Bergembira pada waktu berbuka bukan hari raya bung, tetapi memang setiap hari 
shaum ketika berbuka. Makanya berbukalah dengan santai dan jangan 
tergopoh-gopoh 
baru seteguk minum air terus mau shalat. Siapa yang suruh kita seperti itu? 
Santai yang saya maksudkan tidak juga makan macam harimau lapar menyantap 
daging 
segar, he he.

Kalau kesenangan pada waktu berbuka kita sangkakan ketika hari raya tiba hingga 
terkesan bagi anda antara sedih dan gembira adalah keliru 180 derajad. Siapa 
sih 
yang senang berhari Raya kalau kaum dhuafa tak memiliki sarana apa-apa untuk 
bersenang-senang di hari Raya? Pergi dong sesekali ke menasah Acheh, hingga 
akan 
anda saksikan sebagian pemuda yang termasuk kaum dhuafa mengatakan: "Haimak 
kemanalah aku pergi hari ini ongkos buspun tak punya, eloklah awak tidur 
saja................"

Makanya persoalan kita Acheh-Sumatera sekarang ini bukan hari Raya tetapi kaum 
hipokrit yang mengaku beragama Islam dimana mereka bukan saja sanggup berhari 
Raya habis-habisan tetapi juga mereka di bulan Ramadhan senantiasa berbuka 
puasa 
di hotel-hotel bersama-sama kiyai gadongan.....

Mereka mengaku orang beriman sementara Allah mengatakan di ayat 8 surah 
Baqarah: 
"........wamahum bimukminin". Dari itu sebelum kita berbicara, berbuka denagn 
nikmatnya, berhari Raya- senang ketawa riya, marilah kita renungkan ayat 8 
baqarah dulu apakah kita masuk fenomena tersebut atau tidak......Andaikata kita 
termasuk fenomena tersebut, pastinya kita termasuk golongan yang diperingatkan 
Rasulullah: " Betapa banyak orang yang berpuasa namun mereka tidak mendapatkan 
apa-apa kecuali lapar dan dahaga"..........

Hadist tersebut diatas tidak hanya mengandung makna tersurat tetapi juga 
tersirat..........betapa banyak wanita yang tutup aurat tetapi sesungguhnya 
mereka belum tutup aurat............betapa banyak orang yang shalat tetapi 
sesungguhnya mereka belum shalat. Dalam surah al Ma'un malah "kebanyakan" orang 
yang shalat itu pendusta agama.   Fenomena ini sebetulnya ada kaitan juga 
dengan 
permasalahan yang diangkat di perguruan dalam system Hindunesia hingga mereka 
hanya mampu mendeteksi sebatas permasalahan yang muncul kepermukaan. Mereka 
hanya mampu mendeteksi kesalahan para mahasiswanya saja paling banter si 
intelektual mengatakan itu ada kaitannya dengan birokrasi perguruan itu sendiri 
akustan tetapi tidak mampu melihat akar permasalahan yang lebih dalam lagi, 
yaitu system yang hipokrit........

Kembali kepermasalahan pokok.......Kebanyakan yang senang berhari Raya itu 
mereka yang telah meraih kesenangan diatas penderitaan kaumm dhuafa Acheh. 
Justeru itu kita sebagai korbannya jangan terlalu antusias berbicara "hari 
Raya"................
(Angku awegeutah di Ujung Dunia)





________________________________
From: Ibrahim Ahmad <beura...@yahoo.com>
To: ia...@yahoogroups.com
Sent: Fri, September 3, 2010 9:53:40 AM
Subject: Re: |IACSF| Mari Berhari Raya Dengan Lebih Syar’i

  
Benar sekali. Ada dua kegembiraan bagi orang berpuasa. Namun, bagi orang yang 
tidak bepuasa juga ada kegembiraaannya, yakni mereka Gembira karena kajeut 
lantak makanan cot uroe secara terang-terangan.

Semoga kita berada dalam barisan orang-orang yang mencapai kemenangan karena 
berpuasa, amin  


--- On Fri, 9/3/10, irmansyah ibrahim irman <bung_ir...@yahoo.com> wrote:


>From: irmansyah ibrahim irman <bung_ir...@yahoo.com>
>Subject: |IACSF| Mari Berhari Raya Dengan Lebih Syar’i
>To: ia...@yahoogroups.com
>Date: Friday, September 3, 2010, 11:42 AM
>
>
>  
>Kolom Opini Harian Aceh edisi 3 September 2010
>
> -- Semoga bermanfaat
>
>  
>Mari Berhari Raya Dengan Lebih Syar’i
> 
>Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim 
> 
>Hanya beberapa hari lagi kita akan berhari raya. Ramadan yang selalu dirindui 
>perlahan-lahan akan kita tinggalkan. Perasaan kitapun semakin tak menentu, 
>berbaur antara sedih dan gembira. Sedih meninggalkan Ramadan, dan gembira 
>menyambut hari raya. Rasulullah dalam sebuah hadistnya pernah bersabda, 
>"Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan, gembira ketika 
>berbuka (berhari raya) dan gembira ketika bertemu dengan Tuhannya ".
> 
>Di kampung saya, Ramadan adalah bulan yang dinanti-nantikan. Inilah hari-hari 
>di 
>mana kami bergembira dengannya. Gembira ketika berbuka di setiap 
>harinya—karena 
>ditunggu oleh semeja hidangan—dan gembira saat memasuki hari raya setelah 
>mengakhiri sebulan lamanya puasa. Kami selalunya membagikan Ramadan menjadi 
>tiga 
>bagian utama; hari-hari ibadat, wot meuseukat(buat kue) danhareukat(cari 
>uang). 
>“Sedikit sama†dengan pembagian yang dilakukan oleh Rasulullah; “Sepuluh 
>pertama 
>adalah rahmat, kedua ampunan dan sepuluh terakhir merupakan pembebasan dari 
>api 
>nerakaâ€. 
>
> 
>Saya kira tiga fenomena di atas tidak hanya terjadi di tempat saya, tetapi 
>sudah 
>begitu membumi di Aceh. Ibadah itu terasa benar-benar dilakukan hanya pada 
>awal 
>Ramadan saja. Di mana kalau malam harinya, mulai dari anak-anak sampai kakek 
>nenek berduyun-duyun ke mesjid dan surau. Bahkan di tempat-tempat tertentu 
>panitia Ramadan harus membentangkan tikar dan tenda tambahan di luar mesjid 
>untuk menampung jumlah jamaah yang tak lazim dari biasanya. Namun hanya 
>sekitar 
>sepuluh malam atau lebih sedikit, jumlah yang spektakuler tadi tiba-tiba 
>menghilang dan tak pernah kembali lagi. Konsentrasi dan fokus Ramadan kini 
>berubah, dari ibadat menuju wot meuseukatdan hareukat. 
>
> 
>Menyambut Hari Raya
> 
>Suasana gembira menyambut hari raya jauh lebih kentara dan sangat kontras jika 
>dibandingkan dengan kegembiraan saat menyambut Ramadan. Saya yakin ini adalah 
>bagian dari warisan guru-guru dan orang tua kita. Nabi menjanjikan kebaikan 
>kepada mereka yang bergembira dengan kedatangan Ramadan, tetapi kita tak 
>pernah 
>mendengar atau membaca ada hadist menjanjikan hal yang sama bagi yang 
>bergembira 
>karena hari raya. Bahkan yang sering kita dengar adalah hadist-hadist 
>semisal,‘langit dan bumi menangis apabila Ramadan berganjak pergi’. Tetapi 
>lihatlah kini apa yang terjadi dengan umat ini ketika berada di penghujung 
>Ramadan. 
>
> 
>Pasar, kalau awalnya hanya dipenuhi dengan makanan untuk berbuka, kini 
>bertambah 
>dengan aneka ragam kue untuk hari raya. Bukan hanya penjaja makanan, sejumlah 
>pemilik toko pakaian, sekaranglah saatnya untuk panen. Kalau di hari-hari 
>biasa 
>hanya mampu menjual beberapa potong pakaian, barangkali kini bisa laku 
>berkodi. 
>Begitu juga dengan sejumlah penjual dan berbagai jenis jualan lainnya, dari 
>hal-hal kecil sampai yang besar. Dari mercun, terompet, video CD, sampai pada 
>alat-alat bangunan, semuanya laris manis. 
>
> 
>Inilah waktu buat sebagian kita untuk mencari uang sehingga bisa survive di 
>hari 
>raya. Dan tentu semua diuntungkan, baik itu pembeli maupun penjual, semua 
>bergembira. Senang hati sebentar lagi akan hari raya. Penjual senang barangnya 
>laku keras, dan pembelipun tak ketinggalan. Lihatlah, mulai dari toples baru, 
>gorden baru, sofa dan kursi tamu baru, bahkan rumahpun dicat dengan warna 
>baru. 
>Oh ya… satu hal yang tidak boleh ketinggalan, semua berpakaian baru, minimal 
>satu orang satu pasang, kalau tidak dua, atau tiga. Bahkan yang lebih dahsyat 
>lagi, bagi yang memiliki banyak uang ia akan menggantikan kendaraan baru. 
>Jelasnya semua serba baru begitu hari raya tiba. 
>
> 
>Saya jadi bertanya-tanya, beginikah Islam mengajarkan kita dalam menyambut dan 
>mempersiapkan hari raya? Siapa yang telah mengajarkan kita tentang semua ini? 
>Ketika orang-orang saleh bersedih karena Ramadan pergi, kita malah bergembira. 
>Barangkali ada yang bertanya, apa tidak boleh bergembira dengan kedatangan 
>hari 
>raya? Saya katakan, bergembira di hari raya merupakan suatu yang sangat 
>dibolehkah. Tetapi persoalannya adalah, adakah bergembira itu dengan cara 
>menghambur-hamburkan sejumlah uang? Membeli hal-hal yang sesungguhnya hanya 
>untuk semata-mata pamer dan bermewah-mewah?
> 
>Islam tidak melarang kita bergembira di hari raya, tetapi haruskah kegembiraan 
>itu dengan sepasang dua baju dari toko, atau haruskah dengan berkain sarung 
>baru? Sementara masih banyak pakaian di lemari yang masih baru-baru. Memang 
>disunnahkan menggunakan pakaian baru, tetapi haruskah yang baru dibeli 
>kemarin? 
>Makna pakaian baru adalah pakaian yang tidak lusuh. Kita harus memahami 
>kondisi 
>masa Rasulullah. Sahabat nabi kebanyakannya miskin-miskin dan hidup susah. 
>Terkadang mereka hanya memiliki dua atau tiga potong pakaian untuk seumur 
>hidupnya, compang camping dan tertambal di sana sini. Inilah pakaian 
>keseharian 
>mereka.  Coba bandingkan dengan kita hari ini, seorang memiliki selemari 
>pakaian, atau bahkan lebih, tetapi masih juga tiap lebaran mau menggantikan 
>dengan yang baru. Tidakkah ini suatu bentuk bermewah-mewah yang dilarang oleh 
>Islam? 
>
> 
>Sungguh sesuatu yang memilukan ketika kita berkunjung ke rumah-rumah orang 
>yang 
>tak mampu, mereka sering berucap, ‘alah hai neuk, hana sapeu na pih uro raya 
>nyo’ (aduh hai nak, tidak ada apa-apa hari raya ini). Sambil menuangkan teh 
>dan 
>menyuguhkan beberapa potong kue, kalimat di atas keluar begitu saja dari mulut 
>seorang wanita separuh baya. Iapun bercerita tentang kurangnya belanja yang 
>dimiliki sehingga hanya mampu menyediakan sedikit makanan dan minuman. Terus 
>terang saya sedih melihat ibu ini, tetapi bukan karena kurangnya makanan yang 
>ia 
>miliki, sama sekali bukan. Saya sedih karena budaya kita berhari raya yang 
>salah 
>telah membuat si ibu ini jadi sedih dengan keadaannya, di mana sepatutnya ia 
>tak 
>perlu sedih, karena hakekatnya ia tak kurang dari suatu apapun.  
>
> 
>Budaya berhari raya dengan hidangan makanan yang beraneka rasa, baju baru yang 
>mungkin tak hanya sebatas baru tetapi juga berkelas dengan merek yang ‘wah’, 
>rumah baru mungkin, dan juga kendaraan baru, atau paling tidak diperbaharui 
>pada 
>saat lebaran tiba, sungguh telah mengubah pandangan masyarakat terhadap 
>perayaan 
>hari raya. Orang-orang kini akan bersedih jika berhari raya tanpa “berbaju 
>baru†
>dan sejumlah hal lainnya seperti yang kita contohkan di atas. Dan sebaliknya, 
>kegembiraan di hari raya begitu sempurna bagi mereka yang memiliki itu semua. 
>Inilah yang dirasa oleh si ibu tadi, perasaan kekurangan dan kesedihan. 
>Padahal 
>gembira atau duka di hari raya ukurannya bukanlah pada terpenuhi tidaknya 
>materi 
>tersebut.
> 
>Sikap Kita di Hari Raya; Bagaimana Seharusnya? 
> 
>Pemahaman yang salah terhadap makna dan esensi hari raya tidak hanya terjadi 
>dalam bentuk persiapan berupa ‘meterial’ berhari raya tetapi juga berembes 
>pada 
>sikap kita dalam hal-hal lainnya saat berhari raya itu sendiri. Mulai dari 
>SMS-an dengan berbalas pantun hinggalah jak u laoet (piknik ke pantai) bagi 
>pasangan muda-mudi. 
>
> 
>Sebuah realita baru yang kini selalu hadir di depan mata. Tekhnologi yang 
>sejatinya diciptakan untuk kebaikan dan kemaslahatan, bertukar menjadi padah 
>dan 
>bencana. Persis seperti kasus ureung gampoeng tren u kota (orang desa turun ke 
>kota). Inilah yang terjadi dengan kebanyakan masyarakat Aceh sekarang, “shock 
>culture†ketika dihadapkan dengan budaya luar sekaligus baru. Terkejut dan 
>gamang dengan hal-hal yang sebelumnya tak pernah dialaminya. Tidak sedikit di 
>antara kita yang dulunya tak pernah bersentuhan dengan telephone kini 
>menggunakan HP. Tak pernah mendayung sepeda tiba-tiba dibelikan ‘motor’ oleh 
>orang tuanya yang juga baru bersentuhan dengan modernisasi dan tekhnologi. 
>Maka 
>penyalahgunaanpun kerap terjadi. Tak ubahnya seperti kehadiran televisi dan 
>internet yang sebenarnya diciptakan untuk wadah informasi berubah menjadi 
>media 
>hiburan. Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia menjadi 
>negara yang paling banyak pengakses web-web porno. Subhanallah!
> 
>Terkait dengan perayaan hari raya, ber-SMS bukanlah hal yang buruk, tetapi 
>menjadi suatu yang tidak baik ketika kita memadai dengan ber-SMS. Berbeda 
>kalau 
>memang jauh dan tak mungkin untuk berjumpa, maka SMS adalah solusinya. Karena 
>sesungguhnya, menziarahi saudara, handai taulan dan kawan karib dengan 
>menyalaminya dan bertemu muka takkan pernah tergantikan nilainya dengan hanya 
>berpantun dan berucap salam lewat SMS, baik dari sisi ikatan emosional, maupun 
>pahala yang kita dapat dari Allah. Namun karena sudah di-SMS maka kawan atau 
>saudara dekat sekalipun, yang rumahnya tak seberapa jauh dari tempat tinggal 
>kita, setapakpun tak tergerak langkah untuk mengunjunginya. Atau barangkali 
>persaudaraan kini sudah berubah maksud dan makna? Persaudaraan dan 
>persahabatan 
>adalah kepentingan, tak ada kepentingan maka cukup di-SMS saja. Lalu bagaimana 
>dengan nyakwa, mabit, mayek, cutpo dan cutnek di kampung? Di-SMS tidak, 
>diziarahipun tidak. Astaghfirullah!
> 
>Anak muda lain pula ceritanya, dengan kemudahan transportasi “ciri kemajuanâ€, 
>lebaran menjadi hari pelampiasan nafsu dan birahinya. Memboncengi gadis yang 
>bukan muhrimnya dan melaju dengan kecepatan tak terkontrol yang seakan-akan 
>jalan milik mereka berdua kini menjadi pemandangan lumrah dan tak ada 
>seorangpun 
>yang marah dengan ‘bid’ah’ dan perbuatan haram ini, kecuali saat mereka 
>mengusik 
>kenyamanan kita, baik di jalan maupun di tempat yang lain. Kita sebagai orang 
>tua diam seribu bahasa dengan prilaku dan akhlak kotor mereka. Barangkali 
>karena 
>kita dulu juga mengalami hal yang sama dengan apa yang kini dilakoni oleh 
>anak-anak kita. Nauzubillah! 
>
> 
>Hari raya adalah hari bertakbir, memuji dan bersyukur kepada Allah atas 
>kejayaan 
>dan keberhasilan kita melewati sebulan penuh puasa dan qiyamullail di bulan 
>Ramadan. Patutkah orang yang sebulan penuh dalam suasana ibadah, lalu 
>tiba-tiba 
>berubah menjadi sekotor-kotor manusia dengan sejumlah perangai buruk seperti 
>yang kita contohkan di atas? Apakah selama ini kita menyucikan diri hanya 
>untuk 
>dikotori kembali begitu hari raya tiba? Ramadan mengajarkan kesederhanaan, 
>begitulah hekdaknya berterusan hingga hari raya, bahkan sepanjang hidup kita. 
>Umat Islam dituntut sederhana dalam segala hal, tanpa kecuali. Inilah ciri dan 
>cara hidup orang muttaqin. Renungkanlah, mengapa begitu sehari kita berhari 
>raya 
>keesokannya kita langsung disunnahkan kembali untuk puasa. 
>
> 
>Jadikanlah hari raya ini sebaik-baik hari raya yang pernah kita rayakan. 
>Kunjungilah saudara-saudara kita yang tua-tua, orang-orang lemah di antara 
>kita, 
>guru-guru yang dulu mengajarkan kita berhitung dan membaca, sayangilah mereka 
>semua. Hari raya adalah hari di mana kita tak hanya berbagi harta (zakat 
>fitrah) 
>tetapi juga berbagi rasa dan kasih sayang. Siapa yang menyayangi orang-orang 
>di 
>bumi, ia akan disayang oleh yang di langit. Begitu makna salah satu hadist 
>Rasulullah. WallahuA’lam, selamat hari raya Aidil Fitri, Mohon Maaf Lahir dan 
>Batin.  
>
> 
>* Muhammad Syahrial Razali Ibrahim Lc MA adalah Teungku Balee di Lhokseumawe
> 
> 
> 
>  
> 

 


      

Kirim email ke