Refleksi : Wakil rakyat? Yang ada hanya wakil bandit, perampok, tukang catut, garong dan malah bandit atau garong itu sendiri duduk atas nama wakil rakyat, maka oleh karena itu yang namanya DPR adalah tidak lain dari pada Dewan Penipu Rakyat.
Sejak lama mereka menjual rakyat. Lihat saja pada kasus TKI. TkI dikirim tanpa perlindungan hukum sewajarnya. Untuk menutup tipu muslihat terhadap TKI ditempelkan gelar pahlawan devisa. http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/wakil-rakyat-pun-akan-menjual-warga-miskin/ Senin, 24 Mei 2010 13:34 Wakil Rakyat Pun Akan "Menjual" Warga Miskin JAKARTA - Nasib warga miskin di Ibu Kota Jakarta makin tidak terurus. Pelbagai program peningkatan layanan kesehatan bagi kaum papa ini pun tetap isapan jempol belaka. Belakangan, wakil rakyat di DPRD Jakarta berencana mengomersialkan warga miskin. Pantaskah? Sudah 10 tahun Sarmi (43) menjadikan dinding Jembatan Kali Cakung sebagai tembok rumah. Tempat tinggalnya ini pun hanya beralaskan tanah liat. Meski hidup miskin, dia sekeluarga tidak pernah merasakan layanan kesehatan yang murah, apalagi gratis dari pemerintah. Suaminya sudah empat bulan meninggal dunia. Kepergian suaminya meninggalkan duka mendalam bagi seluruh keluarga, bukan hanya karena sang suami merupakan tulang punggung keluarga, namun karena kepergian suami juga meninggalkan utang cukup besar kepada rentenir. Utang sebesar Rp 5 juta tersebut diperoleh untuk biaya sang suami ketika sedang dirawat inap selama dua minggu di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja, Jakarta Utara karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Nenek dari enam orang cucu ini menuturkan, pihak rumah sakit awalnya memberi tahu bahwa biaya perawatan suaminya Rp 10 juta. Tetapi karena dia mengatakan bahwa tidak mampu membayar, karena memang pekerjaan suaminya hanyalah buruh pelabuhan. pihak rumah sakit lalu memintanya untuk membuat surat pengantar dari RT, RW, yang diketahui kelurahan. "Akhirnya, dengan surat pengantar itu, saya hanya diminta membayar Rp 5 juta," ujarnya kepada SH, Jumat (21/5). Uang tersebut didapatkannya dengan jalan meminjam dari rentenir, dan sepeninggal suami maka ia dan tiga anaknya harus bahu-membahu membayar utang tersebut. Perempuan yang sehari-hari menempati rumah berdinding tripleks dan beratapkan seng di Jalan Sungai Landak, Cilincing, Jakarta Utara ini mengaku, trauma bila harus berobat ke rumah sakit. Sebab penghasilannya sebagai tukang cuci hanya cukup untuk membayar cicilan utang dan makan saja. Saat SH berkunjung ke rumahnya, kondisi tempat tinggalnya cukup memprihatinkan. Tidak ada jendela untuk dijadikan ventilasi sehingga mereka hanya mengandalkan pintu depan sebagai tempat pergantian udara. Ketika ditanya apakah mengetahui tentang program layanan kesehatan untuk keluarga miskin (gakin) dari Pemda Jakarta, dirinya mengaku tidak pernah mengetahuinya."Yang saya tahu hanya program BLT (Bantuan Langsung Tunai-red) dari SBY (Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono)," katanya. Otomatis, karena ia tidak mengetahui perihal program yang bertujuan membantu warga miskin di Ibu Kota ini maka ia tidak tahu soal Kartu Gakin, termasuk penggunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Akibat trauma dan tergolong miskin, nenek yang menempati rumah dengan luas 4 