http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0406/12/fokus/1075444.htm

Sabtu, 12 Juni 2004

"Revolusi" Itu Mulai Menyala di Padang

BARANGKALI tidak ada kata yang tepat untuk melawan korupsi di negeri ini
selain revolusi! Ini mengingat di era reformasi yang amanahnya membersihkan
korupsi, kolusi, dan nepotisme, praktik haram itu justru makin merajalela,
terutama pascaotonomi daerah. Jika pejabat Orde Baru butuh waktu satu
dasawarsa dari 32 tahun rezim Soeharto untuk kaya dari hasil korupsi, di era
reformasi ini pejabat negara, aparat hukum/birokrasi, atau politisi
bermasalah di legislatif hanya butuh tiga tahun agar bisa hidup mewah dari
hasil korupsi. "Kalau mau kaya, jadilah politisi," ungkap Mochamad Basuki
menuturkan pengalamannya selama ia menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya
beberapa waktu lalu.

REPUBLIK ini nyaris hancur digerogoti para penjarah baik yang bercokol di
eksekutif maupun legislatif. Virus korupsi juga makin mewabah di lingkungan
yudikatif sehingga bangsa ini bingung harus dengan cara apalagi perbuatan
melawan hukum yang merusak sendi-sendi ekonomi, sosial, dan politik itu
diperangi. Pemberantasan korupsi yang dilakonkan para pelaksana hukum mirip
dagelan. Jaksa Agung MA Rachman yang seharusnya menjadi panutan dalam
menegakkan hukum di negeri ini malah menimbulkan kontroversi.

"Di mana pun di dunia, jika Jaksa Agung berstatus tertuduh, harus
dinonaktifkan, bukan dipecat karena belum terbukti bersalah. Sebab, tanpa
berbuat apa pun, posisinya sebagai Jaksa Agung sudah menghalangi
pemeriksaan," ujar HS Dillon, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan di Indonesia.

Tidak jelasnya penyelesaian kasus ini menandakan bahwa pemerintah tidak
serius dalam memberantas KKN. Padahal, pemerintah harus melaksanakan Tap MPR
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Akhirnya negara yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi, ini masuk ke dalam
kelompok negara paling korup dengan masa depan yang gelap.

Akan tetapi, di tengah kegelapan itu muncul "revolusi" dari Sumatera Barat.
Pengadilan Negeri (PN) Padang pertengahan Mei lalu memvonis tiga unsur
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumbar, H Arwan Kasri
(Ketua), Ny Hj Hasmerti Oktini alias Titi Nazif Lubuk (Wakil Ketua), dan H
Masfar Rasyid (Wakil Ketua), masing-masing 27 bulan penjara dan denda Rp 100
juta atau subsider dua bulan. Mereka terbukti melakukan tindak pidana
korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2002 sebesar Rp 6,48
miliar.

Dalam persidangan lain yang melibatkan 40 anggota DPRD sebagai terdakwa,
majelis hakim memvonis hukuman penjara (bagi mereka semua) masing-masing 24
bulan dan denda Rp 100 juta atau subsider dua bulan penjara serta
mengembalikan uang negara sebanyak yang mereka korupsi, masing-masing
berkisar Rp 64 juta sampai Rp 120 juta.

Seluruh anggota DPRD Sumbar oleh majelis hakim dinilai terbukti memperbesar
pendapatan dari yang seharusnya dengan memasukkan anggaran sekretariat DPRD
menjadi penghasilan tetap anggota DPRD. Penambahan penghasilan anggota DPRD
di luar mata anggaran yang mencapai Rp 11 miliar lebih itu berasal dari
tunjangan kehormatan, panitia musyawarah, panitia khusus, uang bensin, rumah
dinas, dan polis asuransi.

Sebelum Padang, sebetulnya sudah ada upaya penegakan hukum di lingkungan
legislatif daerah, tetapi masih sporadis. Misalnya vonis terhadap Ketua DPRD
Surabaya Mochamad Basuki. Namun, setelah "revolusi" Padang menyala,
pengungkapan kasus korupsi di legislatif terus bermunculan di daerah
lainnya. Selain Sumbar, Kota Padang sendiri, dan Kota Payakumbuh, api
"revolusi" menyala di Kabupaten Garut (Jawa Barat), Pontianak (Kalimantan
Barat), Bandar Lampung, dan Banda Aceh.

Malah beberapa orang sudah mendekam di penjara, seperti Ketua DPRD Kota
Payakumbuh Chin Star dan Ketua DPRD Kota Banda Aceh M Amin Said. Penegak
hukum tidak ragu lagi bahwa telah terjadi penyalahgunaan APBD oleh politisi
bermasalah yang menamakan dirinya wakil rakyat.

SEANDAINYA peristiwa ini terjadi di Republik Rakyat China dalam kepemimpinan
perdana menterinya, Zhu Rongji, barangkali semua anggota DPRD Sumbar sudah
dihukum mati. Zhu Rongji terkenal setelah memesan 100 peti mati, satu di
antaranya untuk dia sendiri dan 99 lainnya bagi pejabat pemerintah yang
terbukti korupsi. Dengan tindakannya, dia berhasil membawa China menjadi
negara paling aman dalam berinvestasi.

Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan para anggota DPRD
Sumbar tidak hanya merugikan rakyat Sumbar dan merusak citra pejabat wakil
rakyat, tetapi juga telah merecoki tatanan hukum negeri ini. Mereka telah
menyebarkan virus korupsi ke semua daerah dan membuat para penegak hukum
kehilangan pijakan setelah mereka mengajukan uji materi (judicial review)
terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan
Keuangan DPRD.

Setelah Mahkamah Agung mengabulkan uji materi, tidak ada lagi rambu-rambu
untuk kontrol publik terhadap sepak terjang para wakil rakyat di legislatif.
"Anggaran biaya operasional itu bisa dipakai untuk apa saja. Mau dipakai
bayar rumah atau apa, terserah, sesuai dengan kebutuhan masing-masing
anggota Dewan," demikian komentar Wakil Ketua DPRD Sumatera Selatan Zamzami
Ahmad enteng.

Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo menegaskan,
pembatalan PP No 110/2000 yang secara substansi mendorong good governance
(tata kelola pemerintahan yang baik) justru mendorong penyalahgunaan
wewenang legislatif dalam menyusun anggaran.

Semestinya anggota dewan menyadari peran dan batasan bertindak sehingga
tidak berpandangan masa jabatan sebagai momentum untuk mengeruk uang.
Kedudukan sebagai anggota dewan bukan berarti bisa bebas mengajukan anggaran
sekehendak hati. Apalagi setelah pembatalan PP itu, para anggota DPRD seolah
bebas bertindak mengajukan anggaran tanpa batasan normatif melampaui
kewajaran.

PP No 110/2000 secara substantif masuk akal, tetapi karena alasan yuridis
formal langsung dimentahkan hanya demi memenuhi asas lex inferiori derogat
lex inferior atau produk hukum yang berkedudukan lebih kuat mengalahkan
ketentuan hukum yang lebih rendah. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 memberikan keleluasaan pengajuan anggaran sehingga kedua produk hukum
ini saling bertentangan. Akhirnya terjadilah rangkaian kegiatan korupsi di
sejumlah DPRD di seluruh Indonesia.

Tindak lanjut terhadap kasus korupsi DPRD seharusnya berwujud hukuman keras
karena mereka termasuk pejabat publik yang seharusnya menjadi panutan.
Sekarang, apakah hakim mau mengimplementasikan hukum terhadap kasus korupsi
pejabat publik secara tegas. Aturan yang ada mengatur hukuman maksimal
hingga pidana mati dengan pertimbangan negara berada pada keadaan krisis.

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga memerlukan upaya ekstra atau
nonkonvensional. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peradilan in
absentia, dan pembuktian terbalik harus berlangsung secara maksimal.

Seandainya dalam penanganan kasus korupsi tercium adanya pelanggaran oleh
penegak hukum, KPK harus langsung bertindak. Sejauh ini belum terdengar
aparat penegak hukum yang diperiksa KPK karena penyimpangan dalam penanganan
kasus korupsi. Sambil memeriksa aparat, jika ditemukan bukti baru, tentu
saja para koruptor itu harus segera diperiksa kembali.

MEREBAKNYA korupsi di DPRD sangat menyedihkan karena ini terjadi di era
otonomi daerah yang seharusnya membawa locus decision making lebih dekat
dengan rakyat. "Dengan kedekatan itu diharapkan membuat keputusan
benar-benar berpihak kepada rakyat," ujar HS Dillon. Namun, desentralisasi
ini dibuat terburu-buru ketika pusat sedang kolaps sehingga seakan-akan
melimpahkan ketidakmampuan pusat kepada daerah. Idealnya, desentralisasi
didesain dan dibuat ketika pusat sedang kuat.

Kerawanan dalam penerapan otonomi daerah saat ini karena tidak dilakukan
bertahap dengan memperhitungkan kapasitas daerah. Selain itu, provinsi
dibuat tidak berdaya, padahal provinsi sepatutnya mengevaluasi dan memonitor
pelaksanaan di daerah di bawahnya.

KKN berkembang dan terus meluas ke daerah karena adanya impunitas atau
kekebalan hukum. Impunitas terbesar pada Soeharto. Sekitar enam bulan
setelah Soeharto jatuh sempat terasa ada ketertiban karena orang takut.
Tetapi lewat masa itu Soeharto tidak terbukti dan tidak bisa disentuh,
muncul kekecewaan besar. Akibatnya, mengutip pendapat Hasyim Muzadi, setiap
orang jadi punya insentif untuk hidup dengan uang haram. Tidak diberikan
insentif untuk hidup halal.

Ini juga merupakan kegagalan para pemuka agama. Semua orang yang korupsi itu
tidak bertuhan karena mereka pada dasarnya berlaku seperti orang yang tidak
percaya pada hari kiamat.

Kecurangan itu pada dasarnya dikarenakan keinginan para pejabat untuk hidup
mewah. Sebagai warisan sikap feodal, rakyat terbiasa memberi upeti dan
mendukung pejabat hidup mewah. Itulah sebabnya, kolonialis Belanda bisa
menjajah Indonesia dengan jumlah sumber daya manusia yang sebenarnya relatif
sedikit. Karena itu, yang ada hingga saat ini adalah kawula, bukan warga
negara.

Desentralisasi juga semakin mempertegas bukti bahwa bangsa ini belum
terbentuk. Negeri ini menjadi semacam soft state. Di negara "lunak" semacam
itu, kerangka berpikir orang tidak bisa melintasi diri, kerabat, keluarga,
kelompok, dan mengidentifikasi dirinya dengan bangsa.

Di berbagai daerah, istilah "putra daerah" yang makin ramai seiring maraknya
otonomi membuktikan hal itu. Pada dasarnya itu bukan perkara memperjuangkan
putra daerah, tetapi mengejar jabatan. Wewenang itu tidak dimanfaatkan
dengan rasa "sebangsa".

Sentralisasi di era Orde Baru mengakibatkan terjadinya pembangunan tidak
merata. Ini yang menjadi akar korupsi. Penyebab lainnya adalah terus-menerus
terjadi impunitas hingga hari ini; tidak ada koruptor atau hakim yang
menyeleweng yang dihukum.

"Belajarlah dari Korea Selatan yang bisa mengadili dan menghukum mantan
presiden dan jenderal-jenderal," kata Dillon menyarankan. Untuk itu butuh
pemimpin yang mencintai rakyat. Dengan begitu, penegakan hukum bukan atas
dasar dendam, tetapi cinta kepada rakyat.

Bangsa ini tidak hanya butuh reformasi, tetapi butuh "revolusi" seperti yang
dilakukan Sumatera Barat. Jika "api revolusi" ini terus memanasi hati nurani
para penegak hukum di seantero negeri, niscaya bangsa ini akan segera
bangkit kembali. Bukankah republik ini terkenal dengan ketidakpastian
hukumnya. (ong/day/dmu)

http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0406/12/fokus/1076871.htm

Sabtu, 12 Juni 2004

Di Balik Kebanggaan Meloloskan "Judicial Review"

SEBAGAI salah satu pijakan penyusunan anggaran belanja dan anggaran
sekretariat tahun 2002, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera
Barat menerakan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan
Keuangan DPRD. Namun, dalam praktiknya peraturan pemerintah itu dilanggar.
Masyarakat Sumbar dibohongi. Ironisnya, Gubernur Sumbar tak berkutik. Ini
terbukti dengan ditetapkannya APBD Tahun 2002 melalui Peraturan Daerah Nomor
02/SB/2002.

Para wakil rakyat Sumbar itu berdalih, Peraturan Pemerintah (PP) No 110/2000
bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 4/1999 dan UU No 22/1999. Untuk
menguji kebenaran dalih mereka, DPRD Sumbar melakukan hak uji materi (HUM)
atas PP No 110/2000, melalui gugatan HUM tanggal 14 Mei 2001 yang terdaftar
di Mahkamah Agung RI, 25 Mei 2001. Atas gugatan HUM itu, MA membatalkan PP
No 110/2000 tanggal 9 September 2002.

Sepulang dari Jakarta, betapa bangganya Arwan Kasri, Ketua DPRD Sumbar,
karena memenangi gugatan itu. Pihaknya lalu menggelar jumpa pers karena
judicial review (uji materi) terhadap PP No 110/2000 itu sangat berarti dan
bisa menyelamatkan seluruh DPRD provinsi dan DPRD kota/kabupaten
se-Indonesia atas tuduhan melakukan tindak pidana korupsi.

Namun, dalam putusan MA itu, ungkap Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar, ketika
itu Halius Hosen, ada catatan: bila dalam tempo 90 hari kemudian PP Nomor
110/2000 itu tidak dicabut pemerintah, lalu menggantinya dengan yang baru,
maka otomatis PP No 110/2000 berlaku kembali, dan harus menjadi acuan DPRD.

Hal ini dipertegas Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno ketika
beberapa kali melakukan kunjungan kerja di Sumbar, bahwa PP No 110/2000
tetap berlaku. Atas dasar itu, 7 November 2002 Mendagri mengeluarkan surat
izin untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap ketua DPRD dan para
anggota DPRD Sumbar.

ARWAN pun melawan. Ia lalu menggugat surat Mendagri itu di Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan terdaftar di PTUN tanggal 30 Januari
2003. Akan tetapi, 31 Desember 2002, Kejaksaan Tinggi Sumbar sudah
melayangkan surat panggilan pemeriksaan. Mereka diperiksa. Ada yang siang
hari, ada pula yang malam hari untuk menghindari kejaran pers. Para wakil
rakyat itu pun dinyatakan sebagai tersangka.

Tanggal 12 April 2003 digelar sidang pertama, dengan terdakwa Arwan Kasri
(Ketua), Masfar Rasyid (Wakil Ketua), dan Hj Hasmerti Oktini alias Ny Titi
Nazief Lubuk (Wakil Ketua). Seluruh terdakwa anggota DPRD Sumbar itu didakwa
telah merugikan negara sebesar Rp 5.904.105.350.

Sementara itu, PTUN Jakarta pada 1 Mei 2003 mengabulkan gugatan para anggota
DPRD Sumbar dengan amar putusan antara lain menyatakan surat izin untuk
melakukan tindakan kepolisian terhadap ketua DPRD dan para anggota DPRD
batal demi hukum. Sidang tetap berlanjut. Di luar sidang tiga unsur pimpinan
itu ada sidang empat kloter lagi. Yang dimaksud kloter di sini adalah
kelompok terdakwa. Setiap kloter ada 10 terdakwa.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Padang, Senin, 17 Mei 2004, majelis hakim
yang diketuai Bustami Nusyirwan, memvonis penjara masing-masing 2 tahun 3
bulan kepada ketiga unsur pimpinan DPRD Sumbar itu. Ketiganya didenda
masing-masing Rp 100 juta atau subsider kurungan dua bulan penjara serta
harus mengembalikan uang sebanyak yang dikorupsi.

Sebanyak 40 anggota DPRD Sumbar lainnya divonis hukuman penjara
masing-masing dua tahun, bayar dendaRp 100 juta, dan mengembalikan uang
sebanyak yang dikorupsi masing-masing. Putusan majelis hakim lebih ringan
ketimbang tuntutan jaksa, yakni 4 tahun 6 bulan, dengan denda masing-masing
Rp 200 juta. Sembari menunggu hasil banding, ke-43 terpidana itu masih bisa
bernapas lega karena vonis penjara itu tidak disertai kata- kata langsung
masuk penjara.

"Harus ada pemikiran progresif dari hakim. Di sini dituntut keberanian hakim
agar vonis yang dijatuhkan memberikan efek jera. Kalau dalam putusan segera
masuk penjara, maka bisa menimbulkan efek jera 3-4 kali lipat," tutur Saldi
Isra, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat. (NAL)

http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0406/12/fokus/1078184.htm

Sabtu, 12 Juni 2004

Sekali Korupsi Sesudah Itu Mati

ADA apa dengan Sumatera Barat? Tanyaan seperti ini terlalu sering mengapung
tatkala pers habis-habisan memberitakan DPRD Sumbar dalam empat tahun
terakhir, menyusul sikap pongah para wakil rakyat terhormat itu. Dengan
kekuasaan di tangan, mereka seperti sekehendak hati menggunakan (dan
terakhir terbukti mengorupsi) uang rakyat.

SEJUMLAH perantau mengaku malu dengan perbuatan itu dan menilainya sebagai
aib bagi orang Minangkabau. "Di daerah lain lebih besar uang yang dikorupsi.
Satu anggota DPRD korupsi Rp 10 miliar, pers tak ada meributkannya," kata
seorang tokoh Minang perantau di Riau awal Juni lalu. "Tapi di sini, DPRD
Sumbar yang korupsinya hanya Rp 5,9 miliar, beritanya bertubi- tubi. Ini
mancabiak baju di dado, membuka aib sendiri, namanya."

Sebenarnya, menurut H Basril Djabar, tokoh masyarakat dan mantan Ketua Kamar
Dagang dan Industri Daerah Sumbar, harga diri orang Minang terletak pada
kejujuran dan kebenaran yang sebenar- benarnya. Kalau sudah keluar dari
sana, itu pantang. Artinya, siapa yang tak jujur dengan dirinya dan tak
jujur kepada rakyat, maka mereka akan berhadapan dengan rakyat.

"Karakter orang Minang antara lain dibentuk oleh ungkapan kalau Waang kayo,
aden indak kamamintak, kalau Waang pandai aden indak kabaraja, tapi kalau
Waang babuek dilua alua jo patuik, waang berhadapan jo kami (kalau Anda
kaya, saya tak akan meminta; kalau Anda pandai, saya tak akan
belajar/berguru; tapi kalau Anda berbuat di luar alur dan patut, Anda akan
berhadapan dengan kami-Red)," ujarnya.

Atas dasar ini orang Minang tak pandang bulu walau yang berbuat kesalahan
atau aib masih sanak saudara. Yang dilihat bukan siapa orangnya, tapi
kesalahan yang dilakukannya.

Orang luar tak banyak tahu sudah berapa pejabat yang harus hengkang dan atau
menanggalkan jabatan di Sumbar karena, menurut penilaian masyarakat,
bertindak dan berlaku di luar batas. Tidak saja di era Orde Baru, tapi juga
pasca-Reformasi. Bahkan, dengan menyimak sejarah PRRI, jauh sebelum tahun
1998, masyarakat Sumbar sudah reformasi. Persisnya di tahun 1958.

Lantas, apa hubungan karakter orang Minang dan korupsi di DPRD Sumbar atau
DPRD kota atau kabupaten di Sumbar? Kata kuncinya: pongah. Merasa diri
hebat, merasa diri berkuasa, dan menafikan orang lain. Itulah kepongahan
yang tecermin dari para wakil rakyat itu. Dalam penyusunan RAPBD 2002
Sumbar, misalnya, gubernur Sumbar pernah mengungkapkan ia tidak dilibatkan
membahas anggaran legislatif.

"Pihak eksekutif hanya menerima apa yang disodorkan pihak legislatif.
Perilaku DPRD dalam penyusunan anggaran tidak memerhatikan rasa keadilan
dengan munculnya berbagai mata anggaran yang mencerminkan arogansi anggota
DPRD," kata Rahmad Wartira, mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang.

Dari awal penyusunan, menurut Rahmad, APBD 2002 Sumbar sudah diketahui
mengandung masalah dalam segi hukum dan substansi. Berbagai elemen
masyarakat memang telah diminta memberi masukan untuk APBD itu meski
dilakukan secara mendadak. Namun, kritik masyarakat untuk penyusunan
anggaran tersebut dianggap angin lalu.

Bahkan wakil gubernur, sebagaimana dikutip ekonom Azhar Makmur dalam
makalahnya Penyusunan RAPBD 2002 dan Realitas Provinsi Sumbar, mengatakan,
"Kita sudah siap dicarut-marut karena inilah konsekuensi jadi pejabat."
Pendek kata, sosialisasi seperti yang diharuskan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999, Pasal 27 dan 28, tidak memadai.

Lalu, nota keuangan APBD 2002 itu hanya mengemukakan prioritas dan tujuan
pembangunan. Tak ada sasaran yang ingin dicapai secara gamblang, sementara
yang ditetapkan gubernur Sumbar melalui Perda Nomor 02/SB/2002 tentang APBD
2002 hanya plafon anggaran. Rincian anggaran baru menyusul kemudian. Ini
tidak lazim!

Banyak pula tumpang tindih mata anggaran. Beberapa mata anggaran tidak
relevan untuk suasana krisis seperti saat itu. Program yang diusulkan
berbagai instansi banyak yang tak sesuai dengan program yang telah
ditetapkan dalam Rencana Strategis dan Kewenangan Daerah Provinsi.

Penetapan plafon sebelum penetapan mata anggaran, yang dilakukan di Sumbar
ini, akan mengakibatkan dana APBD tidak terkoordinasi dengan baik karena
rencana penggunaannya tidak jelas. Rahmad Wartira yang juga praktikus hukum
melukiskan salah satu mata anggaran yang seolah tak pernah dikritik gubernur
adalah dana aspirasi senilai Rp 11 miliar. Gubernur memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada anggota DPRD menentukan alokasi anggaran ini, padahal
menurut Pasal 2 Ayat (1) PP No 105/2000, kepala daerah adalah pemegang
kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah.

Banyak kalangan menduga anggaran dana aspirasi Rp 11 miliar atau Rp 200 juta
per anggota itu semacam kolusi eksekutif dan legislatif. Semacam
tawar-menawar agar laporan pertanggungjawaban gubernur tidak ditolak anggota
DPRD, gubernur harus menyetujui dana aspirasi Rp 11 miliar.

Setelah APBD 2002 Sumbar ditetapkan, sementara masukan masyarakat tidak
dipedulikan, di situlah protes berbagai kalangan masyarakat muncul. Aksi
unjuk rasa mahasiswa, organisasi massa, dan lembaga swadaya masyarakat
hampir tiap hari. Tuntutan mereka: APBD tersebut direvisi.

Sementara itu, DPRD seolah- olah berbuat sudah benar. Mereka bersikukuh
menolak revisi APBD itu. Karena aspirasi masyarakat tak dihiraukan, Forum
Peduli Sumatera Barat (FPSB) sehari setelah memberikan masukan ke DPRD
melaporkan tindak pidana korupsi kepada kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar.
Kejadian ini berlangsung 7 Februari 2002.

Dalam laporan setebal lima halaman, FPSB merinci penyimpangan hukum dan
modus operasi tindak pidana korupsi DPRD Sumbar. FPSB terdiri dari sejumlah
aktivis organisasi bukan pemerintah, akademisi, pengusaha, dan wartawan
seperti Mestika Zed, Elwi Danil, Saldi Isra, Rahmad Wartira, Rusmazar
Ruzuar, Werry Darta Taifur, Oktavianus Rizwa, dan Abel Tasman.

Kejaksaan Tinggi kemudian membentuk tim intelijen untuk penyidikan. Temuan
Kejaksaan Tinggi melebihi apa yang dilaporkan FPSB. Wakil Ketua DPRD Sumbar
Masfar Rasyid ditahan oleh kejaksaan dan dititipkan di Lembaga
Pemasyarakatan Muara Padang untuk memudahkan pemeriksaan.

Modus operandi

Menjadi anggota dewan ibarat berjudi. Taruhannya uang. Sudah rahasia umum,
untuk masuk daftar caleg saja, seseorang harus mengeluarkan jutaan rupiah.
Jadi caleg tetap ujung-ujungnya uang juga sebab dia harus memberi sumbangan
kepada partai. Masih keluar uang untuk kampanye dan membeli berbagai atribut
untuk massa pendukung. Berbilang puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk
bisa duduk di kursi legislatif.

Ada pula kebijakan partai: kader yang duduk di legislatif harus menyisihkan
pendapatannya (dari DPRD) untuk partai. Persentasenya bergantung pada
kebijakan partai. Ini mau tidak mau mendorong anggota dewan mendapatkan uang
dengan berbagai cara. Selain untuk menutupi pengeluaran sejak menjadi caleg
sampai sumbangan kepada partai, anggota dewan pun butuh uang banyak untuk
kepentingan pribadi. Yang disebut terakhir inilah sebetulnya tujuan
seseorang menjadi anggota dewan.

Dari surat dakwaan jaksa terungkap hal berikut. Dalam kasus di DPRD Sumbar,
uang penunjang kegiatan DPRD sesuai dengan Pasal 14 PP No 110/ 2000
merupakan belanja sekretariat, tapi para terdakwa telah mengaturnya sebagai
anggaran DPRD dan digolongkan sebagai belanja DPRD. Rinciannya: (1)
pembayaran penunjang kegiatan setiap bulan sejumlah Rp 500.000 per bulan per
anggota sehingga secara keseluruhan berjumlah Rp 923.185.000, (2) pembayaran
biaya taktis DPRD yang dibayarkan kepada anggota dewan sebagai penghasilan
tetap setiap bulan sejumlah Rp 541.450.000, (3) pembayaran penggantian biaya
telepon genggam yang dibayarkan sebagai penghasilan tetap setiap bulan
sejumlah Rp 19.000.000, (4) pemberian bantuan ongkos menunaikan ibadah haji
dan bantuan biaya perjalanan pengobatan kepada anggota dewan sejumlah Rp
14.500.000, dan (5) pembayaran uang bantuan cuti kepada anggota dewan untuk
pembinaan daerah asal pemilihan sejumlah Rp 2.500.000 untuk setiap anggota
dewan, sehingga secara keseluruhan berjumlah Rp 117.500.000.

Juga ada pembayaran uang kehormatan untuk semua anggota dewan setiap bulan
yang sampai Juli 2002 berjumlah Rp 286.705.000. Tunjangan untuk badan
kehormatan DPRD tidak diatur dalam PP No 110/2000, namun para terdakwa telah
mengatur adanya pembayaran honorarium Badan Kehormatan secara tunai sebagai
penghasilan tetap setiap bulan sejumlah Rp 20.332.000.

Fasilitas rumah dinas sesuai dengan Pasal 12 PP No 110/2000 hanya diberikan
kepada ketua DPRD, namun para terdakwa telah mengatur adanya pembayaran
untuk bantuan perumahan bagi wakil ketua dan anggota dewan yang diberikan
dalam bentuk pembayaran tunai sejumlah Rp 526.575.000. Yang mendapat mobil
dinas dan pemeliharaannya hanya ketua dan wakil ketua, sedangkan transpor
bagi anggota dewan telah dialokasikan dalam pemberian uang paket; namun para
terdakwa telah mengatur adanya pemberian bantuan BBM kepada anggota dewan
sebanyak 300 liter per bulan per orang, yang diberikan sebagai penerimaan
tetap setiap bulan sehingga berjumlah Rp 295.542.000.

Sesuai dengan penjelasan Pasal 14 Ayat 1 butir c PP No 110/2000, tarif
perjalanan dinas anggota dewan disesuaikan dengan tarif perjalanan dinas PNS
golongan IV. Namun, para terdakwa telah mengatur perjalanan dinas untuk
anggota dewan dengan sistem paket, sehingga berjumlah Rp 673.288.000. Itu
antara lain karena dalam dakwaan setebal 24 halaman, cukup banyak modus yang
dilakukan, yang menyebabkan uang negara dikorupsi senilai Rp 5,90 miliar.

Dalam kasus dugaan korupsi di DPRD Kota Padang, modus seperti itu ada juga.
Bahkan lebih berani dan lebih canggih. Buktinya, uang yang diduga dikorupsi
DPRD Kota Padang lebih besar nilainya: Rp 10,44 miliar. Modus yang baru
antara lain perjalanan dinas fiktif dengan tiket pesawat Garuda dan tiket
pesawat Mandala. Jadi, seorang wakil rakyat yang kini terdakwa itu melakukan
perjalanan dinas fiktif senilai Rp 27,3 juta sampai Rp 46,5 juta.

Bagaimana modus operandi di DPRD Kota Payakumbuh? Kita tunggu saja, karena
berkas perkaranya belum tuntas. Sementara itu, Ketua DPRD Kota Payakumbuh
Chin Star sejak 15 Mei lalu sudah ditahan pihak Kepolisian Daerah Sumbar.

Mogok, mundur, dan bencana

Di tengah tuntutan masyarakat yang begitu besar mendesak DPRD Sumbar
merevisi APBD, Moh Zen Gomo-ketika itu anggota Komisi C-menyatakan mogok
kerja untuk sementara sebagai konsekuensi moral terhadap harapan masyarakat
Sumbar. Surat resmi mogok kepada pemimpin DPRD Sumbar dikirim pada 22 Mei
2002.

"Kinerja dan citra DPRD Sumbar sekarang ini sudah jauh menyimpang: bohong
terhadap publik serta tidak aspiratif lagi terhadap tuntutan masyarakat,"
kata Gomo yang beberapa bulan kemudian mundur sehingga statusnya dalam kasus
korupsi DPRD ini adalah saksi, bukan terdakwa. "Penyimpangan dewan adalah
indikasi kolusi antara dewan dan eksekutif, serta penolakan PP No 110/2000."

Gomo mengungkapkan penerimaan anggota DPRD Sumbar tahun 2002 adalah Rp
11.519.000. Rinciannya, gaji Rp 4.579.000, tunjangan (6 macam) Rp 2.440.000,
dan pengeluaran lain-lain Rp 4.500.000. Penerimaan sebesar Rp 11.519.000 per
orang per bulan itu belum mencakup biaya perjalanan dinas, baik di dalam
daerah maupun keluar daerah.

"Padahal, berdasarkan PP No 110/2000, penerimaan tiap anggota dewan mestinya
Rp 3.216.970 per bulan," katanya.

Bencana itu datang ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Padang, yang
diketuai Bustami Nusyirwan, pada 17 Mei lalu menjatuhkan vonis 2 tahun 3
bulan penjara, bayar denda masing-masing Rp 100 juta, dan mengembalikan uang
sebanyak yang mereka korupsi (Rp 101 juta sampai Rp 112 juta) untuk Arwan
Kasri, Masfar Rasyid, dan Ny Titi Nazief Lubuk. Selain itu, hukuman penjara
2 tahun, bayar denda Rp 100 juta dan mengembalikan uang sebanyak yang
dikorupsi (Rp 26 juta sampai Rp 120 juta) bagi tiap anggota DPRD Sumbar (40
orang terpidana).

Sejumlah kasus anggota lain dari fraksi TNI/Polri akan disidangkan di
peradilan militer. "Kasus yang melibatkan anggota DPRD dari fraksi TNI/Polri
ini harus diselesaikan cepat, agar citra TNI baik di masyarakat," kata Saldi
Isra, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan juga
Koordinator FPSB. "Kami tidak ingin melihat kasus yang sama dengan putusan
berbeda. Jangan terkesan peradilan militer melindungi korpsnya."

Putusan majelis hakim yang menghukum penjara anggota DPRD Sumbar dipujikan
masyarakat Sumbar, diapresiasi berbagai kalangan di Tanah Air. Sampai-sampai
PN Padang dan Kejaksaan Tinggi Sumbar jadi obyek studi daerah lain menangani
kasus sejenis.

"Pertimbangannya tidak semata terdakwa melanggar PP No 110/2000, tapi juga
rasa keadilan masyarakat. Tidak saja bukti-bukti formil, tapi juga
bukti-bukti materiil," kata Ketua Majelis Hakim Bustami Nusyirwan seusai
menerima Penghargaan Pejuang Antikorupsi dari Masyarakat Profesional Madani
Jakarta, Rabu 26 Mei di Padang.

Penghargaan yang sama juga diberikan kepada Kejaksaan Tinggi Sumbar, yang
diterima Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar Muchtar Arifin. (YURNALDI)

http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0406/12/fokus/1071280.htm

Sabtu, 12 Juni 2004

Dari Padang dengan Harapan

Satjipto Rahardjo

MENJADI kewajiban kita semua, khususnya komunitas hukum, untuk memberi garis
bawah yang tebal terhadap keberhasilan sistem peradilan pidana (criminal
justice system) di Padang membawa para terdakwa koruptor ke pengadilan dan
menghukumnya. Benar-benar kejadian tersebut tidak boleh dianggap kecil dan
biasa, apalagi untuk sebentar kemudian dilupakan begitu saja.

DI tengah-tengah kekeringan keadilan di negeri kita sekarang ini, apa yang
dilakukan pengadilan di Padang seyogianya benar-benar mendapatkan
penghargaan setimpal. Maka sekarang menjadi tugas kita semualah, khususnya
dunia hukum, menggelindingkan "keadilan Padang" itu sehingga "virus Padang"
tersebut menyebar ke seluruh penjuru pengadilan di negeri ini.

Banyak kritik ditujukan kepada Jaksa Agung yang dianggap kurang mampu
menjadikan kejaksaan sebagai tumpuan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Namun, kritik itu ternyata ditepiskan bukan oleh Kejaksaan Agung, tetapi
oleh jaksa dan hakim kecil nun di Padang sana. Ternyata kecil itu tidak
hanya "indah", tetapi juga "mampu".

Berkali-kali sudah diingatkan jangan memandang remeh orang-orang kecil,
jaksa kecil, hakim kecil, karena dari mereka itu justru sering datang
putusan-putusan yang mengejutkan ("Mengangkat Orang-orang Baik", Kompas, 23
Mei 2003). Belum lama kita juga "dikejutkan" oleh putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang dipimpin "hakim kecil" Amiruddin Zakaria, yang menghukum
penjara Ketua DPR Akbar Tandjung sekalipun putusan itu akhirnya dibatalkan
oleh para hakim yang "lebih besar". Amiruddin Zakaria akhirnya memilih
berhenti karena alasan tidak memiliki kebanggaan lagi sebagai hakim.

Tidak disetujuinya untuk memberhentikan semua jaksa dan hakim di negeri ini
karena masih ada kepercayaan kepada sejumlah hakim dan jaksa baik-baik
sekalipun jumlahnya sedikit. Dan ternyata harapan tersebut hari-hari ini
terpenuhi.

Yang juga menarik, para "kampiun keadilan" itu adalah hakim-hakim kecil atau
"setengah besar", seperti Benjamin Mangkoedilaga, waktu itu hakim tinggi
yang memenangkan majalah Tempo. Masih ada lagi hakim kecil (?) seperti Teguh
Haryanto yang dengan lantang menolak l'esprit de corps di antara para hakim
yang justru bisa menyuburkan korupsi di pengadilan (Kompas, 2 Februari
2004). Tidak ada niat untuk mengecilkan peranan para hakim besar, seperti
Adi Andojo Soetjipto, Asikin Kusumahatmadja, Bismar Siregar, dan Jaksa Agung
Baharuddin Lopa (almarhum), yang juga sama progresifnya dengan sejawatnya
yang kecil-kecil itu.

TERNYATA pendapat yang selama ini dikemukakan bahwa manusia bisa lebih
menentukan dari peraturan cukup mendapatkan pembuktiannya di Indonesia.
Peraturan, undang-undang sudah banyak, tetapi mengapa pemberantasan korupsi
begitu mengecewakan? Kita tidak perlu jauh-jauh mengutip Taverne dari
Belanda yang mengatakan, "Berikan padaku jaksa dan hakim yang baik, dengan
peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik." Kita mengerti
itu dan orang Indonesia pun bisa melakukannya.

Sewaktu belum menjadi jaksa agung, almarhum Baharuddin Lopa pernah
mendatangi teman-temannya para jaksa yang sedang sibuk ingin membawa
Soeharto ke pengadilan. Lopa cuma mengambil satu dua lembar kertas dari
bukti-bukti yang menumpuk dan mengatakan, "Dengan satu dua lembar ini saja
saya sudah bisa membawa Soeharto ke pengadilan." Begitu juga dengan mantan
Hakim Agung Bismar Siregar, yang selalu mengatakan bahwa "keadilan berada di
atas undang- undang" sehingga putusan-putusannya sering disebut
kontroversial.

Jadi, manusia di atas hukum bukan sekadar retorika dan teori di Indonesia.
Sejumlah tindakan dan putusan memberikan validasi empirik mengenai hal itu.
Maka sebaiknya kita berhati-hati dalam "membabat" habis begitu saja para
penegak hukum. Kita merasa kasihan terhadap mereka yang tidak atau belum
terkenal, tetapi sungguh menunjukkan moralitas dan keberanian yang amat
terpuji, seperti hakim Teguh Haryanto di atas. Apakah mereka juga harus
ditebas habis?

Penghukuman terhadap para anggota DPRD di Padang tidak akan terjadi apabila
seluruh bagian dari sistem peradilan pidana tidak bersatu paham dan bergerak
sebagai suatu kesatuan. Bagaimanapun piawainya jaksa, apabila hakim
menentukan lain, maka lain pula jadinya proses yang sudah digelindingkan.

Kritik-kritik juga dikemukakan terhadap kemampuan jaksa dalam mengajukan
dakwaan dan menguasai asas-asas hukum pidana (laporan "Jangan Cuma Berdebat,
Konkretlah...!", Kompas, 25 Mei 2004). Secara normatif mungkin begitu,
tetapi secara sosiologis masih terbuka cara-cara yang bisa dijelajahi. Oleh
karena itu di sini lebih senang digunakan tamsil "berangkat perang" daripada
membiarkan proses pidana menjadi medan argumentasi akademis ("Para Penegak
Hukum, Pukullah Genderang Perang", Kompas, 20 April 2004).

Forum di mana para hakim, jaksa, polisi, dan advokat berkumpul memang bisa
dicurigai sebagai suatu ajang persekongkolan buruk, tetapi itu bergantung
pada semangat mereka. Apabila semangatnya adalah "berangkat perang untuk
memenangi perang terhadap korupsi", maka tidak ada salahnya untuk
diteruskan. Kita mesti berani membangun suatu kultur penegakan hukum baru
sesuai dengan kebutuhan bangsa sendiri.

BAGUSNYA, bola sudah mulai menggelinding dan "virus Padang" sudah mulai
menyebar ke mana-mana. Di Semarang, pesan dari Padang sudah mulai ditangkap,
dalam hal ini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KP2KKN) dan Koordinator Konsorsium LSM Antimoney Politics. Keduanya
menyoroti kasus-kasus dugaan korupsi di tubuh legislatif Jateng sebagai
sudah keterlaluan. Mendapat ilham dari keberhasilan sistem penegakan hukum
di Padang, mereka mendesak jaksa tinggi untuk mengungkap kasus-kasus dugaan
korupsi di Jateng yang sementara itu sudah dilaporkan. Dikatakan bahwa kasus
di Padang mirip dengan yang terjadi di Jateng, yaitu dugaan korupsi massal
oleh DPRD (Suara Merdeka 2004).

Diharapkan para pemimpin tinggi di jajaran pengadilan dan kejaksaan jangan
diam-diam saja, tetapi benar-benar memberikan dukungan profesional dan
semangat untuk mendorong "era baru" yang mulai menggeliat. Tidak hanya itu,
sebaiknya komunitas akademis juga bersama-sama "mengeroyok" dan memberikan
dukungan "peluru akademis" terhadap "trace baru" dalam penegakan hukum
tersebut.

Ada waktu untuk bersedih dan menangis, tetapi dengan kasus Padang ini kita
bolehlah berbangga terhadap institusi penegakan hukum kita. Kita memang
tidak bisa cepat-cepat bersorak-sorai mengelu-elukan kesuksesan di Padang
itu karena keberhasilan yang berantai masih harus dibuktikan.

Akan tetapi, janganlah juga membiarkan momentum yang bagus ini lewat tanpa
menjadikannya bola yang menggelinding, makin lama makin besar yang akhirnya
mudah-mudahan merontokkan korupsi di negeri ini. Pejuang Antikorupsi dari
Masyarakat Profesional Madani Jakarta sudah memelopori dengan memberikan
penghargaan terhadap Ketua Pengadilan Negeri Padang dan Kejaksaan Tinggi
Sumatera Barat (Kompas, 27 Mei 2004).

Itu sangat bagus. Mudah-mudahan kita bisa mengatakan bahwa suatu "revolusi"
telah dimulai dari bawah. Ternyata bangsa ini mampu dan bisa mulai bangkit
dari keterpurukannya.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang



____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke