----- Original Message ----- From: H. M. Nur Abdurahman To: wanita-musli...@yahoogroups.com Sent: Thursday, June 10, 2010 12:24 PM Subject: [wanita-muslimah] Seri 385. Masalah Aceh
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 385. Masalah Aceh Aceh di zaman kolonial Belanda merupakan basis pertahanan terakhir. Bahkan sampai perang dunia kedua masih ada bagian yang belum pernah dijamah Belanda dan juga Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan kabarnya ditemukan komunitas sisa-sisa pejuang yang bermukim di tengah rimba yang belum tahu bahwa Indonesia sudah merdeka, mereka tidak tahu Belanda telah dikalahkan Jepang, dan juga mereka itu tidak tahu bahwa Jepang pernah menduduki Indonesia. Pada zaman revolusi, pedalaman Aceh merupakan satu-satunya daerah yang tidak diduduki Belanda. Rakyat Aceh pernah menyumbangkan kapal terbang kepada Republik Indonesia. Kapal terbang itu diberi nama oleh Bung Karno menurut nama sebuah gunung di Aceh, yaitu Seulawah. Nilai sub-kultur Aceh sangat menghargai apa yang telah diberikan kepadanya, walaupun hanya sekadar sirih sekapur, sebagai dinyatakan oleh pantun Aceh: Taek ugle tajakko kaye. Tinggai peureudeu tempat leuk kutru. Mebek ta beh-beh rakan teh dile Tempat ta lake ranup sigapu. (Bunyi t diucapkan seperti bunyi t-nya orang Bali. Bunyi eu seperti eu-nya orang Sunda dan bunyi S seperti abjad ke-4 huruf Arab, atau bunyi th dalam bahasa Inggeris think). Pergi ke gunung memotong kayu, Tinggal perdu tempat balam menekur. Jangan membuang sahabat yang dulu, Tempat memperoleh sirih sekapur. *** Panglima Syamaun Gaharu berhasil mempersuasi Teungku Daud Beureueh turun gunung melalui tawaran (baca: iming-iming) Aceh dijadikan daerah istimewa. (Di Aceh gelar Teungku adalah untuk ulama, sedangkan di Sumatera Timur, yaitu Deli dan Langkat gelar Tengku adalah untuk bangsawan, yang di Aceh disebut Teuku). Kalau Jakarta adalah Daerah Istimewa (DI) dengan ciri-khas ibu kota Republik lndonesia, Yogyakarta adalah daerah istimewa dengan ciri-khas kesultanan, maka Aceh diiming-iming menjadi daerah istimewa dengan ciri-khas Syari'at Islam. Tengku Daud Beureuch pernah menjadi Gubemur Militer Aceh pada zaman Revolusi, kemudian menjadi pimpinan DI-TII (seperti Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, Abdul Qahhar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan). Dikatakan di atas Aceh diiming-iming dengan Syari'at Islam, oleh karena tawaran itu tidak pernah dikukuhkan dengan Undang-Undang. ltulah utang lembaga eksekutif dan legislatif terhadap Aceh dan yang paling bertanggung-jawab adalah tentu saja lembaga eksekutif yang memberikan iming-iming itu, yang dalam hal ini adalah Presiden yang pertama, Bung Karno. Jadi isak dan linangan air mata Megawati waktu menyinggung Aceh dalam pidato politiknya mudah-mudahan terbit dari dalam lubuk hati yang dalam, bukan hanya sekadar permainan watak, alias isak dan tangis politik. Sesungguhnya penyebab kemalangan rakyat Aceh, berakar dari tawaran ayahnya sendiri yang hanya dalam kualitas iming-iming. Seterusnya Presiden yang kedua bahkan melupakan tawaran itu pula. Selanjutnya Presiden yang ketiga, yang menurut Megawati adalah pemerintahan transisi (sebagai Capres sangatlah naif berkata demikian, karena semestinya Megawati harus tahu bahwa itu transisi tidak ada dalam konstitusi), sekarang sedang diusahakan rencana Undang-Undang yang dapat menampung aspirasi rakyat Aceh dalam hal Daerah Istimewa yang berciri-khas Syari'at Islam. Alangkah eloknya usaha yang sedang ditempuh sekarang ini dengan pendekatan politik yang dikukuhkan dengan hukum (baca: Undang-Undang tentang otonomi yang khas bagi DI Aceh) dapat diselesaikan sebelum SU MPR yang akan datang, walaupun, sekali lagi walaupun, banyak kritikan yang dilancarkan bahwa pemerintahan Habibie bersama dengan DPR mengobral pembuatan Undang-Undang. Undang-Undang mengenai pengukuhan ciri khas provinsi Aceh, sangat perlu dipercepat keluarnya, karena disitulah akar permasalahan kemalangan rakyat Aceh. Perimbangan keuangan pusat dan daerah yang wajar itu perlu, tetapi belum cukup. Itu hanya sekadar upaya taktis, bukan strategis. Kalau Timor Timur, apabila kelompok pro-integrasi yang menang, statusnya adalah provinsi dengan otonomi yang luas, yang secara tersirat mempunyai ciri-khas Katolik Roma, mengapa provinsi Aceh tidak dapat mengatur dirinya dengan ciri-khas Syari'at Islam. Inilah upaya penyelesaian yang strategis. Bahkan dengan ciri-khas Syari'at Islam itu, dapat menjadi bahan kajian dalam hal sistem perbankan. 0leh karena dengan ciri-khas Syari'at Islam itu di provinsi Aceh kelak hanya diperbolehkan mendirikan bank dengan ciri-khas bank syariah yang bukan dengan sistem bunga melainkan dengan sistem bagi hasil, bank dengan nasabahnya sama-sama menikmati keuntungan dan sama-sama didera oleh kerugian. Dengan kualitas manajerial yang sama dapatlah dibandingkan antara provinsi Aceh dengan provinsi yang lainnya, yang mana lebih sehat antara bank sistem bagi hasil dengan sistem bunga. Yang jelas bank syari'ah tidak memungkinkan dikembangkan perusahaan-perusahaan maksiyat seperti night club, panti pijat, pabrik minuman keras dan lain lain yang berbau maksiyat. Sekali lagi lembaga eksekutif dan legislatif hendaknya dengan segera mengeluarkan Undang-Undang tentang otonomi yang khas bagi DI Aceh, dan tidak perlu risih dengan kritikan mengobral Undang-Undang. Biarkan ombak kritikan menerpa batu-karang, biarkan anjing menggonggong kafilah lalu, buat Undang-Undang sebelum SU MPR, oleh karena semakin berlarut, situasi semakin bertambah kusut, penyelesaian akan semakin musykil, rakyat Aceh semakin menderita. Insya Allah pemberian status daerah istimewa yang berciri-khas Syari'at Islam dapatlah mengetuk hati petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk surut langkah kembali ke pangkuan Republik Indonesia dalam iklim Bhinneka Tunggal lka, yang ditekankan pada substansi Bhinnekanya. Sekali lagi secepatnya, sebelum nasi menjadi bubur, sebelum pintu hati petinggi GAM tertutup sama sekali untuk surut langkah. Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk segera mendamaikan dua kelompok yang sedang bertikai, seperti FirmanNya: -- ANMA ALMWaMNWN AKHWT FASHLhWA BYN AKHWYKM WATQWA ALLH L'ALKM TRhMWN (S. AL hJRAT, 10), dibaca: innamal mu'minu-na ikhwatun faslihu- baina akhawaikum wattaquLla-ha la'allakum turhamu-n (s. alhujura-t), artinya: -- Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah kedua (kelompok) saudaramu (yang bertikai). WaLlahu a'lamu bishshawab. *** Makassar, 15 Agustus 1999 [H.Muh.Nur Abdurrahman] http://waii-hmna.blogspot.com/1999/08/385-masalah-aceh.html ------------------------------ Update: Penandatanganan MoU antara Indonesia dan GAM di Helsinki, itu merupakan hasil kerja keras, baik dalam arti politik, sosial, hukum, militer, maupun simbol. Dalam semua arti atau nilai itu, perjanjian damai tersebut, merupakan salah satu prasyarat mutlak terciptanya rasa aman, tenteram dan damai, bagi penduduk serta kinerja pemerintahan di bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Inilah hasil nyata dari mantan Wakil Presiden RI HM Yusuf Kalla dalam upayanya memecahkan masalah GAM dengan jalan damai. Sejak 27 Januari 2005 dimulailah perundingan informal antara NKRI dengan GAM sampai lima babak yang diakhiri pada tanggal 17 Juli 2005 di Helsinki. Pada hari itu telah diparaf draft MoU oleh ketua Juru Runding RI dan Ketua Juru Runding GAM. drh Irwandi Yusuf, MSc pria kelahiran Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam, 2 Agustus 1960, itu terpilih menjadi gubernur Nanggroe Aceh ke-21 dalam Pilkada yang dilaksanakan pada 11 Desember 2006. Ia masuk GAM menduduki posisi Staf Khusus Komando Pusat Tentara GAM selama 1998-2001. Ia ditangkap pada awal 2003 dan divonis 9 tahun dalam kasus Makar. Tsunami membobol penjara Keudah, Banda Aceh. Ia melarikan diri ke Finlandia. Ternyata, ia dipercaya petinggi GAM di Swedia sebagai Koordinator Juru Runding GAM. Saat rapat pertama di Aceh Monitoring Mission hanya dirinya yang hadir mewakili GAM. Silakan simak laporan hasil liputan wartawan Fajar di bawah. Makassar, 10 Juni 2010 HMNA *** Rabu, 10 Agt 2005, Diam-Diam GAM Kumpul di KL MALAYSIA - Lima hari menjelang perdamaian Aceh, para petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terbang ke Malaysia. Kemarin mereka mengadakan pertemuan tertutup dengan komunitas rakyat Aceh, baik di Malayasia maupun yang datang dari berbagai wilayah di Aceh. Lebih dari 100 warga Aceh, mulai LSM, politisi, ulama, hingga akademisi datang ke Malaysia sejak Minggu. Mereka menuju tempat pertemuan di National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH), Bangi, Selangor Darul Ehsan. Letaknya sekitar 30 km selatan Kuala Lumpur. Tak banyak yang tahu acara ini. Mereka juga tidak mengundang media. Dari Indonesia tercatat hanya dua wartawan yang meliput. Salah satunya wartawan Jawa Pos-INDO.POS Farouk Arnaz. Pertemuan itu dilakukan diam-diam demi keselamatan mereka yang akan kembali ke Aceh. Karena itu, mereka tidak mau difoto. Mereka juga menolak memberi keterangan karena ingin menjaga komitmen untuk merahasiakan isi kesepakatan yang akan ditandatanganinya pada 15 Agustus. Wartawan Jawa Pos-INDO.POS sendiri, setiba di Malaysia masih harus mencari-cari tempat pertemuan dan kapan pertemuan itu dilangsungkan. Panitia sebenarnya juga enggan menunjukkan tempatnya. Namun, ketika koran ini bisa mencapai tempat itu dengan berbagai kesulitan, panitia akhirnya menerima dengan baik. "Kita khawatir terjadi seperti pada zaman COHA (jedah kemanusiaan, Red) dulu. Pas kita pulang rapat begini, mulai ditangkap-tangkap," kata Irwandi (nama samaran) yang Ahli Propaganda GAM (#), salah seorang peserta. Acara digelar mulai kemarin hingga hari ini. Dari pihak GAM hadir sejumlah tokoh yang selama ini bermukim di luar negeri. Di antaranya, Menteri Penerangan Bahktiar Abdullah, Sekjen Acheh Center Reyza Zain dan beberapa tokoh lain, termasuk Nur Djuli (anggota delegasi GAM di Helsinki). PM GAM Malek Mahmud batal datang. Namun, ada penasihat GAM Dr Damien Kingsbury, yang juga direktur Program Pembangunan Komuniti dan Internasional Universitas Deakin University. Tak heran NIOSH yang tak jauh dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) ini terasa kental dengan nuasa Aceh. Mereka kebanyakan lelaki dan berusia muda. Tak semuanya memakai jas perlente. Seminar yang disponsori The Olof Palme International Center, Swedia, ini diberi tema Musyawarah Acheh seperti tertulis di spanduk yang dibentang dalam ruang seminar. Wartawan koran ini membacanya saat diizinkan masuk dan mewawancarai Bahktiar Abdullah. Peserta seminar bisa dikenali dari ID card mereka yang bertulisan Seminar Motivasi. Kepemimpinan Yang Berkesan. Tak ada bendera atau simbol GAM dipasang di ruang seminar. Hanya beberapa petinggi GAM -termasuk Damien- yang mengenakan pin kecil bendera GAM. "Tak perlu (pasang bendera, Red) begitu," ujar Reyza yang juga menjadi delegasi GAM di Helsinki, singkat. "Kita membicarakan proses perdamaian yang akan kita teken tanggal 15 nanti. Ini kesinambungan pertemuan satu dan dua di Stockholm (yang juga diselenggarakan The Olof Palme International Center, Red). Kita bertemu untuk menyosialisasi MoU," beber Bakhtiar. "Mudah-mudahan ini bisa disebarluaskan kepada masyarakat Aceh," lanjutnya. Soal adanya peserta dari Aceh yang tak bisa berangkat ke Malaysia karena dihalangi aparat, Bakhtiar mengaku tidak tahu. Menurut dia, bisa saja itu hanya masalah teknis. "Yang jelas, tak ada perdebatan dalam pertemuan ini. Kita hanya sosialisasi apa isi MoU secara umum. Mereka mendukung perdamaian yang bermartabat," tambahnya. Bakhtiar melihat pemerintah Indonesia serius agar proses perdamaian di Aceh tetap