From:  "akob_the_great_03" <[EMAIL PROTECTED]> 
Subject:  Sifat Puasa Nabi (bag 18) - Fidyah



Fidyah

1. Bagi Siapa Fidyah Itu?

Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka
diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin,
dalilnya adalah firman Allah:

Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah,
dengan memberi makanan seorang miskin. (Al Baqarah : 184)

Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang yang
sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang sakit yang
tidak ada harapan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika
dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaiman akan datang penjelasannya
dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

2. Penjelasan Ibnu Abbas Rhadiyallahu anhuma

Engkau telah mengetahui wahai saudarakau seiman, bahwasanya dalam
pembahasan yang lalu ayat ini mansuhk berdasarkan dua hadits Abdullah
bin Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, tetapi ada
riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh
dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi
orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya memberi makan setiap
hari seorang miskin.1

Oleh karena itulah Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dianggap
menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih
khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya
mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan):

Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak
mampu berpuasa, hendaknya bebuka kalau mau, atau memberi makan seorang
miskin dan tidak ada qadha

Kemudian dimansukh oleh ayat:

Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al Baqarah : 185).

Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu
berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk
berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin.2

Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu
riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan
tidak adanya naskh, sehingga mereka menyangka Hibarul Ummat (Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala
diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh mereka menyangka adanya
saling pertentangan.

3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al Baqarah : 185) Mansukh

Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh,
tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena salafus shalih
Ridhwanullahu 'alaihim menggunakan kata naskh untuk menghilangkan
pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun
dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlaj
kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka
menamakan istitsna' (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh.
Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz
tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai
lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar.3

Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka
(orang arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut,
sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yang disebabkan
memaknakan perkataan salafus shalih dengan pengertian yang baru yang
mengandung penghilangan hukum syar'i yang dinisbatkan kepada mukallaf.

4. Ayat Tersebut Bersifat Umum

Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi
seluruh mukallaf yang mencakup orang yang biasa berpuasa atau tidak
berpuasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan
Imam Muslim dari Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu, Kami pernah
pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,
barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau
berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah
kepada seorang miskin, hingga turun ayat:

Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al Baqarah : 185).

Mungkin adanya masalah itu karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan
adanya nash bahwa ruskhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah
lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang
jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan
membatasi orangnua, dalil untuk memahami hal ini tersepat pada hadits
itu sendiri. Jika rukhshah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita
yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap
berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa
makna rukhshah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan
mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan?

JIka engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa
makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh
bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan
dalil Al Qur-an adapun hukum yang kedua dengan dalil dari sunnah dari
tidak akan dihapus sampai hari kiamat.

Yang menguatkan akan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam
riwayat yang menjelaskan adanya naskh, Telah tetap bagi laki-laki dan
wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita
yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka
dan memberi makan orang miskin setiap harinya.

Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu'anhu,
Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya,
puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat:

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa... (Al
Baqarah : 183)

Kemudian Allah menurunkan ayat:

Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al Qur-an... (Al
Baqarah : 185).

Allah menetapkan puasa bagi orang mukmin yang sehat, dan memberi
rukhshah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi
orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya...4

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang
mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu
berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.

Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mencocoki sahabat,
haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya yaitu hadits Ibnu Umar dan
Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling
bertentangan. Perkataannya 'tidak mansukh' ditafsirkan oleh
perkataannya: itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan. Dengan
keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan
dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahli ushul
mutaakhirin, demikian diisyaratkan oleh Al Qurtubi dalam tafsirnya.5

5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad?

Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim bahwa hadits dari Ibnu
Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah
bisa naik ke tingkatan hadits marfu' yang bisa mengkhususkan
pengumuman dalam Al Qur-an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan
yang global. Jawabannya sebagai berikut:

a. Dua hadits ini memiliki hukum marfu' menurut kesepakatan ahlul ilmi
tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Seorang yang
beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua
hadits ini jika ia anggap shahih, karena hadits ini ada dalam tafsir
ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua sahabat ini menyaksikan
wahyu dan turunnya Al Qur-an, bahwa turunnya begini, maka ia adalah
hadits yang musnad.6

b. Ibnu Abbas menetapkan hukum inbi bagi wanita yang menyusui dan
hamil. Dari mana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragukan lagi
beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian
tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits
ini mansukh.

Dari Malik bin Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang
wanita yang hamil jika ia mengkhawatirkan anaknya. Beliau berkata,
Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya
kepada seorang miskin.7

Daruquthni meriwayatkan (1/270) dari Ibnu Umar dan beliau
menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata, Seorang wanita
hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak meng-qadha. Dari jalan lain
beliau meriwayatkan bahwa seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu
Umar, beliau menjawab, Berbukalah, dan berilah makan orang miskin
setiap harinya dan tidak perlu meng-qadha. sanadnya jayyid. Dan dari
jalan yang ketiga, yaitu anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang
Quraisy, dan hamil. Dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun
menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

c. Tidak ada sahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.8

6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Kewajiban Puasanya

Keterangan ini menjelaskan makna, Allah menggugurkan kewajiban puasa
dari wanita hamil dan menyusui yang terdapat dalam hadits Anas yang
lalu, yakni dibatasi 'kalau mengkhawatirkan diri dan anaknya', dia
bayar fidyah tidak meng-qadha.

7. Musafir Gugur Kewajiban Puasanya dan Wajib Meng-qadha

Barangsiapa menyangka gugurnya kewajiban puasa wanita hamil dan
menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha', perkataan
ini tertolak karena Al Qur-an menjelaskan makna gugurnya kewajiban
puasa dari musafir:

Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al Baqarah : 184)

Dan Allah menjelaskan makna gugurnya kewajiban puasa bagi yang tidak
mampu menjalankannya dalam firman-Nya:

Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al
Baqarah : 184).

Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk
orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah kusus untuk
mereka.

--------------------------------

1. HR Bukhari (8/135).

2. Ibnu Jarud (381), Al Baihaqi (4/230), Abu Dawud (2318) sanadnya
shahih.

3. Lihat I'lamul Muwaqi'in (1/35) karya Ibnul Qayyim dan Al Muwaqafat
(3/118) karya Imam Syatibi.

4. HR. Abu Dawud dalam Sunannya (507), Al Baihaqi dalam
Sunannya(4/200), Ahmad dalam Musnad (5/246-247) dan sanadnya shahih.

5. Al Jami' li Ahkamil Qur-an (2/288).

6. Lih: Tadribur Rawi (1/192-193) karya Suyuthi, 'Ulumul Hadits (24)
karya Ibnu Shalah.

7. Al Baihaqi dalam As Sunnan (4/230) dari jalan Imam Syafi'i,
sanadnya shahih.

8. Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni(3/21).



Moderator: [EMAIL PROTECTED] 
Subscribe: [EMAIL PROTECTED] 

IslahGateway


[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/IYOolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++
INGIN MENCARI JODOH ? = > http://www.myjodoh.net
atau 
HANYA MERAMAIKAN KENALAN ? => http://www.kenalan.net
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++

1) Keluar : [EMAIL PROTECTED]
2) Sertai : [EMAIL PROTECTED]
3) Hantar Topik : sila ke http://www.mymasjid.com.my/forum 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/mymasjid/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke