Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

harman writes:

... spt yg ia bilang "Tapi itu semua tidak perlu diatur oleh negara. Biarlah individu-individu yang melaksanakan ini"

Nah, masalahnya syari'at Islam begitu lengkap hingga mencakup bagian-bagian yang merupakan haknya penguasa seperti qishash, hudud, pengaturan baitul mal, dll. Dengan demikian dibutuhkan penguasa yang menerapkan syari'at Islam. Akan tetapi bukan berarti kita harus rame-rame ganti penguasa kalo ia tidak gak menerapkan syari'at Islam dengan baik lho.


kebanyakan masih bermain dalam retorika umum yaitu pemberantasan korupsi -- klo ga' salah ini juga kan bagian dari SI kan?

He he he, PDS juga klaimnya begitu ('Korupsi harus dihapuskan dari bumi Indonesia') namun dengan tegas memisahkan agama dan negara ('Urusan agama terpisah sepenuhnya dari urusan negara. Urusan agama menjadi urusan kelompok agama yang bersangkutan sendiri').


Dan saya sangat setuju dgn angku Darul biarlah masy. ini menjalani
SI itu secara sadar, kata teman saya yg ikut pengajian manhaj salaf
dia bilang pelaksanaan SI itu tidak perlu formalisasi krn setiap indivi
du bisa melaksanakannya misalnya memanjangkan janggut, memakai isbal
dll.

Mohon maaf, saya koreksi sedikit maksudnya mungkin 'membiarkan janggut' karena perintah Rasulullah begitu [1] (dan tidak semua orang berjanggut) serta 'tidak berisbal' karena justru isbal (memanjangkan kain/celana hingga mata kaki atau lebih) yang dilarang Rasulullah [2].


Masalah pelaksanaan SI, manhaj salaf yang saya ketahui (dan saya baru belajar) adalah berdakwah dengan manhaj Rasulullah yang memulai dengan pemurnian aqidah serta membersihkan ibadah dari beragam bid'ah kemudian mendidik masyarakat. Dengan demikian, syari'at Islam tumbuh dalam diri muslim, keluarganya, masyarakatnya, kemudian negaranya. Jadi tidak perlu menunggu pemimpin negara dulu.

Adalah sangat ironis melihat saat ini masyarakat kita berkoar-koar menginginkan pemimpin yang bebas korupsi namun dalam keseharian justru banyak yang memupuk korupsi. Misalnya saat ditilang polisi dengan mudahnya terucap 'saya tetangganya pak anu' atau mengajak 'negosiasi'. Bagaimana mungkin kita menuntut penguasa sekelas Abu Bakar padahal kita enggan menjadi masyarakat sekelas masa Abu Bakar?

Beberapa link terkait:
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=720
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=721
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=141
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=164


http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=71
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=26


Mohon maaf jika ada kesalahan. Segala kebaikan hanyalah datang dari Allah dan keburukan datang dari diri saya sendiri dan syaithan.

Allahu a'lam.

Ahmad Ridha ibn Zainal Arifin ibn Muhammad Hamim
(l. 1980 M/1400 H)


[1] Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu âAlaihi Wa Sallam sesungguhnya beliau bersabda (yang artinya): "Kami diperintah untuk memangkas kumis dan membiarkan tumbuh jenggot." (HR. Muslim)

[2] Rasulullah bersabda (yang artinya):
"Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di Neraka." (HR. al-Bukhari, Ahmad)



____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke