http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=19026

2010-05-22 
Etos Kepemimpinan Transformatif


Etika

Oleh : Kasdin Sihotang

Wacana kepemimpinan tetap saja menarik untuk diperbincangkan secara serius. 
Minimal ada tiga alasan utama mengapa wacana tersebut tetap aktual untuk 
didiskusikan. Alasan pertama, peran atau kehadiran seorang pemimpin dalam 
komunitas masih sangat penting. Tidak bisa dimungkiri bahwa kualitas pemimpin 
menentukan kualitas kehidupan sebuah komunitas, termasuk sebuah bangsa. 
Konkritnya, bangsa yang dipimpin oleh seorang leader yang berbobot akan menjadi 
bangsa yang berbobot pula. Bangsa seperti ini akan menempatkan mutu sebagai 
perhatian dari sang pemimpin. Dengan kata lain, pemimpin seperti ini akan 
melakukan yang terbaik bagi rakyatnya. 


Atas tujuan dan fungsi luhur dari seorang pemimpin itulah Plato, seorang 
pemikir dari Yunani, mengidentifikasikan bahwa menjadi seorang pemimpin bukan 
sembarangan orang. Sang pemimpin haruslah memenuhi kriteria, yang oleh Plato 
disebutkan sebagai kriteria etis. 


Dengan kriteria etis, Plato ingin menegaskan dua hal berikut, yakni sang 
pemimpin selalu mengandalkan diri pada daya nalar dalam menjalankan tugas 
kepemimpinannya dan berpijak pada nilai dan norma-norma moral, khususnya 
keadilan dan kebenaran, di samping tingkat kepedulian yang tinggi terhadap 
kondisi rakyatnya. Menurut bahasa psikologis, pemimpin yang diidam-idamkan oleh 
Plato adalah orang yang mempunyai empati yang besar terhadap kehidupan 
orang-orang yang dipimpinnya. 


Dasar filosofis penentuan kriteria di atas adalah nilai kehidupan dari rakyat. 
Yang diurus oleh seorang pemimpin bukanlah benda-benda, tetapi manusia. 
Pemimpin harus mempunyai kepekaan terhadap kehidupan orang-orang yang 
diurusnya. Keberhasilan pemimpin justru terletak pada kepeduliannya ini. 


Alasan kedua, semakin sulitnya mencari pemimpin yang berbobot di tingkat 
nasional. Ada fenomena yang akhir-akhir ini kurang menggembirakan disaksikan 
oleh masyarakat, yakni banyaknya pemimpin daerah yang tersandung masalah hukum, 
karena perbuatan mereka di masa lalu. Kasus yang terakhir adalah apa yang 
menimpa gubernur Sumatera Utara. 


Fenomena seperti itu sebenarnya menunjukkan kenyataan yang tak terbantahkan 
akan sulitnya kita menemukan pemimpin yang berbobot di negeri ini. Demikian 
halnya makin maraknya para artis-artis, termasuk artis-artis yang "kurang 
memenuhi kriteria moral" meramaikan pencalonan kepala daerah, menjadi tanda 
bahwa bangsa ini kesulitan mencari figur pemimpin yang berbobot. Alasan ketiga, 
tantangan global yang semakin besar. Percaturan global dalam bidang ekonomi dan 
politik menuntut kualitas yang lebih agar bisa bertarung di tingkat yang lebih 
luas. Ketika bangsa ini berhenti memikirkan, apalagi menyiapkan kader-kader 
bangsanya, maka eksistensi bangsa ini akan terancam. Bangsa ini akan hanya 
menjadi penonton dan bulan-bulanan arus globalisasi, karena tidak mempunyai 
pemimpin yang bermutu. Orang asing akan merajai negeri ini. Akan sangat 
menyedihkan kalau hal ini yang terjadi.


Melihat tiga argumen di atas, sudah saatnya bangsa ini menyiapkan calon-calon 
pemimpin, minimal menanamkan etos kepemimpinan bagi calon-calon pemimpin bangsa 
ke depan. Pertanyaan, etos kepemimpinan seperti apa yang tepat untuk 
ditumbuhkembangkan dalam menyiapkan calon-calon pemimpin bangsa? Walaupun sudah 
pernah digulirkan di rubrik ini tujuh tahun lalu (SP, 25/1/03), penulis tetap 
merasa perlu untuk mewacanakan etos kepemimpinan transformatif secara lebih 
mendalam. 


Mengapa? Pertama, kegagalan model kepemimpinan reformatif yang diberlakukan 
selama sepuluh tahun terakhir ini. Era reformasi yang melahirkan model 
kepemimpinan reformatif nampaknya tidaklah membawa perubahan yang sangat 
signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan secara 
besar-besaran tidak sertamerta langsung dirasakan oleh masyarakat. Dalam 
situasi seperti sekarang, harus ada terobosan baru agar rakyat mengalami 
perubahan. Dan menurut hemat penulis model kepemimpinan transformatif sangat 
mendesak demi terwujudnya perubahan itu. Kedua, keunggulan dari model 
kepemimpinan transformatif itu sendiri. Untuk membantu mengenal 
keunggulan-keunggulan dimaksudkan, tidak ada salahnya menyetir apa yang pernah 
dipaparkan oleh Gary Yulk. 

Lima etos
Dalam bukunya Leadership in Organization ( 1989), Gary Yulk mencirikan minimal 
lima etos kepemimpinan transformatif yang berbeda dari model kepemimpinan yang 
lainnya. Etos pertama adalah keberpihakan kepada rakyat. Itu berarti fokus 
kepemimpinan transformatif sangat jelas bersifat sosial dan utilitarianistik 
yang sehat, bukan bersifat egoistis dan komunitarianistik. Disebutkan besifat 
sosial utilitarianistik yang sehat, karena orientasi pemimpin seperti ini 
berpusat pada kepentingan rakyat. Dengan kata lain, kepemimpinan transformatif 
menginternalisasikan nilai-nilai empatik kepada masyarakat. 


Etos kedua, menempatkan nilai-nilai etis sebagai pijakan. Itu berarti pemimpin 
transformatif menempatkan kualitas moral dalam penentuan orang-orang yang 
menduduki posisi tertentu di ranah kekuasaan. Jadi sejalan dengan cita-cita 
Plato, pemimpin transformatif akan menuntut tanggung jawab moral bagi 
elite-elite publik dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik. Yang 
menarik menurut Gary Yulk, tidak hanya kualitas etis ini mendapat tempat dalam 
penentuan pemimpin, tetapi juga mendapat perhatian dalam tatanan kehidupan 
berbangsa dan bernegara. Rambu-rambu moral ini bahkan menjadi conditio sine 
quanon atau dasar yang tidak bisa ditawar-tawar dalam kehidupan bersama. 


Etos ketiga, memberikan ruang bagi kreativitas. Yulk percaya betul bahwa 
pemimpin yang menginginkan perubahan tidak menempatkan diri sebagai the only 
agent of change atau pelaku satu-satunya perubahan, melainkan mengikutsertakan 
orang lain. Karena itulah Yulk melihat bahwa pemimpin seperti ini tidak 
menggurui, melainkan mengakui potensi yang ada di dalam diri orang lain. Dia 
hanya mendorong dan membangkitkan motivasi serta memfasilitasi orang lain untuk 
maju. Filosofinya sebenarnya cukup sederhana, "kemajuan hanya bisa diraih 
secara bersama-sama". 


Terkait dengan etos ketiga di atas, dalam kepemimpinan transformatif, pemimpin 
justru menstimulasi daya intelektual dari anggota masyarakat untuk lahirnya 
calon-calon pemimpin yang berbobot. Stimulasi ini diwujudkan dengan pemberian 
ruang yang sangat besar bagi keativitas, inovasi dan kreasi yang progresif. Ini 
adalah etos keempat dalam kepemimpinan transformatif.


Etos lain yang tidak kalah penting dari seorang pemimpin transformatif adalah 
etos kelima, yakni kultur dialogis. Pemimpin seperti ini akan selalu 
mendialogkan segala kebijakan yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat secara 
terbuka. Dengan demikian dapat dikatakan, pemimpin transformatif membangun 
komunikasi politik yang sehat, dan dinamis. Solusi ini diberlakukan agar dalam 
pengambilan kebijakan tidak ada yang dirugikan. 
Kelima etos di atas menurut hemat penulis urgen digaungkan dalam berbagai ranah 
kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kaderisasi partai dan 
organisasi masyarakat. 

Penulis adalah staff inti PPE, dosen Filsafat di FE dan FPsi serta di S2 
Program MM Unika Atma Jaya, Jakarta


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke