Catatan Menyambut Matahari Pagi:

SURAT TENTANG SASTRA KEPADA ANAS AGE [3].

Terlebih dahulu, saya minta maaf kepada Anas Age karena mengumumkan suratnya yang 
dikirimkan kepada saya melalui japri. Surat ini saya umumkan karena masalah yang 
dikemukakan oleh Anas Age [selanjutnya saya sebut Anas] menyentuh masalah-masalah di 
luar japri tapi layak jadi pertimbangan bersama. Lengkapnya surat Anas itu berbunyi 
sebagai berikut:

"Dear JJ Kusni,

Saya tergelitik dengan kalimat  kedua dari paragraf kedua komentar Anda tentang 
pengumbaran hubungan ranjang yang terdapat pada sementara angkatan 1990-an. Saya jadi 
teringat kata-kata Pram bahwa menjadi sastrawan harus mempunyai misi sebagai tugas 
dunia. Dalam pemahaman saya, tugas dunia adalah tidak tercerabut dengan dunia atau 
realitas di sekitarnya. Pram dengan sangat baik telah membuktikan pada karya-karyanya 
yang mengangkat tema humanisme. Begitu pula dengan Umar Kayam yang menulis Bawuk, Sri 
Sumarah, Para Priyayi. Kayam dengan empati yang luar biasa besar kepada korban 
kekejaman militer pada era setelah tahun 1965. Jarang sekali karya sastra ditemukan 
tema-tema seksuil pada era tahun 1960-an hingga 1980-an. 

Dan kini perubahan dunia begitu cepat. Isu-isu feminisme yang diusung oleh beberapa 
negara di Barat telah masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah isu-isu tentang tubuh 
perempuan. Tentang tubuh perempuan ini, Simon de Bevoir dengan cermat menulis dalam 
Second Sex. Tema-tema tubuh perempuan inilah yang dieksplorasi oleh penulis-penulis 
perempuan seperti Dinar Rahayu, Ayu Utami, Jenar Maesa Ayu. Saya sepakat bila para 
penulis perempuan ini sebenarnya sedang mengadakan "perlawanan" dengan tubuhnya 
sendiri terhadap gempuran kapitalisme, atau melawan patriarki.

Salam,

Anas"



Alinea pertama surat Anas yang berbunyi: 

"Saya tergelitik dengan kalimat  kedua dari paragraf kedua komentar Anda tentang 
pengumbaran hubungan ranjang yang terdapat pada sementara angkatan 1990-an. Saya jadi 
teringat kata-kata Pram bahwa menjadi sastrawan harus mempunyai misi sebagai tugas 
dunia. Dalam pemahaman saya, tugas dunia adalah tidak tercerabut dengan dunia atau 
realitas di sekitarnya. Pram dengan sangat baik telah membuktikan pada karya-karyanya 
yang mengangkat tema humanisme. Begitu pula dengan Umar Kayam yang menulis Bawuk, Sri 
Sumarah, Para Priyayi. Kayam dengan empati yang luar biasa besar kepada korban 
kekejaman militer pada era setelah tahun 1965. Jarang sekali karya sastra ditemukan 
tema-tema seksuil pada era tahun 1960-an hingga 1980-an"

kukira telah mengangkat beberapa soal yaitu: [1] "Jarang sekali karya sastra ditemukan 
tema-tema seksuil pada era tahun 1960-an hingga 1980-an"; [2]. tugas sastrawan; dan 
[3].korban kekejaman militer pada era setelah tahun 1965.


[2]. Tugas Sastrawan:

Tentang masalah ini, Anas Age menulis:

"Saya jadi teringat kata-kata Pram bahwa menjadi sastrawan harus mempunyai misi 
sebagai tugas dunia. Dalam pemahaman saya, tugas dunia adalah tidak tercerabut dengan 
dunia atau realitas di sekitarnya. Pram dengan sangat baik telah membuktikan pada 
karya-karyanya yang mengangkat tema humanisme". 


[2.1]. Sebelum memasuki masalah ketiga dari kerangka sistimatika di atas, aku masih 
ingin meluaskan soal  hubungan realita dan imajinasi dengan mengambil contoh-contoh 
cerita Jules Verne seperti "Melawat Ke Dasar Bumi" atau ke planet-planet ruang 
angkasa. Di sini permasalahanku berangkat dari hipotesa bahwa setelah mengamati 
kehidupan bumi di mana si penulis hidup, ia mengembangkan bayangannya akan keadaan di 
wilayah-wilayah lain. Barangkali demikian pulalah tokoh Gatokaca, Antareja yang lahir 
sebelum tingkat tekhnologi melahirkan pesawat terbang dan metro [keretaapi bawah 
tanah], sistem perang terwongan seperti yang dikembangkan di Vięt Nam Selatan pada 
masa perang melawan agresi imperialisme Amerika Serikat, sastrawan melambungkan 
khayalannya dengan satu pengandaian melalui tokoh-tokohnya.  Tokoh-tokoh  baru ini 
kukira diolahnya atas dasar kenyataan di sekitarnya. Bahwa tokoh-tokoh dan 
keadaan-keadaan yang dilukiskannya pada periode tertentu bersifat khayali, barangkali 
watak khayali ini salah satu ujud dari sifat pembidas [avant-garde] kreativitas 
sastrawan. Karya sastra, kukira adalah ruang di mana kenyataan dan khayalan 
bercampur-baur. Khayalan adalah unsur yang dimaksimalkan penggunaannya oleh sastrawan 
dalam profesinya. Tapi khayalan itu sendiri mempunyai akarnya di kenyataan, terutama 
keadaan sosial. Perbedaan latar sosial ini sering melahirkan wajah khayalan 
berbeda-beda sehingga seperti dikatakan oleh Marc Augé, antropolog Perancis, dalam 
dunia sastra-seni ada yang disebutnya "perang khayal", "perang citra", "perang 
imajinasi". 

