‘PrP’(Pineal re Programming) & Metode Belajar 
oleh: Vincent Liong

disebarluaskan & didiskusikan pertama kali di: (klik
to open link)
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/2900

http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/12610

>> silahkan bergabung dalam diskusi.
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/join
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/join 




Tulisan ini saya tulis sebagai balasan terhadap
tulisan Drs. Leonardo Rimba,MBA;
From: leonardo rimba <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Wed Nov 23, 2005  9:34 am
Subject: Anak Indigo dan Sistem Pendidikan Kita
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/2888

http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/12594
[NOTE: Email ini saya lampirkan, baca lampiran.]


Di tengah keresahan teman-teman, perhatian teman-teman
terhadap masa depan pendidikan saya; saya masih merasa
patut bersyukur. Pengalaman ini adalah anugrah yang
mendidik buat saya terutama untuk perkembangan
ilmupengetahuan yang saya cintai PrP. Menolong manusia
lain atau setidaknya mempersiapkan metodologi yang
praktis dan praktikal untuk menolong orang banyak
adalah cinta yang tidak tergantikan oleh cinta yang
lain. Kebanyakan manusia masih menganggap simbol lulus
tidak lulus, nilai tinggi atau rendah adalah hal yang
utama dibanding dengan aplikasi di lapangannya.

Dalam tulisan ini saya akan membahas mengenai memori
dan hubungannya dengan subject/object penelitian yang
telah di-install dengan sistem PrP; Cara belajar
selalu tidak lepas dari memori. Menerima input,
memilih bagian yang dirasa perlu/penting untuk
diintepretasikan sehingga disimpan dan bagian yang
dirasa tidak dapat diintepretasikan sehingga diabaikan
atau terhapus begitu saja. 

Ketika seorang siswa (pada umumnya) berada di dalam
sebuah kelas. Siswa yang baik mendengarkan apa yang
diterangkan oleh sang guru/desen. Informasi spesifik
berupa kombinasi kumpulan simbol tata bahasa (kalimat,
kata, definisi, dsb) diterima oleh telinga yang
mendengar dan oleh mata yang melihat. Pikiran
berkonsentrasi pada satu jenis informasi susunan kata
yang membentuk kalimat yang spesifik dan mengabaikan
informasi lain yang tidak dianggap penting. Ini adalah
metode belajar yang sejak lama paling diakui dan
diutamakan oleh masyarakat di jaman ini. Hal yang
disebut lebih scientific.

Siswa yang menggunakan PrP; sistem yang memproses
informasi dalam dirinya (seperti Vincent Liong
misalnya) menghadapi keadaan serupa tentunya
menghadapi masalah yang tidak memungkinkan dirinya
untuk berhasil bilamana menggunakan metode belajar
yang standart semacam ini. Pada seorang dengan pola
PrP input yang diterima dan di-intepretasikan tidak
terbatas pada susunan kalimat yang dihafalkan
(memorized). Definisi kata ‘konsentrasi’ bagi seorang
PrP adalah: Kesadaran yang mampu intepretasi dan
menyimpan segala informasi tanpa pilih-pilih, yang
dianggap berguna atau tidak. Yang meliputi: 

* Intepretasi dari setiap individual indra yang
diproses oleh masing-masing jenis alat intepretasi
indra yang memiliki output sendiri-sendiri. Misalnya:
Mata menerima input visual dan bagian otak tertentu
mengintepretasikannya, Telinga menerima input getaran
suara dan bagian otak tertentu mengintepretasikannya,
Hidung menerima input bau dari lingkungan sekitar atau
perubahan hormon individu lain dan bagian otak
tertentu mengintepretasikannya, Kulit menerima input
raba suhu udara, kasar halus, dsb dan bagian otak
tertentu mengintepretasikannya. Lidah menerima input
rasa dan bagian otak tertentu mengintepretasikannya.
Dari output intepretasi tiap individual indera ini
yang mengandung kesamaan-kesamaan sifat, lalu
terbentuk general language (bahasa lintas indra) yang
memberikan informasi detail dalam satu jenis bahasa
tentang hal yang diterima semua indra secara merata.

* Tiap individual object information yang masih dalam
jangkauan dapat diterima oleh kelima indera dalam
radius tertentu diintepretasi oleh tiap masing-masing
indera secara individual sebagai individual object
tanpa ter-reduksi oleh individual object information
lain (kwalitative information). Tiap individual object
information juga diintepretasi secara transdental
mengenai hubungannya sebab-akibatnya satu dengan yang
lain (kwantitative information). Misalnya: Dalam
sebuah ruangan kelas ada dua puluh orang siswa,
seorang guru/dosen, konsentrasi udara yang memenuhi
ruangan dan benda-benda mati lain yang ada di dalam
ruangan atau dalam radius jarak yang bisa diterima,
individual object informationnya yang memiliki
individual information sendiri-sendiri independent
satu dari yang lain. 

* Memori yang dingat oleh seorang yang menggunakan
sistem PrP adalah informasi yang bersifat tiga dimensi
(ruang) dengan segala individual information dari
individual object di dalamnya yang terjadi dan
menjelaskan satu waktu di sebuah tempat/ruang
tertentu.     
     

Berbicara tentang pengalaman saya sebagai peneliti
yang partisipasif dalam pengembangan PrP, tidak hanya
sebagai peneliti tetapi sekaligus sebagai
subject/object penelitian ada kekuatan dan kelemahan
yang saya temui setelah saya secara penuh menggunakan
PrP sebagai sistem yang memproses informasi dalam diri
saya.

Hal baik dari penggunaan sistem PrP adalah: 
* Informasi sifatnya lengkap dan menyeluruh.
* Tidak ada sifat judgemental (pembenaran dan
penyalahan kepada individu tertentu dalam ruang dan
waktu tsb) karena pemahaman dari hasil proses
intepretasi bersifat menyeluruh.
* Semua bersifat transparan, tidak ada hal yang
bersifat rahasia dan tidak ada yang terasa penting
untuk diingat.
* Memungkinkan membuat perkiraan pilihan-pilihan,
aksi-reaksi dari keadaan secara instant dan tepat dari
berbagai sudut pandang individu yang berbeda.
* Siswa dengan sistem pikir PrP mampu mengerti (tetapi
tidak hafal) secara mendalam dan mengaplikasikan dalam
kasus berbeda secara praktikal ilmupengetahuan dari
pengalaman yang diterima.
* Mampu mengintepretasikan segala aspek yang ada di
individu lain secara mendetail dari berbagai
sudutpandang aspek penilaian tanpa membutuhkan adanya
dialog dan pengamatan yang bersifat fokus ke satu
titik.

Hal merugikan dari penggunaan sistem PrP adalah:
* Kerja pikir menjadi lambat karena ada banyak hal
berbeda yang diintepretasikan secara terpisah dalam
waktu yang sama.
* Ke-Tidak mampuan untuk menghafal simbol tata bahasa
berupa susunan kata-kata yang membentuk kalimat.
* Bagi orang lain, individu yang menggunakan sistem
PrP tampak tidak fokus karena penerimaan informasi
bersifat menyeluruh, tidak hanya pada informasi
tertentu dan mengabaikan yang tidak dianggap penting
seperti pada orang kebanyakan.
* Diperlukan energi yang lebih banyak untuk berpikir.
* Ketidakmampuan untuk menerima pelajaran dalam waktu
yang panjang. Biasanya saya segaja keluar kelas
beberapa waktu untuk mengistirahatkan proses memorized
yang bersifat menyeluruh setelah satu jam menerima
informasi menyeluruh secara continue sebelum kembali
masuk ke kelas. 
* Re-Call memori bersifat menyeluruh sehingga ketika
menjawab soal di ujian, memori yang muncul tidak hanya
spesifik tentang kalimat yang harus dihafalkan
melainkan bersifat menyeluruh.     
    
Semoga penjelasan ini membuat anda lebih mengerti
kekuatan dan kelemahan dari PrP. Sebuah kelebihan
tentu memiliki kekurangan. Seperti hal-nya saya yang
anda kenal mampu menulis dan melakukan aplikasi
ilmupengetahuan yang saya pelajari secara praktikal
dalam kasus –kasus real berbeda. Di sisi lain saya
mendapatkan kesulitan untuk menghafal yang merupakan
sarat dari standart pendidikan di bangku sekolah.
Kekuatan saya adalah kelemahan saya.


Vincent Liong 
27 November 2005


Nama: Liong Vincent Christian
NIM: 2005-70-108
Mahasiswa Fak. Psikologi Universitas Atma Jaya 
angkatan 2005

Telepon & Fax: 021-5482193, 5348567, 5348546
Hp: 081316795160
Alamat: Jl. Ametis IV G/22 Permata Hijau, Jakarta
Selatan 12210 – Indonesia.  

Sumbangan Untuk penelitian PrP silahkan dikirim ke:
::Vincent Liong's Private BANK Account::
Bank Central Asia (BCA) KCP-Permata Hijau
A/C: 1781179600
A/N: Liong Vincent Christian



L A M P I R A N 

No: 01
From: leonardo rimba <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Sat Nov 26, 2005  5:12 pm
Subject: Re: [psikologi_transformatif] Anak Indigo dan
Sistem Pendidikan Kita --- oleh: Leonardo Rimba         
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/2888

http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/12594


Dear Angga:

Terimakasih sudah memforward tulisan saya ke milis
psikologi_transformatif walaupun tulisan itu sudah
saya posting sebelumnya.

--- Angga Rakasiwi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> ...

Tulisan itu merupakan konsern saya yang sangat
mendalam terhadap pendidikan formal di perguruan
tinggi yang sedang dijalani oleh Vincent Liong.
Terlepas dari soal "indigo" atau tidak, yang
sebenarnya masih termasuk di ambang psikologi
"remang-remang", saya benar-benar merasa deg-degan
melihat cara belajarnya Vincent yang lain dari yang
lain. Setiap hari saya bicara dengan Vincent tentang
apa yang ditemuinya di sekolahnya, tentang
dosen-dosennya, tentang "penemuan-penemuan" barunya.
Sudah dua kali saya berkunjung ke Fakultas Psikologi
Universitas Atmajaya "just to say hello" dengan
sebagian teman-teman dan dosen-dosennya.

Tapi tujuan semuanya itu sebenarnya cuma untuk
memberikan dukungan moril bagi Vincent untuk bisa
sedikit banyak mengikuti cara perkuliahan yang normal.
Masuk kuliah dengan teratur, membaca bahan bacaan
kuliah, dan mendiskusikan masalah yang dihadapinya
dalam belajar dengan dosennya... Sampai saat ini baru
sedikit sekali yang dilakukan Vincent sesuai dengan
anjuran saya, tapi tetap saja saya berbicara agar dia
mengikuti cara-cara perkuliahan konvensional.

Kenapa demikian? Karena saya melihat bahwa sampai saat
ini para dosennya itu tidak berusaha secara aktif
untuk mengerti anak didiknya yang lain dari yang lain
itu. Contohnya: anak ini tidak suka menghapal. Itu
harga mati. Sedangkan kita tahu, banyak teori di
ilmu-ilmu sosial, termasuk psikologi, harus
dihapalkan. Jadi, Vincent tidak bisa hapal teori-teori
yang diujikan. Lha, memang iya... wong dia gak mau
menghapal, 100% anti hapalan yang menurutnya tidak ada
gunanya. Yang Vincent lakukan adalah mengolah apa yang
didapatnya di ruang kuliah menjadi tulisan-tulisan
yang diakuinya sebagai penemuan atau aplikasi baru.

Kalau membuat tulisan tentang penerapan dari apa yang
dipelajarinya di ruang kuliah, Vincent jelas mampu dan
mau melakukannya dengan ringan tangan. Padahal,
mahasiswa dan mahasiswi lainnya kemungkinan besar akan
menyerah sebelum memulai. Tulisan orisinal dengan
bahan kuliah yang diterapkan untuk sesuatu hal yang
relevan adalah kemampuan Vincent yang tidak dimiliki
oleh murid lain (saya yakin akan hal itu). So, indigo
atau tidak, anak ini memang mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya sekaligus adalah
kekurangannya.

Kelebihannya untuk melihat implikasi-implikasi dari
teori-teori yang dipelajari mengakibatkan kertas
jawaban ujian akan berisikan pendapat-pendapatnya
sendiri, dan bukan teori yang diajarkan. Jawaban ujian
yang dimaksudkan oleh dosen akhirnya akan berisi
pendapat murid yang satu ini tentang teori apa yang
lebih relevan, yang kemungkinan adalah teori buatannya
sendiri, dan bukan teori yang dimaksudkan. Dengan kata
lain, kertas ujian akan mungkin berisikan tulisan
"ngalor-ngidul", walaupun mungkin relevan bagi mereka
yang mencari solusi dari permasalahan konkrit dalam
kehidupan sehari-hari.

Tetapi itu kan soal lain lagi; itu kan kertas ujian,
dan bukan konseling bagi client? Itu salah satu
contohnya.

Contoh lain lagi: Vincent lebih tertarik untuk
membantu mereka yang memperoleh kesulitan-kesulitan
psikologis. Dan ini banyak, bahkan di kampusnya
sendiri. Jadi, mahasiswa yang satu ini memperoleh
banyak klien/pasien yang ditanganinya dengan
sungguh-sungguh, sedangkan kuliahnya sendiri, yang
dianggapnya tidak banyak gunanya, tidak memperoleh
porsi yang sewajarnya. Banyak bolosnya.

Satu hal yang pasti, Vincent bukan tidak bisa
mengikuti kuliah, tetapi dia tidak mau mengikuti
kuliah dengan menghapal tanpa tahu penerapan. Dia mau
mendengarkan dan langsung mengambil inti pelajaran
untuk diterapkan kepada entah ilmu apa yang sedang
dikembangkannya. Sedangkan dosen mengharapkan
mahasiswa/i untuk paling tidak bisa menjelaskan
tentang teori dan terminologi yang penting, yang
caranya biasanya dengan dihapal.

Nah, permasalahannya itu sekarang apa?

Permasalahannya adalah: dengan cara belajar seperti
itu, mau tidak mau dia akan tersendat-sendat, bahkan
terancam untuk drop out, apabila tidak diambil cara
kompromi dengan para pengajarnya.

Saya sudah sarankan agar Vincent melakukan pendekatan
kepada semua dosennya, pendekatan pribadi,
satu-persatu, dan terus-menerus. Maksudnya agar
terjalin komunikasi yang produktif dan penuh
pengertian sehingga dosen-dosen dari tiap mata kuliah
yang diambilnya akan bisa menemukan solusi tentang
jenis-jenis tugas apa yang bisa diberikannya kepada
Vincent sebagai pengganti jenis-jenis soal ujian yang
jelas sebagian besar tidak akan bisa dijawabnya.

Soal ujian yang memerlukan hapalan jelas tidak akan
bisa dijawab oleh Vincent karena dia tidak mau
menghapal. Tetapi, tugas berbentuk makalah mengenai
penerapan apa yang diajarkan di mata kuliah akan
merupakan "santapan" yang sangat mudah bagi Vincent.

Itu adalah kompromi yang bisa dilakukan oleh Vincent
dengan para dosennya. Tetapi, sekali lagi, hal itu
memerlukan pendekatan pribadi dan terus-menerus. Ada
dosen yang bisa mengakomodasi kekhususan anak ini, dan
ada yang mungkin tidak bisa mengakomodasi, sehingga
kemampuan interpersonal yang cukup dewasa juga akan
dituntut dari Vincent. Saya toh cuma bisa menyarankan,
tetapi yang harus menjalankannya adalah dia sendiri.
Kalau dia sendiri masih memiliki "trauma" untuk
berbicara dengan dosen, saya juga tidak bisa berbuat
apa-apa.

Memang ada "trauma" di diri anak ini untuk menghadap
dosen (pengajar). Trauma seolah-olah dirinya akan
dihakimi. Tapi trauma ini bisa sedikit demi sedikit
diatasi asal dia mau berusaha untuk bersikap proaktif
dan tidak semata-mata bersikap pasif terhadap sebagian
besar dosennnya, seperti yang dilakukannya selama ini.

Itu saran saya untuk Vincent. Dan ini juga berlaku
untuk anak-anak lain yang kurang lebih
memilikiciri-ciri "indigo".

Harapan saya adalah agar para pengajar Fakultas
Psikologi, Universitas Katolik Atmajaya, juga bisa
turut membaca posting informal ini. Mungkin para staf
pengajar disana merasa risih untuk mewawancarai
Vincent (yang saya akui tidak mudah), atau mereka
merasa bahwa seharusnya anak didik yang aktif berusaha
untuk mencari tahu (tetapi ada trauma yang harus
dilepaskan dahulu). Saya sendiri secara pribadi sudah
mengamati Vincent sejak lama, dan saya tidak melihat
ada jalan lain selain kompromi dengan fakultasnya.

Itupun kalau fakultasnya mau mengerti dan menjalankan
suatu program "khusus" untuk anak didik yang memang
lain dari yang lain itu.

All the Best,
Leo


Nama: Drs. Leonardo rimba, MBA
Hp: 0818-183-615
Email: [EMAIL PROTECTED]

Drs. Leonardo Rimba,MBA adalah lulusan jurusan Ilmu
Politik FISIP Universitas Indonesia tahun 1992 dan
lulus program MBA jurusan Finance dari the  
Pennsylvania State University tahun 1994. Profesi
sebagai wiraswasta dan konsultan spiritual. Menangani
konsultasi mencari solusi dengan Tarot untuk umum  
sejak tahun 2003. Melayani terapi penyembuhan
ketergantungan narkoba secara privat one-to-one sejak
awal tahun 1999, Info selengkapnya, baca melalui Link:
 
<http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/10311>.
Bagian Penyembuhan ketergantungan (secara fisik dan
non fisik) merupakan spesifikasi dari Drs. Leonardo  
Rimba,MBA. Spesifikasi Vincent Liong adalah untuk
Terapi Perkembangan Spontanitas, Sensitifitas dan
Kreatifitas dalam menghadapi masyarakat. Leonardo
Rimba adalah Co-Partner Vincent Liong dan merupakan
salah satu Moderator/Pengurus aktif dari Paguyuban
Vincent Liong. Saat ini Leonardo Rimba sedang
mengerjakan penulisan buku Psikologi Tarot bersama
rekan Audifax S.Psi. 




No: 02
From: leonardo rimba <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Wed Nov 23, 2005  9:34 am
Subject: Anak Indigo dan Sistem Pendidikan Kita 
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/2716
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/12528



Rekan-Rekan yang Berbahagia:

Dengan pasti saya bisa menyatakan saat ini bahwa
sistem pendidikan formal yang kita miliki, dari SD
sampai dengan Perguruan tinggi, tidak mampu untuk
mendidik anak indigo.

Anak Indigo adalah sebagian dari mereka lahir di
periode tahun 1980-an dan memiliki aura berwarna nila
dengan ciri-ciri kemampuan spiritual bawaan dan sikap
non-kompromistis terhadap segala sesuatu yang
dinilainya bersifat pemaksaan. Penelitian tentang
fenomena anak indigo ini dimulai oleh seorang psikolog
di Amerika Serikat, dan setelah itu diteruskan oleh
media massa di AS dan negara-negara maju lainnya, yang
akhirnya memunculkan "boom" indigo dengan segala
komersialismenya.

Di Indonesia, Mbak Maria Hartiningsih, seorang
psikolog, adalah orang pertama yang menyorot fenomena
ini dalam sebuah artikel yang lumayan besar di harian
Kompas (Mbak Maria adalah seorang redaksi Kompas).
Dengan bekal hubungan pribadi yang cukup intens dengan
Vincent Liong selama periode waktu yang cukup lama,
Mbak Maria percaya bahwa Vincent Liong, yang menjadi
studi kasus di artikelnya itu adalah seorang anak
indigo.

Dr. Erwin Kesuma, Sp.A, seorang psikiater anak di
Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) Gatot Subroto dan
Klinik Provita kemudian memperoleh banyak pertanyaan
dari wartawan dan wartawati berbagai media massa yang
melihat adanya sesuatu yang bisa menghebohkan disana.
Heboh karena anak-anak indigo ini bisa menggunakan
kemampuan supranatural mereka untuk hal-hal tertentu.
Untuk kemanusiaan, tentu saja: berupa penyembuhan,
terawangan, dan sebagainya yang, kita tahu selalu
menempati posisi cukup menarik perhatian bagi
masyarakat kita yang relijius ini. Dr. Erwin inilah
yang kemudian dinobatkan oleh media massa sebagai
seorang dokter ahli indigo.

Tetapi, Dr. Erwin tidak mau memberikan pernyataan
tertulis bahwa anak tertentu adalah seorang anak
indigo. Saya pernah bertanya langsung kepada Dr.
Erwin, dan ia menjelaskan dengan tegas bahwa yang
diperlukan hanyalah mencocokkan ciri-ciri yang muncul
di seorang anak dengan daftar dari ciri-ciri anak
indigo yang akan diberikan oleh Dr. Erwin kepada siapa
saja yang meminta. Apabila banyak ciri-cirinya yang
cocok, maka bolehlah anak itu disebut sebagai seorang
anak indigo.

Apakah Vincent termasuk anak indigo menurut Dr. Erwin?
Dari percakapan antara saya dengannya, saya bisa
melihat bahwa memang demikianlah anggapan dia dan para
staf Klinik Provita yang banyak menangani anak-anak
"indigo". Kata indigo disitu saya tulis dalam tanda
kutip karena yang ditangani oleh Klinik Provita adalah
anak-anak kecil yang dianggap bermasalah oleh orang
tuanya, dan indigo adalah kata yang positif untuk
dipakai dalam terapi anak; walaupun sebenarnya
anak-anak itu bukan anak indigo. Jadi, telah ada salah
kaprah di bidang terapi. Salah kaprah yang agaknya
sengaja demi komersialisme (tapi itu soal lain,
sehingga saya tidak akan mengulasnya disini).

Sejak saat itu sampai sekarang, sudah cukup banyak
liputan media massa tentang anak-anak indigo. Terakhir
saya dengar Anissa (seorang anak indigo berusia 6
tahun yang berbicara dengan Bahasa Inggris kepada
semua orang walaupun kedua orang-tuanya asli
Indonesia) juga muncul di "Dorce Show". Itu acara
entertainment untuk publik yang haus hiburan, tentu
saja.

---

Sampai saat ini saya tidak melihat adanya sesuatu yang
positif muncul dari berbagai liputan media massa
tentang anak-anak indigo ini. Dari seminar yang
diadakan oleh Metafisika Studi Club, tindak lanjutnya
juga nihil. Kalaupun ada, paling jauh adalah
penerimaan secara pasif bahwa anak-anak indigo itu
memiliki kemampuan supranatural untuk membantu sesama.
Cuma itu saja.

Sistem pendidikan formal kita juga belum pernah
memberikan pernyataan resmi tentang apa yang akan
dilakukannya terhadap anak-anak indigo yang tentu saja
harus bersekolah.

1) Apakah anak indigo harus mengikuti sistem
pendidikan formal biasa walaupun tersendat-sendat?
2) Apakah sistem pendidikan kita yang harus
mengakomodasi anak indigo dengan keharusan menciptakan
SLB (Sekolah Luar Biasa) bagi anak-anak indigo?
3) Apakah anak indigo harus dimengerti sebagai
anak-anak dengan kemampuan di atas normal atau di
bawah normal? Ini penting sekali untuk dijawab oleh
sistem pendidikan kita.
4) Apakah sebaiknya dibuat suatu kompromi antara
sistem pendidikan umum kita untuk mengakomodasi
anak-anak indigo? Kompromi disini berarti akomodasi
"middle ground". Bukan penciptaan SLB, tetapi program
khusus di sekolah-sekolah biasa (dari SD s/d Perguruan
Tinggi).

Program khusus untuk mengakomodasi anak-anak indigo di
sistem pendidikan kita tidak harus berarti penciptaan
program yang mahal dengan SDM (Sumber Daya Manusia)
yang canggih. Khusus itu tidak berarti harus mahal.

Saran saya sebagai seorang pengamat indigo adalah
penciptaan program khusus yang bersifat manusiawi, dan
murah dari segi biaya. Cukup disediakan beberapa orang
SDM yang secara bersamaan menangani seorang anak
indigo di jenjang pendidikan tertentu. Dua atau tiga
orang pengajar untuk secara bersamaan menangani
seorang anak indigo; dan dengan komitmen itu, tetap
bisa memberikan waktu kepada tugas-tugas mengajar di
kelas-kelas biasa.

Cuma sedikit ekstra waktu dan sedikit ekstra biaya
yang diperlukan untuk melancarkan sistem pendidikan.

Mungkin itu yang bisa dilakukan oleh Fakultas
Psikologi, Universitas Atmajaya, untuk menangani kasus
indigo pertama di Indonesia. Apapun kebijakan yang
akan diambil oleh Fakultas Psikologi, Universitas
Atmajaya, dan apapun hasilnya terhadap Vincent Liong
sebagai anak didiknya, itu akan menjadi studi kasus
yang bisa dicontoh atau dihindarkan oleh mereka yang
bergerak di bidang pendidikan kita di masa datang.

Kalau menangani anak indigo saja tidak bisa, bagaimana
pula sistem pendidikan kita akan menangani anak-anak
kristal (yang muncul dari antara mereka yang lahir di
tahun 1990-an)?

Damai di Bumi,
Leonardo Rimba

Penulis adalah seorang pengamat fenomena anak indigo
lulusan Universitas Indonesia dan the Pennsylvania
State University, US. Beliau bisa dihubungi di e-mail
<[EMAIL PROTECTED]>. Melalui HP, di
0818-183-615.




No: 03
From: "leonardo_rimba" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Thu Nov 24, 2005  11:11 am
Subject: Re: Anak Indigo dan Sistem Pendidikan Kita 
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/12551


Terimakasih atas tanggapan Mas Locky:

Sebagai seorang pengamat yang netral, sebenarnya saya
prihatin terhadap dua-duanya: baik terhadap Vincent
dengan sikapnya yang non-kompromistis, maupun terhadap
lembaga pendidikan yang dimasukinya.

Kita tidak bisa menganggap Vincent sebagai anak
"bodoh" sehingga tidak bisa mengikuti kuliah. Di lain
pihak, kuliah sebagai sesuatu yang standard bagi
kebanyakan kita juga tidak bisa mengena bagi dia.

Lalu, Vincent itu seperti apa?
1. Sebagai anak yang emotionally-troubled juga bukan
2. Sebagai anak yang lemah mental juga bukan
3. Sebagai anak yang asosial juga bukan

Seharusnya para psikolog yang mengajar di Fakultas
Psikologi Atmajaya (para pendidik Vincent saat ini)
berusaha untuk mengerti anak didiknya yang satu ini,
dan menemukan teknik mendidik yang cocok baginya.

Kalau yang dimasuki oleh Vincent adalah fakultas
non-psikologi, maka para pengamat independen seperti
saya bisa menerima bahwa standard ya standard,
pengajarnya gak mengerti ilmu jiwa kok. Lha, tapi ini
adalah fakultas psikologi. Para ahli ilmu jiwa ini kok
gak bisa mengerti anak didiknya sendiri?

Ada pertanyaan-pertanyaan dari saya untuk Fakultas
Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya:

1. Apakah mereka sadar bahwa mereka menerima Vincent
Liong sebagai seorang mahasiswa baru yang lain dari
yang lain? Lain disini berarti "exceptional". Karena
berupa "exception" (pengecualian), seharusnya ada
hal-hal yang dikecualikan untuk anak ini.

Tentu saja itu berkaitan dengan konsep "indigo" yang
saya juga sadar masih berada di ambang remang-remang.
Dan adanya Vincent di Fakultas Psikologi Atmajaya
merupakan kesempatan bagi para ahli psikologi
Indonesia yang mengajar disana untuk melakukan
penelitian dan bahkan terobosan apabila anak ini mau
ditangani dengan sungguh-sungguh.

2. Apakah mereka sadar bahwa cara-cara umum dan
standard tidak akan berhasil diterapkan untuk Vincent?
Tidak akan berhasil bukan karena anak ini malas atau
bodoh, tetapi karena memang seperti itu bawaannya.

Jadi, sekali lagi, sesuatu yang "exceptional" memang
memerlukan penanganan yang "exceptional".

Perlu ada sesuatu yang beda. Dan sesuatu yang beda itu
tidak berarti perlakuan istimewa. Perlakuan beda untuk
menangani sesuatu yang beda, sesuatu yang masuk
kategori "exceptional".

Saya sendiri tahu bahwa tidak mudah untuk mendidik
Vincent. Ha ha ha..., bukan karena anaknya bodoh atau
mau enaknya sendiri. Tetapi karena "bawaan". Please
understand, saya sendiri benci sekali menggunakan
istilah "indigo", tapi nampaknya belum ada istilah
lain yang bisa menggantikan istilah itu.

Para psikolog di Fakultas Psikologi Atmajaya, setahu
saya, sampai saat ini juga belum pernah melakukan
penelitian mendalam tentang "indigo". Itu ada
contohnya, sampel hidup, anak didik mereka sendiri:
kok gak diteliti?

Aneh ya kita ini? Nanti setelah mubazir barulah
disesali, barangkali.

All the Best,
Leo
HP: 0818-183-615



at:
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/12530
--- In [EMAIL PROTECTED], "drg Locky Setio"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Mas Leo.
Memang benar pendapat mas semuanya. Memang di
Indonesia tidak ada pendidikan untuk anak Indigo.
Jadi saran saya mas, buat Vincent kejar prestrasi dulu
didunia yang normal dalam arti kata tunjukkan bahwa
anak indigo dapat nilai yang bagus di fak Psikologi.
Salam
Locky


Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/9.ZgmA/FpQLAA/HwKMAA/wf.olB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

posting : psikologi_net@yahoogroups.com
berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED]
ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED]
keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED]
----------------------------------------
sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di 
http://psikologi.net
---------------------------------------- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/psikologi_net/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke