http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=19025

010-05-22 
Nasionalisme, Kewarganegaraan, dan Pancasila


Oleh : As'ad Said Ali



Survei yang dilakukan Pusat Studi Pancasila menyebutkan, mata pelajaran 
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di sekolah-sekolah sekarang ini seolah hanya 
pelengkap kurikulum, dan tidak dipelajari secara serius oleh peserta didik. 
Pelajar dan guru hanya mengejar mata pelajaran-mata pelajaran yang menentukan 
kelulusan saja. Temuan ini menegaskan, hasil survei lembaga-lembaga lain yang 
dilakukan sekitar tahun 2006 dan 2007 menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat 
mengenai Pancasila merosot tajam.


Bagi kalangan tertentu, keprihatinan tersebut mungkin dipandang sebagai sikap 
konservatif. Namun, dalam konteks berbangsa, ini adalah sebuah fakta bahwa 
kredibilitas Pancasila sedang merosot, dan pendidikan kewarganegaraan tidak 
lagi populer. Penyebabnya bisa macam-macam, satu hal yang patut kita 
pertanyakan, apakah fenomena ini mengindikasikan bahwa masa depan berbangsa 
kita sedang terancam?


Sejak reformasi, masyarakat kita sedang mengalami perubahan radikal. Reformasi 
telah mengantarkan bangsa kita pada dunia baru, yang sama sekali lain, terbuka 
dan liberal, di tengah sebuah arus yang disebut globalisasi. Globalisasi bukan 
hanya mengubah selera dan gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan 
bangsa lain, tetapi juga menyatukan orientasi dan budaya menuju satu budaya 
dunia (world culture). 


Anak-anak muda di Yogyakarta saat ini orientasi dan gaya hidupnya relatif sama 
dengan anak-anak muda di New York, London maupun Paris. Penyatuan dan 
penyeragaman itu kian hari bahkan semakin intensif, massive dan menyeluruh. Hal 
itu disebabkan karena kontak kebudayaannya bersifat nonfisik dan individual. 
Sarananya adalah media komunikasi dan informasi, yang bisa diakses oleh siapa 
pun dan di mana pun. 


Kontak kebudayaannya bersifat massal dan melibatkan sejumlah besar orang. 
Perkembangan dan pengaruh kapitalisme transnasional pun menjadi kian kokoh dan 
meluas menggantikan kapitalisme negara. Dalam diplomasi internasional pun kini 
muncul apa yang disebut dengan mikro diplomasi. Semua perkembangan ini 
menegaskan bahwa negara bukan lagi satu-satunya entitas yang memungkinkan 
hubungan antarbangsa dapat terjadi. Hubungan antarbangsa menjadi kian terbuka, 
kelompok masyarakat bahkan individu pun dapat melakukannya. Pertanyaannya, 
bagaimana nasib nasionalisme?


Perubahan corak nasionalisme adalah di antara yang paling nyata dan penting. 
Saya menyaksikan tanda-tanda nasionalisme ala negara sedang digantikan oleh 
sebuah nasionalisme baru yang bercorak massa. Pada nasionalisme ala negara, 
aktor yang berperan sebagai penafsir nasionalisme adalah negara itu sendiri 
karena orientasinya adalah kekuasaan. Semangatnya pun terus terjaga melalui 
lagu-lagu kebangsaan yang diperdengarkan setiap jam di radio dan televisi. Oleh 
karena itu, ekspresinya lebih heroik.
Nasionalisme ala massa, basisnya bukan pada mitos tentang ancaman, utopia atau 
kedigdayaan masa lalu, yang dapat mengorbankan patriotisme dan heroisme. 
Sebaliknya pada sesuatu yang lebih dekat, konkrit dan memiliki makna pragmatis 
sebagai identitas diri, yakni bangsa. Singkatnya, konstruksinya mengalami 
penyederhanaan, tidak lagi bersifat romantis dan hegemonik seperti dulu; 
cenderung praktis, terbuka dan mengandung etos menuju harmoni. 


Patriotisme pada nasionalisme ala massa memiliki definisinya sendiri, yang 
bebas dari imajinasi masa lalu yang heroik dan romantis. Konstruksinya lebih 
berorientasi ke masa depan pada nilai-nilai universal dan modern. Bentuk 
ekspresinya pun tidak tunggal, bahkan di sana-sini mencerminkan pengaruh budaya 
massa, sehingga tampak pragmatis. Kegiatan pengembangan oleh LSM, para pemuda 
dengan grup musiknya, usaha mendorong demokrasi, good and clean governance, dan 
lain sebagainya, adalah manifestasi paling nyata dari patriotisme baru ini. 
Semua aktivitas itu terangkum dalam suatu komitmen, yakni keterikatan pada 
semangat membangun negeri, tanah harapan, yang menjadi identitas mereka. Inilah 
imajinasi dasar materi nasionalisme era globalisasi ini. Jadi, meski 
konstruksinya mengalami penyederhanaan, namun tetap tidak kehilangan rohnya.


Nasionalisme adalah sebuah kesadaran yang tidak akan hilang sepanjang nation 
state ada, sebab hubungan di antara keduanya ibarat tulang dan daging. 
Globalisasi memang merelatifkan batas antarnegara (borderless), mengubah selera 
dan gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, dan 
menyatukan orientasi dan budaya mereka menuju suatu budaya dunia (world 
culture). Namun, itu sama sekali tidak akan menghilangkan nation state. Negara 
bangsa tetap dibutuhkan oleh setiap orang, sehebat apa pun arus globabalisasi 
itu.


Dari pengalaman masa lalu, kita memperoleh pelajaran berharga bahwa menjaga 
keutuhan bangsa dengan pendekatan kekuasaan, ternyata tidak baik, bahkan 
menimbulkan ekses yang kontraproduktif. Yang paling kasat mata adalah munculnya 
gerakan-gerakan perlawanan dalam berbagai manifestasinya


Menegakkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kewarganegaraan (citizenship) adalah 
cara yang paling baik untuk menjaga kohesivitas dan keutuhan bangsa. Mengapa? 
Karena basis kewarganegaraan adalah bangsa. Seperti kata Ben Anderson, bangsa 
adalah sebuah komunitas yang dibayangkan dalam keterikatan sebagai 
comradership, persaudaraan yang horizontal dan mendalam. Dia lahir bukan atas 
dasar ras, agama atau daerah. Tetapi pada persaudaraan dan cita-cita bersama 
dalam sebuah komunitas yang bernama negara, sebagai tanah harapan (the land of 
promise). Dengan demikian, kewarganegaraan bukan hanya sekadar gagasan dimana 
seseorang menjadi anggota dalam satuan politik yang disebut negara. 


Prinsip-prinsip kewarganegaraan tersebut ibarat nutrisi yang menentukan 
sehatnya sebuah bangsa, bahkan eksistensinya di mata warga negara. Jika 
prinsip-prinsip itu kita tegakkan, maka kohesivitas dan keutuhan bangsa akan 
terjaga. Mengapa? Karena pelaksanaan prinsip-prinsip itu akan mewujudkan bonum 
public, sebuah tujuan hakiki negara. Demokrasi yang kita bangun sekarang ini 
seharusnya diabdikan untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut, agar 
kemanfaatan demokrasi tidak hanya dinikmati oleh sekelompok golongan saja. 
Lihat saja, demokrasi kita ternyata hanya mampu mengontrol masalah politik 
tidak terhadap masalah ekonomi, sehingga keadilan ekonomi tetap menjadi masalah 
besar bangsa kita. Sebab-musababnya adalah menurut saya, karena kita melalaikan 
masalah Pancasila. 

Merosot Tajam
Sejak reformasi, kredibilitas Pancasila memang merosot tajam. Bahkan perannya 
jatuh sebagai barang pusaka, hanya sekedar azimat politik. Hal ini disebabkan 
karena adanya asosiasi-asosiasi negatif terhadap Pancasila karena pengalaman 
penerapannya pada masa lalu. Padahal sebagai dasar negara, Pancasila adalah 
barometer moral di mana kerangka kewarganegaraan harus didasarkan. Pancasila 
secara fundamental merupakan kerangka yang kuat untuk pendefinisian konsep 
kewarganegaraan yang inklusif, sebab didalamnya memiliki komitmen yang kuat 
terhadap pluralisme dan toleransi. Komitmen inilah yang mampu mempersatukan dan 
menjaga keutuhan bangsa yang terdiri 400 lebih kelompok etnis dan bahasa
Kemajemukan itu memang akan terus memunculkan tantangan-tantangan yang 
fundamental. Karena itu, ide negara kesatuan yang mulai ditemukan pada akhir 
1920 oleh para pendiri negeri ini, harus didefinisikan dalam konstruksi 
pluralisme, toleransi dan keadilan, yang menjadi komitmen Pancasila. Dalam 
pengertian ini, pluralisme bukanlah sekadar pengakuan dan penghargaan terhadap 
keragaman (diversity), melainkan sebuah orientasi yang menilai keragaman itu 
sebagai nilai yang positif dalam satu persaudaraan dan semangat 
multikulturalisme akomodatif. Dengan demikian setiap warga negara atau kelompok 
masyarakat, apa pun identitas kultural dan sosial keagamaannya akan merasa 
nyaman sebagai warga negara; bahkan untuk mengembangkan identitasnya. 


Perlu digarisbawahi, ancaman laten yang paling membahayakan bangsa ini adalah 
disintegrasi sosial kultural. Peningkatan gejala provinsialisme pascareformasi 
yang tumpang tindih dengan sentimen etnisitas, adalah bara api yang dapat 
membakar disintegrasi sosio kultural tersebut. Bila ini terjadi, maka akan 
mengancam disintegrasi politik; selanjutnya, akan mengancam terjadinya 
disintegrasi bangsa. 


Barangkali peringatan JS Furnivall perlu selalu kita ingat, bahwa bangsa ini 
akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan formula pluralisme. Inilah 
pentingnya kita kembali peduli kepada Pancasila, melaksanakan 
komitmen-komitmennya dan menegakkan prinsip-prinsip kewarganegaraan. Sebagai 
warga negara, kita juga memiliki tanggung jawab mengawasi pelaksanaan 
komitmen-komitmen tersebut, agar tidak melenceng dari garisnya. Jangan 
dibiarkan perpolitikan negeri ini memutus segala sesuatu dengan logika dan 
kepentingannya sendiri; jangan pula dibiarkan ekonomi memutus segala sesuatunya 
dengan logika dan orientasinya sendiri. Pancasila harus menjadi tujuan etis 
setiap kebijakan, untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan 
komitmen ini insya Allah negeri ini akan terjaga dan dapat mewujudkan 
cita-citanya.

Penulis adalah Waka BIN dan penulis buku Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan 
Berbangsa


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke