K A T A   P E N G A N T A R
dari Vincent Liong : To: Audifax

Berbahagialah saya dan bung Audifax, mungkin mereka
menampakkan diri benci kita agar nga malu, tetapi
sebenarnya di kandang sendiri mereka meniru-niru
pernyataan kau&aku. Namanya juga borjuissassi. Begitu
lah. Nga mau ngaku kalah, tetapi nga malu
/pinter/sudah kebiasaan menggunakan pernyataan orang,
meski untuk ngatain diri sendiri...

Pengen ngetawain ajah: tersenyum :)

Btw Kerjaan research kita yang nga borjuis masih
lanjut khan bung Audifax.

Research kita ini jelas beda dengan research ala
borjuis, dimana research borjuis hanya adu
keren-kerenan gelar (S1,S2,S3, Doktor, Guru
Besar,dlsb) tetapi nga mampu bikin apa-apa ;selain
nyocok2in data yang udah ada yang hanya untuk dapat
gelar borju tsb, dan menghalangi kalau bisa jangan ada
hal baru (kalau bisa diusahakan tekhnologi yang diakui
nga berubah berpuluh-puluh tahun jadi bisa mentereng
makin lama) ;agar nga susah mencocok2annya data
(bahasa keren: research-er, katanya) dan dapet gelar
nya yang mentereng, jadi selebriti kali ;bisa ngajar
di  seminar hal semumur-umur yang nga pernah
dipraktekin di kehidupan sendiri (lihat pengakuan
mereka no: 5):) ?!.

Kalau reserach kita beda: dari nol harus coba2 sendiri
sampai ketemu pemecahan dan metodologi yang sesuai
kebutuhan pasar, userfrendly, sistematis, efisiennya
dan laku dipasarkan untuk kaum proletar, masyarakat
umum yang nga bergelar borjuis bukan eksklusif para
ahli judgement doank. Saya Pribadi bung, Enak jadi
nabi buatan bung Audifax(;dan para juru tulis pro
Vincent Liong lainnya)daripada sekedar rebutan dapet
gelar eS-telernya buat dipajang dikamar.

:) :) :)

Bung Audifax, moga-moga aja kerjaan kita untuk jadi
mitos yang biasa di beri label oleh para anggota
‘Psikologi Private Night Club’(lihat pengakuan mereka
no:1) cepet beres, gw ingin nyantai-nyantai spt
sebelum kenal Psikologi Privat Night Club yang
sifatnya spt agama fanatik, bisa-bisa loe diganyang
atas nama kesehatan Psikologi Audi…

Soal file ini, untung masih ada mata-mata pro Vincent
Liong di interen mereka yang mau memata-matai dan
mengumpulkan data pengakuan interen mereka ini, kalau
nga rahasia sekte Psikologi yang suka nyontek
point-point tulisan Audifax yang berjudul In The Name
of Psikologi, yang oleh anggota sekte Psikologi
dibuat-buat agar seolah-olah Audifax menjadi ikon
musuh cabang-cabang Psikologi se-indonazia nga akan
terungkap.

Lha-lha-lha hasil rapat aja kok kesimpulannya nyontek
kesimpulan kubu musuh
hahahahaha… moga-moga Audi, researh kita nga ikut
dicontek juga…
Di komunitas borjuis hal nyontek yang masuk dalam
aturan buku Kode Etik halal bagi tingkat anggota sekte
tertentu dan apabila yang dicontek bukan hasil kerja
anggota interen sekte, karena menurut standart ilmiah
empiris, apa yang ada di luar sekte dapat dianggap
tidak ada.


===================================================
To: [EMAIL PROTECTED]

From: [EMAIL PROTECTED]

Date: Tue, 23 May 2006 10:18:03 +0700

Subject: [Dosen Fakultas Psikologi UI] Uneg-uneg

===================================================

Halo-halo,

Ini ada masukan lagi dari alumni.
Bacalah dengan falsafah: "Kipas-kipas mencari angin,
Badan panas Kepala
dingin".

sws

=========

Mas, ini ada lagi tentang psikologi...
sepertinya angkatan saya lagi sewot deh kayanya...
hehehhee


setelah gw baca, gw pikir ini waktunya bagi para
mahasiswa psikologi, sarjana psikologi, dan ilmuwan
psikologi lainnya untuk introspeksi diri.


tadi hasil ngobrol-ngobrol bareng beberapa anak
profesi KLA dan KLD yang s1-nya dari UI dan ATMA, kami
menyimpulkan bahwa kalo kami lihat sekilas, memang:

1. kita memang mudah memberi label kepada seseorang.
kalo gak salah dulu mbak tini pernah bilang kalo ini
memang kelemahan seseorang yang kuliah di psikologi
dan kita harus hati-hati akan hal ini.

2. kita sebagai seseorang yang pernah kuliah di
psikologi juga manusia. kita bisa moody, bisa
bermasalah malah bisa  mengalami gangguan, jadi jangan
menyangkal saat orang bilang kita egois, sentimentil,
mudah ngambek dan sebagainya. kita udah gak bisa
ngumpet di belakang kalimat, "psikologi untuk anda".
sering-seringlah introspeksi diri.

3. fakultas psikologi dibilang kumpulan orang-orang
kaya. kita lihat aja fakultas kita sekarang, laptop
bertebaran dimana-mana dan parkiran mobil mahasiswa
fakultas psikologi bisa menumpuk-numpuk sampai di
belakang fakultas hukum. pertama kita bisa bersyukur
bahwa teman-teman kita berada karena kita bisa pake
laptop temen tanpa harus mengantri labkom yang selalu
penuh. kedua tumpangan mobil untuk pulang lebih
banyak. tapi kalo kita bandingin dengan masyarakat di
luar kampus UI, UI memang menara gading yang mewah
menonjol dan eksklusif.

4. bapak dan guru-guru di bidang psikologi bermasalah.
kita liat aja freud dan kawan-kawan. mereka memang
orang-orang bermasalah kok, jadi kenapa musti kita
tersinggung. tapi mereka gak duduk diam, mereka coba
membuat teori-teori yang membahas hal-hal tersebut.
kalo liat saat ini, kita juga sulit untuk nyangkal
bahwa memang banyak dosen psiko UI yang memang aneh
bin ajaib dan tidak menerapkan pengetahuan yang mereka
ketahui (seperti empati hehehehe).

5. kita memang eksklusif sehingga banyak orang luar
gak kenal psikologi. berapa banyak orang psikologi
yang menulis buku, artikel dan menjadi pembicara
seminar? (kemaren gw baru ngobrol bareng trainer non
psikologi, mereka bilang psikologi saat ini tidak
menjadi pilihan sebagai pembicara seminar karena
banyak menggunakan jargon dan teori). berapa acara
yang kita buat untuk mengenalkan psikologi? Kita
sebagai orang yang kuliah di psikologi seringkan
diminta untuk meramal dan "membaca" orang lain, ini
membuktikan bahwa psikologi masih dianggap sebagai
dukun, paranormal dan ahli parapsikologi lainnya.

6. kita juga gak bisa nyangkal bahwa psikologi bisa
dipelajari oleh semua orang. psikologi membahas
mengenai kehidupan sehari-hari yang tidak dialami
hanya oleh kita, tapi juga mereka yang non psikologi.

7. oh iya hampir ketinggalan. kita waktu s1 kan memang
diajari teori doang, jadi jangan marah kalo orang lain
bilang bahwa kita cuma tau teori. kalo ini mah salah
kurikulum, kita gak tau prakteknya teori-teori
tersebut karena jarang praktikum dan labnya gak pernah
bisa dipake.

8. kalo masalah pacaran, gw gak bisa komen. Jadi ini
waktunya kita untuk introspeksi dan memperbaiki
psikologi ke depannya. Maap jadi panjang, pengen
ngeluarin uneg-uneg mengenai kekecewaan kepada
psikologi ajah.




LAMPIRAN

IN-THE-NAME-OF-THE-PSYCHOLOGY

OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku “Mite Harry
Potter”(2005, Jalasutra)


Psikologi, adalah sebuah disiplin ilmu yang hingga
saat ini masih sering mendengung-dengungkan
kemampuannya untuk understanding human being.
Menariknya, di tengah rentetan permasalahan bangsa
yang makin menunjukkan nirhumanitas, mulai kerusuhan
Mei dan perkosaan massal di dalamnya, pembantaian
etnis di Sambas dan Sampit, Ambon, berbagai
pengeboman, RUU APP, berbagai isyu pornografi yang
makin meresahkan dan mengancam sejumlah pihak karena
agresivitas pihak-pihak tertentu, hingga demo buruh
yang baru saja terjadi; justru tak banyak orang-orang
psikologi yang menunjukkan perannya, terutama
mengungkapkan solusi atau penjelasan pada semua hal
yang jelas-jelas berhubungan dengan psike dan human
being itu.

Fakultas-fakultas Psikologi terus bermunculan, hingga
saat ini tercatat 64 Fakultas Psikologi. Bayangkan
jika dalam satu semester masing-masing dari mereka
meluluskan 10 orang saja, maka per enam bulan ada 640
ilmuwan psikologi, dalam setahun ada 1280 ilmuwan
psikologi. Itu dengan asumsi masing-masing hanya
meluluskan 10, pada kenyataannya dalam satu semester
satu fakultas saja ada yang bisa meluluskan hingga
ratusan. Dan semestinya, sejak ada lebih dari 20 tahun
lalu, pendidikan understanding human being ini sudah
menghasilkan ratusan ribu bahkan jutaan ilmuwan yang
menggeluti ilmu ini. Pertanyaannya: Ada di mana mereka
semua?

Psikologi, ternyata justru turut berperan menimbulkan
nirhumanitas dalam kehidupan masyarakat. Dunia
psikologi, berikut pendidikannya, sedikit banyak telah
berubah menjadi institusi penjinak manusia melalui
mekanisme pendisiplinan. Kita bisa melihat bahwa
manusia mulai dibentuk dalam platform-platform
tertentu yang menafikkan perbedaan dan keunikan.
Platform-platform ini muncul dari cara berpikir yang
berbasis pengategorian. Manusia yang sejatinya unik,
coba dikategorikan. Lalu berlomba-lombalah orang
psikologi membuat cara pengategorian: psikotes,
observasi, Kitab PPDGJ, foto aura dan banyak cara
lagi. Bahkan manusia yang memiliki keunikan ekstrim
pun coba dikategorikan dengan melabelnya indigo,
golden, dll. Semakin sophisticated pengategorian
berikut penamaannya, semakin menjual.

Psikologi yang mengedepankan pengategorian ini, lupa
bahwa psike itu tak pernah sama antara individu satu
dengan yang lain. Lupa bahwa masing-masing psike ini
memiliki alur kisah yang terbangun secara diakronis
dan idiosinkretis. Lupa bahwa hal-hal yang nomotetik
dan sinkronik tak bisa dilepaskan dari apa yang
diakronis dan idiosinkretis. Psikologi sudah saatnya
berhening dari hingar-bingar industri yang menempatkan
manusia tak lebih dari sekrup sebuah mesin besar.
Psikologi sudah saatnya merenungkan dosa-dosanya,
seberapa banyak nasib manusia yang telah secara salah
diputuskan melalui berbagai pengategorian di dalamnya.
Psikologi sudah saatnya memberi perhatian pada
bagaimana individu-individu unik ini, berkisah tentang
dirinya.

Psikologi, jika masih mengklaim sebagai ilmu yang
understanding human being, maka ia harus memberi
perhatian pada bagaimana masing-masing dari manusia
harus berkisah dan bagaimana manusia bisa menerima
kisah dari manusia lain. Manusia, hanya bisa berkisah
untuk memberi gambaran siapa dirinya, dan sungguh
sayang jika manusia tak mampu berkisah, terbisukan
oleh narasi-narasi yang mengatakan dirinya indigo,
schizophrenia, superior, borderline, dsb. Psikologi
(yang understanding human being itu] dapat menyumbang
bagi tumbuhnya humanitas jika mampu mengajak manusia
untuk [berani] berkisah dengan tulus, dengan caranya
masing-masing, sesuai hidupnya masing-masing.
Psikologi dapat mengambil peran dalam humanitas hanya
jika mampu mengajak mereka yang terbisukan oleh
kekuasaan, untuk mampu berkisah dan mendengarkan
kisah.

Sayangnya, psikologi justru turut bermain dalam
kekuasaan yang membisukan manusia dalam narasi-narasi
besar. Psikologi, bahkan mulai menjadi prototipe
agama. PPDGJ, sabda para tokoh dan teorinya, UU
Profesi, Psikotes dan sejumlah hal lain,
[diperlakukan] tak ubahnya bagai dogma, kitab suci,
litani dan pujian layaknya dalam agama. Melalui itu
semua, psikologi juga bicara “dosa” dengan menempatkan
manusia sebagai devian, schizo, paranoid, borderline,
dan sejenisnya. Inilah sebabnya dalam segala
permasalahan nirhumanitas pada bangsa ini, psikologi
tak mampu bicara banyak. Ini karena sama dengan agama,
psikologi juga turut memberi kontribusi bagi
nirhumanitas tersebut.

Psikologi dapat menjadi “understanding human being”
hanya jika mengurangi bicara tentang “dosa-dosa”. Jika
para dosennya memberi contoh dan mengajarkan pada para
mahasiswanya bagaimana secara tulus berhadapan dengan
pluralitas. Jika psikologi mampu melepaskan dari
narasi-narasi besar tentang etika semu dalam berbagai
label seperti “profesi”, “master”, “guru besar” dan
mulai mengembangkan serta berkompetisi berdasarkan
keunikan kemampuan masing-masing. Jika psikologi bisa
mengajarkan bagaimana untuk berkisah dan mendengarkan
kisah dengan segala ketulusan.

Psikologi semestinya malu bahwa segala masturbasi
dengan label-label “S. Psi”, “profesi”, “master”,
“guru besar” di tengah-tengah silang-sengkarut masalah
bangsa, seperti pemerkosaan massal perempuan Cina,
Sampit, Sambas, Poso, RUU APP, Playboy, Inul, Kartun
Nabi, Kartun SBY, Papua, Aceh. Malu karena tak banyak
[bahkan bisa dibilang hampir tak ada] dari orang
psikologi yang bisa mengemukakan solusi atau
penjelasan akar masalah dari hal-hal yang jelas-jelas
menyangkut psike atau understanding human being ini.
Atau lebih tajam lagi tak ada yang bisa mengambil
peran kunci untuk memberi suatu understanding pada
semua masalah nirhumanitas itu. Setiap ada peristiwa,
baik itu pemerkosaan massal, Bom Bali, Tsunami (dan
mungkin nanti meletusnya Merapi), saya hanya melihat
“kawanan psikologi” datang dengan panji-panji
institusinya, berlomba satu sama lain mempertontonkan
metode sulap psikologi yang menjadi ciri institusinya,
namun tak pernah menyentuh akar permasalahannya,
apalagi menghasilkan solusi.

Saya mulai curiga, jangan-jangan psikologi ini [yang
seperti saya singgung mulai jadi prototipe agama]
mulai mengenakan pula atribut-atribut keagungan,
keadilan, dan kerahiman “Allah”. Berperan sebagai Bapa
[Father] pengampun dan penolong, memilah yang suci dan
berdosa, karena orang-orang psikologi ini bisa jadi
merasa sama dengan “Allah Bapa”, sama-sama menguasai
“ilmu tentang manusia”. Terapi-terapi psikologi  atau
training-training menjadi ajang ‘pertobatan’ atau ‘api
penyucian’ agar mereka yang ‘berbeda’ merubah
keberbedaannya dan konform dengan kerumunan. Berbagai
orang psikologi sibuk berbisnis “penyembuhan Ilahi”
ini, dengan membangun biro-biro, rumah-rumah terapi,
klinik-klinik. Inilah psikologi yang berbicara tentang
anak yang hilang dan bertobat pulang.

Apakah psikolog/ilmuwan psikologi hasil didikan 64
fakultas psikologi yang ada di Indonesia saat ini
dapat menyumbang sesuatu dalam permasalahan
nirhumanitas dan problem penerimaan kemajemukan yang
tengah melanda bangsa ini? Saya pribadi berpendapat,
dalam kondisi seperti sekarang, tak banyak yang bisa
mereka lakukan. Bahkan oleh mereka yang telah menempuh
magister atau doktoral sekalipun. Tak juga yang
sekarang memegang posisi dosen atau guru besar.
Satu-satunya kemungkinan agar psikologi dapat mulai
menyumbang pada penyelesaian masalah nirhumanitas dan
penerimaan kemajemukan bangsa ini, adalah dengan mulai
belajar berpikir inklusif.

Saya justru merasa seorang Mbok Suminem di Ledok
Sayidan, seperti dikisahkan Bernhard Kieser dalam
diskusi di Jogja beberapa waktu lalu, jauh lebih bisa
menyumbang bagi permasalahan nirhumanitas dan
bagaimana menerima pluralitas. Rumah Mbok Sum menjadi
warung, pagi hari ibu-ibu berkumpul di situ untuk
belanja dan ngrumpi; malam hari tuan-tuan kampung
bertemu di situ untuk ngopi dan ngrasani. Di rumah
warung Mbok Sum dibangun ketetanggaan; di situ semua
sama tahu; yang tidak cocok pun ketemu di situ,
menjadi sesama warga.

Jadi, penyelesaian masalah nirhumanitas dan bagaimana
menerima kemajemukan pada bangsa ini, tidak
membutuhkan kehadiran ribuan lulusan dari pendidikan
psikologi manapun di Indonesia saat ini. Apa yang
dibutuhkan Indonesia adalah berpuluh juta Mbok Sum
untuk 200 juta jiwa penduduk yang terdiri dari sekian
ribu etnis dan adat yang mencirikannya masing-masing,
untuk lima agama dan berbagai kepercayaan berikut
perbedaannya satu sama lain; untuk keunikan
masing-masing manusia dengan segala kelebihan dan
kekurangannya; serta untuk menjaga tetap hidupnya
ke-Bhinneka-an bangsa ini dan bagaimana masing-masing
bisa berkisah sesuai kehidupan dan keunikan diri.

© Audifax – 4 Mei 2006



--- In [EMAIL PROTECTED], Gus Basyirun Adhim
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:

http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6869

Sekadar menambah info dari pengalaman saya berteman
dengan orang-orang dari komunitas psikologi. Teman
saya ini ada yang berstatus mahasiswa (sarjana hingga
magister), dosen dan praktisi. Entah ini kebetulan
atau fakta yang kasuistis, saya menemukan beberapa
gejala aneh dari pribadi mereka :
  
•    di beberapa seri diskusi saya menyimpulkan mereka
ini sangat mudah mengomentari karakter seseorang. Sama
ahlinya dengan dokter yang dengan gampang mendiagnosa
sebuah penyakit.  Sok tau kali yee??? ataukah ini
euforia mereka setelah bergumul dengan teori psikologi
yang isinya hanya menuding-nuding pribadi lain di luar
diri mereka????

•    Rata-rata teman saya ini orangnya egois,
sentimentil, mudah ngambek dan cenderung temperamental
jika menemukan kesulitan di kehidupan pribadinya.
Sungguh aneh. Mereka ini yang semula disiapkan untuk
mengatasi masalah orang lain, tapi masalah yang
menhinggapi dirinya tak pernah tuntas dijawab?

•    Sering mengalami masalah dengan pasangan hidupnya
(pacar, calon suami). Di beberapa kasus, bahkan
terjadi kawin lari. Ini banyak terjadi pada teman
psikologi saya yang perempuan. Pacarnya memutuskan
hubungan, kawin lari atau hubungan asmaranya penuh
kendala berat. Apakah ini soal komunikasi? yang
mungkin terjadi karena sang "psikolog" sering men
judge pasangannya dengan metode komunikasi "psikiater
dan pasiennya"??? hehe. sehingga pasangannya merasa
direndahkan karena dianggap gila atau setidaknya
diperlakukan sebagai orang dungu yang tidak tahu
sesuatu??

•    Di beberapa universitas terkemuka di Surabaya,
jurusan ini selalu dipenuhi orang-orang berada --jika
tak bisa disebut KAYA. Komunitas mereka dipenuhi aura
wibawa dan gengsi tinggi. Memacari atau bisa dekat
dengan anggota 'gang' psikologi adalah kebanggaan.
Bisa dibilang, grade fakultas ini setingkat di bawah
Kedokteran (diukur dari rasa dan selera orang memilih
kuliah). Entah bener entah tidak, tapi yang jelas
fakta ini memang sering saya temui.

•    Setelah beberapa kali saya mencari referensi
tentang disiplin ini, saya juga menemukan beberapa
keanehan. Terutama dari kepribadian para tokoh-tokoh
jaman dulu yang sering ditahbiskan sebagai GURU/BAPAK
bagi disiplin psikologi. Ada yang ternyata gemar
melakukan sex incest, lainnya terbukti menjadi
psikopat, tokoh lainnya terjangkit PMS. Waduh.
tiba-tiva saya jadi ngeri.

•    Lalu berdasarkan pengalaman saya di Aceh. Ada
beberapa temuan yang menjadi catatan menarik. Adalah
ketika para relawan-relawan yang menjadi pendamping
anak pasca bencana, tiba-tiba semua memiliki kemampuan
untuk menjadi penyembuh para korban trauma. Mereka
seolah menjadi savior bagi para survivor. Dadakan
banget. Mereka ini tak pernah sekalipun menerima
kuliah Psikologi. Bahkan beberapa relawan ini ada yang
hanya lulusan ES-EM-PE. dan mereka berhasil menjadi
pendengar, penenang, dan akhirnya penyembuh para
korban trauma itu... Apakah ini artinya, menjadi
psikolog itu sebenarnya mudah??? ataukan Psikologi itu
sebaiknya dipelajari dengan filosofi "learning by
doing is more effective than through theory only"??
Dari pengalaman inilah saya pernah memimpikan sebuah
ide, bagaimana jika format KKN/PKL mahasiswa psikologi
itu diubah dengan mengirim mereka ke daerah konflik
atau bencana???? biar ilmu mereka langsung berbicara
gitu.. memberi manfaat untuk umat.... karena saya
•    melihat psikologi sekarang sudah mulai mengikuti
arus orientasi profit, sebagaimana bergesernya profesi
dokter yang jaman dulu dikenal sosial dan pahlawan
kemanusiaan. Maaf kalau saya salah tentang ini.
  
  Saya sadar bahwa pengalaman yang saya temui dari
beberapa catatan di atas, tidak cukup kuat untuk saya
jadikan konklusi atau tesa bahwa disiplin psikologi
itu tiada guna. Tapi setidaknya setelah ini saya akan
mendapat pencerahan ulang dari
Bapak/Ibu/Abang/Kakak/Mbak/Mas/Adik/Profesor/Rekan
Mahasiswa yang sedang getol mendalami psikologi, agar
saya tidak keliru mengamati polah para pegiat
psikologi. Supaya saya tidak naif lagi.
  
  Karena setelah membaca paparan rekan Audifax ini,
saya kembali tersugesti bahwa Psikologi itu memang
hanya akan melahirkan generasi "hakim" psikopat yang
asosial, apatis dan suka melarikan diri dari bumi
(utopis). Padahal sebelumnya saya sudah netral tidak
menghakimi psikologi.
Maafkan jika apa yang saya sampaikan kurang berkenan
dan saya siap dikoreksi.
  
  Wassalam
  Gus Adhim



From: [EMAIL PROTECTED]
To: [EMAIL PROTECTED] ;
[EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ;
[EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, May 10, 2006 3:45 PM
Subject: Fwd: [psiindonesia]
IN-THE-NAME-OF-THE-PSYCHOLOGY

Loh, ada apa ini?
Kok tiba-tiba, dimulai dengan emailnya  audifax, ada
email yang mendiskreditkan
psikolog seperti ini? Apa maksudnya sih?

Sarlito



agspram <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

    Saya rasa boleh-boleh saja dan hak siapa saja
untuk menilai dan berpendapat tentang psikolog.
Masalah benar tidaknya, tentu yang tahu diri kita
sendiri.  Bagimana kalau kita ajak "dia" untuk duduk
bersama, mendengarkan langsung pendapat dia dan beri
pengertian pada dia apa yang sudah kita lakukan selama
ini pada bangsa dan negara. Tunjukan pada mereka (kalo
emang lebih dari sartu orang) bahwa kita bisa terbuka
terhadap masukan dan kritikan yang belum tentu benar.
Saya pikir dia masih cinta dan menaruh harapan pada
profesi psikolog untuk menyumbangkan buah pikirannya
pada negara yang carut marut ini, karena itulah kita
ada.
    
    salam
    agus pram



titiek agustina <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

    buat mas agspram,.................................
    siapa bilang ada hak  untuk menilai orang
lain,.......................???????????
    beda persepsi boleh saja,....................
tapi, seperti salah satu baris lagu,..............:
"You have no
right,............................................."
    
    salam,
    mbak Tiek



Budi Setiawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
sabar tho pak sarlito
sabar tho mbak titik

soalnya kan bukan benar salah
soalnya kan bukan berhak atau tidak
soalnya kan bukan bangga atau enggak
soalnya kan bukan mendiskreditkan atau memuji
(ingat, penulisnya juga sudah bilang Maafkan jika apa
yang saya sampaikan kurang berkenan dan saya siap
dikoreksi. saya pikir kita semua masih punya maaf
segudang)

realitas ini kan beragam tho...bisa jadi kita melihat
dari sisi yang sini....ada yang liat dari sisi yang
sana...
apabila ada yang melihat realitas yang berbeda dengan
yang kita lihat ya itu wajar kan
sudah bukan jaman orde baru lagi kan
sekarang.....boleh beda kan pak?...boleh beda kan
mbak?

terus bagaimana?
hasil kajiannya seligman (kalau gak salah beliaunya
ketua APA) menunjukkan bahwa 400.000 ribu studi
psikologi membahas soal stress, depresi, kegilaan,
psikopat dll...dan hanya 4000 studi yang mengkaji soal
happines, joy dll
artinya, masih banyak kan realitas yang belum
dijelajahi psikologi....masih banyak yang belum kita
ketahui kan....

daripada tuduh menuduh kan mending kita bicara soal
bagaimana baiknya psikologi.....apa yang harus saya
(atau kita) lakukan agar psikologi berperan dalam
memanusiakan manusia (bener2 manusia nih...bukan cuman
yang sakit atau berduit aja)...

apa sih pelajaran yang bisa kita ambil dari realitas
menyakitkan yang disampaikan oleh kawan-kawan kita
itu?


bagaimana pak sarlito?
bagaimana mbak titik?

bagaimana mas heru?



From: titiek agustina <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Wed May 10, 2006  9:12 pm
Subject: Re: [psiindonesia]
IN-THE-NAME-OF-THE-PSYCHOLOGY
To: [EMAIL PROTECTED]
udah dari awal diniati menyampaikan hal-hal yang
kurang berkenan kok minta ma'af?
.............................................


Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com


posting : psikologi_net@yahoogroups.com
berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED]
ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED]
keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED]
----------------------------------------
sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di http://psikologi.net
----------------------------------------




SPONSORED LINKS
Bali indonesia Indonesia hotel


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke