Minggu, 10 Februari 2008 Armi Susandi Menghitung Waktu Indonesia Tenggelam
Permukaan air laut terus menaik. Pulau-pulau di Indonesia terancam. Pantai utara Jawa juga terancam. ''Pada 2050, sebanyak 24 persen Jakarta bagian utara bakal tenggelam,'' kata Armi Susandi. Hal itu, menurut dosen Fakultas Kebumian dan Teknologi Mineral ITB ini, terjadi karena tekanan bangunan dan eksploitasi air tanah. Armi Susandi MT adalah doktor lulusan University of Hamburg/Max Planck Institute for Meterorology, Jerman. Ia belajar kebijakan iklim dan energi di sana. Pulang dari Jerman, pada 2004, ia membawa inspirasi dari dosennya. Maka, bersama rekan-rekannya di ITB, ia mengembangkan lima simulasi proyeksi model. Yang pertama adalah model curah hujan dan kenaikan temperatur di Indonesia, periode sepuluh tahunan hingga 2100. Dengan model ini bisa diketahui bagaimana curah hujan memengaruhi longsor, banjir. Yang kedua adalah model kenaikan air laut. Model ini memperlihatkan pada 2100 ada 115 pulau sekitar Riau, Sulawesi, Maluku, dan Jawa utara-- bakal tenggelam. ''Ketinggian air laut 1,1 meter pada 2100,'' kata dosen perubahan iklim di Program Studi Meteorologi ITB itu. Model ketiga tentang Jakarta kurun 50 tahunan hingga 2100. Dari model ketiga inilah ia tahu pantai utara Jakarta akan tenggelam pada 2050. Daerah Penjaringan, Koja, Cilincing bila tidak dilakukan pencegahan yang terstruktur dan tersistematis bakal tenggelam permanen. Dan, bayangkanlah, ''Monas terendam pada tahun 2080,'' kata ayah empat anak itu. Artinya, Istana Presiden dan Istana Negara juga bakal tenggelam di tahun itu. Tak hanya Jakarta. Semarang dan Surabaya tentu juga mengikuti Jakarta. Menggunakan teknik yang berkaitan dengan statistik, matematika, ekonomi, dan meterologi, Armi dkk membuat analisis. Pertama, setiap tahun permukaan tanah Jakarta turun sekitar 0,8 cm akibat eksploitasi air tanah dan beban bangunan. Kedua, adanya perubahan iklim yang menaikkan permukaan air laut sekitar 0,57 cm setiap tahun. Kedua hal itu menyebabkan permukaan tanah kota ini mengalami penurunan 1,37 cm per tahun. Artinya, dalam kurun waktu 100 tahun, Ibu kota negara ini menurun sekitar 1,5 meter. Pada 2035, menurut Ketua Program Aksi Ikatan Alumni ITB for Global Climate Change, Bandara Soekarno-Hatta diperkirakan telah tenggelam oleh air laut. Toh, ini bukan jalan tak berujung. Armi dkk telah membuat rekomendasi perlunya dibuatkan pembatasan air yang masuk ke daratan di sepanjang pantai Jakarta. Saat bersamaan, air yang datang dari selatan Jakarta dimanfaatkan dengan membuat penampungan, selanjutnya disalurkan melalui pipa untuk dikonsumsi. Air penampungan dapat pula dibuat turbin yang menghasilkan energi listrik. Hutan untuk utang Armi adalah konsultan United Nations Development Program (UNDP) di KLH. Jabatannya National Project Manager Second National Communication to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Pada saat konferensi perubahan iklim di Bali, Armi dkk meluncurkan model reforestasi seluruh Indonesia. Lewat model keempat ini digambarkan betapa besarnya potensi hutan di Indonesia. Selain bisa memperlambat kenaikan temperatur global, bisa pula mencegah potensi badai di belahan bumi sebelah utara, termasuk di antaranya badai di Amerika bagian selatan. Karena potensi hutan yang tinggi itu, menurut Armi, seharusnya hutan Indonesia dinilai mahal. ''Sekarang ini untuk nego, Indonesia tidak cukup kuat saintifik. Lemah,'' kata Armi. Dan, yang paling gres dari Armi dkk adalah model penyerapan karbon oleh laut. Model kelima ini memetakan kawasan laut yang mempunyai kemampuan menyerap karbon terbesar. ''Saya hitung, utang kita sebesar 150 miliar dolar bisa lunas pada 2025 hanya menjaga dan menumbuhkan hutan serta menghitung penyerapan karbon dari laut,'' katanya. Model-model itu dikembangkan Armi bersama rekan-rekannya dari multidisiplin ilmu. Rata-rata, pembuatan model yang dibiayai sebagian besar dari dana luar negeri antara lain Islamic bank itu dikerjakan selama 3-4 bulan. Tak banyak di dunia ini dibuat model-model seperti itu. ''Proyeksi curah hujan di Indonesia tiap 10 tahun belum ada,'' kata Ketua Kompartemen Perubahan Iklim Ikatan Alumni ITB ini mencontohkan. Selama ini para ahli cenderung membuat model secara linear. Sementara, Armi mengaku mendapat ilmunya dari Jerman. ''Memasukkan persamaan matematika di dalam model, sehingga model itu bergerak,'' jelas dia. Dosen dia tidak pernah membuat model linear. ''Menurut dia tidak make sense'' lanjut Armi. Tak direncanakan Keahliannya dalam perubahan iklim bermula dari ketidaksengajaan. Akhir 1980-an, Armi merampungkan pendidikan SMA-nya di Padang, Sumatra Barat. Gagal masuk Universitas Indonesia dan Akabri, ia lulus sipenmaru di ITB. Pria kelahiran 4 September 1969, ini memilih jurusan Geofisika dan Metreologi, mengikuti saran tetangganya. Kata tetangganya, ''Bidang ini yang berkembang nanti.'' Ia lulus. Selama di ITB, Armi aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Tahun kedua di Bandung, ia tak lagi minta bantuan biaya dari orangtua. ''Saya mengajar private, mengajar matematika dan fisika,'' tuturnya. Tahun-tahun berikutnya ia belajar bisnis, mengirim barang seperti sepatu, tas, dan kain ke Padang atau menitipkan ke tempat usaha keluarganya yang ada di kota lain. Sebelum menjadi dosen, Armi sempat bekerja di perusahaan perumahan. Kariernya, dari membawa tas direktur hingga menjadi manajer pemasaran. ''Waktu itu saya sempat menjual 800 unit dalam lima hari,'' tuturnya. Setahun berselang, 1995, ia menjadi dosen ITB. Pada 2000 ia memperoleh beasiswa dari Deutscher Akademischer Austauch Dienst (German Academic Exchange Service) untuk mengambil program doktor. Selam di Jerman, ia memperoleh beasiswa promotionsstipendium, Max Planck - Gesellschaftt. Dia pun sempat menjadi dosen tamu di Hamburg University of Applied Sciences dan peneliti tamu di Max Planck Institute for Meteorology, Hamburg. ''Saya juga pernah menjadi dosen tamu di Osaka University, Jepang,'' tutur koordinator Bidang Sains Atmosfer dan Oseanografi Himpunan Ahli dan Geofisika Indonesia ini. bur sumber : Republika Online