Assalamualaikum.Wr.Wb.

Netter yang berbahagia.

Sengaja saya copykan beberapa perbincangan mahasiswa
S2-S3 di kairo beserta mahasiswa lainnya di
Eropah,seputar masalah " Tragedi Mina ",yang baru-baru
ini terjadi.

Sehingga timbul suatu permasalahan yang di ucapkan
oleh salah seorang tammatan Timteng juga,tapi orang
ini semenjak dari dulunya memang selalu berpendapat
kontradiksi dengan hukum2 Islam sebenarnya.

Dan pada hakikatnya hal semacam ini sangat banyak
terjadi dikalangan orang yang berpredikat cukup
terpandang ( ngak perlu saya sebutkan siapa saja
mereka2 itu ).

Mereka-meraka ini hanya mengambil satu ayat,melalaikan
ayat yang lainnya,akibat kelemahan pandangan,dan
kedangkalan mereka terhadap ajaran islam,yang pada
hakikatnya kita punya Al Qur'an Sunnah,Fiqh,Ushul
Fiqh,kaedah Bhs Arab,dan sebagainya itu.

Betapa banyak diantara mereka yang hanya berpegang
pada Al Qur'an saja ( itupun ngak pula sepenuh,dan
sedalam yang diinginkan ),melupakan bahwa didalam
agama kita ada Al Hadist,ada Fiqh dan kaedah-kaedah
dalam penetapan suatu hukum.

Salah satu penyebab tragde Mina adalah kurangnya
diantara kita mengetahui apa itu Fiqh Awwaliyat ( fiqh
prioritas ).


Sehingga banyaknya terjadi perasaan ingin mengambil
afdhaliyah ( sunnat ),melalaikan yang utama ( wajib
).melempar jumrah,mencium hajarul aswad,adalah suatu
hal yang Sunnah,sedangkan menjaga keselamatan jiwa
adalah yang terutama.Penjelasan2 seperti ini tidak
pernah,bahkan jarang sekali di ungkapkan sebelum
jamaah haji berangkat.Seharusnya semua ini jadi
catatan penting bagi pihak yang berkompoten dalam
masalah pemberangkatan haji ini.

Maaf foto copy ini cukup panjang,sebaiknya di print
saja baru dibaca.Hal ini cukup penting diketahui oleh
kita,terutama yang masih awam,agar jangan gampang
terpengaruh dengan pendapat seseorang ,meskipun ia
tammatan Timteng,karena di Al Azhar itu
sendiri,orang-orang semacam ini sering di hantam baku
pemikirannya oleh mahasiswa Al Azhar lainnya.

Saya ngak ingin ini jadi polemik,tapi cukup dijadikan
pelajaran saja.Saya kaget sekali Masdar ini mengatakan
kaji ulang pelaksanaan haji,agar di jalankan kapan
saja asalkan di bulan haram (
Syawal,dzulkaedah,dzulhijjah ),dengan mengambil dalil
ayat Allah " Al Hajju Ashurummaklumaat = ,haji ini
adalah di bulan-bulan yang berbilang ".Jadi wukuf di
Arafahnya itu tidak harus pd tgl 9 dzulhijjah,bisa
saja kita berbagi di bulan yang lain,demi pengaturan
banyaknya jumlah jemaah haji.Bisa dilaksanakan di
bulan syawal dan sebagainya itu.


Bagi mereka yang awam bisa saja terpengaruh.Padahal,di
dalam ayat yang lain ada disebutkan haji itu tepatnya
kapan.Begitupun dengan Hadist-hadist Rasulullah
SAW,tapi biasanya mereka melalaikan hadist.Tapi
sayang,orang semacam ini ( dan cukup banyak di
Indonesia ),baru mengetahui sedikit ilmu sudah
ngeludak.Begitulah adanya Air beriak tanda tak dalam.

Wassalam.Rahima.( 34 )

  
Assalamualaikum
 
Saya setuju tuh dengan istilah "Mujtahid Picisan".
Sebenarnya saya berharap setelah beberapa hari
tanggapan saya sampaikan ke Masdar (sabtu) dia akan
beri tanggapan balik, tapi kok sepi-sepi aja sampai
dia pulang (senin).
Yaah, mereka telah kembali dengan meninggalkan "bau"
setelah ..........(maaf) 'kentut' di
sini. 
 
Muchlis
"Ahmad Hadi Yasin (AHAY)" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

"H. M. Surya Alinegara" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:




>From: "Sofjan Siregar" 
>Reply-To: [EMAIL PROTECTED] 
>To: [EMAIL PROTECTED],
[EMAIL PROTECTED],[EMAIL PROTECTED],
[EMAIL PROTECTED],
[EMAIL PROTECTED],[EMAIL PROTECTED],
[EMAIL PROTECTED], 

--------------------------------------------------------------------------------
MSN Search, for accurate results! Click here 

Subject: Re: [ICMI-Belanda] FW: [icmi-orwileropa]
Kabar dari Kairo


Tanggapan  ICMI Orwil Eropa terhadap Mujtahid wacana
dan hypothetisch.

Terima kasih atas perhatian ICMI Kairo atas
kehati-hatiannya terhadap ijtihad picisan  yang
dilontarkan oleh Masdar F Masudi.

Tahun 1997 saya di undang oleh sdr. Slamet Effendy
Yusuf (ketua Golkar)di Jakarta untuk menjadi
pembanding dalam diskusi informal tentang bukunya
Masdar masudi mengenai peninjauan ulang waktu haji.
Masdar sebagai pemrasaran memaparkan ijtihadnya,
kemudian oleh moderator Slamet Effendy saya
dipersilahkan menanggapinya.

Setelah saya tanggapi semua dalil yang
dipergunakannya, selain tidak akurat juga menunjukkan
dia kurang menguasai masalah dengan methode analogi
yang tidak tepat, apa lagi  terlalu gegabah mengatakan
pelaksanaan haji selama ini melanggar nash Qur'an
sejak 14 abad silam, maka tanggapan saya singkat saja
sbb:

 Kalau anda ( Masdar F Masudi) yakin dengan ijtihad
ini bahwa selama ini umat Islam melanggar nash qur'an
dan menurut anda haji boleh dalam waktu tiga bulan
syawal, zulqa'dah dan zul hijjah, tolong buktikan dan
lakukan haji pada bulan tahun depan(1998) wukuf pada
awal syawal di Arafah atau akhir bulan Zul Hijjah.
segala ongkos dan pembiayaan anda selama naik haji dan
kain ihram anda akan saya tanggung. Okay? Tapi jawaban
mujtahid picisan ini hanya" jangan gitu dong, ini kan
baru wacana". Beginilah tipe mujtahid wacana dan
hypothetisch yang asbun . 

Sofjan S Siregar

Ketua ICMI Orwil Eropa













>From: "Ahmad Hadi Yasin (AHAY)" 
>Reply-To: [EMAIL PROTECTED] 
>To: [EMAIL PROTECTED] 
>Subject: [icmi-orwileropa] Kabar dari Kairo 
>Date: Sat, 7 Feb 2004 10:49:56 -0800 (PST) 
> 
>Assalaamu alaikum 
> 
>Rekan-rekan, IKhwan dan Akhwat di Eropa dan di mana
saja 
>Pak Masdar F Masudi kali ini sedang di Kairo,
rencananya mo ngadain acara yaaa semacam pendidikan
Emansipatoris, tapi ternyata acara tersebut tidak bisa
dilaksanakan karena tidak memperoleh izin dari
pemerintah Mesir. 
>Ketiadaan Izin tersebut tentu saja di antaranya
karena permintaan Mayoritas Mhs Mesir. 
> 
>Tapi silahkan dilihat tanggapan teman kami di sekitar
pemikiran Hajinya Pak Masdar. SElamatMembaca: 
> 
>PERLUKAH WAKTU PELAKSANAAN HAJI DITINJAU ULANG? 
> 
>(Tanggapan atas Masdar F Masudi) 
> 
>Oleh: Muchlis M. Hanafi 
> 
> 
> 
> 
> 
>Di tengah hiruk pikuk dan kemelut persoalan haji,
mulai di tanah air sampai pada tingkat pelaksanaannya
di tanah suci, yang tak kunjung usai, khususnya
setelah tragedi Mina terbaru (2004) yang menelan
korban 244 orang, berbagai ide dilontarkan. Di antara
yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan, apa yang
disampaikan oleh Masdar F Masudi, Katib Syuriah PBNU
dan Anggota Komisi Fatwa MUI, seputar peninjauan ulang
kembali waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji, dan
‘dipasarkan’ oleh Ulil Absar Abdallah dalam tulisannya
di Media Indonesia, Selasa, 3 Februari 2004 (Tulisan
dan wawancara Masdar dapat dilihat di
www.islamlib.com, Jawa Pos, Minggu, 18 Januari 2004). 
> 
>Kesimpulannya, menurut Masdar, selama ini telah
terjadi kesalahan dalam pemahaman menyangkut
waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji. Puncak ibadah
haji yang dilakukan tanaggal 8, 9, 10, 11, 12 dan13
Dzulhijjah, menurutnya, bertentangan dengan nash
sharih dalam Alquran, “al-hajju asyhurun ma`lűmât”
(waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum,
yaitu Syawwal, Dzulqa`dah dan Dzulhijjah, dengan
perbedaan apakah Dzulhijjah seluruhnya atau atau hanya
9 atau 10 hari pertama). Berdasarkan ayat tersebut,
ibadah haji dapat dilakukan kapan saja, dalam
hari-hari selama tiga bulan tersebut, tanpa terfokus
pada hari-hari yang selama ini kita kenal sebagai
puncak pelaksanaan ibadah haji. Demikian singkatnya,
secara lengkap argumentasinya dapat dibaca di sumber
yang kami sebutkan di atas. 
> 
>Sebagai wacana, pendapat ini sah-sah saja, apalagi
jika MF melontarkannya dengan niat ikhlas ‘berijtihad’
menemukan solusi hukum. Tetapi kesalahan dalam
berijtihad, apalagi jika peran akal sangat dominan,
bisa terjadi jika tidak didukung dengan argumentasi
yang kuat dan perangkat yang memadai. Untuk itu
diskusi aktif dan produktif seputar maslah itu perlu
dilakukan. 
> 
>Sebagai wacana, hemat saya, mendiskusikannya dalam
forum terbatas cerdik cendekia jauh lebih baik dari
pada mem-floor-kannya ke khalayak awam melalui media
umum. Alangkah baiknya jika sebelum disajikan ide
tersebut diuji dulu kesahihannya di laboratorium
tempat berkumpulnya para ahli. Sebab kita berharap
jangan sampai ada yang ‘kepincut’ dengan buah yang
belum masak padahal ada yang lebih sehat dan lezat
dari itu. Atau, jangan sampai ada orang yang
digambarkan oleh Imam Al-Alusi, pengarang tafsir Rűh
al-Ma`âni, ketika menggambarkan dirinya yang kepincut
pertama kali dengan madzhab Syafi`i tetapi kemudian
menemukan ‘jodohnya’ di madzhab Hanafi, dia
menggambarkannya seperti berikut: Atânî hawâhâ qabla
an a`rifal hawâ – fashâdafa qalban khâliyan
fatamakkanâ. 
> 
>Di Mesir, wacana seperti itu bukanlah baru. Beberapa
tahun lalu, seorang Jenderal (Purn) Mesir bernama
Muhammad Syibl pernah mengutarakan ide tersebut dengan
argumentasi yang sama. Likulli sâqith lâqith (Setiap
yang ‘jatuh’ akan ada yang memungut), demikian kata
pepatah Arab. 
> 
> 
> 
>Sebagai bentuk sumbangsih dalam wacana tersebut,
berikut ini saya sampaikan tanggapan saya terhadap ide
tersebut. Sebagian, terutama menyangkut penjelasan
hadis, saya kutip dari guru hadis saya di Al-Azhar,
Prof. Abdul Muhdi, dalam bukunya Al-Radd `alâ
Mushthafa Mahmud fi Inkâr al-Syafâ`ah wa Liwâ Muhmmad
Syibl fi Inkâr Yawm `Arafah, Dar al-I`tisham, Kairo.
Jazâhullâhu `annî khayra al-jazâ. Untuk menjaga
obyektifitas dalam pemahaman terhadap argumentasi MF
saya kutip tulisannya secara utuh dan saya blok dengan
huruf tebal (dapat dicocokkan dengan tulisan aslinya).

> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
>1 
> 
> 
> 
>MF melontarkan idenya atas dasar dua asusmsi;
pertama, pelaksanaan ibadah haji selama ini, karena
terkonsentrasinya masa pada satu titik tempat dan
waktu, telah menimbulkan masalah, bahkan penyimpangan
yang dapat mengganggu kesempurnaan atau keabsahan
ibadah haji itu sendiri. MF memberikan contoh-contoh
penyimpangan (dalam hal manasik) dan permasalahan yang
terjadi sebagai berikut (saya kutipkan tulisan MF): 
> 
>“Penyimpangan yang dimaksud, antara lain sbb: 
> 
> 
>a. Dalam pelaksanaan sai'y (lari kecil) dari bukit
Shafa ke bukit Marwa; tidak sedikit di antara jemaah
haji bukan saja yang berusia lanjut dan udzur, yang
bersa'iy dengan kerata, tapi juga yang masih sehat,
ternyata pelaksanaan sa'iy mereka bukan lagi dari
bukit Shafa ke bukit Marwa melainkan hanya dari kaki
bukitnya belaka; 
> 
>b. Pelaksanaan mabit di Muzdalifah; karena antrian
kendaraan dalam kemacetan yang luar biasa, tidak
sedikit jemaah haji yang seharusnya mabit (singgah di
malam hari) di Muzdalifah untuk mengambil kerikil
(jamarat), ternyata mereka baru tiba di Muzdalifah
sesudah mata hari terbit, bahkan ada yang menjelang
tengah hari. 
> 
>c. Mabit di lembah Mina; Disebabkan oleh keterbatasan
area lembah Mina untuk menapung jemaah haji yang
(baru) 2,5 juta orang, hampir 1 juta di antara mereka
dalam beberapa tahun belakangan ini terpaksa harus
diinapkan (mabit) di luar kawasan Mina; Pelaksanaan
lempar batu (ramyul jamarat); Juga disebabkan oleh
ketidak mampuan kawasan jamarat maka ratusan ribu
bahkan jutaan jemaah terpaksa tidak dapat mengejar
waktu afdlaliyat pelemparan, yakni ba'daz zawal.” 
> 
>Dalam hal permasalahan dan kesulitan (masyaqqat) yang
timbul, MF memberikan contoh dengan mengatakan: 
> 
>“a. Dalam pelaksanaan lempar Jamarat, sekali lagi
disebabkan oleh penumpukan jemaah yang luar biasa
banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama,
selalu saja terjadi musibah yang fatal, yakni kematian
jemaah karena terinjak atau terjatuh. Segala sesuatu
memang terjadi atas takdir Allah, akan tetapi
merupakan perintah Allah juga agar kita berikhtiar
semaksimal mungkin untuk menghindari petaka. Allah
berfirman: "Wala tulqu bi aidiikum ila at-tahlukah/
Jangan jerumuskan dirimu dalam petaka" (Q-Al-Baqarah:
195), "Maa ja'alal laahu 'alaikum fid diini min haraj/
Allah sekali-kali tidak mau merepotkan kalian dalam
beragama" (Q-Al-Hajj: 78); 
> 
>b. Telah terjadi pemubadziran yang luar biasa atas
berbagai fasilitas mabit di Mina (berupa bangunan
penginapan dan tenda-tenda permanen dengan alat
pendinginnya, berikut sarana jaringan air minum dan
telekomunikasi), serta jaringan jalan tol
Makkah-Arafah-Mudzdalifah-Mina-Makkah. Kesemuanya itu
terpakai maksimal hanya 4 hari selama 1 tahun.
Bagaimana pun hal ini merupakan tabdzir yang tidak
diizinkan oleh Allah SWT, "Innal mubadzziriina kaanuu
ikhwans syaiyaathin wa kaanas syaithaanu li rabbihi
kafuura/ Sungguh orang-orang yang suka membuat
kesia-siaan adalah teman-temannya syetan..." (Q:
Al-Isra: 27); 
> 
>c. Telah terjadi kesulitan serius di kalangan para
penyelenggara Perjalanan Haji, baik di tanah suci
maupun di masing-masing negara asal, sejak mulai dari
tahap pendaftaran, pembayaran, persiapan
keberangkatan, pengangkutan ke tanah suci, dalam
penyediaan akomodasi dan pelayanan-pelayanan lain.” 
> 
>Asumsi kedua yang menjadi landasan ide tersebut
adalah seperti diungkapkan oleh MF : “bahwa manasik
haji pada dasarnya adalah ibadah yang konsep dasarnya
adalah "napak tilas" atas jejak Nabiyullah Adam AS
(sang bapa makhluk manusia) dan Nabiyullah Ibrahim AS
(sang bapak tauhid manusia) dalam menemukan Tuhan Yang
Maha Esa, Allah subhanahu wa ta'ala. Sebagai proses
napak tilas, maka dimensi ruang atau tempat kejadian
menjadi sangat penting untuk dijaga akurasinya,
dibanding dengan dimensi yang lain termasuk dimensi
waktu.” 
> 
>Kerena itu, MF berpandangan perlu ada solusi radikal
berupa peninjauan ulang kembali waktu pelaksanaan haji
yang selama ini berpuncak pada tanggal 8, 9, 10, 11,
12 dan 13 Dzul Hijjah. Solusi yang ditempuh selama
ini, berupa pembatasan jumlah jamaah dengan sistem
quota dan penjebolan batas-batas ruang manasik
(seperti di Mina) dianggap tidak realistik dan secara
syar`i bermasalah. 
> 
>Demikian landasan utama pemikirannya yang kemudian
didukung oleh beberapa dalil seperti akan kami
jelaskan kemudian. 
> 
> 
> 
>2 
> 
> 
> 
>Hemat kami, asumsi pertama tertolak karena : 
> 
>1. Beberapa contoh penyimpangan yang disebutkan pada
poin a, b dan c (sa`i di kaki bukit, pelemparan
jamarat tidak ba`da zawal) lebih disebabkan karena
kurangnya pemahaman manasik sebagian jemaah dan
berpulang kepada kesadaran beribadah. Penggunaan alat
bantu bantu seperti tandu, kursi roda atau kendaraan
binatang (seperti pada zaman Rasulullah saw.)
disepakati oleh ulama hanya diperkenankan dalam
keadaan uzur seperti sakit, lanjut usia atau lainnya.
Dalam mazhab Hanafi, sa`i atau thawaf dengan alat
bantu tanpa uzur syar`i makruh hukumnya. Bahkan
Sayyidah Aisyah RA. rela tidak berhaji lantaran tidak
kuat bersa`i, padahal bisa menggunakan alat bantu,
karena enggan menggunakannya. Ia mengatakan: 
> 
>** ***** ** **** ******* *** ***** *** ***** *******
**** ***** ****** 
> 
>Tidak ada yang menghalangi berhaji dan berumrah
kecuali sa`i antara bukit Shafa dan Marwah, dan saya
tidak suka berkendaraan. 
> 
>Fenomena orang yang berpura-pura sakit agar ditandu
atau naik kendaraan tidak hanya terjadi sekarang.
Sahabat Urwah bin Zubair, kemenakan Aisyah RA, pernah
memarahi seseorang yang berthawaf/bersa`i dengan alat
bantu dan berpura-pura sakit dengan mengatakan, khâba
hâ`ulâ`i wa khasirű (merugilah mereka itu, dan
merugilah) (lihat: Ahkâm al-Qur`ân, karya al-Jashshâh,
1/120). 
> 
>2. Tentang pelaksanaan sa`i yang “bukan lagi dari
bukit Shafa ke bukit Marwa melainkan hanya dari kaki
bukitnya belaka”, saya katakan, dalam kondisi biasa,
seluruh ulama dari berbagai mazhab membolehkan
berhenti sampai di kaki bukit (Bidâyat al-Mujtahid,
1/340), apalagi dalam kondisi berjejalan. Yang wajib
adalah bersa`i antara bukit Shafa dan Marwah. Memang
ada anjuran untuk naik dan berdoa, tetapi menurut
Wahbah Zuhaili, itu hanya berlaku bagi laki-laki,
wanita cukup di bawah (kaki bukit) (Al-Fiqh al-Islâmiy
wa Adillatuh, 3/172). Pendapat senada dalam mazhab
Syafi`i dapat dilihat misalnya dalam Mughni al-Muhtâj,
karya al-Syarbiniy, 1/664. 
> 
>3. Klaim MF: “karena antrian kendaraan dalam
kemacetan yang luar biasa, tidak sedikit jemaah haji
yang seharusnya mabit (singgah di malam hari) di
Muzdalifah untuk mengambil kerikil (jamarat), ternyata
mereka baru tiba di Muzdalifah sesudah mata hari
terbit, bahkan ada yang menjelang tengah hari”, tidak
faktual dan terkesan mengada-ada. Sebab Muzdalifah
berada di antara Arafah dan Mina, tempat tujuan
berikutnya (saling berbatasan). Begitu keluar dari
Arafah menuju ke arah Mina dengan sendirinya kita
telah berada di Muzdalifah. Dengan lokasi yang
berbatasan seperti ini sulit dibayangkan, dalam
kondisi apa pun, seseorang bergerak dari Arafah ke
Muzdalifah selama 12 jam, bahkan 18 jam, mulai dari
ba`da maghrib (waktu diperkenankan bertolak dari
Arafah) sampai keesokan paginya bahkan siang harinya.
Kecuali jika jemaah mengambil jalur menuju Mekkah atau
tersesat jalan. Dengan sistem Shuttle Trip
(taraddudiy) yang pada tahun ini berhasil mengangkut
33% dari keseluruh an jemaah (asal Turki, 
>  Eropa dan Asia Tenggara) klaim MF itu sulit
dibayangkan dapat terjadi. Kalaupun terjadi sifatnya
kasuistis yang tidak bisa menjadi landasan pembentukan
hukum. Yang selama ini terjadi, sebagian jemaah tidak
bisa melaksanakan mabit dengan pengertian bermalam dan
menginap sampai salat subuh di Masy`aril
Haram(Muzdalifah) seperti dilakukan Rasulullah Saw,
atau paling tidak sampai pertengahan malam. Para ulama
empat mazhab sepakat, mabit di Muzdlaifah wajib
hukumnya, tetapi sebagian mereka seperti Hanafi dan
Syafi`i membolehkan mabit dengan sekadar berlalu,
tanpa menetap atau menginap (Al-Fiqh al-Islâmiy wa
Adillatuh, 3/186). Yang wajib, menurut mazhab Syafi`i
dalam mabit adalah cukup berada di sana walau sekejap
meski hanya berlalu setelah pertengahan malam.
Al-Syarbiniy dalam Mughni al-Muhtaj mengatakan: 
> 
>***** ** ****** *** ****** *** **** ******* ***** *
***** ****** *** *** ** **** * ***** *** *** ***** ***
** **** ** **** (**** ******* * 1/671) 
> 
>4. Tentang mabit di lembah Mina, MF menyebut dua
penyimpangan yang dianggap mengganggu kesempurnaan
atau keabsahan ibadah haji; pertama, penjebolan batas
ruang dengan menginapkan jemaah di luar kawasan Mina;
dan kedua, “karena ketidakmampuan kawasan jamarat maka
ratusan ribu bahkan jutaan jemaah terpaksa tidak dapat
mengejar waktu afdhaliyat pelemparan, yakni ba`da
zawal”. Berkenaan dengan dua hal ini saya katakan,
kedua hal tersebut tidak dapat dikatakan mengganggu
kesempurnaan atau keabsahan ibadah. 
> 
>Untuk yang pertama, MF hendaknya dapat membaca lebih
cermat lagi landasan syar`i yang dikemukakan para
ulama (Saudia Arabia, Indonesia dan Majma Fiqih
Rabithah) sehubungan dengan perluasan ke tempat yang
disebut Mina II (di kawasan Muzdalifah). Sebagian
negara, seperti Indonesia, menyiasati kebijakan
pemerintah Arab Saudia tersebut dengan memperkenankan
jemaahnya yang merasa tidak ‘nyaman’ dengan fatwa
tersebut dan mendapat lokasi di sana, untuk berada di
lokasi Mina ‘yang sebenarnya’ selama mu`zham al-lail,
setelah itu kembali ke tenda di Mina II. Sebagian
jemaah bahkan kembali ke pemondokan di Mekkah (di luar
Mina) setelah mu`zham al-lail berada di Mina, dan
secara syar`i itu tidak masalah. Dalam beberapa
kondisi (uzur syar`i) ulama juga membolehkan tidak
bermabit di Mina dan Muzdalifah. Rasulullah pernah
memberi rukhshah (keringanan) kepada Al-Abbas untuk
tidak mabit di Mina karena tugas siqâyah (memberi
minum/ melayani jemaah) di Mekkah di malam hari. Bahka
n, sampai pun ada yang 
>  tidak mabit tanpa uzur sekali pun ulama mazhab
Hanafi membolehkannya, sementara ulama mazhab Maliki,
Syafi`i dan Hanbali mewajibkannya membayar dam.
(Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, 3/205). Dari sini,
sampai pun terjadi penjebolan batas ruang dalam mabit
di Mina, itu tidak sampai pada tingkat mengganggu
kesempurnaan dan keabsahan haji, apalagi jika yang
dimaksud dengan kata ‘mengganggu’ di sini menyebabkan
tidak sah atau sempurna. Haji dianggap tidak sah, jika
meninggalkan salah satu rukun haji seperti berihram,
thawaf, wukuf dan sebagainya. Sementara kesempurnaan
ibadah haji lebih berpulang kepada keikhlasan hati
seseorang. Firman Allah: 
> 
>****** **** ******* *** (****** * 196) 
>Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah 
>Jika kata atimmű di sini diartikan sebagai
‘menyempurnakan dengan melakukan semua bagian dalam
prosesi ibadah haji’, maka yang perlu diperhatikan
adalah ikhtiar untuk menghindari petaka seperti
diperintahkan Tuhan persis sebelum ayat di atas (ayat
195): 
> 
>*** ***** ******* *** ******* (****** * 195) 
> 
>Dan janganlah kamu jerumuskan dirimu ke dalam
kerusakan. 
> 
>Kedua, sehubungan dengan waktu afdhal pelemparan,
yakni ba`da zawal, tidak seorang ulama pun mengatakan,
melempar jumrah di luar waktu afdhaliyah (ba`da zawal)
menyebabkan kesempurnaan atau keabsahan ibadah haji
terganggu. Pendapat para ulama seputar teknis dan
waktu melontar sangat beragam dan cukup memberi
kelonggaran bagi para jemaah. Ada benarnya di sini
ungkapan “Ikhtilâfu Ummatî Rahmah” (perbedaan umatku
membawa rahmah). Justru petaka yang sering terjadi di
jamarat selama ini karena jemaah terlalu saklek dalam
memahami waktu afdhaliyah dalam melontar seperti pagi
hari saat jumrah Aqabah (tanggal 10) dan ba`da zawal
untuk tanggal 11, 12 dan 13. Karena itu, anggapan MF
tidak dapat dapat mengejar waktu afdhaliyah
pelemparan, yakni ba`da zawal, sebagai bentuk
penyimpangan yang dapat mengganggu kesempurnaan atau
keabsahan ibadah haji, hemat saya, sangat berlebihan.
Bahkan ungkapan MF ini kontradiksi dengan ungkapannya
tentang dimensi waktu: “Sebagai proses nap ak tilas,
maka dimensi 
>  ruang atau tempat kejadian menjadi sangat penting
untuk dijaga akurasinya, dibanding dengan dimensi yang
lain termasuk dimensi waktu”. Kontradiksi ini
mengesankan, demi mengejar afdhaliyat ba`da zawal
(yang dalil-dalilnya masih diperdebatkan), MF rela
mengorbankan waktu wukuf dan lainnya (mabit di
Mizdalifah dan Mina) yang dalil-dalilnya sangat kuat
dan menjadi konsensus (ijma) umat selama 15 abad.
Dalam ilmu hadis, riwayat seorang perawi yang
bertentangan dengan perawi-perawi lain yang lebih kuat
dinilai syâdz yang membuatnya tertolak. Demikian
pendapat MF yang ‘terasa’ syâdz di tengah kesepakatan
umat dari dulu sampai sekarang. 
> 
> 
> 
>3 
> 
> 
> 
>Sehubungan dengan masalah dan kesulitan teknis
(masyaqqat) yang juga dianggap menyebabkan hal seperti
di atas MF memberikan contoh berikut: 
> 
>a. Dalam pelaksanaan lempar Jamarat, sekali lagi
disebabkan oleh penumpukan jemaah yang luar biasa
banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama,
selalu saja terjadi musibah yang fatal, yakni kematian
jemaah karena terinjak atau terjatuh. Segala sesuatu
memang terjadi atas takdir Allah, akan tetapi
merupakan perintah Allah juga agar kita berikhtiar
semaksimal mungkin untuk menghindari petaka. Allah
berfirman: "Wala tulqu bi aidiikum ila at-tahlukah/
Jangan jerumuskan dirimu dalam petaka" (Q-Al-Baqarah:
195), "Maa ja'alal laahu 'alaikum fid diini min haraj/
Allah sekali-kali tidak mau merepotkan kalian dalam
beragama" (Q-Al-Hajj: 78); 
> 
>b. Telah terjadi pemubadziran yang luar biasa atas
berbagai fasilitas mabit di Mina (berupa bangunan
penginapan dan tenda-tenda permanen dengan alat
pendinginnya, berikut sarana jaringan air minum dan
telekomunikasi), serta jaringan jalan tol
Makkah-Arafah-Mudzdalifah-Mina-Makkah. Kesemuanya itu
terpakai maksimal hanya 4 hari selama 1 tahun.
Bagaimana pun hal ini merupakan tabdzir yang tidak
diizinkan oleh Allah SWT, "Innal mubadzziriina kaanuu
ikhwans syaiyaathin wa kaanas syaithaanu li rabbihi
kafuura/ Sungguh orang-orang yang suka membuat
kesia-siaan adalah teman-temannya syetan..." (Q:
Al-Isra: 27); 
> 
>c. Telah terjadi kesulitan serius di kalangan para
penyelenggara Perjalanan Haji, baik di tanah suci
maupun di masing-masing negara asal, sejak mulai dari
tahap pendaftaran, pembayaran, persiapan
keberangkatan, pengangkutan ke tanah suci, dalam
penyediaan akomodasi dan pelayanan-pelayanan lain. 
> 
> 
> 
>Jawab: 
> 
>Musibah yang sering terjadi di lokasi jamarat,
menurut data peristiwa, biasanya berbentuk; a)
desak-desakan di saat melontar jumrah, khususnya di
waktu-waktu yang dianggap afdhaliyyat (pagi hari
tanggal 10 Dzulhijjah dan ba`da zawal pada hari-hari
tasyriq), b) tabrakan arus antara yang akan menuju
lokasi dan yang akan kembali, dan c) kebakaran tenda
di Mina. Hemat saya, kecelakaan yang sering terjadi di
situ terjadi, jika ingin mengenyampingkan faktor
takdir, karena beberapa faktor berikut: 
> 
>a. Pemahaman yang sempit dan cenderung skripturalis
terhadap waktu-waktu yang utama (afdhaliyyat) dalam
melontar, padahal zaman dan situasi telah jauh
berubah. 
> 
>b. Ketidakpatuhan jemaah terhadap taklimat/ peraturan
haji yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi dengan
alasan mementingkan nilai keutamaan ibadahnya.
Peraturan yang dimaksud, misalnya, adalah pengaturan
jadwal pelemparan batu jumrah bagi tiap-tiap negara. 
> 
>c. Kurangnya sosialisasi peraturan-peraturan tersebut
oleh pihak penyelenggara. Sebab, aturan-aturan itu
bagaimanapun bagusnya, pelaksanaannya tentu tidak
dapat dilepaskan dari manusia-manusia yang diberi
aturan-aturan itu. Dalam hal ini aturan-aturan itu
diperuntukkan sekitar dua juta orang dari berbagai
bangsa, ras, dan adat-istiadat dengan taraf pendidikan
--termasuk di bidang agama-- yang rata-rata awam. Maka
perlu cukup waktu untuk sosialisasi. 
> 
>Suasana desak-desakan ketika jemaah bertolak dari
Arafah ke Muzdalifah dan Mina sudah diprediksi sejak
jauh hari oleh Alquran. Kata afîdhű dalam Q.,s.
Al-Baqarah: 199 menggambarkan betapa saat itu akan
terjadi ‘luapan masa yang besar’ pada satu titik waktu
dan tempat yang sama. Dalam Mu`jam Maqâyîs al-Lughah
(Ibnu Faris/ w. 395 H), akar kata fa ya dha
menunjukkan ‘sesuatu yang mengalir lancar, deras dan
melebihi batas’. Banjir dalam bahasa Arab disebut
fayadhân karena derasnya air yang meluap. Gelas yang
diisi sampai penuh dan meluber disebut yafîdh.
(2/336). Karena itu, dalam beberapa riwayat Rasulullah
Saw. menyeru kepada para jemaah haji agar menjaga
ketenangan ketika bertolak dari Arafah dengan
mengatakan, “al-sakînah ayyuhâ al-nâs, “al-sakînah
ayyuhâ al-nâs” (jagalah ketenangan wahai manusia,
jagalah ketenangan wahai manusia). (HR. Abu Daud,
5/380, Ibnu Majah, Ahkâm al-Qur`an, Al-Thahawi,
1/177). Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas yang turut
serta bertolak ber sama Rasulullah dari 
>  Arafah mengisahkan, ketika mendengar suara gemuruh
manusia dan onta yang dipacu kencang, beliau
mengacungkan cambuknya seraya berkata: 
> 
>**** ***** ***** ******** *** **** *** ********
(***** ******* * 3/522) 
> 
>Wahai manusia, jagalah ketenangan, sesungguhnya
kebajikan (ibadah) itu bukan dengan ketergesa-gesaan.
(HR. Imam Bukhari, 3/522) 
> 
>Fiqih haji semacam ini sedikit sekali yang
mengamalkanya, yang sering terjadi masing-masing
berlomba mengejar afdhaliyyah seperti juga yang ingin
dicapai MF. 
> 
>Dari sini, meninjau ulang kembali pemahaman manasik
haji menyangkut teknis yang sifatnya ijtihadiyyah agar
sejalah dengan kondisi lebih mendesak dan tidak
beresiko seperti halnya jika ijtihad dilakukan pada
hal-hal yang muttafaq, seperti hari-hari pelaksanaan
prosesi. 
> 
>Selanjutnya MF mengatakan: “Telah terjadi
pemubadziran yang luar biasa atas berbagai fasilitas
mabit di Mina (berupa bangunan penginapan dan
tenda-tenda permanen dengan alat pendinginnya, berikut
sarana jaringan air minum dan telekomunikasi), serta
jaringan jalan tol
Makkah-Arafah-Mudzdalifah-Mina-Makkah. Kesemuanya itu
terpakai maksimal hanya 4 hari selama 1 tahun.
Bagaimana pun hal ini merupakan tabdzir yang tidak
diizinkan oleh Allah SWT, "Innal mubadzziriina kaanuu
ikhwans syaiyaathin wa kaanas syaithaanu li rabbihi
kafuura/ Sungguh orang-orang yang suka membuat
kesia-siaan adalah teman-temannya syetan..." (Q:
Al-Isra: 27)”. 
> 
>Saya katakan: 
> 
>Dalil yang digunakan MF (Q.,s. Al-Isrâ: 27) tidak
sesuai jika digunakan dalam konteks fasilitas mabit di
Mina dan lainnya, dan terkesan dipaksakan selain tidak
sesuai dengan konteks (siyâq) ayat tersebut. Kata
tabdzîr pada ayat tersebut, menurut Ibnu Abbas,
Tarjumân Al-Qur`ân, dan Ibnu Mas`ud, bermakna
‘menafkahkan harta di jalan yang tidak benar’.
Al-Mawardi (w. 450 H), pengarang Al-Ahkaam
al-Sulthaaniyyah dan tafsir Al-Nukat wa al-`Uyűn
seperti dikutip Abu Hayyan, mengartikannya sebagai
bentuk pengeluaran harta yang berlebihan dan merusak
harta (Tafsir al-Bahral-Muhith, 6/27). Menurut
Al-Qurthubi, mengeluarkan harta dengan tetap menjaga
modal dasarnya bukan termasuk tabdzîr. Mengutip Imam
Syafi`I dan jumhur ulama, Qurthubi menegaskan,
penggunaan harta di jalan kebaikan, seberapun
banyaknya, tidak termasuk tabdzîr. (Tafsir Qurthubi,
10/223) Lebih tegas, kata ikhwân yang menunjukkan
adanya talian persaudaraan antara setan dengan orang
yang melakukan tabdzîr men gisyaratkan bahwa 
>  pembelanjaan harta yang masuk kategori tabdzîr
adalah jika dilakukan di jalan maksiat (fî
ma`shiyatillâh) (Al-Bahr al-Muhith, 6/27). 
> 
>Demikian makna tabdzîr seperti dalam buku-buku
tafsir. Pembuatan fasilitas di Mina dan lainnya adalah
dalam rangka menegakkan syiar agama (jalan kebenaran)
dan tidak merusak modal dasar, karena masih dapat
digunakan pada tahun-tahun berikutnya. Karena itu,
tidak tepat kiranya jika dikatakan sebagai bentuk
pemubadziran. 
> 
>Demikian jawaban saya untuk asumsi MF yang pertama. 
> 
> 
> 
>4 
> 
> 
> 
>Berkenaan dengan asumsi MF yang kedua saya katakan; 
> 
>a. (bahwa manasik haji pada dasarnya adalah ibadah
yang konsep dasarnya adalah "napak tilas" atas jejak
Nabiyullah Adam AS (sang bapa makhluk manusia) dan
Nabiyullah Ibrahim AS (sang bapak tauhid manusia)
dalam menemukan Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhanahu
wa ta'ala) adalah benar adanya, akan tetapi bahwa
(Sebagai proses napak tilas, maka dimensi ruang atau
tempat kejadian menjadi sangat penting untuk dijaga
akurasinya, dibanding dengan dimensi yang lain
termasuk dimensi waktu) tidak selamanya demikian.
Sebab napak tilas biasanya juga dimaksudkan untuk
mengenang suatu peristiwa. Keakuratan waktu dan ruang
dalam suatu peringatan akan menambah kekhusyukan
tersendiri. Kalaulah dalam proses napak tilas
perjalanan Jenderal Sudirman dimensi waktu tidak
terlalu penting, tidak demikian halnya napak tilas
yang kita lakukan terhadap proklamasi kemerdekaan yang
dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta setiap
tanggal 17 Agustus; dimensi waktu justru yang
terpenting. Kalau lah kita dibolehkan 
>  menganalogikan peristiwa-peristiwa seperti itu,
tidaklah demikian halnya dalam ibadah yang ketentuan
dasarnya al-ittibâ. 
>*** ***** ****** ***** *** ***** *** ******* 
>Apa yang dibawa Rasul kepada kalian ambillah, dan apa
yang dilarangnya jauhilah. 
> 
>b. Sampai pada masa Rasulullah, dimensi waktu dan
ruang tetap dijaga keakuratannya. Misalnya, dalam
riwayat Ikrimah, Atha dan Mujahid (tabi’in) disebutkan
kaum musyrik/ kafir Quraisy turut berwukuf bersamaan
dengan Rasulullah di hari Arafah (tgl 9 Dzul Hijjah),
hanya saja mereka melakukannya di Muzdalifah dengan
alasan agar tidak keluar dari tanah suci (al-haram)
(HR. Imam Bukhari, 2/175, riwayat serupa dapat dilihat
di Ahkâm al-Qur`an, Al-Thahawi, 1/173). Mayoritas
ulama tafsir memandang peristiwa itu sebagai sebab
nuzul ayat : 
> 
>** ****** ** *** **** ***** (****** : 199) 
> 
>Maksudnya, bertolaklah kalian dari tempat/ waktu
(biasanya) orang bertolak, yaitu Arafah pada tanggal 9
Dzulhijjah. (Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibnu
Asyur, 1/242). Kata haytsu, menurut Al-Farra, pakar
bahasa Alquran, tidak selalu menunjukkan tempat,
tetapi juga waktu. (Al-Itqân, Suyuthi, 1/512) 
> 
>c. Sebagian ahli tafsir mengatakan, kata al-nâs pada
ayat di atas berarti Nabi Ibrahim AS. Sebab dalam ayat
lain Nabi Ibrahim disebut sebagai “ummat” (Q., s.
Al-Nahl: 120) karena beliau menjadi panutan. Ulama
lain, seperti Said bin Jubair dan Al-Zuhri (tabi`in)
menafsirkannya sebagai Adam AS. (Tafsir Al-Râzi,
5/199). Ini menunjukkan bahwa dimensi waktu dan ruang
selalu dijaga keakuratannya dari dulu, zaman Adam AS
dan Ibrahim AS, sampai sekarang. Tidak ditemukan satu
riwayat pun yang menunjukkan bahwa wukuf di Arafah
dilakukan di luar waktu yang kita ketahui seperti
sekarang ini. Kalau pun ada, dan kenyataannya tidak
ada, sudah pasti akan diluruskan seperti kasus
wukufnya orang Quraisy di Muzdalifah. 
> 
> 
> 
>5 
> 
> 
> 
>Atas dasar dua asumsi di atas MF mengajak untuk
meninjau ulang kembali, meminjam istilah MF “untuk
mengakhiri kekeliruan kita dalam memahami konsep waktu
(baca: hari) pelaksanaan ibadah haji”, yaitu dengan
kembali kepada petunjuk Alquran (Q.,s. Al-Baqarah:
197). Argumentasi yang disampaikan MF dapat
disimpulkan sebagai berikut: 
> 
>1. Berdasarkan ayat : Al-hajju asyhurun ma`lűmât
(waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum),
“seluruh prosesi (manasik) haji mulai dari pengenaan
pakaian ihram, thawaf, sa-'iy, wuquf di Arafah, wuquf
di Muzdalifah, mabit di Mina, melempar batu, dan
potong rambut, sebagai satu paket peribadatan dapat
(baca: sah) dilaksanakan secara berurut (tertib) pada
hari-hari mana saja selama asyhurun ma'lumat (3 bulan)
tersebut”. “Tidak sesempit yang kita pahami selama
ini, seolah-olah hanya sekitar 6 hari saja, yakni
hari-hari ke 8,9,10,11,12,13 dari bulan Dzulhijjah”. 
> 
>2. Dalam hal waktu pelaksanaan, MF mengkiaskan ibadah
haji dengan salat. Keduanya sama-sama termasuk
kategori ibadah yang waktunya longgar (muwassa`),
artinya waktu yang disediakan oleh Syara' dan sah
untuk pelaksanaan ibadah yang dimaksud lebih panjang
dibanding dengan waktu yang secara riil dibutuhkan.
Seperti halnya salat dapat (sah) dilaksanakan di awal,
pertengahan atau akhir waktu yang disediakan, demikian
pula haji sah dilakukan kapan saja selama dalam waktu
tiga bulan yang sudah maklum. Tanggal 8, 9, 10, 11, 12
dan 13 Dzul Hijjah hanyalah waktu-waktu utama seperti
halnya awal waktu adalah waktu utama salat. 
> 
>3. Haji Rasulullah yang hanya sekali dalam hidupnya
tidak bisa dijadikan dasar bahwa haji di luar
hari-hari tersebut tidak sah. Apalagi, tidak ada satu
nash pun, baik ayat al-Qur'an maupun hadits Nabi,
bahkan yang dlaif sekalipun, yang menyatakan dengan
tegas bahwa di luar hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13
Dzulhijjah tidak sah untuk menunaikan manasik haji. 
> 
>4. Hadis : Al-Hajju `Arafah “cukup dipahami bahwa
puncak ibadah hajji adalah wuquf di Arafah. Sementara
pada hari mana atau tanggal berapa haji dengan
puncaknya berupa wuquf di Arafah itu dilaksanakan
adalah "selama beberapa (3) bulan musim haji itu
sendiri.” Memahaminya dengan “puncak ibadah haji
adalah wuquf di padang Arafah dan DI HARI Arafah
tanggal 9 Dzulhijjah” berarti mengorbankan
(mengilghokan) nash Alquran yang sharih tentang waktu
haji yang beberapa (3) bulan itu. 
> 
>5. Hadis: "Khudzuu 'anniy manasikakum/ Ambillah
dariku manasik kalian" harus kita ikuti sebatas
menyangkut prosesi (manasik) ibadah haji (baik syarat,
rukun, kewajiban dan kesunatan haji serta tertib atau
urut-urutannya), juga menyangkut waktu (siang, malam,
qabla atau ba'da fajr atau zawal). Tapi bukan
menyangkut waktu dalam arti tanggal atau hari-harinya.
Karena perihal yang tersebut terakhir (hari-hari atau
tanggal) sekali lagi Al-Qur'an telah menegaskannya,
asyhurun maklumat ?Waktu haji adalah beberapa (3)
bulan yang sudah maklum". 
> 
>Demikian argumentasi yang diajukan MF. 
> 
>Hemat saya, kelemahan dan kekeliruan dalil tersebut
dapat dilihat, paling tidak, dari beberapa hal
berikut: 
> 
>1. Pemahaman ayat Alquran yang sangat parsial. Ini
sangat bertentangan sekali dengan semangat
hermeneutika dalam memahami teks Alquran yang kerap
kali didengungkan dalam ‘ijtihad’ modern, yaitu
keharusan memahami teks secara komperhensif agar
tercipta pemahaman obyektif. MF hanya berpegangan pada
ayat “Alhajju asyhurun ma`lűmât” untuk menetapkan
idenya itu. Kalaupun hanya itu yang dipegang, tetapi
MF memahami siyâq (konteks penyebutan), sibâq (pra
penyebutan) dan lihâq (pasca penyebutan) ayat itu,
kesimpulan tergesa-gesa itu juga dapat dihindari MF. 
> 
>2. ‘Keengganan’ menggunakan hadis. Keengganan ini
tidak hanya berbentuk penolakan, tetapi juga
pentakwilan jika tidak sesuai dengan pikiran
‘prematur’. Ini yang dilakukan MF. Sikap para
“Qur`âniyyűn” semisal MF ini sudah diprediksi oleh
Rasulullah Saw seperti dalam sebuah sabdanya: 
> 
>******* ****** ********* ***** *********** *****
****** *** ***** : ** **** * ***** ****** **** **** *
***** ******** ***** **** ****** ********* * *** *****
*** ***** ********* . 
> 
>Akan datang (pada suatu masa) seseorang yang
kekenyangan sambil bersandar di dipan, ketika datang
penjelasan hadis dariku dia mengatakan, “saya tidak
tahu (itu), antara kami dan kalian hanyalah Alquran;
suatu yang halal di situ kami halalkan, dan yang haram
kami haramkan (HR. Abu Daud, 5/10, Al-Tirmidzi, 7/310)

> 
>3. Tahkîm al-ra`y wa al-hawâ `ala al-nashsh,
setidaknya dapat dilihat dari sikapnya yang
menggunakan dalil sesuai selera dan qiyas yang tidak
pada tempatnya (qiyas waktu haji dengan waktu salat).
Abdullah Diraz menyebut sikap seperti ini sebagai
“bid`ah pemikiran” (Al-Mîzân bayna al-sunnah wa
al-bid`ah, 110). 
> 
>Rincian penjelasannya dapat saya kemukakan sebagai
berikut: 
> 
> 
> 
>6 
> 
> 
> 
>1. Pemahaman Alquran yang parsial 
> 
>Seperti diakui MF ketika diwawancarai Ulil Absar dari
Jaringan Islam Liberal (19/1/2004), dalilnya hanya
ayat Alquran (Q.s. Al-Baqarah : 197) (ULIL: Apa hujjah
Anda sendiri dalam soal ini, selain ayat Alquran tadi?
MASDAR: Kalau hujjah naqli (alasan tekstual) selain
ayat Alquran saya belum punya). Padahal terdapat
sekian ayat (seperti Q.,s. Al-Baqarah : 158, 196-203,
Ali Imran: 97, Al-Ma`idah: 95, Al-Hajj: 27-37,
Al-Tawbah: 3) yang dapat memberi pemahaman utuh,
setidaknya gambaran umum tentang prosesi ibadah haji.
Hanya berpegangan pada al-hajju asyhurun ma`lűmât akan
bertabrakan dengan ayat-ayat lain semisal: 
> 
>a. Q.,s. Al-Tawbah: 3 
> 
> 
>Ayat ini menegaskan bahwa haji dilakukan pada hari
tertentu dalam satu tahun. Ulama berbeda pendapat
tentang “yawmul hajjil akbar”. Menurut Sayyidina Umar,
Usman dan Ibnu Abbas (sahabat), Thawus, Mujahid dan
Ibnu Sirin (Tabi`in) hari haji akbar adalah hari
Arafah (9 Dzul Hijjah), sebab saat itu seluruh yang
melakukan haji berkumpul di satu tempat. Pendapat ini
dipegang oleh Ahu Hanifah dan Imam Syafi`i. Pendapat
lain mengatakan hari itu adalah yawmu al-nahr (tanggal
10 Dzul Hijjah), sebab saat itu semua orang berkumpul
di satu tempat (Mina), termasuk “al-Hums” (Arab
Quraish, Kinanah dan Jadilah Qais) yang melakukan
wukufnya di Muzdalifah, bukan Arafah seperti lainnya.
Pendapat ini dikemukakan Imam Ali, Ibnu Umar, Ibnu
Mas`ud dan lainnya, termasuk Imam Malik, pendiri
mazhab Maliki. (Tafsir Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 6/108).
Pendapat kedua ini didukung oleh sebuah hadis dari
Ibnu Umar RA: 
> 
>** **** **** *** *** ***** *** ******* ** ***** ****
** **** : ** *** **** ***** : *** ***** * *** : ***
*** **** ****** 
> 
>Sesungguhnya Rasulullah berhenti pada yawm al-nahr
(tgl 10 Dzulhijjah) di jamarat ketika berhaji, lalu
beliau bertanya: hari apa ini? Para sahabat menjawab:
hari nahar, beliau bersabda: inilah hari haji akbar
(yawm al-hajji al-akbar) (HR. Abu Daud, di dalam kitab
Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad terdapat mutâbi`
dan syâhid-nya). 
> 
>Terlepas dari pendapat mana yang benar, yang jelas
hari-hari itu adalah yang ditentukan untuk
melaksanakan haji, tidak lainnya. 
> 
>b. Q.,s. Al-Baqarah: 203: 
> 
>(#răŤä.ř*$#ur ©!$# ţ*Îű 5Q$­*r& ;Nşy*rß*÷č¨B 4 `yJsů
[EMAIL PROTECTED] *Îű Čű÷ütBöqt* Ixsů zNřOÎ) Ďmř*n=tă `tBur
tŤ¨zr's? Ixsů zNřOÎ) Ďmř*n=tă 4 Ç`yJĎ9 4*s+¨?$# 3 
> 
>Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam
beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin
cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka
tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu) maka
tidak ada dosa pula baginya. 
> 
>Ayat ini menerangkan bahwa manasik haji memiliki
waktu-waktu tertentu. Para ulama sepakat hari-hari
tertentu itu adalah hari-hari tasyrîq (11, 12, 13 Dzul
Hijjah). Disebut tasyrîq yang berasal dari kata
syaraqa (terbit), karena pada hari-hari itu, di Mina,
daging dari sembelihan dijemur dibawah terik matahari
agar kering. Atau karena hewan-hewan itu tidak
disembelih kecuali ketika terbit (syurűq) matahari
(Al-Nihayah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, Ibnu
al-Atsir, 2/416). Pendapat ini dikemukakan oleh Imam
Ali, Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lainnya, dan
dikuatkan oleh hadis sahih dari Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud,
Annasa`i, Ibnu Majah, Addarimi dan lainnya: 
> 
>**** ***** * **** ****** **** ****** **** *** ****
*** **** ** ***** *** *** **** *** **** *** *** **** *
*** **** **** *** ** **** ***** *** **** **** 
> 
>Haji adalah Arafah , haji adalah Arafah, haji adalah
Arafah, bilangan hari di Mina tiga hari. Barangsiapa
yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua
hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang
ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari
itu) maka tidak ada dosa pula baginya. Barangsiapa
(berwukuf) di Arafah sebelum terbit fajar maka ia
(terhitung) sudah berhaji. 
> 
>Lihat penjelasan hadis lainnya dalam Ahkâm al-Qur`ân,
Attahawi, 1/201. Sedemikian kuatnya penjelasan hadis
tersebut terhadap ayat di atas membuat Imam Ahmad
berpandangan bahwa ayat itu termasuk muhkamât (yang
tidak mengandung kemungkinan arti lain). Demikian
seperti dikutip Attahawi (w. 321 H) (1/201). 
> 
>c. Di ayat lain Allah berfirman : 
> 
>(#rß*ygô±u*Ďj9 yěĎ˙»oYtB öNßgs9 (#răŤŕ2ő*t*ur zNó*$#
«!$# ţ*Îű 5Q$­*r& BM»tBqč=÷č¨B 4*n?tă $tB Nßgs%y*u*
.`ĎiB ĎpyJ*Îgt/ ÉO»yč÷RF{$# ( 
> 
>…… Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi
mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari
yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah
berikan kepada mereka berupa binatang ternak (Q.,s.
Al-Hajj: 28) 
> 
>Ayat ini secara tegas menyatakan waktu menyembelih
kurban adalah pada hari-hari tertentu yang sudah
dimaklumi (ayyâm ma`lűmât) oleh Rasulullah dan para
sahabatnya, kemudian diwarisi turun temurun, yaitu
tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah). Kalaulah
pelaksanaan haji, yang diantara prosesinya menyembelih
kurban, boleh dilakukan kapan saja dalam tiga bulan,
yang berarti hari-hari dalam ketiga bulan itu boleh
dijadikan waktu berkurban, maka ‘yang adil’ ayat
tersebut berbunyi : “fî asyhurin ma`lűmât”. 
> 
>Selain akan bertabrakan dengan ayat-ayat di atas,
memahami al-hajju asyhurun ma`lűmât sebagai waktu sah
melaksanakan haji juga dapat dinilai keliru jika
dilihat dari sibâq, siyâq dan lihâq ayat tersebut.
Para ulama Alquran menekankan pentingnya memahami
ketiga unsur tersebut dalam memahami sebuah ayat agar
lebih obyektif dan tidak parsial. Inilah yang disebut
cabang kajian munâsabât antara surah, ayat, bahkan
kalimat seperti dalam `ulűm al-Qur`ân. Kekeliruannya
dapat dijelaskan sebagai berikut: 
> 
>a. Pada sibâq ayat tersebut (ayat 196), ketika
menjelaskan salah satu bentuk prosesi haji Allah
berfirman: 
> 
>`yJsů yě­GyJs? ÍotŤ÷Kăčř9$$Î/ *n<Î) Ćdkptř:$# $yJsů
uŽyŁř*tGó*$# z`ĎB Ä*ô*olů;$# 4 
> 
>Kata “ilâ” pada (penggalan) ayat tersebut menunjukkan
ada batas waktu/ tempat yang dituju, karena “ilâ”
dalam bahasa Arab bermakna li al-ghâyah/ intihâ
al-ghâyah zamânan aw makânan (Al-Itqân, 1/482). Dengan
demikian, ayat tersebut dapat dipahami ‘barangsiapa
bertamattu dengan melepas pakaian ihram sampai datang
waktu haji maka sedapat mungkin dia membayar dam’.
Penggunaan kata “ilâ” mengesankan ada waktu tertentu
untuk berhaji yang akan dituju dan ditunggu. 
> 
>b. Jika dilihat dari konteks penyebutannya (siyâq
al-âyat) al-hajju asyhurun ma`lűmât tidak menunjukkan
waktu pelaksanaan haji dapat dilakukan setiap saat
dalam tiga bulan itu. Pertama, alif lam (lâm
al-ta`rîf) dalam kata al-hajju menunjukkan suatu
bentuk ibadah haji yang sudah diketahui umum, yaitu
mengunjungi tanah suci pada musim dan hari-hari
tertentu, sebab tidak ditemukan sebuah riwayat pun
yang menyatakan mereka berwukuf di bulan Syawwal atau
waktu-waktu lain diluar yang sudah maklum (8, 9, 10,
11, 12, 13 Dzul Hijjah). Kedua, al-hajju asyhurun
ma`luumaat merupakan mukaddinah dari falâ rafatsa wa
lâ fusűqa walâ jidâla fi al-hajj, sehingga diharapkan
ketika saat-saat puncak pelaksanaan haji seseorang
yang berhaji berada dalam kesempurnaan batin/jiwa.
(Lihat Ibnu Aysur, 2/218). Dengan demikian, seperti
disinyalir oleh Rasulullah, selesai berhaji dia akan
kembali seperti orang yang baru dilahirkan. 
> 
>** ** *** **** *** **** *** **** ***** *** (**** ***
*****) 
> 
>Kendati meninggalkan ketiga kebiasaan buruk itu
adalah suatu hal yang sulit dilakukan oleh kebanyakan
orang, apalagi dalam tiga bulan, Alquran
mengisyaratkan sesungguhnya itu bukanlah waktu yang
lama. Bentuk jam`ul qillah (asyhur) bukan syuhűr
mengesankan itu. Ketiga, pada ayat ini terdapat
penggalan wamâ taf`alű min khayrin ya`lamhullâh dan wa
tazawwadű fa`inna khayra al-zâdi al-taqwâ, yang
menekankan kualitas pekerjaan. Dengan ditambah
penggalan falâ rafatsa wa lâ fusűqa walâ jidâla fi
al-hajj, hemat saya, lengkaplah bahwa sebenarnya ayat
ini lebih menekankan persoalan etis untuk mendukung
kesempurnaan haji seperti diperintahkan pada ayat
sebelumnya (wa atimmű al-hajja wa al-`umrata). 
> 
>c. Pada lihâq (pasca penyebutan ayat) terdapat sebuah
ayat fî ayyâmin ma`dűdât seperti sudah dijelaskan
isyaratnya pada hari-hari tertentu di musim haji,
tidak keseluruhan hari. 
> 
> 
> 
>7 
> 
> 
> 
>2. ‘Keengganan’ menggunakan hadis 
> 
>Sekiranya MF tidak menutup mata dan mau berendah hati
menyimak dengan teliti, keseluruhan penjelasan sunnah
Rasulullah Saw., tidak hanya satu atau dua hadis,
hemat saya MF tidak akan sampai pada kesimpulan haji
dapat dilakukan kapan saja dalam asyhurun ma`lűmât.
Penjelasan dimaksud antara lain: 
> 
>a. Sabda Rasulullah Saw.: 
> 
>** *** ******* **** ** **** *** **** *** **** ***
**** *** ** *** **** * *** *** *** *** *** ** ****
****** ****** **** ** ****** ****** (***** **** **
****** * 1/422) 
> 
>Setan tidak pernah terlihat lebih kecil, terkucil,
tertipu dan marah dari pada ketika hari Arafah. Itu
karena dia melihat rahmat (Allah) turun dan segala
dosa yang besar diampuni (HR. Imam Malik dalam
al-Muwaththa, 1/422) 
> 
>Hadis ini menjelaskan bahwa hari Arafah adalah satu
hari dalam setahun yang telah diketahui semua orang,
yaitu hari agung yang penuh rahmat dan ampunan. Hari
itu tidak lain adalah saat para jemaah haji berwukuf
di Arafah. Kalau hari-hari dalam asyhurun ma`lűmât
dapat dijadikan waktu wukuf, seperti kata MF, hadis
itu akan berbunyi fi ayyâmi Arafah, bukan fi yawmi
Arafah. 
> 
>b. Sabda Rasulullah yang lain: 
> 
>**** *** **** ***** *** **** ** **** ***** **** ****
****** **** **** * ***** *** ******* ***** *** **** **
**** ***** **** **** (***** **** * 3/226) 
> 
>Puasa hari Arafah diberi balasan oleh Allah berupa
ampunan terhadap dosa-dosa di tahun sebelum dan
sesudahnya, dan puasa hari Asyura dibalas oleh Allah
dengan ampunan terhadap dosa-dosa di tahun sebelumnya
(HR. Muslim, 3/226) 
> 
>Hadis ini menunjukkan hari Arafah adalah hari yang
sudah diketahui bersama, yaitu tanggal 9 Dzul Hijjah,
seperti halnya hari Asyura adalah tanggal 10 Muharram.
Dalam hadis lain Rasul mengatakan : Al-Hajju Arafah.
Ini berarti haji hanya dapat dilakukan satu kali dalam
setahun yang salah satu rukunnya berada di padang
Arafah pada hari kesembilan Dzulhijjah. Kalau setiap
hari dalam asyhurun ma`lűmât dapat dijadikan hari
wukuf maka bunyi hadisnya tidak akan seperti itu. 
> 
>c. Dalam sebuah sabdanya Rasulullah melarang umatnya
berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Idul
fitri jatuh pada 1 Syawwal setelah puasa Ramadhan,
sedangkan Idul Adha jatuh pada tanggal 10 Dzul Hijjah
setelah wukuf di Arafah. Ini menunjukkan, diantara
prosesi haji ada yang dilakukan pada tanggal 9 dan 10
Dzul Hijjah. Kalau haji diperkenankan selama hari-hari
dalam 3 bulan (90) hari maka sulit dibayangkan kita
akan berlebaran Idul Adha sebanyak 90 kali dalam
setahun, sebab boleh jadi setiap hari dalam asyhurun
ma`luumaat akan ada yang menjadikannya hari wukuf. 
> 
>d. Dalam sejarah hidup Rasulullah terhitung beliau
melaksanakan umrah 3 kali, seluruhnya pada bulan
Dzulqa`dah; pertama, pada masa Hudaybiyah tahun 6 H
dan sempat tertahan oleh musyrikin Mekkah; kedua, pada
bulan Dzulqa`dah tahun berikutnya; ketiga, pada
Dzulqa`dah tahun 8 H ketika pembebasan kota Mekkah.
Dalam kitab Shahih Muslim (3/390) disebutkan 4 kali
dengan menambahkan umrah yang dilakukannya ketika
haji. Timbul pertanyaan, Rasulullah mengerjakan umrah
beberapa kali pada Dzulqa`dah yang termasuk asyhurun
ma`lűmât, tetapi mengapa beliau tidak sekalian
berhaji, padahal haji pahalanya jauh lebih besar dari
sekadar umrah? Ini menunjukkan bahwa sebenarnya haji
memiliki waktu tertentu untuk berwukuf, dan saat itu
waktunya belum datang. 
> 
>e. Sabdanya yang lain: 
> 
>** *** **** ****** *** : ***** ** **** **** *** ****
**** **** **** ***** ***** * **** ***** *** ***** **
****** **** *** ** *** ***** * **** *** *** *******
***** *** *** ****** ***** (***** **** * 3/388) 
> 
>Abu Said al-Khudriy berkata: Kami keluar bersama
Rasulullah untuk berhaji, ketika tiba di Mekkah kami
diperintahkan mengerjakan umrah, kecuali yang membawa
sembelihan, ketika hari tarwiyah (8 dzulqa`dah) datang
dan kita berangkat ke Mina dengan bertalbiah haji.
(HR. Muslim, 3/388) 
> 
>Kalaulah berhaji boleh kapan saja selama dalam “tiga
bulan yang maklum” saat itu Rasulullah bersama
sahabatnya akan langsung berhaji, tanpa membuka
pakaian ihram dan menunggu sampai datang hari
tarwiyah. Ini menunjukkan ada waktu-waktu tertentu
dalam pelaksanaan ibadah haji. 
> 
>f. Berdasarkan hadis-hadis di atas maka tidak adil
jika hadis al-hajju `arafah, dalam riwayat lain
al-hajju `arafât (plural), dipahami hanya dengan
“puncak haji adalah wukuf di Arafah”. Seperti halnya
ayat-ayat Alquran harus dipahami secara komperhensif,
tidak parsial, demikian pula hadis; bagian-bagiannya
saling menafsirkan. Apalagi kelanjutan hadis tersebut
berbunyi: 
> 
>**** *** **** *** **** ** ***** *** *** **** *** ****
*** *** **** * *** **** **** *** ** **** ***** ***
**** **** (***** ******* ***** * ***** **** ****) 
> 
>Memahami hadis tersebut sebatas menjelaskan tempat
kurang tepat, sebab bagian terbesar hadis itu juga
menjelaskan hitungan waktu. Bahkan hadis ini
disepakati para ulama sebagai penjelasan pasti bagi
ayat : wadzkurullâha fî ayyâmin ma`dűdât…. (Q.,s.
Al-Baqarah: 203) 
> 
>Begitu juga akan terasa tidak adil jika hadis :
khudzű `annî manâsikakum / Ambillah dariku manasik
kalian" dipahami “sebatas menyangkut prosesi (manasik)
ibadah haji (baik syarat, rukun, kewajiban dan
kesunatan haji serta tertib atau urut-urutannya), juga
menyangkut waktu (siang, malam, qabla atau ba'da fajr
atau zawal). Tapi bukan menyangkut waktu dalam arti
tanggal atau hari-harinya. Karena perihal yang
tersebut terakhir (hari-hari atau tanggal) sekali lagi
Al-Qur'an telah menegaskannya, asyhurun maklumat ?
Waktu haji adalah beberapa (3) bulan yang sudah
maklum". 
> 
>Mengapa hal yang sama tidak dilakukan MF terhadap
hadis : Shallű kamâ ra`aytuműnî ushallî/ salatlah
kalian sebagaimana kalian lihat aku salat, padahal ada
ayat: innashshalâta kânat `alal mu`minîna kitâban
mawqűtâ, dan : aqimishshalâta lidulűkisysyamsi ilâ
ghasaqillayli, dan : aqimishshalâta lidzikrî, sehingga
kita bisa salat kapan saja asal untuk mengingat Tuhan.
Pengkhususan terhadap sebuah teks harus disertai
mukhashshis (teks lain yang mengkhususkannya) yang
bersifat pasti. MF hanya mengira-ngira dari redaksi
“asyhurun ma`luumaat” bahwa ayat tersebut mentakhshish
hadis “al-hajuu `arafah” dan khudzű `annî manâsikakum
demi meng-`i`mal-kan keduanya, padahal sesungguhnya
itu bertentangan dengan nash-nash lain dan realita
haji dari zaman Ibrahim sampai sekarang. Takhshish
seperti itu dapat dikategorikan, menurut istilah
ushűliyyűn, takhshish bila mukhashshsish. 
> 
>Memang benar Rasulullah berhaji hanya sekali, tetapi
berdasarkan hadis-hadis kita telah diberitahu secara
detail waktu-waktu dalam prosesi haji. Sikap seorang
mukmin yang baik, seperti digambarkan Alquran, yaitu
melaksanakan ketentuan Allah dan Rasul-Nya seketika,
tanpa menunda sampai dua atau tiga kali diberitahu. 
> 
>$tBur tb%x. 9`ĎB÷sßJĎ9 *wur >puZĎB÷săB #s*Î) Ó|Ós%
Ş!$# ˙Ľă&č!qß*u*ur #·ŤřBr& br& tbqä3t* ăNßgs9
äouŽzŤĎ*ř:$# ô`ĎB öNĎdĚŤřBr& 3 `tBur ÄČ÷čt* ©!$#
Ľă&s!qß*u*ur ô*s )sů ¨@|Ę Wx»n=|Ę $YZŹÎ7*B ÇĚĎČ 
> 
>Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan mereka
mengambil pilihan lain dalam hal urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguh dia telah sesat yang nyata. (Q.,s. Al-Ahzâb:
36) 
> 
> 
> 
>7 
> 
> 
> 
>3. Mendahulukan akal daripada nash, dan qiyas yang
tidak pada tempatnya. 
> 
>MF mengkiaskan ibadah haji dengan salat. Keduanya
sama-sama termasuk kategori ibadah yang waktunya
longgar (muwassa`), artinya waktu yang disediakan oleh
Syara' dan sah untuk pelaksanaan ibadah yang dimaksud
lebih panjang dibanding dengan waktu yang secara riil
dibutuhkan. Seperti halnya salat dapat (sah)
dilaksanakan di awal, pertengahan atau akhir waktu
yang disediakan, demikian pula haji sah dilakukan
kapan saja selama dalam waktu tiga bulan yang sudah
maklum. Tanggal 8, 9, 10, 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah
hanyalah waktu-waktu utama seperti halnya awal waktu
adalah waktu utama salat. 
> 
>Hemat saya, qiyas semacam ini tidak pada tempatnya,
sebab dalam qiyas harus ada kesamaan atau kesesuaian
antara maqîs dan maqîs `alayhi, dalam hal ini waktu
pelaksanaan salat dan waktu pelaksanaan haji, atau
dapat juga disebut qiyâs ma`al fâriq. Keduanya,
menurut saya, tidak bisa dikiaskan, sebab keduanya
berbeda. Salat adalah suatu prosesi ibadah yang harus
dilakukan secara utuh, tidak boleh dipisah-pisah;
mulai dari takbiratul ihram sampai salam. Anda boleh
melakukannya kapan saja, asal jangan dipisah. Tidak
demikian halnya haji, selesai umrah Anda bisa melepas
pakaian ihram dan bertamattu (perhatikan kembali ayat:
faman tamatta`a bil`umrati ilal hajji dan haji
Rasulullah). Bahkan sebagian ulama membolehkan mulai
ihram haji dan tawaf ifadhah di luar musim haji (3
bulan yang maklum) (Ahkâm al-Qur`ân, al-Jashshâsh,
1/363, Al-Mughni, Ibnu Quddamah, 3/474)). 
> 
>Kekeliruan MF dalam hal ini, hemat saya, karena MF
menggunakan akalnya dengan mengkias dalam bidang yang
sudah ada ketentuan nashnya (Alquran dan sunnah). Para
ulama sepakat: lâ qiyâsa fi al-`ibâdah (tidak berlaku
kias dalam ibadah). Memang, peran akal tidak selamanya
tercela. Dalam hal yang tidak ada nashnya, atau nash
tersebut bersifat zhanniy, atau lemah riwayatnya, atau
‘bertentangan’ dengan akal sehat, pendapat yang
dihasilkan bisa jadi terpuji. Tidak demikian halnya
jika dilakukan pada bidang yang nashsnya sudah sangat
jelas. (Lihat peran akal dalam pembentukan pokok-pokok
akidah dan syariah dalam al-`Itishâm, karya Syathibi,
yang diringkas oleh penyuntingnya, Prof. Abdullah
Diraz dalam Al-Mîzân bayna al-Sunnah wa al-Bid`ah). 
> 
> 
> 
>8 
> 
> 
> 
>Demikian tanggapan saya. Al-Khilâfu fi al-ra`yi la
yufsidu fil wuddi qadhiyyah/ perbedaan pendapat tidak
akan merusak persaudaraan, demikian ungkapan yang
sangat masyhur dalam etika berbeda pendapat. Sebab
boleh jadi : ra`yi shawâb yahtamil al-khtha`, wa ra`yu
ghayri khatha` yahtamil al-shawâb. Wallahu a`lam. 
> 
> 
> 
> 
> 
>Kairo, 31 Januari 2004 
> 
> 
> 
>Muchlis M. Hanafi 

__________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Finance: Get your refund fast by filing online.
http://taxes.yahoo.com/filing.html
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke