In a message dated 5/24/99 11:39:03 PM Eastern Daylight Time,
[EMAIL PROTECTED] writes:

> Yw: Kalo UUD (4), (sepemahaman saya) menunjukkan bahwa
>      'the law maker' (pembuat UU) semuanya harus via pemilu.
>      The law maker itu adalah DPR. Semuanya harus pemilu.
>      Sekarang ini mungkin belum aja... ;-) (Masih ada Tni)
>
>      Kenapa belum?
>      Because, you know... we'are kind of slow.
>
>      MPR, nah ini ada wakil golongan (dan tetek bengek).
>      Menurut saya: tidak harus melalui pemilu.
>      Tapi, kalo dipilihnya oleh presiden/panglima, ya
>      salah kaprah juga... Wakil golongan TNI, ya harusnya
>      dipilih oleh golongan TNI (melalui pemilihan, bukan
>      pemilihan umum, tapi pemilihan khusus). Demikian
>      pula golongan lain.
>
>      Jadi, utk MPR, ada yg dipilih via pemilihan umum,
>      dan ada yg dipilih via pemilihan khusus...

Irwan:
Dan menurut saya mereka juga harus dipilih oleh rakyat.
mungkin mereka ngga perlu menjadi atau mendirikan parpol
tertentu tapi nama mereka dimasukan dalam daftar pilihan
yg bisa dipilih rakyat untuk daerahnya masing2.
Jadi, kertas pemilunya bisa ditambahkan yg khusus untuk
memilih utusan daerah dari daerahnya masing2 dan utusan
golongan untuk semua pemilih.

Bila main sistem pengangkatan tampaknya pemilu sekarang
ini mengandung bahaya besar berjayanya pro status quo....:(
Saya kutipkan penjelasan saya dalam posting sebelumnya
dibawah subyek forkot.

-----------------awal kutipan-------------
Coba lihat lagi mengenai pemilu khususnya mengenai susunan
anggota MPR/DPR kelak.
Akan ada 700 anggota MPR/DPR.
38 jatah ABRI/TNI (pengangkatan)
200 jatah utusan golongan dan utusan daerah (pengangkatan).
Yang diperebutkan dalam pemilu berarti ada 462 kursi.
Asumsikan Golkar dengan segala cara hanya mampu
mendapatkan 10% saja dari 462, katakanlah 46 kursi.
Maka dengan modal 238 dari hasil pengangkatan maka
jumlah suara yg akan menggolkan calon Golkar menjadi
284. Asumsikan akan terjadi pemungutan suara dalam
pemilihan presiden dimana pengumpul suara terbanyak
akan terpilih. Dengan kata lain dibutuhkan 351 suara
untuk bisa menjadi presiden periode mendatang.
Dengan skenario di atas maka Golkar hanya membutuhkan
suara tambahan sekitar 67 suara saja.
Ke-67 suara ini bisa didapat Golkar dari:
1.Setiap tambahan hasil pemilu yg lebih dari 10% yg didapat Golkar.
2.Koalisi dengan partai2 lain, termasuk partai gurem, dengan
   iming2 uang atau pun jabatan.
3.Pembelian suara yg disinyalir oleh bung Efron sudah disiapkan
  dana sampai triliunan rupiah.
--------akhir kutipan------

Saya tidak tahu seberapa besar resiko ini sudah diperhitungkan
oleh kelompok Megawati, Gus Dur, Amien Rais.
Karenanya saya perhatikan Golkar santai2 saja ngga begitu
takut menghadapi pemilu sekarang karena tampaknya
mereka sudah memiliki kartu trufnya. Menurut saya, mereka
justru sangat menginginkan pemilu sekarang bisa berlangsung
dengan jurdil agar bisa melegitimasikan kekuasaannya.
Sehingga kelak mereka bisa berkoar bahwa pemerintahan mereka
adalah pemerintahan yg diingini rakyat, yg protes2 itu adalah
yg tidak didukung oleh rakyat.
Saya koq jadi kebayang akan ada revolusi rakyat bila hal ini
yg terjadi.

Yusuf:
>      Terus lagi, kalo mau terobosan, udah aja presidennya
>      dipilih langsung.

Irwan:
Ini saya setuju. Jadi pemilunya seperti di AS aja kali ya...:)
Dan juga untuk DPRnya bagusan dilakukan 2 kali pemilihan
dalam kurun waktu satu periode (2x dalam lima tahun) agar
wakil2 rakyat yg terpilih itu ngga bisa seenaknya dan tetap
berjuang untuk mewakili suara rakyat daerah yg diwakilinya
kalau mau tetap bertahan menduduki kursi DPR. Ya, seperti
di AS aja. Sekedar catatan untuk rekan2 di tanah air, setiap
tahun di AS ada yg dinamakan election day yg jatuh pada
bulan November dimana pada saat itu rakyat AS memberikan
suara untuk isu2 yg diajukan. Pemilihan presiden dilakukan
4 tahun sekali. Pemilihan anggota senat dan house representatifnya
kalau tidak salah 2 tahun sekali. Ada juga saat pemilihan gubernur,
dan jabatan2 penting lainnya yg dilakukan melalui pemilu.
Mungkin sistem seperti ini perlu juga dipertimbangkan dilakukan
di tanah air sehingga kita kelak bisa punya gubernur yg memang
diingini oleh rakyat setempat dan bukan hasil drop-an dari pusat,
punya Jaksa Agung ngga seperti Abdul Ghalib yg tampaknya
lebih condong menjadi "pembela" Soeharto ketimbang
jadi penuntutnya.


jabat erat,
Irwan Ariston Napitupulu

Kirim email ke