Imajinasi muncul karena pengenalan akan kenyataan. Imajinasi merupakan ruang elastis 
bagi pertumbuhan kreativitas yang bisa dikatakan sebagai "kenyataan baru". Paling 
tidak sebagai sesuatu yang diharapkan. Roland Barthe dan banyak tokoh lain sudah 
membahas masalah ini lebih jauh dan rinci.Barangkali dalam artian ini pulalah kukira, 
makna "pahlawan" dalam karya. 


[2.2]. Di alinea yang sama yang kukutip di atas, Anda juga menulis:"Pram dengan sangat 
baik telah membuktikan pada karya-karyanya yang mengangkat tema humanisme".


Di titik aku ingin sedikit berkomentar tentang istilah "tema humanisme" yang Anda 
gunakan. Tema adalah masalah yang diolah sastrawan dalam karyanya. Sedangkan 
"humanisme" kukira menunjukkan kepada jurusan akhir  yang menjadi inti pesan sastrawan 
melalui tema garapan. Humanisme adalah sebuah isme yang beda dengan tema sebagai bahan 
mentah. Dengan kata lain, humanisme bisa dikatakan sari pesan yang disampaikan melalui 
karya itu. Sebagai isme, humanisme bukanlah kata sifat tapi kata benda. Pembedaan ini 
aku angkat dengan harapan agar dalam menggunakan istilah sebagai bagian dari cara kita 
berbahasa, barangkali kita perlu cermat. Karena kata,  istilah, ungkapan dalam bahasa, 
bukan tidak mempunyai makna. Masalah kecermatan berbahasa dan kesadaran bahasa, kukira 
menjadi lebih-lebih lagi dituntut pada seorang yang bekerja dengan menggunakan alat 
bahasa seperti sastrawan, termasuk peneliti atau pengamat.Kata, istilah mengandung 
muatan ide dan perasaan tertentu. Misalnya: Kata-kata seperti Anda, kau, tuan, bapak, 
saudara, Bung, kukira mempunyai muatan ide, perasaan  dan sikap tertentu. Seberapa 
jauh kecermatan berbahasa dan kesadaran berbahasa Indonesia di Indonesia dan di 
kalangan orang Indonesia sekarang? Apa arti, ada tidaknya, besar kecilnya hal-hal ini 
bagi perkembangan budaya, khususnya sastra kita? Sejajar dengan pertanyaan -pertanyaan 
ini, pertanyaan berikutnya: Mau kita apakan bahasa nasional kita? 


Dari dasar ini aku ingin bertanya apa yang Bung maksudkan dengan "tema humanisme"? 


[3]. Korban Kekejaman Militer Pada Era Setelah Tahun 1965. 

Di titik ini, Anas menulis: 

"Begitu pula dengan Umar Kayam yang menulis Bawuk, Sri Sumarah, Para Priyayi. Kayam 
dengan empati yang luar biasa besar kepada korban kekejaman militer pada era setelah 
tahun 1965".


Tentang masalah ini aku ingin menambahkan beberapa hal berikut: 


[3.1]. Hutang Sastrawan: Aku kira sastrawan Indonesia banyak berhutang kepada sejarah 
dan mereka diburu oleh sejarah untuk membayar hutang sejarah mereka. 


Apakah yang kumaksudkan? Kita ambil saja beberapa periode besar dalam sejarah Republik 
Indonesia: Periode Revolusi Agustus 1945, Periode RIS, Periode RI dari periode 
demokrasi liberal sampai demokrasi terpimpin, periode Orba dan pasca Orba. Berapa 
banyak karya-karya sastra yang sudah ditulis tentang periode-periode itu? Sebandingkah 
dengan tuntutan sejarah pada sastra? Barangkali tidak. Ketidaksebandingan inilah yang 
kumaksudkan sebagai "hutang sejarah sastrawan" dan bahwa sastrawan diburu serta 
dikejar oleh sejarah untuk membayar "hutang" mereka. 


Aku memang belum membuat statistik tentang hal ini. Yang kulakukan sebatas mengikuti 
karya-karya di koran dan yang telah diterbitkan sebagai buku oleh berbagai penerbit. 
Dari ikutan ini, terkesan padaku bahwa hutang sejarah ini makin besar dan tertunda 
pembayarannya ketika sibuk bicara tentang diri sendiri. Makin tertunda ketika Orba 
melakukan politik depolitisasi. Sebab hakekatnya bicara masalah sejarah suka tidak 
suka kita tidak bisa lepas dari bicara keadaan politik pada periode-periode sejarah 
tersebut di atas. Bagaimana kita mungkin bicara sejarah dengan sungguh-sungguh jika 
kita anti politik, tidak paham politik, melepaskan kehidupan dari politik? Padahal 
peranan politik sangat besar mempengaruhi orang-perorang di sebuah negara dan negeri. 
Misalnya seperti yang diperlihatkan oleh kehidupan para korban Tragedi Nasional 
September 1965 atau kehidupan Kaisar Pu Yi di Tiongkok. 


Hal lain ketika kita mencoba berbicara soal politik, kita tidak bisa membebaskan diri 
dari rupa-rupa penjara pikiran dan mentalitas, terutama bagi angkatan yang tumbuh pada 
masa Orba. Ketika berada di Indonesia atau ketika berbicara dengan orang-orang di 
Indonesia dari berbagai kalangan, tidak jarang kudapatkan, orang-orang Indonesia dari 
angkatan dan kalangan masih berada di sekapan penjara penjara pikiran dan metalitas 
tertentu sehingga tidak bisa menjadikan diri mereka sebagai anak manusia merdeka yang 
berpikir merdeka. Pola pikir dan mentalitas "kambing hitam" masih cukup berdominasi di 
negeri ini. Pengetahuan sejarah ilmiah dan politik pun tidak padan dengan tuntutan 
sejarah dan tagihan sejarah. Apalagi untuk menjawab pertanyaan: Quo Vadis? Mau ke mana 
dan bagaimana? 


Dalam situasi begini yang paling gampang adalah berkutat dengan diri sendiri.Kehampaan 
dan kebingungan menumbuhkan kesukaan hantam kromo, pukul kiri pukul kanan yang sangat 
agresif, maki-maki disetarakan dengan debat ide, tanpa niat mencari "kebenaran dari 
kenyataan". Beberapa ungkapannya  barangkali pada kesibukan menangis cinta yang putus, 
mengeksploatasi adegan hubungan ranjang atas nama ini dan itu, dan lain-lain....  
Berangkat dari keadaan demikian dan setelah membaca karya-karya , misalnya tentang 
"korban kekejaman militer pada era setelah tahun 1965" yang disebut oleh Anas Age 
dalam suratnya, aku selalu waspada dan membedakan antara tema dan sikap serta pesan 
akhir penulis. Tema tidak menentukan pemahaman baik dan sikap terhadap "korban 
kekejaman militer pada era setelah tahun 1965", termasuk ketika membaca karya-karya 
Umar Kayam, Ngarto, Yudisthira dan lain-lain penulis. Yudisthira misalnya dalam novel 
"Mencoba Tidak Menyerah", mencoba menunjukkan simpatinya kepada korban Tragedi 
Nasional September 1965. Tapi kukira dengan menilai korban  Tragedi tersebut sebagai 
"mencoba tidak menyerah", Yudisthira terpleset dalam menilai. Apakah bagi para korban 
itu tersedia peluang "coba-coba untuk tidak menyerah" ataukah harus tidak menyerah? 
Mengapa hidup harus coba-coba apalagi jika berhadapan dengan ajal? Nampak dari judul 
"mencoba tidak menyerah" , Yudisthira jauh dari penghayatan tema dan permasalahan. Ia 
tidak lebih dari penunggang kuda yang melihat bunga saja dari punggung kudanaya. 
Demikian juga halnya dengan Ngarto melalui novel "Tapol"nya yang berakhir langsung 
atau tidak melecehkan para tapol. Ketika mengolah tema pertempuran Surabaya, 10 
Nopember 1945, Idrus dalam cerita Surabaya-nya menyebut pejuang-pejuang kemerdekaan 
sebagai "koboi-koboi" walaupun memang ada di antara mereka yang "koboi-koboian". Di 
sini kita sampai pada masalah tokoh tipikal dalam sastra. Perlu tidaknya tokoh tipikal 
bernama pahlawan dalam suatu karya. Atau kita tidak memerlukan pahlawan? 


Dari beberapa contoh yang sedikit di atas, akhirnya aku sampai pada kesimpulan, bahwa 
untuk menggarap sebuah tema sesuai dengan prinsip "mencari kebenaran dari kenyataan", 
barangkali ada baiknya sastrawan mengenal benar temanya untuk tidak terperosok pada 
blunder secara tidak sadar. Blunder lebih gampang terjadi oleh adanya latarbelakang 
sejarah politik depolitisasi di negeri ini. Adanya latarbelakang ini pula yang 
menyebabkan masih ada redaksi harian dan majalah yang digalaui oleh phobia, ujud dari 
kelemahan diri sehingga sukarela membiarkan diri terpenjara oleh "ketakutan" 
membiarkan kebebasan berpikirnya ludes.



Paris, Nopember 2004.
-------------------------------------------------
JJ. Kusni. 


[Bersambung.....]

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke