http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=253818


      Komitmen Entaskan Kemiskinan
      Oleh Agus Sakti 


      Selasa, 25 Mei 2010

      Komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan bukanlah sebuah opsi 
yang dapat ditawar, yang dalam praktiknya secara permisif pemerintah memiliki 
hak apakah program yang pro orang miskin itu layak atau tidak dibebankan dalam 
kegiatan semasa jabatannya. Sebab, ketentuan yang mengatakan bahwa pemerintah 
bertanggung jawab penuh terhadap orang miskin sudah diatur secara jelas dalam 
undang-undang. 

      Kini, bukan lagi sebuah rahasia karena telah kita temukan kenyataan bahwa 
upaya pemerintah mengawal dan peduli terhadap orang miskin terkesan pragmatis, 
kaku, dan "kejar tayang". 

      Di wilayah penegakan hukum, misalnya, orang miskin susah sekali 
memperoleh keadilan. Cerita maling ayam yang dipenjara bukan lagi sebuah 
dongeng imajiner. Sejalan dengan itu, ada upaya penarikan konklusi yang membuat 
miris oleh masyarakat dengan membandingkan maling ayam dengan maling "uang 
rakyat" yang menelanjangi bahwa hukum (keadilan) di negeri ini tidak berpihak 
kepada orang miskin. 

      Demikian pula halnya dengan mahalnya biaya pendidikan yang terus melangit 
dan tidak dapat dijangkau warga miskin. Lembaga edukasi makin bergengsi dan 
terdesain dalam konsep konglomerasi. 

      Lihat saja, biaya masuk sekolah dasar pada tahun pertama, khususnya di 
sekolah-sekolah swasta elite, hampir menyerupai biaya masuk perguruan tinggi. 
Tak jarang, kita juga melihat ada siswa yang melakukan percobaan bunuh diri 
lantaran malu karena tidak mampu membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). 

      Lebih membuat miris lagi, orang miskin amat susah memperoleh akses 
kesehatan murah. Seperti kejadian yang dialami beberapa warga Nganjuk, Jawa 
Timur, baru-baru ini. Meski mereka tercatat sebagai peserta Jamkesmas, namun 
ketika berobat di salah satu rumah sakit (RS) "pelat merah", masih juga 
diharuskan mengeluarkan rupiah yang banyak. 

      Demikian pula halnya dengan usulan beberapa anggota DPRD Komisi D Bidang 
Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan Masyarakat tentang regulasi validasi 
daftar peserta jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) di Kota Malang yang 
mensyaratkan hanya orang miskin yang tidak merokoklah yang layak menjadi 
peserta Jamkesda. Padahal, sebagian besar orang miskin adalah perokok aktif. 

      Karut-marut sistem regulasi kesehatan tidak sesuai dengan apa yang 
dicanangkan oleh pemerintahan lama lewat program "Indonesia Sehat Tahun 2010" 
yang seolah-olah tidak ada artinya. Padahal, harapan besar bagi terciptanya 
sebuah masyarakat sehat nan sejahtera pada tahun 2010 sangat diidam-idamkan 
warga bangsa. 

      Perlu diketahui bahwa kemiskinan dan kesadaran masyarakat untuk menjadi 
miskin itu bukan sebuah pilihan. Idealnya, tidak ada satu pun warga yang 
menginginkan kehidupannya nir-sejahtera, miskin, dan sakit-sakitan. Namun, 
meski mereka tidak pernah memilih untuk menjadi miskin, toh kehidupan mereka 
tetap miskin. Wujud kemiskinan bisa diindikatori dari penghasilan atau 
pengeluaran seseorang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, 
misalnya, kemiskinan ditentukan dari pengeluaran setiap orang sebanyak Rp 
183.636 per bulan. Kemiskinan juga disebabkan karena mereka berstatus tunakarya 
(penganggur). 

      Sementara itu, data resmi BPS Maret 2009 memperlihatkan, jumlah penduduk 
miskin sebesar 32,53 juta atau setara dengan 14,15 persen dari jumlah penduduk 
Indonesia. Kemiskinan diduga disebabkan oleh ketergantungan masyarakat terhadap 
komoditas makanan seperti beras, gula pasir, telur, tahu, tempe, dan mi instan. 
Kemiskinan pun diduga disebabkan ketergantungan mereka terhadap komoditas 
bangunan lainnya, seperti rumah, listrik, angkutan, dan minyak tanah. 

      Ketergantungan warga terhadap komoditas makanan merupakan sebuah hal yang 
wajar mengingat hal tersebut merupakan kebutuhan dasar mereka sebagai manusia. 
Sebagaimana diketahui, semua orang membutuhkan makanan, minuman, dan memerlukan 
tempat untuk beristirahat dengan nyaman. 

      Human Error


      Dalam hemat penulis, secara mendasar, kemiskinan merupakan sebuah 
"proyek" yang seolah "diciptakan", baik secara sadar maupun tidak, oleh 
penguasa. Sebab, bagaimanapun, kemiskinan sebenarnya terkait masalah pekerjaan, 
pendapatan yang layak, dan kesanggupan mengonsumsi komoditas dasar. Jika 
pemerintah benar-benar peduli terhadap hal ini, tenaga kerja warga masyarakat 
bisa terserap hingga mereka mampu mencukupi kebutuhan dasar tersebut secara 
layak. Apalagi, kalau penguasa memberikan subsidi kepada usaha pertanian, 
kelautan (nelayan), dan pertambangan yang akan berimbas bagi kesejahteraan 
warga masyarakat. 

      Atau, boleh jadi, pemerintah sebenarnya sudah memberikan subsidi pada 
sektor-sektor tersebut, hanya saja kurang menyentuh akar permasalahan. Hal ini 
disebabkan oleh banyak faktor, seperti faktor teknis dan human error. 

      Kesalahan pada faktor teknis mungkin masih bisa ditolerir. Namun, faktor 
kualitas manusianya mungkin lebih sulit untuk dimengerti, baik secara moral 
maupun hukum peradilan. Misalnya, kasus subsidi pemerintah yang tidak turun 100 
persen ke tangan rakyat karena diduga dikorupsi pejabat atau jatuh kepada orang 
tidak sesuai sasaran. Perilaku korupsi beberapa oknum pejabat suatu lembaga 
bukan hal yang mustahil berimbas dapat menyengsarakan rakyat. Apalagi, ada 
kesan praktik korupsi seakan-akan menjadi hal yang wajar. 

      Korupsi memang sudah membudaya. Sebagai "penyakit", korupsi bukan lagi 
penyakit akut, melainkan sudah menjadi bahaya laten dan hiperkronis. Sebut saja 
skandal Bank Century, maraknya makelar kasus (markus), dan fenomena para 
pengemplang pajak yang masih hangat menjadi isu dan sorotan luas masyakarat. 
Secara moral kenegaraan, perilaku korupsi sangat jauh dari cita-cita dan tujuan 
kehidupan berbangsa dan bernegara. 

      Demikian sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang (UU), komitmen 
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan bukanlah sebuah opsi yang bisa 
ditawar. Akan tetapi, hal tersebut merupakan sebuah kewajiban yang harus 
diwujudkan dalam bentuknya yang paling nyata dan mengakar pada masyarakat. 

      Mudah-mudahan pemerintah dan seluruh jajarannya, mulai dari ujung Sabang 
sampai Merauke, benar-benar berkomitmen mengentaskan kemiskinan. Semoga! *** 

      Penulis adalah peneliti pada Lembaga Pengabdian Masyarakat
      (LPM) UIN Maliki Malang  

--------------------------------------------------------------------------
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke