Refleksi : Bagaimana bisa dienyahkan minta-minta, kalau SBY, presiden NKRI 
berbicara kepada umum selalu menadah tangan dengan  mengatakan: " saya minta... 
...." hehehehe


RU

http://www.hidayatullah.com/kajian-a-ibrah/gaya-hidup-muslim/12145-enyahkan-minta-minta-agar-tak-terhina

Enyahkan Minta-Minta, Agar Tak Terhina 
Saturday, 12 June 2010 16:00 

Hakekat kaya adalah yang mampu memberi, bukan mereka yang gemar menumpuk harta. 
Itulah karakter orang kaya

DI Madura ada sebuah desa yang penduduknya bekerja sebagai peminta-minta. Yang 
cukup mengagetkan, rumah-rumah mereka sangat mewah dan berkelas.

Fenomena mental peminta-minta, juga berkembang ke berbagai aspek. Di zaman 
sekarang, kadar dan jenisnya sudah mulai ada modifikasi dan perubahan.

Tidak terlalu sulit bagi kita untuk menjelaskan kondisi yang terjadi di 
lapangan. Banyak pemandangan, bagaimana masyarakat berduyun-duyun dan dan 
saling berebut untuk memperoleh bagian masing-masing, walaupun harus saling adu 
sikut. Bahkan,  terkadang nyawa pun dijadikan taruhannya hanya untuk sebuah 
kupon.

Peristiwa yang menewaskan beberapa warga yang berdesak-desakan untuk 
mendapatkan uang sedekah salah satu dermawan di Jawa Timur, pada bulan puasa 
beberapa tahun lalu, adalah bukti nyata akan hal ini. Untuk memperoleh uang 
kurang lebih Rp. 30.000, mereka rela berdesak-desakkan, yang pada akhirnya 
nyawa pun hilang tak terelakkan.

Di akui atau tidak, budaya meminta-minta memang tengah menjangkiti sebagian 
dari kita. Predikat sebagai warga miskin sepertinya suatu kebanggaan yang 
diperebutkan, karena akan mendapat bantuan. Tidak sedikit orang akan 
mencak-mencak ketika dirinya tidak terdaftar sebagai gakin sebagai syarat untuk 
mendapatkan BLT, atau lain sebagainya. 

Maka tidak mengherankan, ketika kita bepergian, terdapat di sana-sini pengamen, 
pengemis berseliweran. Belum selesai yang satu, sudah antri yang lain. Bahkan, 
di salah satu daerah di bumi pertiwi ini, terdapat satu desa yang menjadikan 
mengemis ataupun mengamen sebagai profesi hidup. Padahal, kalau kita perhatikan 
fisik dan anggota tubuh  mereka, terlihat masih kekar dan sehat, yang bisa 
dimanfaatkan untuk mengais rezeki dengan cara yang jauh lebih mulia, daripada 
meminta-minta. Dan yang membuat hati lebih sesak lagi, tidak semua mereka dalam 
keadaan futur sehingga mereka harus meminta-minta. Hal ini belum termasuk 
tingkah laku para pejabat yang tak jarang juga 'berteriak-teriak' untuk 
menuntut kenaikkan gaji, perlengkapan fasilitas, dan seterusnya.

Potret buram kondisi sosial ini, tentu sangat memprihatinkan. Sebab, bagaimana 
mungkin, Indonesia yang termasyur dengan negeri yang syarat akan kesuburan 
tanahnya, penduduknya yang mayoritas muslim, justru 'bangga' dengan 
menggantungkan hidup pada orang lain. Dan tentu saja, gaya hidup macam ini 
sangat bertentangan dengan ajaran yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Islam 
mengajarkan konsep memberi, bukan meminta. "Tangan di atas itu lebih baik 
daripada tangan di bawah," demikianlah sabda Rasulullah, yang artinya kita 
diperintahkan untuk membumikan konsep memberi, bukan meminta-minta.

Ancaman Allah

Dalam hal penciptaan makhluk, Allah telah menjadikan mereka dengan 
berpasang-pasangan. Ada malam dan siang, pria dan wanita, jantan dan betina, 
dan begitu seterusnya, termasuk adanya si kaya dan si miskin. Terhadap mereka 
yang benar-benar terpuruk masalah ekonomi yang memaksa mereka harus 
meminta-minta, maka Islam memberi lampu hijau bagi mereka, dengan catatan tidak 
menjadikannya sebagai profesi hidup.

Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu 'anhu, 
ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai 
Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu 
dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh 
meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang 
ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia 
mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup 
sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, 'Si fulan telah 
ditimpa kesengsaraan hidup,' ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran 
hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, 
dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram."

Jelas sudah bahwa pada dasarnya hukum meminta-minta tanpa landasan udzur yang 
telah dijelaskan di atas, merupakan perbuatan yang dilarang. Meskipun demikian, 
jangan sampai, karena alasan kita masuk dalam salah satu dari ketiga kategori 
tersebut, dengan seenaknya kita jadikan sebagai hujjah untuk melegalkan 
meminta-minta sebagai profesi hidup. Ingat, bagaimanapun alasannya, hakekat 
meminta-minta adalah perilaku yang akan mencederai kehormatan diri. Sabda 
Rasulullah yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu 'anhu, ia 
berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Minta-minta itu 
merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika 
seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat 
perlu." (HR. Tirmidzi)

Selanjutnya, terhadap mereka yang menjadikan meminta-minta sebagai wasilah 
untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan yang mendesak, maka Allah telah 
mengingatkan dengan peringatan yang tegas, melalui perantara lisan Rasulnya, 
"Siapa saja di antara kalian senantiasa meminta-minta, nanti ia akan datang 
pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya." (H.R. 
Bukhari, Muslim)

Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah 
Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda: "Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, 
maka seolah-olah ia memakan bara api; sehingga terserah padanya apakah cukup 
dengan sedikit saja atau akan memperbanyaknya." (HR. Muslim).

Berusaha dan Berkarakter Kaya

Dalam sebuah hadits yang diriwatkan oleh Abdullah bin Zubair dijelaskan  bahwa 
mencari kayu di hutan, kemudian menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, itu 
merupakan perkara yang jauh lebih mulia daripada harus meminta-minta. Hadits 
tersebut mengajarkan agar kita tidak mudah untuk menggantungkan hidup kepada 
orang lain. Tapi sejatinya, pola macam ini belumlah cukup untuk mencegah diri 
dari meminta-minta, dan itu bisa kita saksikan di tengah-tengah masyarakat kita 
saat ini, sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas.

Memiliki karakter orang kaya, juga merupakan suatu yang sangat penting dalam 
menanggulangi kasus ini. Orang kaya dalam kontek ini, bukanlah mereka yang 
memiliki segudang emas dua puluh empat karat. Sekalipun mereka memiliki itu 
semua, tetapi ketika kekikiran menyelimuti diri, dahaga akan harta semakin 
membahana, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang miskin. Hakikat orang 
kaya adalah orang yang mampu memberi, bukan mereka yang gemar menumpuk dan 
menumpuk harta, "Tidak disebut kaya karena banyak hartanya, tetapi yang disebut 
kaya (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa." (HR. Bukhari dan Muslim) 

Karakter macam inilah yang dibangun oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, 
sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menengadahkan tangan, meminta-meminta 
bantuan orang lain, sekalipun mereka dalam kesusahan. Abdurrahman bin Auf 
adalah salah satu contohnya. Memang, beliau adalah termasuk salah satu sahabat 
yang kaya raya. Namun perlu diperhatikan, ketika beliau berhijrah ke Madinah, 
kekayaan yang dimilikinya ditinggal di Mekkah. Setibanya beliau di Madinah, 
kemudian Rasulullah mempersaudarakannya dengan salah satu sahabat Anshor, Sa'ad 
bin Ar-Rabi'. Ketika itulah terlihat betapa Abdurrahman termasuk tipe orang 
yang tidak ingin merepotkan orang lain dengan cara menerima segala apa yang 
ditawarkan kepadanya.

Saat itu, sahabat Anshor tersebut memberinya tawaran agar ia (Abdurrahman) sudi 
menerima sebagian harta yang ia miliki, termasuk salah satu istrinya, apabila 
Abdurrahman berkenan. Namun apa yang dilakukan oleh sahabat mulia ini, beliau 
menolak dengan halus, dan meminta agar ditunjukkan pasar. Dengan kemahirannya 
dalam berniaga, akhirnya beliau mampu memperoleh apa yang pernah ia rasakan 
sebelum berhijrah, yaitu harta yang berlimpah ruah. Perilaku yang tidak jauh 
berbeda, juga ditunjukkan oleh para sahabat muhajirin lainnya, ketika 
memperoleh tawaran bantuan dari saudara-saudara mereka, sahabat-sahabat Anshar.

Karenanya, menanamkan konsep bahwa "tangan di atas itu lebih baik daripada 
tangan di bawah", setelah memiliki jiwa wirausaha, merupakan sesuatu yang 
sangat urgen dalam meninggalkan kebiasaan meminta-minta. Wallahu 'Alam 
Bis-Shawab. [Robin Sah/hidayatullah.com] 

<<1509487p.jpg>>

Kirim email ke