berjalan. "Namun, tentu ini masih menunggu di lapangan. The implementation of MoU it self. Inilah ukurannya," tegasnya. Dia menampik terjadinya vacum of power setelah MoU diteken. Sebab, pemda sudah tak lagi dianggap. "Itu tak akan timbul," tandasnya. Soal penarikan senjata bagaimana? Bakhtiar menjawab, "Prosesnya belum berjalan sebagaimana yang kita sepakati. Ini akan kita laksanakan. Begitu pun pihak TNI harus menjalankan kesepakatan. Mereka harus keluar dari Aceh. Keadaan sekarang begitu meruncingkan (buruk, Red) karena kehadiran tentara yang begitu banyak." ------------ (#) Sosok Irwandi Yusuf, calon gubernur Aceh (sekarang Gubernur, masih calon gubernur waktu wartawan Fajar menulis laporan ini -HMNA- ) yang perolehan suaranya masih terus memimpin dalam pilkada di bumi Serambi Mekah itu, dikenal sederhana. Jika nanti benar-benar menjadi gubernur, dia siap menghilangkan kata "Merdeka" dari GAM. LIBUR, bagi Irwandi Yusuf adalah hal yang sangat mahal. Karena itu, tak heran jika di hari libur kemarin, pria 46 tahun itu pun tetap berkantor di gedung Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat di kawasan Lamdingan, Banda Aceh. Di tempat itulah dia menerima Fajar. "Beruntung, keluarga tak pernah mempersoalkan (meski libur tetap berkantor)," kata dokter hewan yang berpasangan dengan Muhammad Nazar dalam pilgub (pemilihan gubernur) Aceh itu. Pertemuan Fajar dengan Irwandi kemarin adalah yang kedua. Pertemuan pertama terjadi sekitar setahun lalu. Tak ada yang berubah dari sosok bapak lima anak itu. Gaya bicaranya tetap ceplas-ceplos. Begitu bertemu Fajar, dia langsung tertawa. Rupanya dia masih ingat ketika pertama kali bertemu Fajar setahun lalu. Saat itu, 9 Agustus 2005 (sepekan sebelum penandatanganan MoU antara Indonesia dan GAM di Helsinki). Waktu itu diam-diam beberapa petinggi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) hadir di Malaysia. Tepatnya di National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH), Bangi, Selangor, Dahrul Ehsan, atau sekitar 30 km selatan Kuala Lumpur. Di antara petinggi GAM yang hadir itu ada yang bermukim di luar negeri, seperti Menteri Penerangan (Menpen) GAM Bakhtiar Abdullah dan Sekjen Aceh Center Munawar Liza (sekarang calon Wali Kota Sabang yang suaranya sementara memimpin, red). Irwandi dan beberapa anggota GAM yang berangkat dari Aceh hadir di acara tersebut. Juga penasihat GAM dari Deakin University Dr Damien Kingsbury. Kebetulan Fajar berada di pertemuan yang sebenarnya dirahasiakan itu. Maklum, MoU belum ditandatangani. Saat itu Fajar diwanti-wanti agar tak memotret pertemuan tersebut. Beberapa tokoh yang diwawancarai minta namanya disamarkan. "Saya jangan difoto. Kalau mau kutip keterangan saya boleh. Tapi, pakai nama samaran ya, yakni Irwandi," kata salah satu tokoh GAM yang hadir di Malaysia. Dia minta disamarkan dengan alasan keamanan, karena baru saja lari dari Aceh. Fajar pun menulis Irwandi sebagai nama samaran tokoh GAM itu. Ternyata, belakangan baru diketahui bahwa nama Irwandi yang katanya samaran itu adalah nama asli. Inilah yang membuat Irwandi tertawa ketika bertemu lagi dengan Fajar kemarin. "Itu memang salah satu dari keahlian saya," katanya, kembali terbahak-bahak mengingat kejadian itu. Master lulusan Oregon State University AS itu memang dikenal sebagai juru perang urat saraf terbaik yang dimiliki GAM. Pergaulannya pun dikenal luas. Irwandi bersahabat baik dengan William "Billy" Nessen, warga AS yang menjadi wartawan lepas beberapa surat kabar terbitan AS. Saat perundingan di Helsinki, Nessen duduk sebagai penasihat GAM. Irwandi bahkan ditangkap di rumah istri Billy, Shadia Marhaban (mantan aktivis GAM) di kawasan Pisangan, Jakarta Timur, 23 Mei 2003. [Non-text portions of this message have been removed] ======= Email scanned by PC Tools - No viruses or spyware found. (Email Guard: 7.0.0.18, Virus/Spyware Database: 6.15180) http://www.pctools.com =======