X 4 meter dengan tinggi rumah tidak sampai dua meter ini enggan pergi ke dokter bila sakit menyerang. "Anak dan cucu, termasuk saya kalau sakit cukup beli obat warung. Bahkan, saat cucu saya kena beling, lukanya cukup diberi spirtus dan tidak perlu ke rumah sakit," tukasnya. Hal yang sama diutarakan oleh Agus (39), warga Kampung Sawah, Cilincing, Jakarta Utara. Pria yang berprofesi sebagai montir keliling ini mengaku, tidak mau berobat ke dokter, karena biaya yang diminta dokter dan rumah sakit relatif mahal. Bapak dua anak ini juga enggan pergi ke puskesmas, karena sarana kesehatan bagi masyarakat tersebut memberikan obat yang sama untuk semua penyakit. "Saya pernah berobat ke puskesmas karena berak-berak diberi tiga macam obat berbentuk pil. ternyata obat yang sama juga diberikan puskesmas saat saya berobat untuk penyakit batuk dan pilek," ucapnya. Selain itu, bapak dua anak ini mengaku trauma pergi ke RSUD Koja sebab selalu diminta uang muka ketika masuk ke Instalasi Gawat Darura (IGD). Dengan situasi rumah sakit dan tempat layanan kesehatan lainnya yang tidak ramah dengan warga miskin, Agus pun enggan berobat ke tempat tersebut. Bahkan, ia pernah mengalami luka iris saat bekerja memperbaiki sebuah truk. Darah yang keluar saat itu cukup banyak. Saat itu dia berinisiatif menggunakan minyak rem sebagai pengganti obat luka. Ia mengaku tidak peduli akan efek samping dari penggunaan pelumas sebagai alternatif obat luka, yang pasti saat ini lukanya sudah sembuh dan ia bisa bekerja sebagaimana mestinya. Baik Sarmi maupun Agus mengaku tidak memiliki Kartu Gakin. Bahkan, ironisnya mereka berdua baru mengetahui bila ada program pelayanan kesehatan seperti itu dari pemerintah. Mereka berdua padahal warga yang sejak kecil hingga dewasa hidup di Jakarta. Mereka bukanlah kaum pendatang. Lalu akan bagaimana nasib mereka bila program kesehatan yang disiapkan Pemda Jakarta, benar-benar diserahkan ke perusahaan asuransi."Yang gratis saja kami tidak dapat, apalagi yang harus membanyar iuran (premi) bulanan?" tutur Agus. Menjual Rakyat Miskin Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta berencana menyerahkan pengelolaan dana kesehatan warga miskin senilai Rp 413 miliar ke perusahaan asuransi. Bila rencana tersebut benar-benar terlaksana, anggota dewan yang sejatinya merupakan wakil rakyat justru mengomersialkan warga miskin. "Sebaiknya anggota dewan yang terhormat mempertimbangkan ulang niatnya menyerahkan pengelolaan dana kesehatan ke pihak swasta," kata Ricardo Hutahaean, pemerhati masalah kesehatan dan sosial masyarakat Jakarta kepada SH, Jumat (21/5). Menurutnya, anggota dewan seharusnya membahas tentang masih sulitnya warga miskin mengakses pelayanan kesehatan yang sudah menjadi hak rakyat. Hal tersebut didasari fakta di lapangan terkait masih sulitnya masyarakat memproleh fasilitas Kartu Gakin maupun SKTM. Bahkan, warga miskin yang telah memiliki Kartu Gakin maupun SKTM masih kerap ditolak rumah sakit.Selama ini, warga miskin di Jakarta relatif sudah dimudahkan dengan sistem pengobatan oleh Dinas Kesehatan, melalui program Gakin dan SKTM. Saat ini warga miskin bisa berobat ke rumah sakit rujukan dan tidak ada pembatasan biaya berobat."Kalau diserahkan ke pihak swasta, pasti akan ada batasan," katanya. (cr-9 [Non-text portions of this message have been removed]