat Islam adalah
umat yang mempunyai cita-cita yang luhur dan mulia sejak dahulu hingga
sekarang ini seterusnya pada masa yang akan datang, yaitu di mana ada
kemungkinan dan kesempatan, pastilah umat Islam akan membangunkan negara
atau menyuruh masyarakat yang didasarkan atas hukum Allah dan agama Islam.
Sungguh yang demikian itu memang telah menjadi tanggungan dan kewajiban
umat Islam terhadap agamanya, apabila tidak berbuat demikian berdosalah
mereka kepada Allah Tuhannya… Tuan-tuan! Sudah banyak pembicara yang
berkata, bahwa agama Islam itu memang tinggi dan suci. Sekarang bagaimana
kalau orang tidak mau diikat oleh agama yang sudah diakui tinggi dan suci,
apakah kiranya akan mau diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci?
Kalau jiwa manusia tidak mau bertunduk kepada agama perintah Allah, apakah
kiranya akan suka bertunduk kepada perintah pikiran yang timbul dari hawa
nafsu yang buruk? Pikirkan dan camkanlah, Tuan-tuan!”



Pertukaran pemikiran para pendiri bangsa Indonesia di BPUPK berujung dengan
disahkannya Piagam Jakarta, dengan ciri khasnya, bahwa Negara Indonesia
merdeka berdasar atas, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Piagam Jakarta bukanlah konsep Negara ideal
menurut Islam. Tapi, merupakan hasil kompromi. Ketika pihak Islam dan
Kristen masih menyampaikan ketidakpuasannya, maka Soekarno kembali
mengingatkan akan adanya kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia
Sembilan. Soekarno, lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI:
“Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya
kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis
berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis
yang berdasar memberi dan mengambil… Pendek kata, inilah kompromis yang
sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan
oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai
perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang
teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.” (Tentang pertukaran
pemikiran di BPUPK, lihat, RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar
1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Uiversitas Indonesia, 2004).



Jadi, Piagam Jakarta itu hasil kompromi. Tapi, kemudian, karena ultimatum
pihak Kristen yang mengancam akan memisahkan diri dari NKRI, umat Islam
mengalah. Demi tercapainya kemerdekaan dan persatuan NKRI, maka pada 18
Agustus 1945, tokoh-tokoh Islam pun mau mengubah pendapatnya, sehingga
rumusan itu menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam bukunya, Sekitar
Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta: Tintamas, 1969), Bung Hatta menulis,
bahwa berdasarkan kabar dari seorang opsir Kaigun (angkatan Laut Jepang),
maka pihak Kristen dan Katolik yang dikuasai AL Jepang, berkeberatan dengan
bunyi kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Kalimat itu dianggap sebagai diskriminasi bagi mereka.
“Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar
Republik Indonesia.” (hlm. 66-67). Menurut Bung Hatta, sebelum sidang PPKI,
18 Agustus 1945, ia mengajak tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagoes, KH Wahid
Hasjim, Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan untuk mengubah kalimat
tersebut. Tulis Hatta, “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami
mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen
itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Dikutip dari
Pengantar Mr. Mohammad Roem untuk buku Endang Saefuddin Anshari, Piagam
Jakarta 22 Juni 1945, Jakarta: GIP, 1997, hlm. xiii-xxi)



Baiklah, umat Islam mengalah. Demi persatuan dan kesatuan NKRI. Rumusan
Ketuhanan Yang Maha Esa diterima, dengan makna yang jelas, yaitu Tauhid.
Munas Alim Ulama NU di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21
Desember 1983 memutuskan: (1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar
Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD)
1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian
keimanan dalam Islam, (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan
syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan
antarmanusia.



M. Ali Haidar, dalam bukunya, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), memberikan komentar terhadap
keputusan Munas Alim Ulama tersebut: “Penegasan ini sebenarnya bukannya
tidak terduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa
pemimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk
mengesahkan UUD, mereka dapat menerima penghapusan ‘tujuh kata’ yang
tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan
Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi
menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru diproklamasikan
sehari sebelumnya… Salah seorang yang dipandang Hatta berpengaruh dalam
kesepakatan ini ialah Wachid Hasjim, tokoh NU yang memiliki reputasi
nasional ketika itu. Jadi rumusan deklarasi itu hakekatnya menegaskan
kembali apa yang telah disepakati sejak negara ini baru dilahirkan tanggal
18 Agustus 1945 yang lalu.” (hlm. 285-286).



Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Prof. Kasman
Singodimedjo yang terlibat dalam lobi-lobi pada sidang PPKI, 18 Agusus
1945, menuturkan bagaimana kecerdikan kaum Kristen yang mengambil momen
yang penting untuk menekan kaum Muslim, jika tidak mau menghapus “tujuh
kata” tersebut, dengan mengancam akan memisahkan diri dari NKRI . “Memang
pintar pihak minoritas non-Muslim itu. Pintar untuk memanfaatkan kesempatan
moment psychologis,” tulis Kasman. Tapi, tutur Kasman, meskipun dalam
kondisi darurat dan terjepit, tokoh-tokoh Islam, seperti Abikusno
Tjokrosuyoso, Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Ki Bagus
Hadikusumo dan lain-lain tetap berusaha keras mempertahankan Piagam
Jakarta.



Namun, karena kondisinya sangat memaksa, maka akhirnya para tokoh Islam
bisa menerima rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hatta sendiri menjelaskan,
bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai
saksi sejarah, Kasman menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang
Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan
pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.”
(Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan
Bintang, 1982), hlm. 123-125).



Menusuk hati



Usaha untuk membuang identitas agama dari KTP, sebenarnya merupakan
kata-kata yang – meminjam istilah Bung Hatta – “menusuk hati umat Islam”.
Umat Islam Indonesia memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan
kemerdekaan dan mempertahankan NKRI. Umat Islam bukan pengkhianat NKRI.
Identitas agama itulah yang menggerakkan semangat jihad melawan kezaliman
dan kejahatan penjajah. Kecintaan terhadap negara ini merupakan bagian dari
ajaran agama. Umat Islam mau mengalah demi persatuan! Agama Islam mendidik
umatnya untuk tidak munafik dengan ajaran agamanya. Jangan hanya
mengaku-aku Islam, tetapi hatinya benci dengan Islam. Bagi muslim, agama
selalu melekat dalam dirinya. Di mana pun dia berada. Bahkan, tatkala masuk
toilet pun, Islam masih mengatur umatnya, apalagi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.

Pemimpin yang bijak, sepatutnya memahami kondisi psikologis umat Islam.
Maka, sungguh sangat tidak bijak dan sangat tidak patut, ketika seorang
pejabat negara non-muslim dengan angkuhnya berkoar-koar, bahwa ia akan
berusaha menghapus kolom agama dari KTP! Sebuah situs Kristen (
http://reformata.com/news/view/7797/ahok-tak-perlu-kolom-agama-di-ktp),tanggal20
Juni 2014, menulis berita, “Ahok: Tak Perlu Kolom Agama Di KTP”.



Di situ, dikutip pernyataan Ahok:



“Kenapa mesti ada kolom agama di KTP? Untuk apa? Apa gunanya saya tahu
agama kamu? tanya Ahok… “Indonesia mencantumkan kolom agama di KTP, kata
dia, hanya karena pengaruh budaya Timur Tengah, yang penuh dengan sejarah
penaklukan agama, sehingga menyebabkan memunculkan agama mayoritas dan
minoritas. Dalam konteks seperti ini identifikasi agama diperlukan. Sama
sekali berbeda dengan kondisi beragama di Indonesia. Menurut Ahok,
Indonesia adalah negara berasas Pancasila dan UUD 1945. Agama mayoritas,
Islam pun masuk ke Indonesia bukan melalui penaklukan agama. Sehingga
identifikasi agama, tidak dibutuhkan di sini. Karena itu, kata dia,
pelaksanaan ritual beragama di Indonesia seharusnya tergantung kepada
individu masing-masing dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain, apalagi
negara. Karena itu dia sangat mendukung calon presiden yang ingin menghapus
kolom agama di KTP.”



Kita patut bertanya, apakah di negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa
(Negara Tauhid) ini, orang Islam harus membuang seluruh identitas agamanya?



Bahkan, hanya sekedar untuk mencantumkan identitas agama di KTP-pun akan
dilarang? Kini, sekedar untuk memotong hewan kurban di sekolah pun dilarang?



Ketika kaum minoritas menguasai ekonomi dan opini, lalu dilontarkan jargon
bahwa semua warga negara punya hak yang sama, tanpa pandang agama? Maka,
kemudian, dalam penentuan seluruh posisi jabatan pemerintahan, kepala
sekolah, dan sebagainya, dilarang membawa-bawa pertimbangan agama!
Pokoknya, semua warga negara sama kedudukannya! Jika non-muslim yang
terpilih, maka akan dicitrakan, bahwa memang tidak ada di kalangan umat
Islam yang pantas menduduki jabatan itu; dibuat opini bahwa umat Islam itu
bodoh-bodoh dan korup.



Demi Pancasila, katanya, faktor agama harus disingkirkan dari pertimbangan
politik! Padahal, lihatlah di negara demokrasi liberal, seperti AS
sekalipun, apakah ada Presidennya yang mengangkat seorang Muslim menjadi
menteri? Apakah di AS tidak ada Muslim yang berkualitas menjadi
menteri?Apakah AS mengkhianati nilai-nilai demokrasi dan multikultural?



Inikah makna Pancasila dan Kemerdekaan yang diperjuangkan umat Islam dengan
darah para syuhada, sampai-sampai identitas agama pun akan disingkirkan
dari KTP? Jika ada kaum Muslim yang menyinggung soal agama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara; ada yang mengekspresikan keyakinan agamanya
tentang kepemimpinan dalam al-Quran, lalu dicap “tidak Pancasilais”.



Sebab, kata mereka, itu menyinggung perasaan umat lain! Tapi, umat Islam
tidak boleh tersinggung jika pemimpin non-muslim melecehkan Islam! Umat
Islam tidak boleh tersinggung ketika agamanya disuruh dibuang dari KTP!
Sebab, agama dianggapnya tidak penting dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara! Jika umat Islam tersinggung, gampang saja, cukup
dicap mereka itu kelompok fundamentalis, radikal, militan, picik! Selesai!
Jika perlu, tulis besar-besar dalam berita, bahwa tokoh tertentu dari
kalangan Islam, juga mengecam orang-orang yang masih bawa-bawa agama dalam
masalah kenegaraan! Toh uang dan opini juga yang berkuasa!



Padahal, bagi umat Islam, identitas agama di KTP sangat penting. Sebab,
dalam pandangan Islam, orang mati (jenazah) saja, perlu jelas identitas
agamanya. Identitas agama itu menentukan perlakuan terhadap jenazah. Jika
tanpa identitas agama di KTP, apakah mayat-mayat yang tidak jelas
identitasnya di Jakarta akan dibakar lalu abunya disimpan dalam
botol?Mungkin, ada yang berpendapat, bahwa tidak penting bagaimana
memperlakukan jezanah, apakah dibakar, dibuang, atau dikubur. Tapi, bagi
umat Islam, mengubur jezanah adalah ajaran para Nabi, sejak Nabi Adam a.s.
sampai Nabi Muhammad saw. Sepatutnya, pemimpin memahami ajaran dan perasaan
umat Islam.



Kekuatan uang dan opini memang bisa digunakan untuk menipu persepsi publik
tentang makna dan hakekat keadilan dalam Islam! Tetapi, uang dan opini
tidak akan mampu membungkam hati-hurani dan doa-doa tulus kaum Muslimin
Indonesia yang terus ditindas dan dipojokkan! Uang dan opini tidak akan
bisa memadamkan cahaya iman yang pasti suatu ketika akan menyinari siapa
saja yang ikhlas menerima kebenaran! Sejarah membuktikan, atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dengan kekuatan seadanya dan ruhul jihad
melawan kezaliman, umat Islam mampu mengusir penjajah dari negeri tercinta.
Allahu Akbar!*/14 Oktober 2014)



Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan
Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil
kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com



sumber: hidayatullah

-- 
-- 
Anda menerima E-Mail ini karena Anda tergabung dalam  Google Groups yaitu 
"Media Muslim Group". Kirim artikel, pendapat/opini, informasi dan lain-lainnya 
ke mediamusliminfo@googlegroups.com
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perhatian: Setiap Content ataupun Tulisan yang ada pada email ini bukanlah 
menggambarkan http://www.mediamuslim.info karena hal tersebut merupakan 
apresiasi setiap members groups yang tidak mungkin kami perhatian 
satu-per-satu. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk Keterangan lebih lanjut kunjungi 
http://groups.google.com/group/mediamusliminfo
Dan jangan lupa kunjungi http://www.mediamuslim.info dan 
http://www.kisahislam.com
--- 
You received this message because you are subscribed to the Google Groups 
"MediaMuslimINFO Group" group.
To unsubscribe from this group and stop receiving emails from it, send an email 
to mediamusliminfo+unsubscr...@googlegroups.com.
For more options, visit https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke