http://www.sinarharapan.co.id/berita/0502/19/opi01.html
Pers dalam Struktur Kekuasaan Pasar Oleh Triyono Lukmantoro Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada peringatan Hari Pers Nasional 2005 di Pekanbaru, Riau, menegaskan bahwa pada masa pemerintahannya pers tidak akan dikekang dan pemerintah tidak akan melakukan pembredelan terhadap media massa. Namun, ketika pers tidak lagi dikontrol oleh mekanisme pembredelan yang dijalankan negara, benarkah secara otomatis pers memiliki ruang gerak yang lebih bebas? Pertanyaan tersebut selalu relevan untuk dikemukakan untuk menyoroti kondisi pers aktual. Selain itu, pada aspek yang lain, pihak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pun menyatakan akan memberlakukan Undang-Undang Pers sebagai produk hukum yang berlaku sebagai lex specialis. Ini berarti terhadap setiap kasus hukum yang dikenakan kepada pekerja pers, tidak diberlakukan lagi hatzaai artikelen (pasal-pasal karet dari produk hukum kolonial) yang dapat menjebloskan jurnalis ke penjara. Denda dalam bentuk pembayaran uanglah yang justru akan membatasi ruang gerak kalangan pekerja pers. Negara selama ini memang selalu dijadikan sebagai "Sang Terdakwa" dalam setiap kasus hukum yang menimpa pers. Jelas, ini semua akibat pekerja pers belum lepas dari trauma yang berhasil ditebarkan rezim otoriter-militeristik Orde Baru. Juga, akibat para pelaksana (bukan penegak!) hukum sekarang ini masih sering menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara real dapat membelenggu pekerja pers. Namun, sudah selesaikah semua pembatasan terhadap pers jika negara surut menjalankan intervensinya serta lex specialis segera diterapkan? Artinya, benarkah kekuasaan negara dan lex specialis menjadi panacea (obat mujarab untuk menyembuhkan semua penyakit) dalam setiap kasus hukum yang dihadapi pers? Jawabannya, dengan tegas, harus dinyatakan tidak! Sebabnya adalah kebebasan pers selalu berada di bawah struktur kekuasaan yang melingkupinya. Ini berarti kebebasan pers tidak pernah merealisasikan dirinya secara eksistensial, melainkan secara struktural. Sehingga, struktur kekuasaanlah yang pada prinsipnya menjadi komponen utama dalam menentukan ruang gerak kebebasan pers. Apabila selama rezim Orde Baru berkuasa, struktur kekuasaan (power structure) itu sangat dideterminasikan oleh negara (state), maka setelah Soeharto luruh dari kekuasaannya, struktur kekuasaan yang menentukan pers adalah pasar (market). Pada problem inilah kita harus mampu mengevaluasi keberadaan institusi pasar dengan kritis. Hal itu dikarenakan bahwa pasar bukanlah sekadar sebagai situs (tempat) untuk melakukan transaksi antara pihak penjual dan pembeli. Pasar bagi kalangan penganut liberalisme, yang bertumpu pada doktrin pertarungan bebas (free fight), memang menjanjikan kebebasan. Tetapi, sebenarnya, pasar tidak dengan sendirinya memberikan jalan yang demokratis. Sebab, bukankah para pelaku dalam pasar pers selalu memiliki modal dan kemampuan yang tidak pernah berimbang? Darwinisme Sosial Seluruh kalkulasi yang berfondasikan pada paham liberalisme, pada titik kulminasinya, mendorong pers untuk terjerembab dalam proses evolusi gaya Darwinisme sosial (social Darwinism). Apa maksudnya? Dalam pasar pers, yang muncul tidak lain adalah lembaga-lembaga korporasi (perusahaan) pers yang akan saling bertarung untuk merebut kehidupan (struggle for life). Namun, hanya korporasi yang paling kuat dari aspek permodalannya yang pada akhirnya keluar sebagai pemenang dan mampu mempertahankan keberadaannya (survival of the fittest). Implikasi lebih jauh dari itu adalah di antara pekerja pers, akibat dipaksa untuk menjalankan kompetisi, selalu dihinggapi egoisme dan kemerosotan solidaritas. Apalagi, bukankah sejumlah institusi profesional bagi kalangan jurnalis selama ini hanya mengurusi problematik kinerja dan kualifikasi jurnalistik belaka? Apakah nasib dan solidaritas di antara jurnalis sendiri akibat terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), misalnya, juga menjadi bagian yang diperjuangkan? Tampaknya, memang, belum terpikirkan. Bahkan, organisasi profesi bagi kalangan jurnalis tampaknya masih mengidap romantisme politik yang diwariskan rezim Orde Baru. Seharusnya lembaga organisasional yang melindungi para jurnalis sudah melepaskan diri dari belenggu romantis-traumatik itu. Sebab, dalam realitasnya, jurnalis yang divonis bersalah oleh pengadilan tidak lagi dapat diberi predikat sebagai hero (pahlawan) yang melawan kalangan tiran, melainkan tidak lebih sebagai kriminal (penjahat) murni. Selain itu, pasar pula yang pada akhirnya menjadi penentu karakter bagi keberlanjutan interaksi antara pers dengan masyarakatnya. Hal ini bermakna bahwa jurnalis tidak lebih sekadar sebagai buruh yang bekerja bagi pemilik modal. Ketika jurnalis berperan sebagai buruh, maka yang paling menentukan kehidupannya adalah kalangan pemilik modal. Dan, karena jurnalis sudah disesaki oleh berbagai perhitungan yang bercorak kapitalistik, maka jurnalis dalam melihat dan memberlakukan masyarakat pun tidak lebih sebagai pasar sasaran (target market). Masyarakat pun diposisikan sebagai konsumen dengan perhitungan jurnalisme yang bernyawa pada "berikan pada konsumen apa yang mereka inginkan" (give the consumers what they want), dan bukan pada semangat "berikan pada publik apa yang mereka butuhkan" (give the public what they need). Jika masyarakat telah ditempatkan sebagai konsumen, dan bukan publik, maka apa yang dinamakan sebagai misi jurnalis untuk mencerdaskan dan memberikan pencerahan bagi masyarakat pun, akan tinggal sebagai memori masa silam yang terlalu manis. Tampaknya, apa yang dideskripsikan sebagai struktur kekuasaan yang dikendalikan pasar semacam itu telah menjadi sejenis "kodrat" yang terberi begitu saja (given), dan bahkan mungkin juga dilihat sebagai hal yang semestinya terjadi demikian (taken for granted). Jurnalis pun tidak mampu mengelak untuk berperan sebagai produsen pemberitaan yang berlaku sebagai komoditas. Akhirnya, jurnalis mengalami keterasingan (alienation) pada tiga domain kehidupan utamanya, yaitu terasing dari dirinya sendiri, terasing dari masyarakatnya, serta bahkan terasing dengan sesama jurnalis akibat mengalami kemorosotan solidaritas. Lantas, siapa yang paling diuntungkan dalam kehidupan pers yang sepenuhnya ditentukan oleh struktur kekuasaan pasar? Sekali lagi, para pemilik modal! Kalangan penguasa ini jelas tidak sudi untuk disebut sebagai kaum kapitalis, karena memiliki makna yang sedemikian peyoratif (jelek dan negatif). Mereka lebih senang dan merasa terhormat untuk diberi julukan sebagai investor atau pelaku bisnis. Perhitungan yang digenggam oleh pemilik modal itu seolah-olah hanya sebatas pada penumpukan modal (accumulation of capital) serta mengeruk keuntungan secara maksimal (maximizing profits). Ini menjadikan kalangan kapitalis seolah-olah sekadar mengurusi persoalan ekonomi, dan terlepas dari masalah-masalah politik serta sangat suci dari persoalan-persoalan praktis kekuasaan. Padahal, yang terjadi sebenarnya tidaklah demikian. Antara aspek bisnis dan politis tidak dapat dipisahkan sama sekali. Ekonomi sebagai basis pada cara berproduksi masyarakat (mode of production) merupakan penentu pada arah kekuasaan politis. Inilah yang lazim disebut dengan ekonomi-politik pers (political economy of the press). Malahan lebih dari itu, dalam ranah politik yang sangat praktis, para pemilik modal itulah yang menjadi penentu bagi bergulirnya opini publik (public opinion) untuk mendesakkan kepentingan-kepentingan bisnis mereka sendiri. Sehingga, apa pun yang diopinikan oleh kalangan pemilik modal seakan-akan menjadi cerminan yang sempurna dari berbagai aspirasi masyarakat. Kepemimpinan Moral Dalam lingkup persoalan ini, Jurgen Habermas sudah memberikan sinyalemen, yaitu ketika pers menjadi sedemikian tergantung pada periklanan komersial dan dukungan permodalan, perhitungan-perhitungan ekonomis pun menjadi hal yang paling dipertimbangkan. Ini berarti kalangan individual yang mampu mengontrol kapitallah yang akan menentukan opini publik. Pers sebagai ruang publik (public sphere) bagi keberlangsungan interaksi dan pertarungan gagasan yang bebas dari dominasi penguasa untuk menghasilkan opini publik yang sejati, ternyata, sudah digerogoti oleh para pemodal itu sendiri. Kalangan penguasa bisnis ini memang tidak berwajah sebengis penguasa negara, karena mereka melakukannya secara halus (subtle) dengan mekanisme kepemimpinan moral dan intelektual (hegemoni). Lebih tegas lagi, Habermas menamakan fenomena yang terdapat dalam kehidupan pers itu sebagai refeodalisasi ruang publik. Artinya adalah opini publik yang pada awalnya terbentuk melalui proses diskursif (perdebatan melalui wacana yang sehat) dan kesepakatan (konsensus), kini telah diambil alih kalangan elite media, yang tidak lain merupakan pemilik modal itu sendiri. Akan lebih membahayakan lagi, tentu saja, jika pemilik modal itu melakukan persekutuan dengan elite politik dalam institusi negara serta elite intelektual yang bercokol di kampus. Persekongkolan pemilik modal pers dengan elite politik akan menghasilkan apa yang disebut sebagai suara korporasi seolah-olah menjadi suara negara. Hingga pada akhirnya korporasi yang mengurusi bisnis dan bernilai ekonomis dianggap sebagai negara itu sendiri yang mengelola kepentingan publik. Sedangkan persekutuan kalangan pemilik modal pers dengan elite intelektual menjadikan kekuasaan kalangan kapitalis menjadi absah (legitimate) secara moral. Sebab, bukankah pernyataan-pernyataan kalangan elite intelektual telah menjadi sejenis sabda yang digulirkan oleh kalangan agamawan? Ini disebabkan bahwa elite intelektual dengan berbekal pengetahuan yang dimilikinya dapat menjadi semacam penopang "kebenaran religius" dalam bentuk yang lebih sekuler. Feodalisme yang pada awalnya berarti sistem ekonomi yang bertumpu pada penguasaan tanah, sehingga yang berlangsung kemudian adalah relasi kekuasaan antara pemilik tanah dengan penyewa tanah dan buruh tani, ternyata dapat muncul kembali dalam kehidupan pers. Ini dapat terjadi karena pers telah masuk dalam struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh pasar. Dan, para penguasa pasar itu tidak lain adalah kaum pemodal yang melakukan transformasi dengan cara bermetamorfosis sebagai raja-raja baru (the new lords) yang menentukan arus penciptaan opini publik. Namun, mampukah kita terlepas dari berbagai jeratan struktur kekuasaan pasar ini? Penulis pengajar filsafat dan etika pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang. Copyright © Sinar Harapan 2003 ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/